Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin


yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat.. Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada
tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan
tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri.
lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari
tetanus. (Nicalaier 1884, Behring dan Kitasato 1890 ).
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang
disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh
Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan
otot menjadi kaku (rigid). Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil
mengisolasi organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga
melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik.
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti
menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum,
melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis
pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka
pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi
tali pusat (Tetanus Neonatorum ).
BAB II
KASUS

STATUS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : Tn.M
Usia : 48 thn
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh Tani
Alamat : Kp. Babakan situ RT.05/02 Desa Kubang,
Kec. Sukaresmi, Kab. Cianjur
Masuk RS : 2 – 1 – 2012
No RM : 549087

II. ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA :
Kejang sejak 10 hari SMRS

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Sejak 10 hari yang lalu, pasien mengalami kejang pada seluruh
anggota gerak, kejang dalam 1 hari > 10 kali, selama < 5 menit. Kejang
dialami tiba-tiba, tanpa adanya rangsangan dan dapat meningkat setelah
diberi rangsangan pijatan. Kejang semakin hari semakin bertambah.
Kejang berupa kaku dan kelojotan, tanpa disertai dengan penurunan
kesadaran baik saat ataupun sesudah terjadinya kejang.
Keluhan kejang sebelumnya didahului oleh kaku pada mulut dan
leher, sejak 13 hari SMRS, keluhan tersebut kemudian bertambah setiap
harinya sampai kaku pada seluruh tubuh dan anggota gerak.
1 bulan SMRS, pasien pernah digigit oleh ular, saat sedang bekerja
disawah. Setelah digigit ular, pasien langsung dibawa ke mantri, dan diberi
pengobatan. Namun luka yang timbul akibat gigitan ular tidak dilakukan
perawatan.
Selama perjalanan penyakit, pasien mengalami panas badan yang
hilang timbul dan tidak terlalu tinggi, disertai keluar keringat banyak, tidak
dapat makan, namun masih dapat minu perlahan dan sedikit, dan pegal
pada seluruh tubuh. keluhan tidak disertai dengan sesak napas, jantung
berdebar, mual, muntah dan penurunan kesadaran. BAK baik. BAB
terganggu sejak 5 hari yang lalu.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :


- Riwayat sakit seperti ini disangkal
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:


- Riwayat sakit seperti ini dalam keluarga disangkal
- Riwayat Hipertensi dalam keluarga disangkal
- Riwayat Diabetes Melitus dalam keluarga disangkal

RIWAYAT PENYAKIT PENGOBATAN:


- Pasien tidak mengetahui tentang riwayat imunisasi tetanus yang pernah
dimilikinya.

RIWAYAT PENYAKIT ALERGI:


- Riwayat alergi terhadap makanan, obat-obatan, debu dan cuaca
disangkal oleh pasien

III.STATUS GENERALIS
Keadaan Umum : sakit sedang
Tanda-Tanda Vital :
Denyut Nadi : 80 x/mnt, reguler, kuat angkat, isi cukup
TD : 150/90mmHg
Pernafasan : 20x/mnt
Suhu : 37,6oC
Kepala dan Leher :
Kepala : Normocephal, wajah rhisus sardonikus (+)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : Sekret (-), epistaksis (-/-), septum deviasi (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Telinga : Bentuk normotia, secret (-)
Mulut : Trismus (+) 1 cm, bibir lembab (+), perioral cyanosis (-),
lidah kotor (sulit dinilai)
Leher : Kuduk kaku (+), pembesaran KGB (-), peningkatan JVP
(-)
Thoraks
- Bentuk normochest,
- Pernapasan abdominothorakal,
- Punggung : Opistotonus (+)
Paru :
- Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi sela iga (-)
- Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, ronchi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V linea mid clavicula sinistra
- Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V linea mid clavicula sinistra
- Perkusi : Batas jantung kanan relative di ICS V linea parasternal
dextra
Batas jantung kiri relative di ICS V linea mid clavicula
sinistra
- Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : abdomen datar,
- Palpasi : Perut papan (+), nyeri epigastrium (-) , turgor baik, hepar
dan lien sulit dinilai.
- Perkusi : timpani pada ke-empat kuadran abdomen
- Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas
- Superior : Spastik, keadaan fleksi pada tangan kiri, tonus meninggi,
Vulnus morsum ad region digiti IV manus sinustra,
dengan jaringan nekrotik, berwarna kehitaman.
Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-)
- Inferior : Spastik, keadaan ekstensi dan plantarfleksi, tonus
meninggi, Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-),
sianosis (-)

IV. STATUS NEUROLOGIK


Kesadaran : Compos Mentis
GCS : E4M6V5 (15)

RANGSANG MENINGEAL
Kaku Kuduk : (-)
Laseuge, Kernig : tidak terbatas
Bruinski I/II/II : (-)

SARAF CRANIAL
N.I (OLFAKTORIUS) KANAN KIRI
Daya Pembau : Normosmia Normosmia

N.II (OPTIKUS ) KANAN KIRI


Daya Penglihatan : + +
Pengenalan Warna : Tidak dilakukan
Lapang pandang : Baik
Fundus Okuli : dalam batas normal
Papil : dalam dalam batas normal
Retina : : dalam dalam batas normal
Arteri/Vena : arteri dan vena perbandingan 1/3

N.III (OKULOMOTORIUS) KANAN KIRI


Ptosis : - -
Gerakan Mata : baik
Ukuran pupil : 3 mm 3 mm
Refleks cahaya direct : (+/+)
Refleks cahaya indirect : (+/+)
Refleks Akomodasi : (+/+)
Diplopia : tidak ada

N.IV (TROKHLEARIS) KANAN KIRI


Gerakan mata ke medial bawah : + +
Strabismus konvergen : (-)
Diplopia : tidak ada

N.V (TRIGEMINUS) KANAN KIRI


Menggigit : (+) (+)
Membuka Mulut : Terbatas, trismus 1 cm
Sensibilitas Atas : (+) (+)
Tengah : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
Reflek kornea : (+) (+)
Refleks maseter : (+) (+)
Refleks zigomatikum : (+) (+)

N.VI (ABDUSEN) KANAN KIRI


Gerakan mata ke lateral : (+) (+)
Diplopia : tidak ada
N.VII (FASIALIS) KANAN KIRI
Kerutan kulit dahi : (+), simetris
Kedipan mata : (+) (+)
Lipatan naso-labial : simetris
Sudut mulut : simetris
Menutup mata : baik dan simetris
Meringis : simetris
Daya kecap lidah 2/3 depan : sulit dinilai
Refleksvisuo palpebra : (+) (+)
Reflex glabella : (-)

N.VIII(VESTIBULOCHOCLEARIS)
KANAN KIRI
Mendengar suara berbisik : + +
Tes rinne : + +
Tes weber : lateralisasi telinga kanan sama dengan
telinga kiri
Tes Schawabach : + +

NIX (GLOSOFARINGEUS)
Arkus farings : sulit dinilai
Arkus faringssaat bergerak : sulit dinilai
Daya kecap lidah 1/3 belakang : sulit dinilai
Reflex muntah : sulit dinilai

N.X(VAGUS) KANAN KIRI


Denyut Nadi : 80x/mnt 80x/mnt
Menelan : (+)

N.XI (ASESORIUS) KANAN KIRI


Memalingkan Kepala : Sulit dinilai
Sikap Bahu : baik baik
Mengangkat Bahu : Sulit dinilai
Atropi Otot bahu : (-)

N.XII(HIPOGLOSUS)
Sikap lidah : ditengah
Atropi otot lidah : sulit dinilai
Fasikulasi lidah : sulit dinilai

MOTORIK
Sikap :
Eksitemitas atas : Fleksi pada tangan kiri,
Ekstremitas bawah : Ekstensi dan plantar fleksi pada kedua kaki
Kekuatan : 5 5
5 5

Tonus : Spastik Spastik


Spastik Spastik
Atropi : - -
- -
Klonus
Kaki : -/-
Patella : -/-

SENSORIK
Nyeri : Ekstremitas Atas : kanan – kiri sama
Ekstremitas Bawah : kanan – kiri sama
Raba : Ekstremitas Atas : kanan – kiri sama
Ekstremitas Bawah : kanan – kiri sama
Suhu : Ekstremitas Atas : tidak dilakukan
Ekstremitas Bawah : tidak dilakukan
REFLEKS FISIOLOGIS
Refleks bisep : ++/++
Refleks trisep : ++/++
Refleks brachioradialis : ++/++
Refleks patella : ++/++
Refleks Achilles : ++/++

REFLEKS PATOLOGIS
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gardon : -/-

FUNGSI VEGETATIF
Miksi : Baik
Defekasi : Sulit

FUNGSI LUHUR

KOORDINASI,LANGKAH DAN KESEIMBANGAN


Cara Berjalan : tidak dilakukan
Rebound Fenomen : (-)
Disemtris : (-)
Tes telunjuk hidung : normal
Tes telunjuk hidung-hidung : normal
Tes Telunjuk-telunjuk : normal

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 2 Januari 2013
Parameter Nilai Satuan Nilai Normal
WBC 10.4 103/ul 4.8 – 10.8
LY 21.1 % 20.0 – 40.0
MO 3.4 % 0.0 – 11.0
GR 75.5 % 40.0 – 70.0
LY 2.2 103/ul 1.0 – 4.3
MO 0.4 103/ul 0.0 – 1.2
GR 7.8 103/ul 1.9 – 7.6
RBC 5.00 106/ul 4.20 – 5.40
HGB 14.2 g/dl 12.0 – 16.0
HCT 44.8 % 37.0 – 47.0
MCV 89.6 Fl 80.0 – 94.0
MCH 28.4 Pg 27.0 – 31.0
MCHC 31.7 g/dl 33.0 – 37.0
PLT 259 103/ul 150000 – 450000
RDW 12.2 % 9.0 – 14.0
PCT 0.09 % 0.100 – 0.500
MPV 3.8 Fl 9.0 – 12.0
PDW 17.9 % 10.0 – 18.0
GDS : 87 mg%

VI. RESUME
Anamnesis
Seorang laki-laki 48 tahun, bekerja sebagai petani datang ke RSUD
Cianjur pada tanggal 2 Januari 2013 dengan keluhan kejang sejak 10 hari
SMRS, Sejak 10 hari yang lalu, pasien mengalami kejang pada seluruh
anggota gerak, kejang dalam 1 hari > 10 kali, selama < 5 menit. Kejang
dialami tiba-tiba, tanpa adanya rangsangan dan dapat meningkat setelah
diberi rangsangan pijatan. Kejang semakin hari semakin bertambah.
Kejang berupa kaku dan kelojotan, tanpa disertai dengan penurunan
kesadaran baik saat ataupun sesudah terjadinya kejang.
Keluhan kejang sebelumnya didahului oleh kaku pada mulut dan
leher, sejak 13 hari SMRS, keluhan tersebut kemudian bertambah setiap
harinya sampai kaku pada seluruh tubuh dan anggota gerak.
1 bulan SMRS, pasien pernah digigit oleh ular, saat sedang bekerja
disawah. Setelah digigit ular, pasien langsung dibawa ke mantri, dan diberi
pengobatan. Namun luka yang timbul akibat gigitan ular tidak dilakukan
perawatan.
Selama perjalanan penyakit, pasien mengalami panas badan yang
hilang timbul dan tidak terlalu tinggi, disertai keluar keringat banyak, tidak
dapat makan, namun masih dapat minu perlahan dan sedikit, dan pegal
pada seluruh tubuh. keluhan tidak disertai dengan sesak napas, jantung
berdebar, mual, muntah dan penurunan kesadaran. BAK baik. BAB
terganggu sejak 5 hari yang lalu.

Pemeriksaan Fisik
Kesadaran : compos mentis
Tanda-Tanda Vital :
Denyut Nadi : 80 x/mnt, reguler, kuat angkat, isi cukup
TD : 150/90mmHg
Pernafasan : 20x/mnt
Suhu : 37,6oC
Kepala dan Leher :
Kepala : Normocephal, wajah rhisus sardonikus (+)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Hidung : Sekret (-), epistaksis (-/-), septum deviasi (-), pernapasan
cuping hidung (-)
Telinga : Bentuk normotia, secret (-)
Mulut : Trismus (+) 1 cm, bibir lembab (+), perioral cyanosis (-),
lidah kotor (sulit dinilai)
Leher : Kuduk kaku (+), pembesaran KGB (-), peningkatan JVP
(-)
Thoraks
- Bentuk normochest,
- Pernapasan abdominothorakal,
- Punggung : Opistotonus (+)
Paru :
- Inspeksi : Bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris,
retraksi sela iga (-)
- Palpasi : Vocal fremitus sama pada kedua lapang paru
- Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi : Vesikuler di kedua lapang paru, ronchi (-/-),
wheezing (-/-)
Jantung :
- Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS V linea mid clavicula sinistra
- Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V linea mid clavicula sinistra
- Perkusi : Batas jantung kanan relative di ICS V linea parasternal
dextra
Batas jantung kiri relative di ICS V linea mid clavicula
sinistra
- Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi : abdomen datar,
- Palpasi : Perut papan (+), nyeri epigastrium (-) , turgor baik, hepar
dan lien sulit dinilai.
- Perkusi : timpani pada ke-empat kuadran abdomen
- Auskultasi : bising usus normal

Ekstremitas
- Superior : Spastik, keadaan fleksi pada tangan kiri, tonus meninggi,
Vulnus morsum ad region digiti IV manus sinustra,
dengan jaringan nekrotik, berwarna kehitaman.
Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-), sianosis (-)
- Inferior : Spastik, keadaan ekstensi dan plantarfleksi, tonus
meninggi, Akral hangat, CRT < 2 detik, Edema (-),
sianosis (-)

Status Neurologis
Rangsang Meningeal : kaku kuduk (-),
Kerning dan laseuge (tidak terbatas)
Brudzinzki I/II/II (-/-/-)
Saraf Cranial : Pupil bulat isokor Ø ODS 3 mm
Refleks cahaya (+/+)
Gerak bola mata baik
Wajah simetris, lidah tidak didapatkan
lateralisasi.
Sensorik : normostesi
Motorik : 5 5
5 5
Fungsi Vegetatif : BAB sulit
Refleks Fisiologis :
Refleks bisep : ++/sulit dinilai
Refleks trisep : ++/sulit dinilai
Refleks brachioradialis : ++/sulit dinilai
Refleks patella : sulit dinilai/sulit dinilai
Refleks achilles : sulit dinilai/sulit dinilai
Refleks Patologis :
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gardon : -/-

VII. DIAGNOSA
Tetanus grade II (sedang) e.c post snake bite
VIII. RENCANA TERAPI
- Rawat diruang Isolasi
- Debridement luka
- IVFD NaCL 20gtt/mnt
- ATS 20.000 unit
- Metronidazole 3x500 mg
- Diazepam 12 x 5 mg

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

X. FOLLOW UP
Tanggal 3 Januari 2013
S : kejang (+) > 10 kali, kaku (+) demam (-), sesak napas (-), makan (-),
minum (+)
O : TD : Tekanan Darah : 140 / 80 mmHg
Nadi : 88 x / menit
Pernapasan : 28 x / menit
Suhu : 35,8 o
Rhisus sardonikus (-)
Trismus (+) 2 cm
Kuduk kaku (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang (+)
Tanda-tanda disotonom (-)
Status neurologis
Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), Laseuge/Kernig (tidak
terbatas) Brudzinski I/II/II (-/-/-)
Saraf otak : Dalam batas normal
Motorik : Hipertonus (+)
5 5
5 5
Sensorik : Sensibilitas baik, rangsang nyeri baik
Vegetatif : Retensio urine (-)
Retensio alvi (-)
Fungsi luhur : Baik
Refleks fisiologis :
Refleks bisep : ++/sulit dinilai
Refleks trisep : ++/sulit dinilai
Refleks brachioradialis : ++/sulit dinilai
Refleks patella : sulit dinilai/sulit dinilai
Refleks achilles : sulit dinilai/sulit dinilai
Refleks patologis :
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gardon : -/-
A : Tetanus grade II (sedang) e.c post snake bite
P : Infus RL 20 gtt/menit
Metronidazole 3x500 mg
Diazepam 12 x 5 mg

Tanggal 4 Januari 2013


S : kejang (+) berkurang, kaku (+) pada leher, pundak dan punggung.
Kaki dan tangan sudah tidak terlalu kaku. demam (-), sesak napas (-),
makan (-), minum (+)
O : TD : Tekanan Darah : 130 / 80 mmHg
Nadi : 84 x / menit
Pernapasan : 22 x / menit
Suhu : 36,2 o
Rhisus sardonikus (-)
Trismus (+) 2 cm
Kuduk kaku (+)
Opistotonus (+)
Perut papan (+)
Kejang (+)
Tanda-tanda disotonom (-)
Status neurologis
Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), Laseuge/Kernig (tidak
terbatas) Brudzinski I/II/II (-/-/-)
Saraf otak : Dalam batas normal
Motorik : Hipertonus (+)
5 5
5 5
Sensorik : Sensibilitas baik, rangsang nyeri baik
Vegetatif : Retensio urine (-)
Retensio alvi (-)
Fungsi luhur : Baik
Refleks fisiologis :
Refleks bisep : ++/++
Refleks trisep : ++/++
Refleks brachioradialis : ++/++
Refleks patella : ++/++
Refleks achilles : ++/++
Refleks patologis :
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gardon : -/-
A : Tetanus grade II (sedang) e.c post snake bite
P : Infus RL 20 gtt/menit
Metronidazole 3x500 mg
Diazepam 12 x 5 mg
Tanggal 5 Januari 2013
S : kejang berkurang, saat malam 5 kali. kaku (+) pada leher, pundak dan
punggung.. demam (-), sesak napas (-), makan (-), minum (+). BAB (-)
O : TD : Tekanan Darah : 120 / 80 mmHg
Nadi : 76 x / menit
Pernapasan : 20 x / menit
Suhu : 36,8 o
Rhisus sardonikus (-)
Trismus (+) 2,5 cm
Kuduk kaku (+)
Opistotonus (+)
Perut papan berkurang
Kejang (+)
Tanda-tanda disotonom (-)
Status neurologis
Rangsang meningeal : Kaku kuduk (-), Laseuge/Kernig (tidak
terbatas) Brudzinski I/II/II (-/-/-)
Saraf otak : Dalam batas normal
Motorik : Hipertonus (+)
5 5
5 5
Sensorik : Sensibilitas baik, rangsang nyeri baik
Vegetatif : Retensio urine (-)
Retensio alvi (-)
Fungsi luhur : Baik
Refleks fisiologis :
Refleks bisep : ++/++
Refleks trisep : ++/++
Refleks brachioradialis : ++/++
Refleks patella : ++/++
Refleks achilles : ++/++
Refleks patologis :
Babinski : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Gardon : -/-
A : Tetanus grade II (sedang) e.c post snake bite
P : Infus RL 20 gtt/menit
Metronidazole 3x500 mg
Diazepam 12 x 5 mg
BAB III
ANALISA MASALAH

DAFTAR MASALAH
2.1 Mengapa pada pasien ini didiagnosis Tetanus grade II (sedang)?
2.2 Bagaimana gigitan ular dapat menyebabkan tetanus?
2.3 Mengapa pada tetanus dapat terjadi kejang?
2.4 Bagaimana penatalaksanaan tetanus pada kasus?

PEMBAHASAN MASALAH
2.1 Mengapa pada pasien ini didiagnosis Tetanus grade II (sedang)?
Definisi
Tetanus adalah penyakit yang ditandai dengan onset akut hypertonia,
kontraksi otot yang menyakitkan (biasanya dari otot-otot rahang dan leher), dan
kejang otot umum tanpa penyebab medis lainnya jelas. Penyakit ini disebabkan
oleh Clostridium tetani, merupakan basil Gram positif anaerob. Bakteri ini
nonencapsulated dan berbentuk spora, yang tahan panas, pengeringan dan
desinfektan. Spora adalah di mana-mana dan ditemukan di tanah, debu rumah,
usus hewan dan kotoran manusia. Spora ini akan memasuki tubuh penderita, lalu
mengeluarkan toksin yang bernama tetanospasmin.
Pada kasus :
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien mengalami kejang yang
diawali dengan kekakuan akibat kontraksi otot berlebihan terutama dari otot
rahang, wajah dan leher, kemudian pasien mengalami kejang tanpa sebab lain
yang jelas, yang semakin lama semakin memberat.
Klasifikasi tetanus
Berdasarkan gambaran klinis yang telah dideskripsikan, maka tingkatan
penyakit tetanus dapat dibuat dalam suatu kriteria/derajat berat – ringannya
penyakit.
Menurut berat ringannya tetanus dibagi atas:
1. Tetanus ringan : Trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum
walaupun dirangsang.
2. Tetanus sedang : trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum bila
dirangsang.
3. Tetanus berat : trismus kurang 1 cm dan disertai kejang umum yang
spontan.
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas :
Grade I: ringan
- Masa inkubasi lebih dari 14 hari.
- Period of onset > 6 hari
- Ttrismus positif tapi tidak berat
- Sukar makan dan minum tetapi disfagi tidak ada
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan
kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II: sedang
- Masa inkubasi 10-14 hari
- Period of onset 3 hari atau kurang
- Trismus dan disfagi ada
- Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis
tidak ada
Grade III: berat
- Masa inkubasi < 10 hari
- Period of onset < 3 hari
- Trismus dan disfagia berat
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat banyak
dan takikardia.
Pada kasus :
Berdasarkan anamnesis dan perjalanan penyakit pada pasien, didapatkan :
1) masa inkubasi 17 hari ( > 14 hari)
2) period of onset 3 hari.
3) kekakuan disertai dengan trismus, kesulitan menelan
4) kekakuan yang semakin lama semakin berlanjut berlangsung dalam
beberapa hari, namun tidak disertai dengan sesak napas dan sianosis.
2.2 Bagaimana gigitan ular dapat menyebabkan tetanus?
ETIOLOGI

Clostridium tetani
C. tetani termasuk dalam bakteri Gram positif, anaerob obligat, dapat
membentuk spora, dan berbentuk drumstick. Spora yang dibentuk oleh C. tetani
ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Ia dapat tahan walaupun telah
diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap fenol dan agen kimia
lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran
manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian. Umumnya, spora bakteri
ini terdistribusi pada tanah dan saluran penceranaan serta feses dari kuda, domba,
anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam. Ketika bakteri tersebut berada di dalam
tubuh, ia akan menghasilkan neurotoksin (sejenis protein yang bertindak sebagai
racun yang menyerang bagian sistem saraf). C. tetani menghasilkan dua buah
eksotoksin, yaitu tetanolysin dan tetanospasmin. Fungsi dari tetanolysin tidak
diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah
merah. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat. Tetanospasmin
merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil
pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik
Bentuk vegetative tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptic.
Kuman tetanus tumbuh subur pada suhu 17o C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula media bebas gula karena kuman tetanus tidak
dapat mengfermentasi glukosa.
Pada kasus :
Berdasarkan anamnesis, didapatkan pasien memiliki riwayat gigitan ular,
yang terjai ± 1 bulan yang lalu. Luka tersebut tidak dirawat oleh pasien, sehingga
luka tersebut dapat menjadi jalan masuk bagi pasien. dengan dalam salah satu sisi,
pekerjaan pasien saat ini yang bekerja sebagai buruh tani merupakan factor
predisposisi, karena Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran
manusia dan hewan peliharaan dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan
ayam dan di daerah pertanian, dan terdistibusi secara menyeluruh.

2.3 Mengapa pada tetanus dapat terjadi kejang?


PATOGENESIS
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif
anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah
inokulasi bentuk spora ke dalam tubuh yang mengalami cedera/luka (masa
inkubasi). Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi
klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas
ganggren, dipteri, botulisme). Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa
luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya
benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil
atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki
yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan dan
pemotonga tali pusat yang tidak steril.
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel
vegetatif bila dalam lingkungan yang anaerob, dengan tekanan oksigen jaringan
yang rendah. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian
tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas
pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klinis
timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps ganglion spinal dan
neuromuscular junction serta syaraf autonom. Toksin dari tempat luka menyebar
ke motor endplate dan setelah masuk lewat ganglioside dijalarkan secara
intraaxonal ke dalam sel saraf tepi, kemudian ke kornu anterior sumsum tulang
belakang. Akhirnya menyebar ke SSP.
Gejala klinis yang ditimbulkan dari eksotoksin terhadap susunan saraf tepi
dan pusat tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter
sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol/ eksitasi terus menerus dan
spasme. Neuron ini menjadi tidak mampu untuk melepaskan neurotransmitter.
Neuron, yang melepaskan gamma aminobutyric acid (GABA) dan glisin,
neurotransmitter inhibitor utama, sangat sensitif terhadap tetanospasmin,
menyebabkan kegagalan penghambatan refleks respon motorik terhadap
rangsangan sensoris.
Kekakuan mulai pada tempat masuknya kuman atau pada otot masseter
(trismus), pada saat toxin masuk ke sumsum tulang belakang terjadi kekakuan
yang berat, pada extremitas, otot-otot bergari pada dada, perut dan mulai timbul
kejang. Bilamana toksin mencapai korteks serebri, menderita akan mulai
mengalami kejang umum yang spontan. Karakteristik dari spasme tetani ialah
menyebabkan kontraksi umum kejang otot agonis dan antagonis. Racun atau
neurotoksin ini pertama kali menyerang saraf tepi terpendek yang berasal dari
system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher.
Tetanospasmin pada system saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolism, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi, gangguan
irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat gangguan
saraf ototnom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal sebelum gejala
timbul. Dengan penggunaan diazepam dosis tinggi dan pernapasan mekanik,
kejang dapat diatasi namun gangguan saraf otonom harus dikenali dan di kelola
dengan teliti.
Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada
beberapa level dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Kharekteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena
toksin mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh
cerebral ganglioside.
Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine. Kerja dari
tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi dari
arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap
batang otak.
Timbulnya kegagalan mekanisme inhibisi yang normal, yang
menyebabkan meningkatnya aktifitas dari neuron Yang mensarafi otot masetter
sehingga terjadi trismus. Oleh karena otot masetter adalah otot yang paling
sensitif terhadap toksin tetanus tersebut. Stimuli terhadap afferen tidak hanya
menimbulkan kontraksi yang kuat, tetapi juga dihilangkannya kontraksi agonis
dan antagonis sehingga timbul spasme otot yang khas .
Ada dua hipotesis tentang cara bekerjanya toksin, yaitu:
1. Toksin diabsorbsi pada ujung syaraf motorik dari melalui sumbu silindrik
dibawa kekornu anterior susunan syaraf pusat
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah
arteri kemudian masuk kedalam susunan syaraf pusat.

2.4 Bagaimana penatalaksanaan tetanus pada kasus?


PENATALAKSANAAN
Umum
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan
sampai pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa:
- Membersihkan luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan
nekrotik), membuang benda asing dalam luka serta kompres dengan
H202 ,dalam hal ini penata laksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan
1 -2 jam setelah ATS dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik
ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan
membuka mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan
personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

Antitoksin
Antitoksin dapat digunakan Human tetanus Immunoglobulin (TIG) dengan
dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh diberikan
secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary aggregates of
globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang serius. Bila TIG
tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin, yang berawal dari
hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya adalah :
- 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah
diselesaikan dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa
(20.000 U) diberikan secara IM pada daerah pada sebelah luar

Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi (4 dosis). Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan. Pada penderita alergi
penisilin, dapat diberikan :
 Tertasiklin : 30-50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis
 Eritromisin : 50 mg/kgbb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
 Metronidazole loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB
tiap 6 jam
Tetanus Toksoid
Pemberian TetanusToksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai

Antikonvulsan
Tabel 5 : JENIS ANTIKONVULSAN
___________________________________________________________
Jenis Obat Dosis Efek Samping
________________________________________________________
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Berat badan / 4 jam (IM) Stupor, Koma
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan
________________________________________________________
Obat yang lazim digunakan ialah :
- Diazepam. Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka
diberikan dosis 0,5 mg/kgbb/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis
optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti
pemberian diazepam peroral- (sonde lambung) dengan dosis
0,5/kgbb/kali sehari diberikan 6 kali.
- Dosis maksimal diazepam 240mg/hari. Bila masih kejang (tetanus
yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi
mekanik, dosis diazepam dapat di tingkatkan sampai 480mg/hari
dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tenpa kurarisasi. Dapat
pula dipertimbangkan penggunaan magnesium sulfat, dila ada
gangguan saraf otonom.
- Fenobarbital. Dosis awal : 1 tahun 50 mg i.m.; 1 tahun 75 mg i.m.
Dilanjutkan dengan dosis oral 5-9 mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis.
- Largactil. Dosis yang dianjurkan 4 mg/kgbb/hari dibagi dalam 6 dosis.
Pada kasus :
- Rawat diruang Isolasi
- Debridement luka
- ATS 20.000 unit  Antitoksin
- Metronidazole 3x500 mg  Antibiotik
- Diazepam 12 x 5 mg  Antikonvulsan
BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tinjauan pustaka dan analisa kasus maka dapat


diisimpulkan bahwa kasus ini dapat didiagnosis sebagai Tetanus grade II (sedang)
pasti secara klinik karena dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik terdapat
tanda-tanda yang menunjukkan gejala dari tetanus dan pengklasifikasian tetanus
berdasarkan Cole dan Youngman.
Tujuan dari penatalaksanaan dari tetanus antara lain adalah mengeliminasi
kuman tetani, menetralisirkan peredaran toksin, mencegah spasme otot dan
memberikan bantuan pemafasan sampai pulih. Karena gangguan seperti itu yang
dapat menyebabkan prognosis tetanus menjadi lebih buruk.

Anda mungkin juga menyukai