Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Asma didefinisikan sebagai suatu kondisi ketika terjadi gangguan pada


sistem pernapasan yang menyebabkan penderita mengalami mengi (wheezing),
sesak napas, batuk, dan sesak di dada terutama ketika malam hari atau dini hari.
Asma merupakan penyakit gangguan pernapasan yang prevalensinya telah
meningkat di seluruh dunia. Penyakit asma dapat menyerang anak-anak hingga
orang dewasa, tetapi penyakit ini lebih banyak terjadi pada anak-anak. 1,2 Menurut
Canadian Lung Association,1 asma dapat muncul karena reaksi terhadap faktor
pencetus yang mengakibatkan penyempitan dan penyebab yang mengakibatkan
inflamasi saluran pernafasan atau reaksi hipersensitivitas. Kedua faktor tersebut
akan menyebabkan kambuhnya asma dan akibatnya penderita akan kekurangan
oksigen hingga kesulitan bernapas.
Di Indonesia, prevalensi asma menurut data Survei Kesehatan Rumah
Tangga 2004 sebesar 4%. Sedangkan berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, prevalensi asma untuk seluruh kelompok usia sebesar
3,5% dengan prevalensi penderita asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4%
dan usia 5 - 14 tahun sebesar 2,0%.4
Secara medis, penyakit asma sulit disembuhkan, hanya saja penyakit ini
dapat dikontrol sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pengendalian
asma dilakukan dengan menghindari faktor pencetus, yaitu segala hal yang
menyebabkan timbulnya gejala asma. Apabila anak menderita serangan asma
terus-menerus, maka mereka akan mengalami gangguan proses tumbuh kembang
serta penurunan kualitas hidup. Faktor pencetus asma banyak dijumpai di
lingkungan baik di dalam maupun di luar rumah, tetapi anak dengan riwayat asma
pada keluarga memiliki risiko lebih besar terkena asma. 1 Tiap penderita asma akan
memiliki faktor pencetus yang berbeda dengan penderita asma lainnya sehingga
orang tua perlu mengidentifikasi faktor yang dapat mencetuskan kejadian asma
pada anak. Oleh karena tingginya angka kesakitan dari asma serta berbagai
dampak yang dapat ditimbulkan terhadap anak, maka pemahaman tentang
diagnosis dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat perlu dilakukan untuk
mencegah serangan asma dan menekan angka kesakitan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Asma


Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik
yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan
derajat bervariasi. Gejala asma adalah batuk, mengi, sesak napas, dada tertekan
yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat
pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.1 Gejala ini
berhubungan dengan variasi aliran udara ekspirasi karena konstriksi bronkus yang
menyebabkan kesulitan dalam mengeluarkan udara dari paru-paru.2

2.2 Epidemiologi Asma


Sekitar 300 juta orang di dunia menderita asma dan diperkirakan terus
meningkat hingga 400 juta orang pada tahun 2025. Angka morbiditas dan
mortalitas asma masih cukup tinggi, mencapai 1 dari 250 orang yang meninggal
setiap harinya.3 Prevalensi total asma di dunia diperkirakan sebesar 7,2%, yaitu
6% pada dewasa dan 10% pada anak. 5 Di Amerika, National Health Survey pada
tahun 2001 hingga 2009 mendapatkan prevalensi asma yang meningkat dari 7,3%
(20,3 juta orang) di tahun 2001 menjadi 8,2% (24,6 juta orang) di tahun 2009. 3
Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, prevalensi asma
di Indonesia juga mengalami peningkatan dari 3,5% pada tahun 2007 menjadi
4,5% pada tahun 2013.6 Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi asma untuk seluruh kelompok usia sebesar 3,5% dengan prevalensi
penderita asma pada anak usia 1 - 4 tahun sebesar 2,4% dan usia 5 - 14 tahun
sebesar 2,0%.4

2.3 Patogenesis dan Patofisiologi Asma


Asma merupakan penyakit inflamasi pada saluran pernapasan yang
melibatkan peranan sel-sel inflamasi dan mediator lainnya yang akan
menghasilkan perubahan patofisiologi tertentu.8 Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa dasar munculnya gejala asma adalah inflamasi dan respons saluran napas

2
yang berlebihan, meskipun mekanisme terjadinya asma secara pasti belum
diketahui.7
Inflamasi saluran napas kronis pada pasien asma tergolong persisten atau
menetap, ditemukan pada pasien yang baru terkena serangan asma maupun pada
pasien asma yang jarang mengalami serangan. Pola inflamasi pada saluran napas
akan tampak sama pada kasus asma baik yang alergi maupun tidak alergi pada
semua kelompok umur.7
Walaupun terdapat tipe alergi dan non-alergi, pada pasien akan tetap
dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu,
paling tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut, yaitu jalur
imunulogis yang terutama di dominasi oleh immunoglobulin E (IgE) dan jalur
saraf otonom.8
Pada jalur imunologis, masuknya alergen dalam tubuh akan diolah oleh
antigen presenting cells (APC) untuk selanjutnya dikomunikasikan dengan sel T
helper (Th). Sel Th akan memberikan instruksi melalui interleukin atau sitokin
agar sel-sel plasma membentuk IgE serta sel radang lain seperti makrofag, epitel,
eosinofil, neutrofil, trombosit, serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-
mediator inflamasi. Mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin, leukotrin,
platelet activating factors, bradikinin, dan mediator inflamasi lainnya akan
mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan kontraksi otot polos pada
bronkus, peningkatan permeabilitas dinding vaskular, infiltrasi sel-sel radang,
edema saluran napas, sekresi mukus, dan fibrosis sub epitel sehingga
menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Jalur non imunologis juga
merangsang sistem saraf otonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan
hipereaktivitas saluran napas.2,8
Karakteristik inflamasi yang ditemukan pada asma adalah peningkatan sel
mast teraktivasi, peningkatan jumlah eosinofil aktif, dan peningkatan reseptor sel
T termasuk sel T natural killer dan T helper 2 yang akan melepas mediator seperti
dijelaskan diatas. Sel struktural dari saluran napas juga akan memproduksi
mediator inflamasi yang menyebabkan inflamasi menjadi persisten.8
Selain respon inflamasi, terdapat juga karakteristik perubahan seluler yang
terjadi dan biasanya dijelaskan sebagai remodeling saluran napas. Beberapa

3
perubahan tersebut akan mengakitbatkan penyempitan lumen saluran napas yang
irreversible dan berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit.7,9
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi dari inflamasi
dinding bronkus, spasme otot bronkus, sumbatan mukus, dan edema. Obstruksi
akan bertambah berat pada fase ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas
akan menyempit pada fase tersebut. Penyempitan saluran napas terjadi tidak
merata di seluruh bagian paru. Ada daerah-daerah yang kurang mendapatkan
ventilasi sehingga darah kapiler yang melewati daerah tersebut akan mengalami
hipoksemia sehingga untuk menangani kondisi ini, tubuh akan melakukan respon
hiperventilasi. Hiperventilasi menyebabkan keluarnya karbondioksida secara
berlebihan, sehingga tekanan karbondioksida akan menurun yang kemudian
menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat, banyak
alveolus yang tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan terjadinya
pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot pernapasan
bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi karbondioksida. Peningkatan
produksi karbondioksida disertai dengan tertutupnya alveolus oleh mukus akan
menyebabkan retensi karbondioksida (hiperkapnia) yang kemudian menyebabkan
terjadinya asidosis respiratorik atau gagal napas. Dengan demikian, penyempitan
saluran napas pada asma akan menimbulkan: 1) gangguan ventilasi berupa
hiperventilasi, 2) ketidakseimbangan ventilasi perfusi, dan 3) gangguan difusi gas
tingkat alveoli. Ketiga faktor tersebut akan menyebabkan hipoksemia,
hiperkapnia, dan asidosis respiratorik pada tahap lanjut. 8 Jika obstruksi saluran
napas semakin berat dan tidak berkurang, mungkin akan berkembang cepat
menjadi hiperkapnea dan asidosis metabolik. Apabila hal ini terjadi, awalnya akan
timbul kelelahan otot dan ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi
alveolar secara adekuat, akhirnya akan terjadi pembentukan laktat.7

2.4 Diagnosis Asma


2.4.1 Anamnesis
Diagnosis pasti atopi pada anak sangat sulit ditegakkan, riwayat penyakit
harus difokuskan pada frekuensi dan keparahan gejala. Gejala-gejala dalam 3-4

4
bulan sebaiknya didiskusikan, dan lebih memfokuskan gejala yang timbul 2
minggu terakhir. Karakteristik yang mengarah pada asma adalah: 1,2,5
a. Episodisitas : gejala asma timbul secara episodik atau berulang.
b. Faktor pencetus timbulnya serangan, yaitu sebagai berikut:
- Iritan (asap rokok, asap pembakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu
dingin, udara kering, makanan dan minuman dingin)
- Alergen (debu, tungau debu rumah, bulu binatang, serbuk sari.
- Infeksi respiratori akut akibat virus)
- Aktivitas fisik berlebih (berlari, berteriak, menangis, atau tertawa yang
berlebihan)
c. Riwayat alergi pada pasien atau riwayat asma dalam keluarga
d. Variabilitas : intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24
jam, seperti adanya mengi, batuk yang memberat pada malam hari (nokturnal).
e. Reversibilitas : gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian
obat pereda asma.
Pada anak segala usia, perlu ditanyakan riwayat: 5,6,7
 Mengi, batuk
 Faktor pencetus yang spesifik, seperti: penghirup asap rokok pasif, bulu hewan
peliharaan, kelembaban tinggi, paparan udara dingin, aktivitas dan olahraga,
batuk setelah tertawa atau menangis
 Gangguan pola tidur : terbangun pada malam hari, batuk pada malam hari,
apneu saat tidur
 Serangan pada tahun terakhir
 Gejala nasal : hidung berair, gatal, bersin, tersumbat.
Pada infant (<2 tahun), tanyakan riwayat5.6,7:
 Nafas yang berbunyi, muntah yang berhubungan dengan batuk
 Retraksi (dada yang tertarik ke dalam saat bernapas)
 Kesulitan saat menyusui (suara mendengkur, kesulitan menghisap)
 Perubahan laju pernapasan (napas cepat)
Pada anak berusia >2 tahun, perlu ditanyakan riwayat:5,6,7:
 Sesak napas (siang atau malam)
 Fatique atau kelelahan (penurunan aktivitas dibandingkan dengan temannya,
lebih cengeng)
 Mengeluh tidak enak badan
 Absen sekolah, penurunan keaktifan belajar di sekolah
 Penurunan frekuensi dan intensitas dari aktivitas fisik seperti saat berolahraga
 Menghindari aktivitas lain, seperti menginap, mengunjungi teman yang
memiliki hewan peliharaan
 Faktor pencetus yang spesifik

5
Pada anak yang lebih besar dan remaja, riwayat merokok penting ditanyakan
sebagai salah satu faktor pencetus5,6,7.

2.4.2 Pemeriksaan Fisik


Pada pemeriksaan fisik harus difokuskan dalam mendengar ekspirasi dan
pemeriksaan hidung. Pada kasus dimana polip hidung ditemukan, fibrosis kistik
dapat disingkirkan. Kunci dari tanda-tanda klinis atopi pada pasien asma adalah
sebagai berikut5,6,7:
 Adanya eksim atopi atau dermatitis
 Kulit kering
 Kehitaman di bawah mata (allergic shiners)
 Konjungtiva yang teriritasi
 Edema pada mukosa hidung yang persisten, hidung berair, allergic salute, dan
allergic crease pada hidung
Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma pada saat serangan
tergantung dari episode gejala dan derajat obstruksi saluran napas. Melalui
pemeriksaan fisik pasien asma, tampak adanya perubahan bentuk anatomi thoraks
dan ditemukan perubahan cara bernapas. Pada pemeriksaan inpeksi dapat
ditemukan pasien menggunakan otot napas tambahan di leher (retraksi
supresternal), dada (retraksi interkostal), dan perut (retraksi subkostal) napas cepat
hingga sianosis, kesulitan bernapas, dan dapat terlihat anggukan kepala (head-
nodding), serta napas cuping hidung. Ekspirasi memanjang dan mengi dapat
ditemukan saat dilakukan auskultasi pada pasien asma5,6,7.

2.4.3 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis tidak rutin dilakukan
untuk keperluan diagnosis asma. Akan tetapi pemeriksaan penunjang terkadang
dilakukan untuk mengeksklusi diagnosis lain dan menilai tingkat keparahan
eksaserbasi dan menilai ada/tidaknya komplikasi dari penyakit asma5,6,7.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis dari asma adalah sebagai berikut5,6,7:
1. Pemeriksaan Spirometri
Spirometri merupakan alat pengukur faal paru yang berguna untuk menilai
fungsi paru. Selain penting untuk menegakkan diagnosis,spirometri juga dapat

6
digunakan untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pasca pengobatan. Asma
merupakan penyakit obstruksi dari paru. Hasil dari pemeriksaan spirometri yang
menunjukkan adanya obstruksi pada paru adalah apabila hasil dari %FEV1/FVC <
70%. Sedangkan adanya restriksi dari paru ditegakkan apabila hasil %FVC <
80%5,6,7.
2. Peak Flow Meter (PFM)
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana yang dapat
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani (provokasi beban kerja) dapat normal, dalam menegakkan
diagnosis asma diperlukan pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM).
Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu
sensitif dibanding FEV. Untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik5,6,7.
3. X-ray dada/thorax
Pemeriksaan foto thoraks dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
yang tidak disebabkan oleh asma serta untuk evaluasi awal adanya komplikasi
atau penyebab lain munculnya mengi. Pada sebagian pasien asma, pemeriksaan
foto thoraks umumnya ditemukan dalam kesan normal atau mungkin
menunjukkan adanya hiperinflasi, sela iga mendatar, perpotongan iga anterior di
iga ke ≥ 7 di 2/3 lateral diafragma, lengkungan diafragma puncaknya di 1/3
lateral. Pada kasus yang berat dapat ditemukan gambaran pneumonia dan
atelektasis sebagai salah satu komplikasi asma5,6,7.

4. Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya didapatkan hasil nilai
eosinofilia lebih dari 4% atau sekitar 300-400 L. Akan tetapi, ketidakhadiran
hasil seperti itu tidak mutlak menyingkirkan diagnosis penyakit asma. Pada
pemeriksaan analisis gas darah biasanya didapatkan keadaan alkalosis
respiratorius. Pada pemeriksaan immunoglobulin E, nilai lebih dari 100 IU sering
kali ditemukan pada pasien yang mengalami reaksi alergi. Akan tetapi temuan ini
tidak spesifik untuk penyakit asma dan bisa ditemukan pada kondisi lainnya. Uji
tusuk kulit (skin prick test) juga dapat dilakukan untuk menunjukkan adanya
antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan

7
mencari faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan
penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
(pada dermographism) 5,6,7.
5. Uji Hipereaktivitas Bronkus (HRB)
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi
droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada
penderita yang sensitif. Respon sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada
subyek alergi tanpa asma. Di samping itu, ukuran alergen dalam alam yang
terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari
2 µm sampai 20 µm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya
kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi
nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani
(provokasi beban kerja), inhalasi udara dingin atau kering, histamin, dan
metakolin5,6,7

8
Gambar 2.1 Alur Diagnosis Asma10

9
Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Asma10
Gejala Karakteristik

Wheezing , batuk , sesak napas,  Biasanya lebih dari 1 gejala respiratori


dada tertekan, produksi sputum  Gejala berfluktuasi intensitasnya seiring
waktu
 Gejala memberat pada malam atau dini
hari
 Gejala timbul bila ada pencetus
Konfirmasi adanya limitasi aliran udara ekspirasi

Gambaran obstruksi saluran FEV1 rendah (<80% nilai prediksi)


respiratori FEV1 / FVC ≤ 90%
Uji reversibilitas (pasca- Peningkatan FEV1 >12%
bronkodilator)
Variabilitas Perbedaan PEFR harian >13%
Uji provokasi Penurunan FEV1 >20%, atau PEFR >15%

2.5 Klasifikasi Asma


1. Berdasarkan umur1,2
• Asma bayi – baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asma remaja (12-17 tahun)
2. Berdasarkan fenotip1,2,11
Klasifikasi berdasarkan fenotip menentukan klasifikasi terkait faktor
pencetus terjadinya serangan asma, namun tidak digunakan untuk kepentingan
tatalaksana serangan asma. Klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Asma tercetus infeksi virus
 Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
 Asma tercetus alergen
 Asma terkait obesitas
 Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
3. Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala1,12
 Asma intermiten
 Asma persisten ringan
 Asma persisten sedang
 Asma persisten berat

Tabel 2.2 Klasifikasi asma berdasarkan kekerapan timbulnya gejala


Kekerapan Uraian kekerapan gejala asma

10
Intermiten <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6 minggu

Persisten ringan >1x/bulan, <1x/minggu


Persisten sedang >1x/minggu, namun tidak setiap hari
Persisten berat Gejala asma terjadi hampir tiap hari

Keterangan untuk membuat klasifikasi kekerapan:


- Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja
asma dan dilakukan tatalaksana umum (penghindaran pencetus) selama 6
minggu
- Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal,
tatalaksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi
- Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang
tatalaksana jangka panjang
- Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke
dalam klasifikasi lebih berat.
4. Berdasarkan derajat beratnya serangan2,12
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-
gejala batuk, sesak nafas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar
penentuan tatalaksana. Klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Asma serangan ringan-sedang
 Asma serangan berat
 Serangan asma dengan ancaman henti napas
Tabel 2.3 Penilaian Derajat Serangan Asma13

Asma Serangan Asma serangan berat Serangan asma


Ringan Sedang dengan ancaman
henti napas

Bicara dalam kalimat Bicara dalam kata Mengantuk

Lebih senang duduk Duduk bertopang Letargi


Lengan
daripada berbaring
Tidak gelisah Gelisah Suara napas tak

terdengar

11
Frekuensi napas Frekuensi napas
meningkat meningkat
Retraksi minimal Retraksi jelas

SpO2 (udara kamar) SpO2 (udara kamar)


90-95% <90%
PEF > 50% prediksi PEF <50% prediksi
atau terbaik atau terbaik

5. Berdasarkan derajat kendali1,2,12


Klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan tatalaksana
yang tengah dijalankan dan untuk penentuan naik jenjang (step-up), pemeliharaan
(maintenance) atau turun jenjang (step-down) tatalaksana yang akan diberikan,
klasifikasinya adalah sebagai berikut:
 Asma terkendali penuh (well controlled)
- Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/sedang/berat)
 Asma terkendali sebagian (partly controlled)
 Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Tabel 2.4 Derajat Kendali Asma1,2

Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak terkontrol


sebagian

Gejala siang hari Tidak (≤ 2x per > 2x per minggu ≥3 kali gambaran
minggu) asma terkontrol

Keterbatasan Tidak Ada sebagian terjadi

aktivitas dalam seminggu

Gejala malam Tidak Ada


hari

Butuh obat Tidak (≤ 2x per > 2x per minggu


Reliever minggu)

Fungsi paru Normal < 80% prediksi/


(PEF/FEV1) nilai terbaik

Eksaserbasi Tidak Sekali / lebih per Sekali dalam

12
tahun seminggu

6. Berdasarkan keadaan saat ini10


 Tanpa gejala
 Ada gejala
 Serangan ringan-sedang
 Serangan berat
 Ancaman gagal napas

2.6 Diagnosis Banding Asma


Diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah diagnosis dengan gejala
dan patofisiologi yang serupa, seperti akibat reaksi inflamasi (infeksi, alergi),
adanya obstruksi mekanis, patologi bronkus, maupun kelainan pada system organ
lainnya, sebagai berikut:1,2,10

1. Inflamasi (infeksi, alergi)


• Rinitis, rinosinusitis
• Chronic upper airway cough syndrome
• Infeksi respiratori berulang
• Bronkiolitis
• Aspirasi berulang
• Defisiensi imun
• Tuberkulosis
2. Obstruksi mekanis
• Laringomalasia, trakeomalasia
• Hipertrofi timus
• Pembesaran KGB
• Aspirasi benda asing
• Vascular ring, laryngeal web
• Disfungsi pita suara
• Malforasi kongenital saluran respiratori
3. Patologi bronkus

13
• Bronkopulmonari displasia
• Bronkiektasis
• Diskinesia silia primer
• Fibrosis kistik
4. Kelainan sistem organ lain
• Penyakit refluks gastro-esofagus (GERD)
• Penyakit jantung bawaan
• Gangguan neuromuskular
• Batuk psikogen

2.7 Tatalaksana Asma


2.7.1 Tatalaksana Serangan Asma
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari
gejala-gejala batuk, sesak napas, mengi, rasa dada tertekan, atau berbagai
kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Timbulnya serangan mencerminkan
gagalnya tata laksana asma jangka panjang, atau adanya pajanan dengan pencetus.
Tujuan dari penatalaksanaan serangan asma adalah mengatasi penyempitan
saluran respiratori secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan
fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, mengevaluasi dan memperbarui tata
laksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan.12,13

Tatalaksana Serangan Asma di Rumah13


Tatalaksana dilakukan oleh pasien atau keluarga dengan pendidikan cukup
dan riwayat terapi teratur. Inhalasi β2-agonis kerja pendek dapat dilakukan
maksimal 2 kali, jika respon tidak baik segera dibawa ke fasilitas kesehatan atau
dokter. Tata laksana di rumah tidak boleh dilakukan dan harus segera dibawa
fasyankes jika pasien adalah risiko tinggi atau serangan berat. Asma serangan
berat telah dijabarkan pada subbab sebelumnya, sedangkan pasien yang dimaksud
memiliki risiko tinggi adalah pasien dengan riwayat sebagai berikut:
o Serangan asma yang mengancam nyawa
o Intubasi karena serangan asma
o Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
o Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
o Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)

14
o Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
o Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
o Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
o Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
o Alergi makanan
b2-agonis kerja pendek yang dapat digunakan adalah via nebulizer atau via
MDI dan spacer. Pada b2-agonis kerja pendek via nebulizer, lihat responsnya
setelah satu kali penggunaan, jika gejala menghilang, cukup diberikan satu kali.
Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi. Jika
dengan 2 kali pemberian b2-agonis kerja pendek via nebuliser belum membaik,
segera bawa ke fasyankes8,9.
Selain via nebulizer, dapat juga diberikan serial β2 agonis kerja pendek via
spacer dengan dosis 2 – 4 semprot. Berikan satu semprot diikuti 6 – 8 tarikan
napas, lalu diberikan semprotan berikutnya dengan siklus yang sama. Jika
membaik dengan dosis 2-4 semprot, inhalasi dihentikan. Jika gejala tidak
membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa pasien ke fasyankes.
Pemberian b2-agonis kerja pendek via MDI dan spacer mempunyai
efektivitas yang sama dengan pemberian via nebulizer, dengan catatan pasien
tidak dalam serangan asma berat atau ancaman henti napas, pasien bisa
menggunakan MDI dengan spacer, sebaiknya menggunakan spacer yang baru
atau sebelumnya dicuci dengan air deterjen dan dikeringkan di udara kamar, bila
tidak tersedia spacer bisa digunakan botol plastik 500 ml sebagai pengganti
spacer.
Tatalaksana Serangan Asma di Fasilitas Pelayanan Kesehatan13
Pada tata laksana serangan asma di UGD, lakukan penilaian awal (airway,
breathing, circulation) dan tentukan derajat asma. Pada derajat berat diberikan
Inhalasi kombinasi b2-agonis kerja pendek dan antikolinergik, steroid, oksigen
untuk menjaga SpO2 94-98%, dan dapat diberikan aminofilin. Pada ancaman henti
napas, siapkan ICU dan intubasi bila diperlukan.

Tabel 2.5 Jenis Steroid yang Digunakan Pada Serangan Asma13

15
Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolon Tablet 4mg 0,5-1 mg/kgBB/hari tiap 6 jam
Tablet 8 mg
Prednison Tablet 5 mg 0,5-1 mg/kgBB/hari tiap 6 jam
Metilprednisolon Vial 125 mg 30 mg dalam 30 menit (dosis
suksinat injeksi Vial 500 mg tinggi) tiap 6 jam
Hidrokortison Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
suksinat injeksi
Deksametason Ampul 0,5-1 mg/kgBB bolus, dilanjutkan
injeksi 1 mg/kgBB/hari diberikan tiap 6-8
jam
Betametason injeksi Ampul 0,05-0,1 mg/kgBB tiap 6 jam

16
Gambar 2.2 Tatalaksana serangan asma di fasyankes (1)13

17
18
Gambar 2.3 Tata laksana serangan asma di fasyankes (2) 13
Gejala asma ringan sedang memberikan respon yang cepat terhadap
inhalasi β2-agonis kerja pendek, seperti salbutamol, terbutalin, prokaterol.
Inhalasi diberikan lewat MDI dengan/tanpa spacer atau nebulizer. Dosis sesuai
beratnya serangan dan respon pasien. Kombinasi β2-agonis kerja pendek dan
ipratropium bromida (antikolinergik) pada serangan asma ringan sedang hingga
berat menurunkan risiko rawat inap dan memperbaiki PEF dan FEV 1
dibandingkan dengan β2-agonis saja. Ipratropium bromida terbukti memberikan
efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom
di saluran napas.12,13
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan
mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis
serangan. Pemberian per oral sama efektifnya dengan pemberian secara
intravena. Pemberian maksimal 1 kali dalam 1 bulan untuk menghindari efek
samping steroid. 13
Pertimbangkan pemberian aminofilin intravena pada anak dengan serangan
asma berat atau dengan ancaman henti napas yang tidak berespon terhadap dosis
maksimal inhalasi β2-agonis dan steroid sistemik. Dosisnya adalah loading 6-8
mg/kg diberikan dalam 20 menit, dilanjutkan drip 1 mg/kg/jam. Rentang keamaan
aminofilin sempit dan efek samping yang sering adalah mual, muntah, takikardi
dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia, hipotensi, dan
kejang. 1,12,13
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin.
Epinefrin (adrenalin) IM diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang
berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema. Dosis 10µ/kg (0.01 ml/kg
adrenalin 1:1000), dengan dosis maksimal 500µ (0.5 ml) secara intramuskular
(IM). Alternatif, apabila pengobatan standar tidak ada perbaikan, dapat diberikan
MgSO4 20% dan 40% dengan cara pemberian bolus, bolus diulang, drip kontinu,
dan inhalasi. Dosis yang dianjurkan adalah 20-100 mg/kg BB (maksimum 2 gram)
diberikan selama 20 menit, dengan drip kontinu dilarutkan dalam larutan
Dekstrosa 5% atau larutan salin dengan pengenceran 60 mg/ml, diberikan dengan
kecepatan 10-20 mg/kg/jam. 1,12,13

19
2.7.2 Tatalaksana Asma Jangka Panjang1,2,12
Tujuan dari tatalaksana jangka panjang adalah mencapai kendali asma
sehingga menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal,
mencakup aktivitas pasien berjalan normal, termasuk bermain dan berolahraga,
gejala tidak timbul pada siang maupun malam hari, kebutuhan obat seminimal
mungkin dan tidak ada serangan, efek samping obat dapat dicegah untuk tidak
atau sesedikit mungkin terjadi, terutama yang memengaruhi tumbuh kembang
anak. Apabila tujuan ini belum tercapai, maka tatalaksananya perlu dievaluasi
kembali. Garis besar dari penatalaksanaan jangka panjang ialah sebagai berikut:
• Penghindaran pencetus, termasuk pengelolaan lingkungan
• Tatalaksana medikamentosa
• KIE (komunikasi, informasi, edukasi)
• Rencana aksi (action plan)
Saat ini, obat asma yang digunakan dibedakan menjadi reliever dan
controller. Reliever adalah obat asma yang bekerja cepat menghilangkan gejala
asma berupa obstruksi saluran respiratorius, seperti β2-agonis kerja pendek,
antikolinergik, steroid sistemik. Sedangkan controller mengatasi masalah dasar
asma yaitu inflamasi respiratori kronik dan mencegah serangan asma, seperti
steroid inhalasi, antileukotrien, kombinasi steroid inhalasi-ß2-agonis kerja
panjang, teofilin lepas lambat, anti- imunoglobulin E.1,2,12
Obat controller (pengendali) dapat diberikan jika diagnosis banding asma
sudah disingkirkan, tata laksana nonmedikamentosa sudah dilakukan
(penghindaran pencetus), faktor penyulit asma seperti rinitis alergi, rinosinusitis,
atau GER sudah ditatalaksana, klasifikasi kekerapan asma adalah asma persisten
(ringan, sedang, berat). Langkah pemberian terapi kendali adalah sebagai
berikut2,9,10:
1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana jangka panjang menggunakan
klasifikasi kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 6-8 minggu
dan asma belum terkendali, maka tatalaksana naik jenjang di atasnya (step up).

20
3. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu
dan asma terkendali penuh, maka tatalaksana turun jenjang di bawahnya (step
down).
4. Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek-aspek
penghindaran, penyakit penyerta.
5. Pada Jenjang 4, jika belum terkendali, tatalaksana ditambahkan Omalizumab.

Gambar 2.4 Jenjang Dalam Pengendalian Asma13

Steroid inhalasi penting diberikan dalam tata laksana asma jangka panjang
untuk menekan inflamasi saluran respiratori. Steroid inhalasi tidak digunakan
pada pada asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus. Efek samping
kandidiasis oral, suara parau dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai
pemberian steroid inhalasi, kemudian bekas berkumur dibuang. 1,12,13
β2-agonis kerja panjang selalu digunakan bersama steroid inhalasi untuk
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka serangan asma dan mencegah
spasme bronkus yang dipicu olahraga. Formoterol memiliki awitan kerja yang
lebih cepat daripada salmeterol sehingga formoterol dapat berfungsi sebagai
reliever (pereda). 1,12,13
Antileukotrien terdiri dari antagonis receptor cysteinyl-leukotrien (CysLT1)
seperti montelukast, pranlukast, dan zafirlukast dan Inhibitor 5-lipoxygenase
seperti zileuton. Antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi,
mengurangi gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi

21
inflamasi jalan napas dan mengurangi eksaserbasi. Jika digunakan sebagai obat
pengendali tunggal, efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi.
Kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien menurunkan angka serangan asma
dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi mencegah terjadinya serangan
asma akibat berolahraga dan OSA (Obstructive Sleep Apnea), dan mencegah
serangan asma akibat infeksi virus pada anak usia di bawah 5 tahun. Pemberian
kombinasi steroid inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten efektif
dibandingkan dengan steroid inhalasi dosis sedang. 1,12,13
Teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau
kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi
steroid inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan
menurunkan dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat
teofilin lepas lambat lebih dianjurkan karena kemampuan absorbsi dan
bioavaibilitas yang lebih baik. Efek samping berupa mual, muntah, anoreksia,
sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare terutama pada
dosis tinggi >10mg/kgBB/hari.1,2,12,13
Anti-immunoglobulin E merupakan antibodi monoklonal yang mengurangi
kadar IgE bebas dalam serum dapat diberikan pada anak usia > 6 tahun yang
masih mengalami eksaserbasi dengan steroid inhalasi dosis tinggi dan β2-agonis
kerja panjang, dan terbukti asma karena alergi. Omalizumab diberikan sebagai
injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu dengan berhati-hati reaksi
anafilaksis. Pemberian omalizumab akan menurunkan kebutuhan steroid inhalasi
dan menurunkan angka serangan asma, namun membutuhkan beberapa kali dosis
penyuntikan dan relatif mahal. Efek samping dapat berupa urtikaria, kemerahan,
gatal. Belum ada penelitian jangka panjang.1
Pengendalian asma harus dimonitor teratur setiap bulan dan pencapaian
perbaikan setelah 8-12 minggu. Selain jenis obat, dosis obat, cara pemberian obat
dan kepatuhan, pasien asma perlu dipantau upaya penghindaran faktor pencetus
dan penyakit penyerta asma. Penurunan dosis steroid dipertimbangkan setiap 8-12
minggu, sebesar 25 – 50%.1,2,12
Edukasi sangat penting untuk diberikan kepada pasien dan keluarga yang
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma secara umum

22
dan pola penyakit asma itu sendiri, meningkatkan keterampilan dan kemampuan
dalam penanganan asma atau asma mandiri, meningkatkan rasa percaya diri,
meningkatkan kepatuhan terhadap instruksi pemakaian obat serta membantu
pasien agar melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Oleh karena itu,
tindak lanjut (follow up) adalah penting untuk melihat perkembangan daripada
penyakit asma yang dialami oleh pasien – berkait dengan perbaikan gejala dan
faal paru. 1,2,12,13

23
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : PMWP
Tanggal lahir : 04 Agustus 20010
Umur : 7 tahun 5 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jln Dukuh Sari
Agama : Hindu
No. RM : 16004538
Tanggal pemeriksaan : 21 Januari 2018

3.2 Heteroanamnesis ( Ibu Kandung Pasien)


Keluhan utama
Sesak napas
Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke triage anak RSUP Sanglah pada tanggal 22 Januari 2018 pukul
05.00 WITA dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas dikeluhkan muncul
sejak pukul 19.30 WITA (21 Januari 2018) terpapar udara dingin dan memburuk
hingga akhirnya dibawa ke triage. Keluhan sesak dirasakan tiba-tiba disertai bunyi
napas ngik-ngik. Sesak dikeluhkan muncul secara tiba-tiba dan memberat pada
malam hari. Selama sesak berlangsung, pasien dikatakan susah untuk berbicara
dengan kalimat. Sesak nafas tidak membaik dengan peubahan posisi. Kebiruan
pada bibir tidak ada. Keluhan demam, mual di sangkal oleh pasien, pasien sempat
muntah sebanyak 3 kali sejak kemarin sore, sebelum muntah pasien sempat batuk
terlebih dahulu.
Sebelum sesak timbul, pasien dikatakan mengalami batuk dan pilek sejak 2 hari
sebelum masuk rumah sakit (20 Januari 2018). Batuk dikatakan disertai dahak
dengan dahak yang berwarna putih. Demam disangkal oleh ibu pasien, nafsu
makan dan minum pasien berkurang semenjak pasien sakit. BAB dan BAK
dikatakan normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat sesak dan beberapa kali sempat ke triage, tetapi saat
serangan sesak berlangsung pasien membaik ketika dilakukan nebulizer sehingga

24
pasien diperbolehkan pulang. Sebelumnya pasien juga pernah rawat inap di RSUP
Sanglah dengan keluhan sesak napas (Mei 2017). Riwayat serangan sesak
dikatakan sekitar 3-4 kali dalam setahun.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Tidak ada keluarga pasien yang memiliki riwayat keluahan sesak napas.

Riwayat Sosial

Lingkungan tempat tinggal pasien dikatakan cukup terjaga kebersihannya.

Riwayat Pengobatan
Nebulizer ventolin atau combivent tiap kali keluhan sesak muncul.

Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara spontan, cukup bulan, segera menangis, ditolong oleh bidan.
Berat badan lahir 2600 gram, panjang badan dan lingkar kepala saat lahir
dikatakan lupa.

Riwayat Imunisasi
BCG 1 kali, Polio 3 kali, Hepatitis B 4 kali, DPT 3 kali

Riwayat nutrisi
- ASI : sejak usia 0 bulan sampai 24 bulan, on demand
- Susu formula : sejak usia 2 bulan, frekuensi 4 kali/hari
- Bubur susu : sejak usia 6 bulan, frekuensi 3 kali/hari
- Nasi tim : sejak usia 12 bulan, frekuensi 3 kali/hari
- Makanan dewasa : sejak usia 24 bulan, frekuensi 3 kali/hari

Riwayat Tumbuh Kembang


- Membalikkan Badan : 6 bulan
- Duduk : 8 bulan
- Merangkak : 11 bulan
- Berdiri : 13 bulan

25
- Berjalan : 15 bulan

Riwayat Alergi
Riwayat alergi (gatal-gatal akibat makanan, bersi-bersin) disangkal oleh
orangtua pasien

3.3 Pemeriksaan Fisis


Status Present
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
TD :-
Nadi : 128 kali/ menit, reguler
Respirasi rate : 52 kali/ menit,reguler
Tempt axilla : 37,6 C
Saturasi : 88%
Skala Nyeri FLACC Pain Scale : 2
Status Generalis
Kepala : Normocephali, allergic shiners (-), allergic crease (-)
Mata : Konjungtiva pucat -/- , ikterus -/- , reflek pupil +/+ isokor,
edema (-), mata cowong (-), reflek cahaya +/+
THT :
Telinga : sekret -/-
Hidung :-
Tenggorok : -
Lidah : sianosis (-)
Bibir : sianosis (-), mukosa bibir basah (+)
Leher : Pembesaran kelenjar (-), kaku kuduk (-)
Thoraks : Simetris (+), retraksi (+)
Jantung :
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis teraba di ICS V MCL S
Austkultasi : S1S2 normal, regular, murmur (-)
Paru-paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris, retraksi (+)
ekspirasi memanjang
Palpasi : gerakan dada simetris
Auskultasi : Bronkial +/+, ronkhi -/-, wheezing
+/+
Aksila : Pembesaran kelenjar (-)
Abdomen :
Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : peristaltik menurun
Palpasi : hepar-lien tidak teraba,
nyeri tekan (-), massa (-), asites (-)

26
Perkusi : timpani
Kulit : Turgor kembali cepat
Genitalia : Laki-laki
Inguinal : Pembesaran kelenjar (-)
Ekstremitas : Akral hangat (+), CRT < 2 detik

Status Antropometri :
BB : 22 kg
TB : 130 cm
BB/U : P 25-50
TB/U : P 90-97

Berat badan ideal : 27 kg


Status Gizi (Waterlow) : 81,5 % ( Gizi kurang)

3.4 Diagnosis Kerja

Asma Intermitten serangan berat + gizi kurang

27
BAB V
KESIMPULAN

Asma adalah penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik


yang mengakibatkan obstruksi dan hiperaktivitas saluran respiratori dengan
derajat yang bervariasi. Asma dikarakteristikkan dengan pola inflamasi spesifik
yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE) dan merupakan hipresensitivitas
tipe 1. Gejala asma adalah batuk, mengi, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam hari atau
dini hari, dan biasanya timbul jika ada pencetus.
Diagnosis Asma Intermitten dengan Serangan Asma Berat pada pasien ini
ditegakkan melalui heteroanamnesis didapatkan hasil bahwa pasien mengeluhkan
sesak napas yang memberat pada malam hari dan muncul wheezing ketika
bernapas, disertai dengan batuk. Sesak menyebabkan pasien bernapas lebih cepat
(takipneu) dan muncul tarikan dinding dada (retraksi interkostal) saat bernapas.
Ketika sesak napas muncul, pasien menjadi lebih rewel (irritable). Suara mengi
saat serangan cukup nyaring dan muncul sepanjang ekspirasi serta inspirasi.
Selain itu, setelah diterapi nebul beberapa kali di IGD, gejala wheezing pada
pasien mulai membaik. Selanjutnya, dari heteroanamnesis juga didapatkan bahwa
frekuensi serangan asma pada pasien tidak cukup sering.
Tujuan pengobatan asma adalah agar penderita dapat hidup normal, bebas
dari serangan, serta memiliki fungsi faal paru senormal mungkin dan mencegah
atau mengurangi reaktivasi saluran respiratorius. Penatalaksanaan asma dibedakan
menjadi penatalaksanaan jangka pendek untuk mengatasi serangan asma, dan
penatalaksanaan jangka panjang untuk mencegah serangan asma. Untuk

28
penatalaksanaan serangan asma dibagi menjadi dua yaitu pengobatan yang
dilakukan di rumah dan di rumah sakit.
Penatalaksanaan Asma Intermitten dengan Serangan Berat pada pasien ini
adalah dengan pemberian oksigen, rehidrasi, loading, nebulisasi, dimana langkah
tersebut sudah sesuai dengan protap yang sudah ada.

29

Anda mungkin juga menyukai