Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771
oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha[1] di daerah
muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda.
Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah
dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan
Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran).[2][3] Setelah mereka mendapatkan tempat di
Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan
Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
ejarah
Pendirian
Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan
Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185
H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas
Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal.
Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak
pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid
Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan
Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
Masa Kolonial
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh
Willem Ardinpalm. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang
kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh
Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I
(1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu
datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan
tangan terbuka.
Pada tanggal 5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk
Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi
kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah
Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak
(Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi
Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van
Pontianak.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang,
Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan
Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan
Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan
Inggris sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-
1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman,
banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan
proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun
1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan
kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan
sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada
1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan
setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling
sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus
merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh
putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan
Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak
dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad
merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat
berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam
bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama
kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian
resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain
itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa
Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak
kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan
berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan
maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie dan para undangan (sekitar tahun 1930)
Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara
Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap
memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak
dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-
komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh
masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk
menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan
tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-
penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan
penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944, Jepang menghabisi Sultan Syarif
Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para
cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan
sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal
dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan
semena-mena Jepang inilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak
Desa.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama
Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang
berada di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan
bebas pada 1945.
Sultan Hamid II dalam percakapan dengan Ida Anak Agung Gde Agung, Raja Gianyar
(sekitar tahun 1949).
Syarif Hamid kembali ke Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak (1945-1978)
pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama
Sultan Hamid II.
Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan
Hamid II inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan
Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid II menjabat
sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada
1947-1950. Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai
Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada
tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik
Indonesia Serikat.
Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat
membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah
Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki
(swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II
ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah
Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya
kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran
Republik Indonesia Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi
bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di
keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25
tahun. Namun pada 15 Januari 2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif
Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari
2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda
Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan
nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.