Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa
yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagianya masing-masing.
Dalam kamus hukum, Hukum Islam adalah hukum yang berhubungan dengan kehidupan
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, yang salah satunya adalah Hukum Waris.
Dalam kehidupan sekarang, banyak yang belum mengetahui tentang hadits pembagian
warisan. Padahal pembagian warisan dalam agama Islam merupakan suatu kemestian yang
tercantum dalam Al-Qur’an yang tidak boleh ditolak oleh ahli waris yang berhak
menerimanya. Oleh sebab itu, penulis akan membahas tentang hadits hukum pembagian
warisan.

B. Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah dalam penulisan kami, yaitu:
a. Apa Pengertian dari Pembagian Waris?
b. Bagaimana Teks-Teks Hadits serta Makna dan Kandungan Hukum Hadits Pembagian
Warisan?
c. Bagaimana Kontekstualisasi Hadits Pembagian Warisan?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pembagian Warisan


Al-Fardh (fardh) adalah bagian yang ditentukan oleh syara’ kepada ahli waris , artinya
bagian yang telah ditentukan secara jelas dari peninggalan mayit dengan dasar nash dan
ijma’, seperti 1/8, 1/4, 1/2, 2/3, 1/3, dan 1/6, di mana tidak bertambah kecuali dengan radd
dan tidak berkurang kecuali dengan aul (Zuhaili, 2007: 345)
Pembagian warisan adalah bagian-bagian yang telah ditentukan besar kecilnya di dalam
al-Qur’an yang akan dibagikan kepada ahli waris berdasarkan pada jauh dekatnya hubungan
kekerabatan dan tiadanya penghalang bagi sampainya bagian masing-masing ahli waris
(Fauzan dan Arafat, 2011: 247).

B. Teks-Teks Hadist Pembagian Warisan Serta Makna dan Kandungan Hukum nya
]‫ي فَ ُه َو ِِل َ ْولَى َر ُج ٍل ذَك ٍَر [البخاري ومسلم وغيرهما‬ َ ‫ا َ ْل ِحقُ ْوا ْالفَ َرا ِئ‬
َ ‫ض ِبأ َ ْه ِل َها فَ َما َب ِق‬
“Serahkanlah ahlimu yang berhak, maka sebagian bagian itu kepada lebihnya itu, adalah
untuk laki-laki yang lebih dekat (hubungan kekerabatannya) kepada si mati” (Bukhari,
Muslim dan lainnya) (Sudarsono, 1991: 124).
Menurut hadist tersebut di atas ayah menjadi ‘ashabah bagi harta warisan yang
ditinggalkan oleh anaknya. Ayah menghabisi harta warisan tersebut setelah diberikan
sepertiga untuk ibu. Apabila si mati tidak meninggalkan anak laki-laki atau cucu laki-laki,
maka ayah menjadi ‘ashabah dengan alasan karena pada saat itu ayah adalah anak laki-laki
yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan si mati (Sudarsono, 1991: 124).

‫ف َو ِِل ْبنَ ِة‬


َ ‫ص‬ ِ ْ ‫سلَّ َم ِل‬
ْ ِ‫ْل ْبنَ ِة الن‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ‫ي‬ ٍ ‫ َوأ ُ ْخ‬,‫ت اب ٍْن‬
َ َ‫ت ــ ق‬
ُّ ‫ضى النَّ ِب‬ ِ ‫ َو ِب ْن‬,ٍ‫ي هللاُ َع ْنهُ فِ ْي ِب ْنت‬ َ ‫ض‬ ِ ‫َو َع ِن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد َر‬
]‫ت [رواه البخاري‬ ِ ‫ي فَ ِل ْْل ُ ْخ‬
َ ‫ُس ـــــ ت َ ْك ِملَةَ الثُّلُثَي ِْن ــــ َو َما َب ِق‬
َ ‫سد‬ ِْ
ُّ ‫اْلب ِْن ال‬
“Dari Ibnu Mas’ud ra. tentang (bagian warisan) anak perempuan, cucu perempuan, dan
saudara perempuan, Nabi SAW menetapkan, untuk anak perempuan setengah, cucu
perempuan seperenam – sebagai penyempurna dua pertiga dan selebihnya adalah milik
saudara perempuan.” (HR. Bukhari)(Syarifuddin, 2013: 168).
Hadist diatas menjelaskan bahwa apabila ahli waris terdiri dari anak perempuan,
cucu perempuan dan saudara perempuan, maka bagian anak perempuan adalah 1/2 dari harta

2
peninggalan mayit, cucu perempuan mendapat bagian 1/6 dan sisanya 1/3 menjadi bagian
dari saudara perempuan.
]‫ُس [أحمد وأبوداود‬ ُّ ‫سلَّ َم فِي ْال َج ِد ال‬
ُ ‫سد‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬ َ َ‫ ق‬:‫ار ْال ُمزَ نِ ْي‬
ُ ‫ضى َر‬ ِ ‫س‬َ َ‫قَا َل َم ْع ِق ُل ْبنُ ي‬
“Berkata Ma’qil bin Yassar Al-Muzanni: bahwa Rasulullah SAW telah menghukumi
kakek mendapat bagian 1/6.” (Ahmad dan Abu Dawud) (Sudarsono, 1991: 136).
Hadist ini mengandung maksud bahwa bagian untuk kakek dalam pembagian warisan
adalah 1/6, dengan syarat apabila si mati meninggalkan anak laki-laki dan cucu laki-laki akan
tetapi tidak meninggalkan ayah (Sudarsono, 1991: 136).
‫ُس َوإِذَا لَ ْم يَ ُك ْن د ُْونَ َها أ ُ ٌّم [رواه أبو داود‬ ُّ ‫سلَّ َم َجعَ َل ِل ْل َجدَّةِ ال‬
َ ‫سد‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ِ‫ أ َ َّن النَّب‬,‫ َع ْن أَبِ ْي ِه‬,َ ‫َو َع ِن اب ِْن ب َُر ْيدَة‬
َ ‫ي‬
]‫ وصححه ابن خزيمة وابن الجارود وقواه ابن عدي‬,‫والنسائي‬
“Dari Ibnu Buraidah, dari ayah nya ra.bahwa Nabi SAW menetapkan bagian seperenam
untuk nenek bila di bawah nya tidak ada ibu (ibu sang mayat).” (HR. Abu Dawuddan An-
Nasa’I, hadist in ishahih menurut Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Jarud dan dikuatkan oleh Ibnu
Adi) (Al-Asqalani, 2013: 412).
Hadist ini terkandung maksud nenek mendapat bagian 1/6 harta warisan dengan syarat
tidak meninggalkan ahli waris ibu.
ُ ِ ‫الر ِبيْعِ أَع‬ َ ‫سلَّ َم ِِل َ ِخ ْي‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫س ْع ِد الثُّلُثَي ِْن َوأ ُّم َها الثُّ ُمنَ فَ َما بَ ِق‬
َ‫ي فَ ُه َو لَك‬ َ ‫ْط ا ْبنَت َ ْي‬ َّ ‫س ْع ِد ب ِْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َ ِ‫س ْو ُل هللا‬
]‫[أحمد وأبو داود والترمذي وابن ماجة‬
“Telah bersabda Rasulullah SAW kepada Sa’ad bin Rabi’ punya saudara laki-laki:
Berikanlah 2/3 harta warisan Sa’ad kepada dua anak perempuan Sa’ad dan kepada ibu
mereka 1/8; adapun sisanya untuk kamu” (Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu
Majah)(Sudarsono, 1991: 126).
Berdasarkan hadist tersebut di atas maka dapat dipahami bahwa saudara laki-laki
sekandung mewarisi harta saudaranya. Harta yang diwarisi tersebut adalah semua harta
almarhum, atau mewarisi sisanya setelah dibagikan kepada para ahli waris lain dari anak laki-
laki, cucu laki-laki, ayah dan kakek (Sudarsono, 1991: 126).

C. Kontekstualisasi Hadist Pembagian Warisan


Dalam KHI Pasal 176 Bab III tentang besarnya bagian ahli waris disebutkan “Anak
perempuan bila hanya seorang ia mendapat separo bagian, bila dua orang atau lebih mereka
bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama
dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak
perempuan”

3
Pasal 177 menyebutkan “Ayah mendapat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak,
apabila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian”

Pasal 178 menyebutkan:


a. Ibu mendapatkan seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih.
Bila tidak ada anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga
bagian.
b. Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila
bersama-sama dengan ayah.
Pasal 183 KHI menyatakan “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian
dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”.
Dalam kaitan antara hadits hukum pembagian warisan dan KHI, dapat diambil
kesimpulan bahwa bagian ayah akan mendapatkan ashabah apabila tidak ada anak dan akan
mendapatkan seperenam apabila ada anak. Ibu akan mendapatkan sepertiga apabila tidak ada
anak dan akan mendapatkan seperenam bila ada anak, anak perempuan mendapatkan separo
apabila tidak ada anak laki-laki.

4
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka penyusun dapat mengambil beberapa kesimpulan terkait
dengan hadits pembagian warisan yaitu:
1. Pengertian pembagian warisan adalah bagian-bagian yang telah ditentukan dalam
nash ataupun sunnah Nabi yang diberikan oleh pewaris kepada ahli waris yang berhak
menerimannya.
2. Teks-teks hadits pembagian warisan serta makna dan kandungan hukum hadits
pembagian warisan menyatakan bahwa ahli waris mendapatkan warisan apabila
mendapatkannya setelah mengurus si mayit dan ahli waris mendapatkan warisan
tergantung dengan banyaknya ahli waris.
3. Kontekstualisasi hadits pembagian warisan dengan KHI adalah bahwa ahli waris ayah
mendapatkan 1/6 apabila tidak ada anak dan ashabah bila ada anak. Ibu seperenam
jika ada anak dan 1/3 bila ada anak. Anak perempuan mendapatkan separo apabila
tidak ada anak laki-laki.

5
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, IbnuHajar. 2013. BulughulMaramdanDalil-DalilHukum. Jakarta: GemaInsani.


Fauzan, Noor Rohman dan Arafat, M. Husni. 2011. Buku Daros untuk Guru Fiqh untuk MA
kelas XI. Jepara: Inisnu.
Sudarsono. 1991. HukumWarisdanSistem Bilateral. Jakarta: RinekaCipta.
Syarifuddin, Amir. 2013. Garis-GarisBesarFiqh. Jakarta: KencanaPrenada Media Group.
Tim RedaksiNuansaAulia. 2011. KompilasiHukum Islam. Bandung: NuansaAulia.
Zuhaili, Wahbah. 2007. Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Damaskus: Darul Fikr. Cet. X.

Anda mungkin juga menyukai