Segala puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, shalawat dan
salam juga disampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW. Serta
sahabat dan keluarganya, seayun langkah dan seiring bahu dalam menegakkan
agama Allah. Dengan kebaikan beliau telah membawa kita dari alam kebodohan
ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam rangka melengkapi tugas dari mata kuliah Hukum warisan pada Program
Studi Hukum Ekonomi Syari’ah Mu’amalah PTI AL-HILAL SIGLI dengan ini
penulis mengangkat judul “Hukum Waris Menurut Hukum PERDATA”.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan, maupun isinya.
Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran-saran yang dapat
membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Wassalam
Penulis,
FAUZAN AZIM
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................
......... i
DAFTAR
ISI..................................................................................................................... iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................
......... 1
C. Tujuan
penulisan...................................................................................................... 1
BAB II : PEMBAHASAN
C. Perbedaan dan
persamaan....................................................................................... 6
A. Kesimpulan....................................................................................................
......... 9
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................
......... 10
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara bekas jajahan Hindia Belanda yang
beraneka ragam suku, bahasa dan budaya serta agama, mempunyai ciri khas
tersendiri, yang tida dipunyai oleh negara-negara lain, karena beraneka ragam
suku, adat istiadat inilah maka mengenai sitem hukum yang berlaku berbeda-
beda, hal ini disebabkan karena adanya sifat kekeluargaan, golongan-golongan
yang masih dipengaruhi dan ditentukan oleh corak warisan dari kolonial
Hindia Belanda, sehingga hukum warisan yang berlaku di Indonesia juga
masih beraneka ragam berdasarkan golongan warga negara, yaitu:
1. untuk orang Indonesia asli, dibeberapa daerah berlaku hukum adat, hukum adat
kewarisan di Indonesia mengenal 3 (tiga) macam sistem susunan kekeluargaan
yang sangat mempengaruhi lingkungan adat yang satu dengan lingkungan
hukum adat lainnya, yakni:
a. Golongan yang bersifat kebapakan, maka seorang isteri oleh karena
perkawinan dilepaskan dari hubungan kekeluargaan dengan orang tuanya,
leluhurnya serta sanak keluarganya yang lain. Sejak perkawinannya jika
isteri masuk kedalam rumpun keluarga suaminya. Demikian pula dengan
anak dan turunannya dari perkawinan itu kecuali dalam hal anak itu
perempuan yang telah pernah kawin juga masuk dalam lingkungan
suaminya. Corak dari perkawinan yang bersifat kebapakan, dikenal dengan
perkawinan jujuran, yaitu si isteri dibeli oleh keluarga suaminya dari
keluarga isteri itu dengan jumlah uang yang disepakati dari pembelian
tanah Batak, dan inilah yang disebut jujuran atau perujuk atau Tuhor Boli,
dan di tanah Gayo dinamakan Onjong, kekeluargaan yang bersifat
kebapakan di Indonesia ini juga terdapat di daerah Ambon, Irian Jaya dan
Bali.
b. Golongan yang bersifat keibuan, di Indonesia terdapat di tanah
Minangkabau. Sejak perkawinan itu dilakukan maka suami berdiam di
rumah isterinya atau keluarganya, suami tidak masuk keluarga isteri, tetapi
apabila ada anak keturunannya dianggap kepunyaan ibu saja, dan si
ayah/bapak pada hakekatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak
yang lahir, dan si suami mendapat penghibaan dari isterinya baik berupa
uang ataupun barang atau ongkos-ongkos untuk keperluan rumah tangga
suami isteri bersama turunannya yang biasanya diambil oleh keluarga
isteri dan milik ini dikuasai oleh seorang yang dinamakan mamak kepala
waris, yaitu seseorang yang paling dituakan atau tertua dari keluarga si
isteri.
c. Golongan kebapak-ibuan, di Indonesia adalah yang paling merata yaitu
golongan yang bersifat parental yang meliputi daerah Jawa, Madura,
Sumatera, Riau, Aceh dan lain-lain yang menonjol kekeluargaannya yang
bersifat parental, dan pada hakekatnya tidak perbedaan antara suami
dengan isteri dalam kedudukannya, dari akibat perkawinannya sisuami
menjadi anggota keluarga si isteri dan sebaliknya pula sisuami menjadi
anggota keluarga siisteri.
2. Untuk orang Indonesia asli yang beragama Islam diberbagai daerah, maka
hukum Kewarisan Islam sangat berpengaruh.
3. Untuk warga negara Indonesia yang keturunan Tionghoa dan Eropah berlaku
hukum kewarisan perdata BW.
B. Rumusan Masalah.
Dari uraian di atas, penulis mencoba membahas hukum waris menurut Hukum
Islam dan menurut Hukum Perdata (BW), dengan rumusan masalah sebagai
berikut:
PEMBAHASAN
Berdasarkan hadits tersebut di atas, maka ilmu kewarisan menururt Islam adalah
sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam adalah mutlak adanya,
sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas.
Dalam pasal 171 Kompilasi Hukum Islam, ada beberapa ketentuan mengenai
kewarisan ini, yaitu:
Sedang kewajiban ahli waris terhadap pewaris menurut ketentuan pasal 175 KHI
adalah:
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan
permintaan kepada ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang
bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk
dilakukan pembagian harta warisan (pasal 188 KHI).
Bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, atau ahli warisnya
tidak diketahui ada atau tidaknya, maka harta tersebut atas putusan Pengadilan
Agama diserahkan penguasaannya kepada Baitul Maal untuk kepentingan agama
Islam dan kesejahteraan umum (Pasal 191 KHI).
Bagi pewaris yang beristeri dari seorang, maka masing-masing isteri berhak
mendapat bagian dagi gono-gini dari rumah tangga dengan suaminya sedangkan
keseluruhan bagian pewaris adalah menjadi hak milik para ahli warisnya (Pasal
190 KHI). Duda mendapat separuh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak,
dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian
(Pasal 179 KHI). Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak
meninggalkan anak, dan apabila pewaris meninggalkan anak, maka janda
mendapat seperempat bagian (Pasal 180 KHI).
Masalah waris malwaris dikalangan ummat Islam di Indonesia, secara jelas diatur
dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, bahwa Pengadilan Agama
berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara kewarisan
baik ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang:
a. Perkawinan.
b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
c. Wakaf dan sedekah.
Menurut hukum Islam hak waris itu diberikan baik kepada keluarga wanita (anak-
anak perempuan, cucu-cucu perempuan, ibu dan nenek pihak perempuan, saudara
perempuan sebapak seibu, sebapak atau seibu saja). Para ahli waris berjumlah 25
orang, yang terdiri dari 15 orang dari pihak laki-laki dan 10 dari pihak perempuan.
Suami mendapat ½ bagian apabila pewaris tidak mempunyai anak dan mendapat
¼ bagian apabila pewaris mempunyai anak, berdasarkan firman Allah surat an
Nisa’ ayat 12, yang artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua bagian dari
harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika tidak mempunyai anak, dan jika
ada anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat dan sesudah dibayar hutang-hutangnya”.
hal ini berdasarkan firman Allah dalam Surat An Nisa’ Ayat 11 yang artinya:
“Jika anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang
anak perempuan”.
a. Apabila hanya seorang anak laki-laki saja, maka dia mengambil semua
warisan sebagai ashabah, jika tidak ada ahli waris dzawil furudz, namun
jika ada ahli waris dzawil furudz maka ia hanya memperoleh ashabah
(sisa) setelah dibagikan kepada ahli waris dzwil furudz tersebut (ashabah
bin nafsih).
b. Apabila anak laki-laki dua orang atau lebih, dan tidak ada anak
perempauan, serta ahli waris dzwil furudz yang lain, maka ia membagi
rata harta warisan itu, namun jika ada anak perempuan, maka dibagi dua
banding satu (ashabah bil ghair), berdasarkan surat Anisa’ ayat 11 dan 12
tersebut.
Dan diantara ahli waris yang ada, apabila ada ibu maka yang dihijab ibu adalah
nenek dari pihak ibu, yaitu ibu dari ibu dan seterusnya keatas. Nenek dari pihak
bapak yaitu ibu dari bapak dan seterusnya keatas. Hal ini berdasarkan surat An
Nisa’ ayat 11 yang artinya:”Dan untuk dua orang ibu bapak, baginya seperenam
dari harta yang ditinggalkan, jika pewaris itu mempunyai anak”.
a. Apabila sipewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu dari anak laki-laki,
maka bapak mendapat 1/6 dari harta peninggalan dan sisanya jatuh kepada
anak laki-laki.
b. Apabila pewaris hanya meninggalkan bapak saja, maka bapak mengambil
semua harta peninggalan dengan jalan ashabah.
c. Apabila pewaris meninggalkan ibu dan bapak, maka ibu mendapat 1/3 dan
bapak mengambil 2/3 bagian.
Menurut hukum waris Islam, oarng yang tidak berhak mewaris adalah:
Perlu diketahui bahwa jika pewaris meninggalkan ibu, maka semua nenek
terhalang, baik nenek dari pihak ibu sendiri maupun nenek dari pihak ayah
(mahjub hirman). Dan jika semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat
warisan adalah hanya anak (baik laki-laki maupun perempuan), ayah, ibu, dan
janda atau duda sedangkan ahli waris yang lain terhalang (mahjub) (Pasal 174
Ayat (2) KHI).
Dalam hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-
kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat
diwariskan. Dengan kata lain hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang saja (Subekti, 1993: 95).
Bila orang yang meninggal dunia tidak membuat testamen, maka dalam Undang-
undang Hukum Perdata ditetapkan pembagian warisan sebagai berikut:
a. Yang pertama berhak mendapat warisan yaitu suami atau isteri dan anak-
anak, masing-masing berhak mendapat bagian yang sama jumlahnya
(pasal 852 BW).
b. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di dtas, maka yang
kemudian berhak mendapat warisan adalah orang tua dan saudara dari
orang tua yang meninggal dunia, dengan ketentuan bahwa orang tua
masing-masing sekurang-kurangnya mendapat seperempat dari warisan
(pasal 854 BW).
c. Apabila tidak ada orang sebagaimana tersebut di atas, maka warisan dibagi
dua, separuh untuk keluarga pihak ibu dan separuh lagi untuk pihak
keluarga ayah dari yang meninggal dunia, keluarga yang paling dekat
berhak mendapat warisan. Jika anak-anak atau saudara-saudara dari
pewaris meninggal dunia sebelum pewaris, maka tempat mereka diganti
oleh keturunan yang sah (pasal 853 BW).
Di dalam KUH Perdata (BW) dikenal pula harta peninggalan yang tidak terurus
yaitu jika seorang meninggal dunia lalu mempunyai harta, tetapi tidak ada ahli
warisnya, maka harta warisan itu dianggap sebagai tidak terurus. Dalam hal yang
demikian itu maka Balai Harta peninggalan (Wesskamer) dengan tidak usah
menuggu perintah dari Pengadilan wajib mengurus harta itu namun harus
memberitahukan kepada pihak Pengadilan. Dalam hal ada perselisihan apakah
suatu harta warisan dapat dianggap sebagai tidak terurus atau tidak. Hal ini akan
diputuskan oleh Pengadilan, Weeskamer itu diwajibkan membuat catatan tentang
keadaan harta tersebut dan jika dianggap perlu didahului dengan penyegelan
barang-barang, dan selanjutnya membereskan segala sangkutan sipewaris berupa
hutang-hutang dan lain-lain. Wesskamer harus membuat pertanggungjawaban,
dan juga diwajibkan memanggil para ahli waris yang mungkin ada dengan
panggilan-panggilan umum, seperti melalui RRI, surat-surat kabar dan lain-lain
cara yang dianggapa tepat. Jika setelah lewat tiga tahun belum juga ada seorang
ahli waris yang tampil atau melaporkan diri, maka weeskamer akan melakukan
pertanggungjawaban tentang pengurusan harta peninggalan itu kepada negara, dan
selanjutnya harta tersebut akan menjadi milik negara.
Menurut ketentuan pasal 838 KUH Perdata, yang dianggap tidak patut menjadi
ahli waris dan karenanya tidak berhak mewaris ialah:
Sistem hukum kewarisan menurut KUH Perdata tidak membedakan antara anak
laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan isteri, mereka berhak semua
mewaris, dan bagian anak laki-laki sama dengan bagian anak perempuan, bagian
seorang isteri atau suami sama dengan bagian anak.
Persamaanya apabila dihubungkan antara sitem hukum waris menurut Islam dengan
sistem kewarisan menurut KUH Perdata, baik menurut KUH Perdata maupun
menurut hukum kewarisan Islam sama-sama menganut system kewarisan
individual, artinya sejak terbukanya waris (meninggalnya pewaris) harta warisan
dapat dibagi-bagi pemilikannya antara ahli waris. Tiap ahli waris berhak menuntut
bagian warisan yang menjadi haknya. Jadi sistem kewarisan yang dianut oleh KUH
Perdata adalah sistem kewarisan individul bilateral (Subekti, 1953: 69), sedangkan
perbedaannya adalah terletak pada saat pewaris meninggal dunia, maka harta
tersebut harus dikurangi dulu pengluaran-pengluaran antara lain apakah harta
tersebut sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dikurangi untuk membayar hutang
atau merawat jenazahnya dulu, setelah bersih, baru dibagi kepada ahli waris,
sedangkan menurut KUH Perdata tidak mengenal hal tersebut, perbedaan
selanjutnya adalah terletak pada besar dan kecilnya bagian yang diterima para ahli
waris masing-masing, yang menurut ketentuan KUH Perdata semua bagian ahli
waris adalah sama, tidak membedakan apakah anak, atau saudara, atau ibu dan lain-
lain, semua sama rata, sedangkan menurut hukum Islam dibedakan bagian antara
ahli waris yang satu dengan yang ahli waris yang lain.
yang logis, riil dan konkrit, dan pandangan hidup dalam hukum Islam didasarkan
pada sistem kekeluargaan dan bersifat rohani (magis).
B A B III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Abd. Manan, H., 2000, Pokok-pokok Hukum Perdata dan Wewenang Pengadilan
Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
M. Isa Arief, dan. A. Pitlo, 1986, Hukum waris menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW), PT., intermasa, Jakarta.
Moh. Rifa’i, H, 1978, Kumpulan Ilmu Fiqih Islam Lengkap, CV. Toha Putra,
Semarang.