Anda di halaman 1dari 12

LEMPENG TEKTONIK INDONESIA dan jalur bahan galian

Bumi merupakan salah satu planet dari galaksi bimasakti. Manusia dan ciptaan Tuhan
melangsungkan kehidupan di bumi. Kita hidup di bumi berada di bagian kerak bumi
(lithospher) atau di permukaan bumi. Permukaan bumi terbentuk dari berbagai macam batuan
yang kurang lebih 80% adalah diselimuti oleh batuan sedimen dengan volume kurang lebih
0,32% dari volume bumi. Setiap daratan di bumi ini di bentuk oleh batuan – batuan ang
bermacam – macam. Dari sejumlah batuan yang memiliki ciri khas yang berbeda – beda
terangkum dalam sebuah lempeng – lempeng yang tersebar di seluruh dunia. Lempeng –
lempeng di permukaan bumi bersifat dinamis, karena adanya perbedaan perlapisan dan
tenaga endogen yang mengakibatkan pergerakan lempeng. Dari pergerakan lempeng dapat
menimbulkan sebuah siklus batuan yang tak dapat dipungkri adanya.
Lempeng tektonik adalah bagian dari kerak bumi dan lapisan paling atas, yang disebut
juga lithosphere. Atau menjelaskan tentang gerakan bumi dengan skala besar dari lithoepher
bumi. Teori yang meliputi konsep-konsep lama (kontinental drift) dikembangkan selama satu
setengah abad sejak abad ke-20 oleh Alfred Wegner tentang lantai samudra (seafloor) pada
tahun 1960-an. Lempeng tektonik memiliki tebal sekitar 100 km (60 mill) yang terdiri dari
dua jenis bahan pokok yaitu kerak samudra (disebut juga sima yang terdiri dari silikon dan
magnesium) dan kerak benua (disebut juga sial yang terdiri dari silicon dan megnesium).
Komposisi dari dua jenis lapisan terluar atau kulit dari kerak samudra adalah batuan basalt
(mafic) dan kerak benua terdiri dari batuan granitic yang prinsip kepadatannya rendah.
Permukaan bumi terdiri dari 15 lempeng besar (mayor) dan 41 lempeng kecil (minor), 11
lempeng kuno dan 3 dalam orogens, dengan jumlah keseluruhan 70 lempeng tektonik yang
tersebar di seluruh permukaan bumi. Lempeng mayor di bumi di anataranya :

 African Plate covering Africa - Continental plate Afrika Plate meliputi Afrika - Benua
piring
 Antarctic Plate covering Antarctica - Continental plate Antarctic Plate meliputi
Antartika - Benua piring
 Australian Plate covering Australia - Continental plate Australia Plate meliputi
Australia - Benua piring
 Indian Plate covering Indian subcontinent and a part of Indian Ocean - Continental
plate Indian Plate meliputi anak benua India dan merupakan bagian dari Samudra
Hindia - Benua piring
 Eurasian Plate covering Asia and Europe - Continental plate Eurasian Plate meliputi
Asia dan Eropa - Benua piring
 North American Plate covering North America and north-east Siberia - Continental
plate
 South American Plate covering South America - Continental plate
 Pacific Plate covering the Pacific Ocean - Oceanic plate

Lempeng tetonik memiliki nama yang berbeda – beda sesuai tempat atau asal lempeng
itu berada. Pada 225 juta tahun yang lalu, seluruh daratan di bumi ini merupakan satu
kesatuan yang disebut dengan Benua Pangaea pada zaman permian. Pergerakan lapisan bumi
terus terjadi saat 200 juta tahun yang lalu pada zaman triassic terbagi menjadi 2 Benua
Laurasia dan Benua Gondwanaland. Pergerakan lapisan bumi terjadi hingga saat ini terbagi
menjadi 5 belahan benua. Perubahan keadaan permukaan bumi terjadi selama 4 zaman
kurang lebih selama 225 juta tahun. Perubahan permukaan bumi ini yang mengakibatkan
adanya batas – batas lempeng tektonik di masing – masing lapisan bumi. Pergerakan yang
berasal dari tenaga endogen ini mengakibatkan sebuah siklus batuan dalam peroses
pergeseran lempeng.
Lempeng tektonik merupakan sebuah siklus batuan di bumi yang terjadi dalam skala
waktu geologi. Sikklus batuan tersebut terjadi dari pergerakan lempeng bumi yang bersifat
dinamis. Dengan pergerakan lempeng tektonik yang terjadi mampu membentuk muka bumi
serta menimbulkan gejala – gejala atau kejadian – kejadian alam seperti gempa tektonik,
letusan gunung api, dan tsunami. Pergerakan lempeng tektonik di bumi digolongkan dalam
tiga macam batas pergerakan lempeng, yaitu konvergen, divergen, dan transform
(pergeseran).

1. Batas Transform.

Terjadi bila dua lempeng tektonik bergerak saling menggelangsar (slide each other),
yaitu bergerak sejajar namun berlawanan arah. Keduanya tidak saling memberai maupun
saling menumpu. Batas transform ini juga dikenal sebagai sesar ubahan-bentuk (transform
fault).

2. Batas Divergen.

Terjadi pada dua lempeng tektonik yang bergerak saling memberai (break apart). Ketika
sebuah lempeng tektonik pecah, lapisan litosfer menipis dan terbelah, membentuk batas
divergen. Pada lempeng samudra, proses ini menyebabkan pemekaran dasar laut (seafloor
spreading). Sedangkan pada lempeng benua, proses ini menyebabkan terbentuknya lembah
retakan (rift valley) akibat adanya celah antara kedua lempeng yang saling menjauh tersebut.
Pematang Tengah-Atlantik (Mid-Atlantic Ridge) adalah salah satu contoh divergensi yang
paling terkenal, membujur dari utara ke selatan di sepanjang Samudra Atlantik, membatasi
Benua Eropa dan Afrika dengan Benua Amerika.

3. Batas Konvergen.

Terjadi apabila dua lempeng tektonik tertelan (consumed) ke arah kerak bumi, yang
mengakibatkan keduanya bergerak saling menumpu satu sama lain (one slip beneath
another). Wilayah dimana suatu lempeng samudra terdorong ke bawah lempeng benua atau
lempeng samudra lain disebut dengan zona tunjaman (subduction zones). Di zona tunjaman
inilah sering terjadi gempa. Pematang gunung-api (volcanic ridges) dan parit samudra
(oceanic trenches) juga terbentuk di wilayah ini.
Dari ketiga batas lempeng yang mendukung adanya siklus batuan di bumi ini. Setiap
daratan atau negara atau benua di dunia di batasi oleh lempeng yang berbeda – beda.
Dikarenakan sifatnya dinamis dan kekuatan masing – masing lempeng berbeda – beda, maka
terbentuk 3 batas lempeng tektonik Gempa yang terjadi di akibatkan oleh pergerakan
lempeng tektonik. Dan apabila dilihat pada daerah Indonesia yang merupakan daerah
ternbanyak yang dilewati oleh titik – titik gempa yang tersebar di seluruh nusantara.
Disebelah barat hingga ke selatan dari Indonesia dibatasi oleh lempeng tektonik, disebelah
utara dibatasi dengan lempeng yang berbeda, dan dibagian timur dibatasi dengan lempeng
yang berbeda pula. Jadi Indonesia dibatasi oleh 3 lempeng mayor dunia yang berbeda. Maka
dari itu Indonesia memiliki titik gempa yang tersebar hampir diseluruh nusantara. Negeri kita
tercinta berada di dekat batas lempeng tektonik Eurasia dan Indo-Australia. Jenis batas
antara kedua lempeng ini adalah konvergen. Lempeng Indo-Australia adalah lempeng yang
menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Selain itu di bagian timur, bertemu 3 lempeng
tektonik sekaligus, yaitu lempeng Philipina, Pasifik, dan Indo-Australia. Seperti telah
dijelaskan sebelumnya, subduksi antara dua lempeng menyebabkan Lempeng Indo-Australia
dan Lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yang tak lain adalah
Bukit Barisan di Pulau Sumatra dan deretan gunung berapi di sepanjang Pulau Jawa, Bali dan
Lombok, serta parit samudra yang tak lain adalah Parit Jawa (Sunda). Lempeng tektonik
terus bergerak. Suatu saat gerakannya mengalami gesekan atau benturan yang cukup keras.
Bila ini terjadi, timbullah gempa dan tsunami, dan meningkatnya kenaikan magma ke
permukaan. Jadi, tidak heran bila terjadi gempa yang bersumber dari dasar Samudra Hindia,
yang seringkali diikuti dengan tsunami, aktivitas gunung berapi di sepanjang pulau Sumatra
dan Jawa juga turut meningkat.
Indonesia terletak pada jalur gunungapi tersebut dan merupakan negara dengan jumlah
gunungapi terbanyak. Pola penyebaran gunungapi menunjukkan jalur yang hampir mirip
dengan pola penyebaran fokus gempa dan tipe aktivitas kegunungapiannya tergantung pada
batas lempengnya. Hubungan ini menunjukkan bahwa volkanismamerupakan salah satu
produk penting sistem tektonik.
Akibatnya berbagai gejala alam di Indonesia sering terjadi. Yang salah satunya banyak
di jumpai gunung api di bagian selatan Indonesia yang merupakan buah karya dari
pergerakan lempeng Ino-Australian dengan lempeng Eurasian. Jumlah gunung api di
Indonesia 177 gunung api, Sert gunung api juga di temui di daerah sebagain dari pulau
halmahera dan sebagian dari pulau sulawesi yang merupakan tempat pertemuan lempeng
pasifik dengan lempeng eurasian.
Dari segi ilmu kebumian, Indonesia benar-benar merupakan daerah yang sangat
menarik. Kepentingannya terletak pada rupabuminya, jenis dan sebaran endapan mineral
serta energi yang terkandung di dalamnya, keterhuniannya, dan ketektonikaannya. Oleh
sebab itulah, berbagai anggitan (konsep) geologi mulai berkembang di sini, atau
mendapatkan tempat untuk mengujinya (Sukamto dan Purbo-Hadiwidjoyo, 1993).
Inilah wilayah yang memiliki salah satu paparan benua yang terluas di dunia (Paparan
Sunda dan Paparan Sahul), dengan satu-satunya pegunungan lipatan tertinggi di daerah
tropika sehingga bersalju abadi (Pegunungan Tengah Papua), dan di sini pulalah satu-satunya
di dunia terdapat laut antarpulau yang terdalam (-5000 meter) (Laut Banda), dan laut sangat
dalam antara dua busur kepulauan (-7500 meter) (Dalaman Weber). Dua jalur gunungapi
besar dunia bertemu di Nusantara. Beberapa jalur pegunungan lipatan dunia pun saling
bertemu di Indonesia. Indonesia pun dibentuk oleh pertemuan dua dunia : asal Asia dan asal
Australia. Ini mengakibatkan begitu kayanya biodiversitas Indonesia.
Meskipun Indonesia hanya meliputi sekitar 4 % dari luas daratan di Bumi, tidak ada
satu negeri pun selain Indonesia yang mempunyai begitu banyak mamalia, 1/8 dari jumlah
yang terdapat di dunia). Bayangkan, satu dari enam burung, amfibia, dan reptilia dunia
terdapat di Indonesia; satu dari sepuluh tumbuhan dunia terdapat di Indonesia (Kartawinata
dan Whitten, 1991). Indonesia juga memiliki keanekaragaman ekosistem yang lebih besar
dibandingkan dengan kebanyakan negara tropika lainnya. Sejarah geologi dan
geomorfologinya yang beranekaragam, dan kisaran ikim dan ketinggiannya telah
mengakibatkan terbentuknya banyak jenis hutan daratan dan juga hutan rawa, sabana, hutan
bakau dan vegetasi pantai lainnya, gletsyer, danau-danau yang dalam dan dangkal, dan lain-
lain.
Salah satu jalur timah terkaya di dunia menjulur sampai di Nusantara, daerahnya
mempunyai akumulasi minyak dan gasbumi yang tergolong besar. Meskipun berumur muda,
batubara Indonesia yang jumlahnya cukup besar dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan. Tak kalah pentingnya adalah endapan nikel dan kromit yang terbawa oleh
tesingkapnya kerak Lautan Pasifik di beberapa wilayah di Indonesia Timur.
Bagian tertentu Indonesia sangat baik untuk dihuni. Ini tidak hanya berlaku saat ini
yang memungkinkan orang dapat bercocok tanam dan memperoleh hasil yang baik karena
tanah subur dan air yang berlimpah, tetapi juga pada masa lampau, sebagaimana terbukti
dengan temuan fosil manusia purba di beberapa tempat di Indonesia. Maka, Indonesia
penting dalam dunia paleoantropologi sebagai salah satu pusat buaian peradaban manusia di
dunia. Semua kepentingan dan keunikan geologi Indonesia ini timbul karena latar belakang
perkembangan tektonik wilayah Nusantara. Di sinilah wilayah tempat saling bertemunya tiga
lempeng besar dunia : Eurasia - Hindia-Australia - Pasifik yang menghasilkan deretan busur
kepulauan dan jajaran gunungapi, tanah yang subur, pemineralan yang kaya dan khas,
pengendapan sumber energi yang melimpah, dan rupabumi yang menakjubkan
(Sukamto dan Purbo-Hadiwidjoyo, 1993).

Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional


Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan
hubungan geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda
berawal dari sebelah barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta
berlanjut ke Andaman-Nicobar dan Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung,
punggungan muka busur, cekungan muka busur, dan busur vulkanik. Arah penunjaman
menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di Sumba dan Jawa serta
menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma. Kemiringan ini
terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem
penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang
berlangsung selama Kenozoikum Tengah – Akhir (Katili, 1989; Hamilton, 1989) Menurut
Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi
merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai
kemiringan sekitar 7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit
longitudinal, serta menunjukkan pembentuk lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen
klastik tersebut terutama berasal dari Sungai Gangga dan Brahmaputra di India, yang berjarak
3.000 km dari palung. Busur akresi terbentuk selebar 75 – 150 km dari palung dengan
ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh
imbrikasi internal serta pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang
merupakan hasil penggilasan simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan
muka busur mengalami migrasi, relatif menuju ke arah kraton. Formasi bancuh di busur
akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan yang berhubungan dengan subduksi, bukan oleh
luncuran di lereng punggungan akresi. Cekungan muka busur berada di antara punggungan
muka busur dan garis pantai sistem penunjaman Sunda dengan lebar 150 - 200 km. Bagian
dasar cekungan Jawa dan Sumatera mempunyai kecepatan tipikal litosfer samudera, dengan
kecepatan di sektor Sumatera lebih besar dari litosfer samudera. Busur vulkanik yang
sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 – 130 km. Busur magmatik
ini berubah dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur
kepulauan (oceanic island arc) di Bali dan Lombok. Komposisi vulkanik muda bervariasi
secara sistematis yang berkesesuaian antara karakter litosfer dengan magma yang
dierupsikan.
Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah
penunjaman, busur Sunda dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari
propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan Tengah, Sumatera Utara – Nicobar, Andaman dan
Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah – Selatan terdapat Selat Sunda yang
merupakan batas tenggara lempeng Burma. Provinsi Jawa bermula dari Sumba sampai Selat
Sunda. Di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m. Saat ini
konvergensi sepanjang propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman
antara 5o – 8o. Sedimen memiliki ketebalan antara 200 – 900 m. Imbrikasi di bawah
punggungan muka busur mempunyai ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi
sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis. Kerangka tektonik utama antara Jawa dan
Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda yang dianggap sebagai zona
diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi Jawa dan Sumatera busur
Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng Burma. Namun apabila
dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan
Jawa Barat.
Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur
menurun dari 6.000 – 5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di
utara dan 1 km di selatan. Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke
utara antara 7,0 – 5,7 cm/tahun. Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini
diasumsikan sangat berperan dalam membentuk sistem strike slip fault di Sumatera.
Pada Propinsi Sumatera Utara - Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung
menajam ke barat, dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara – barat-laut. Palung
mempunyai kedalaman berkisar antara 3.500 – 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini
sangat miring dan kecepatan penunjaman ke arah utara mengalami penurunan 5,6 – 4,1
cm/tahun.
Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara – selatan dengan kedalaman sekitar
3.000 m. Di propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan
penunjaman berkisar antara 0,7 – 0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh
pemekaran di laut Andaman, dengan lempeng Burma memisah ke arah barat daya dari
lempeng Eurasia.
Palung Burma mempunyai kedalaman kurang dari 3.000 m. Di sini punggungan muka
busur menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur menjadi palung sebelah
barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan endapan di
propinsi ini sekitar 8.000 – 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi
terbentuknya sesar Sagaing di Burma.
Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda Sesar besar Sumatra dan Pulau
Sumatra merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat tektonik regional
pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat
didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh
keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan
lempeng samudera sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40 kilometer
(Hamilton, 1979).
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu,
yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-
lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar lempengnya berikut kegiatan
ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia yang semula mempunyai
kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena
terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30
milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983
dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai
sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini,
menurut teori “indentasi” pada akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar
geser di bagian sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara
tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan
busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi.
Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik
Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh,
2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun
lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak
beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman. Bagian selatan Pulau
Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) Sesar Sumatera menunjukkan sebuah
pola geser kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman, (2)
lokasi gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar, (3) cekungan busur muka
terbentuk sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama,
(4) punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk
sederhana, (5) sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka
dan cekungan busur muka relatif utuh, dan (6) sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) sesar Sumatera
berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman, (2)
busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera, (3) kedalaman cekungan busur muka
1 ~ 2 kilometer, (4) punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat
beragam, (5) homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur
Mentawai yang berada di sebelah selatannya, dan (6) sudut kemiringan penunjaman sangat
tajam.
Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik: (1) sepanjang 350
kilometer potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman, (2)
busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatera, (3) topografi cekungan busur muka
dangkal, sekitar 0.2 ~ 0.6 kilometer, dan terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun
miring , (4) busur luar terpecah-pecah, (5) homoklin yang terletak antara punggungan busur
muka dan cekungan busur muka tercabik-cabik, dan (6) sudut kemiringan penunjaman
beragam. Proses penunjaman miring di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan adanya
pembagian / penyebaran vektor tegasan tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus
dengan arah zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini
terutama berada di prisma akresi dan slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang
diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini
tidak cukup diakomodasi oleh sesar Sumatera tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di
sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga disebut zona sesar Mentawai (Diament, 1992).
Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi
lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara
geometri akan mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut
konvergensi antara dua lempeng tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan
terjadinya proses peregangan di antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut
sebagai lempeng mikro Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen
sejajar palung harus semakin besar ke arah barat-laut. Sebagai konsekuensi dari kenaikan
slip-vector pada daerah busur-muka ini, maka secara teoritis akan menaikkan slip-rate di
sepanjang sesar Sumatera ke arah barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan
radiometrik dari unsur yang terofsetkan di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa
kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi (Natawidjaja, Sieh, 1994). Pengukuran slip-
rate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di
Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang sebesar 11 milimeter / tahun
(Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11 milimeter / tahun (Zen dkk,
1991)
Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer
tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan India–
Australia dengan arah tumbukan 10°N ~ 7°S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang
masing-masing segmen 60 ~ 200 kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75°S ~ 5.9°S), segmen
Semangko (5.9°S ~ 5.25°S), segmen Kumering (5.3°S ~ 4.35°S), segmen Manna (4.35°S ~
3.8°S), segmen Musi (3.65°S ~ 3.25°S), segmen Ketaun (3.35°S ~ 2.75°S), segmen Dikit
(2.75°S ~ 2.3°S), segmen Siulak (2.25°S ~ 1.7°S), segmen Sulii (1.75°S ~ 1.0°S), segmen
Sumani (1.0°S ~ 0.5°S), segmen Sianok (0.7°S ~ 0.1°N), segmen Barumun (0.3°N ~ 1.2°N),
segmen Angkola (0.3°N ~ 1.8°N), segmen Toru (1.2°N ~ 2.0°N), segmen Renun (2.0°N ~
3.55°N), segmen Tripa (3.2°N ~ 4.4°N), segmen Aceh (4.4°N ~ 5.4°N), segmen Seulimeum
(5.0°N ~ 5.9°N)
Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian
barat, pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia
mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang
relatif stabil; sementara di sebelah timur pertemuan subduksi antara lempeng samudra
Australia dan lempeng-lempeng mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai
busur kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil. Perbedaan sudut penunjaman antara
propinsi Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan
bahwa batas busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen
terletak di selat Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola
kenampakan anomali gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian
barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur
Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan
namun jika dilakukan pembangingan dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, struktur-
struktur di Pulau Sumatra secara vertikal berkembang sebagai struktur bunga.
Tektonik Indonesia Barat dan Timur
Pembahasan tatanan teknonik Indonesia menggunakan pendekatan tektonik lempeng
telah lama dilakukan. Aplikasi teori ini untuk menerangkan gejala geologi regional di
Indonesia dilakukan oleh Hamilton (1970, 1973, 1978), Dickinson (1971), dan Katili (1975,
1978, 1980). Secara setempat-setempat Audley-Charles (1974) menerapkan teori ini untuk
menjelaskan gejala geologi kawasan Pulau Timor, Rab Sukamto (1975) dan Simanjuntak
(1986) menerapkannya untuk memahami keruwetan Sulawesi. Sartono (1990)
mengemukakan bahwa tatanan tektonik Indoenesia selama Neogen yang dipengaruhi oleh
tatanan geosinklin pasca Larami. Busur-busur geosiklin ini merupakan zona akibat proses
tumbukan kerak benua dan samudra. Kerak benua yang bekerja pada waktu itu terdiri dari
kerak benua Australia, kerak benua Cina bagian selatan, benua mikro Sunda, kerak samudra
Pasifik, dan kerak samudra Sunda. Tumbukan Larami tersebut membentuk busur-busur
geosinklin Sunda, Banda, Kalimantan utara dan Halmahera-Papua. Peta anomali gaya berat
dapat menunjukkan dengan baik pola hasil tektonik ini. Tatanan tektonik Indonesia bagian
barat menunjukkan pola yang relatif lebih sederhana dibanding Indonesia timur.
Kesederhanaan tatanan tektonik tersebut dipengaruhi oleh keberadaan Paparan Sunda yang
relatif stabil. Pergerakan dinamis menyolok hanya terjadi pada perputaran Kalimantan serta
peregangan selat Makassar. Hal ini terlihat pada pola sebaran jalur subduksi Indonesia Barat
(Katili dan Hartono, 1983, dan Katili, 1986; dalam Katili 1989). Sementara keberadaan benua
mikro yang dinamis karena dipisahkan oleh banyak sistem sesar (Katili, 1973 dan Pigram
dkk., 1984 dalam Sartono, 1990) sangat mempengaruhi bentuk kerumitan tektonik Indonesia
bagian timur.
Manfaat dari tatanan lempeng tektonik Indonesia
Penyebaran mineral ekonomis di Indonesia ini tidak merata. Seperti halnya penyebaran
batuan, penyebaran mineral ekonomis sangat dipengaruhi oleh tatanan geologi Indonesia
yang rumit. Berkenaan dengan hal tersebut, maka usaha-usaha penelusuran keberadaan
mineral ekonomis telah dilakukan oleh banyak orang. Mineral ekonomis adalah mineral
bahan galian dan energi yang mempunyai nilai ekonomis. Mineral logam yang termasuk
golongan ini adalah tembaga, besi, emas, perak, timah, nikel dan aluminium. Mineral non
logam yang termasuk golongan ini adalah fosfat, mika, belerang, fluorit, mangan. Mineral
industri adalah mineral bahan baku dan bahan penolong dalam industri, misalnya felspar,
ziolit, diatomea. Mineral energi adalah minyak, gas dan batubara atau bituminus lainnya.
Belakangan panas bumi dan uranium juga masuk dalam golongan ini walaupun cara
pembentukannya berbeda. (Sudradjat, 1999)
Keberadaan Mineral Logam
Pembentukan mineral logam sangat berhubungan dengan aktivitas magmatisme dan
vulkanisme, pada saat proses magmatisme akhir (late magmatism), pada suhu sekitar 200oC.
Westerveld (1952) menerbitkan peta jalur kegiatan magmatik. Dari peta tersebut dapat
diperkirakan kemungkinan keterdapatan mineral logam dasar yang pembentukannya
berkaitan dengan kegiatan magmatik. Carlile dan Mitchell (1994), berdasarkan data-data
mutakhir Simanjuntak (1986), Sikumbang (1990), Cameron (1980), Adimangga dan Trail
(1980), memaparkan busur-busur magmatik seluruh Indonesia sebagai dasar eksplorasi
mineral. Teridentifikasikan 15 busur magmatik, 7 diantaranya membawa jebakan emas dan
tembaga, dan 8 lainnya belum diketahui. Busur yang menghasilkan jebakan mineral logam
tersebut adalah busur magmatik Aceh, Sumatera-Meratus, Sunda-Banda, Kalimantan Tengah,
Sulawesi-Mindanau Timur, Halmahera Tengah, Irian Jaya. Busur yang belum diketahui
potensi sumberdaya mineralnya adalah Paparan Sunda, Borneo Barat-laut, Talaud, Sumba-
Timor, Moon-Utawa dan dataran Utara Irian Jaya. Jebakan tersebut merupakan hasil
mineralisasi utama yang umumnya berupa porphyry copper-gold mineralization, skarn
mineralization, high sulphidation epithermal mineralization, gold-silver-barite-base metal
mineralization, low sulphidation epithermal mineralization dan sediment hosted
mineralization.
Jebakan emas dapat terjadi di lingkungan batuan plutonik yang tererosi, ketika kegiatan
fase akhir magmatisme membawa larutan hidrotermal dan air tanah. Proses ini dikenal
sebagai proses epitermal, karena terjadi di daerah dangkal dan suhu rendah. Proses ini juga
dapat terjadi di lingkungan batuan vulkanik (volcanic hosted rock) maupun di batuan sedimen
(sedimen hosted rock), yang lebih dikenal dengan skarn. Contoh cukup baik atas skarn
terdapat di Erstberg (Sudradjat, 1999). Skarn Erstberg berupa roofpendant batugamping yang
diintrusi oleh granodiorit. Sebaran skarn dikontrol oleh oleh struktur geologi setempat.
Sebagai sebuah roofpendant, zona skarn bergradasi dari metasomatik contact sampai
metamorphic zone (Juharlan, 1993).
Konsep cebakan emas epitermal merupakan hal baru yang memberikan perubahan
signifikan pada potensi emas Indonesia. Cebakan yang terbentuk secara epitermal ini terdapat
pada kedalaman kurang dari 200 m, dan berasosiasi dengan batuan gunungapi muda berumur
kurang dari 70 juta tahun. Sebagian besar host rock merupakan batuan vulkanik, dan hanya
beberapa yang merupakan sediment hosted rock. Cebakan emas epitermal umumnya
terbentuk pada bekas-bekas kaldera dan daerah retakan akibat sistem patahan.
Proses mineralisasi dalam di lingkungan batuan vulkanik ini dikenal sebagai sistem porfiri
(porphyry). Contoh baik atas porfiri terdapat di kompleks Grasberg di Papua, dengan
mineralisasi utama bersifat disseminated sulfide dengan mineral bijih utama kalkopirit yang
banyak pada veinlet (MacDonald, 1994). Contoh lain terdapat di Pongkor dan Cikotok di
Jawa Barat, Batu Hijau di Sumbawa, dan Ratotok di Minahasa. Lingkungan lain adalah
kondisi gunungapi di daerah laut dangkal. Air laut yang masuk ke dalam tubuh bumi
berperan membawa larutan mineral ke permukaan dan mengendapkannya. Contoh terbaik
atas proses ini terjadi di Pulau Wetar, yang menghasilkan mineral barit. Proses pengkayaan
batuan karena pelapukan dikenal dengan nama pengkayaan supergen. Batuan granitik yang
lapuk akan menghasilkan mineral pembawa aluminium, antara lain bauxit. Proses ini sangat
berhubungan dengan keberadaan jalur magmatik, berupa subduksi pada lempeng benua
bersifat asam, sehingga menghasilkan baruan bersifat asam. Contoh pelapukan granit ini
antara lain terjadi di Kalimantan Barat, Bangka, Belitung dan Bintan. Peridotit terbentuk di
lingkungan lempeng samudera yang akan kaya mineral berat besi, nikel, kromit, magnesium
dan mangan. Keberadaannya di permukaan disebabkan oleh lempeng benua Pasifik yang
terangkat ke daratan oleh proses obduksi dengan lempeng benua Eurasia, yang kemudian
“disebarkan” oleh sesar Sorong (Katili, 1980) sebagai pulau-pulau kecil di berada di
kepulauan Maluku. Pelapukan akan menguraikan batuan ultrabasa tersebut menjadi mineral
terlarut dan tak terlarut. Air tanah melarutkan karbonat, kobalt dan magnesium, serta
membawa mineral besi, nikel, kobalt, silikat dan magnesium silikat dalam bentuk koloid
yang mengendap. Endapan kaya nikel dan magnesium oksida disebut krisopas, dan cebakan
nikel ini disebut saprolit. Proses pelapukan peridotit akan menghasilkan saprolit, batuan yang
kaya nikel. Pelapukan ini terjadi di sebagian kepulauan Maluku, antara lain di pulau Gag,
Buton dan Gebe (Sudrajat, 1999).
Keberadaan Minyak dan Gas Bumi
Energi minyak dan gas bumi mempunyai peran yang sangat strategis dalam berbagai
kegiatan ekonomi dan kehidupan masyarakat. Pada umumnya minyak bumi dewasa ini
memiliki peran sekitar 80% dari total pasokan energi untuk konsumsi kebutuhan energi di
Indonesia. Dengan demikian peran minyak dan gas bumi dalam peningkatan perolehan devisa
negara masih sangat diperlukan. Nayoan dkk. (1974) dalam Barber (1985) menjelaskan
bahwa terdapat hubungan yang erat antara cekungan minyak bumi yang berkembang di
berbagai tempat dengan elemen-elemen tektonik yang ada. Cekungan-cekungan besar di
wilayah Asia Tenggara merepresentasikan kondisi setiap elemen tektonik yang ada, yaitu
cekungan busur muka (forearc basin), cekungan busur belakang (back-arc basin), cekungan
intra kraton (intracratonic basin), dan tepi kontinen (continent margin basin), dan zona
tumbukan (collision zone basin). Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai
sumber, telah diketahui ada sekitar 60 basin yang diprediksi mengandung cebakan migas
yang cukup potensial. Diantaranya basin Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah,
Bengkulu, Jawa Barat Utara, Natuna Barat, Natuna Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem,
Banda, dll.
Cekungan busur belakang di timur Sumatera dan utara Jawa merupakan lapangan-
lapangan minyak paling poduktif. Pematangan minyak sangat didukung oleh adanya heat
flow dari proses penurunan cekungan dan pembebanan. Proses itu diperkuat oleh gaya-gaya
kompresi telah menjadikan berbagai batuan sedimen berumur Paleogen menjadi perangkap
struktur sebagai tempat akumulasi hidrokarbon (Barber, 1985). Secara lebih rinci,
perkembangan sistem cekungan dan perangkap minyak bumi yang terbentuk sangat
dipengaruhi oleh tatanan struktur geologi lokal. Sebagai contoh, struktur pull apart basin
menentukan perkembangan sistem cekungan Sumatera Utara (Davies, 1984). Perulangan
gaya kompresif dan ekstensional dari proses peregangan berarah utara-selatan mempengaruhi
pola pembentukan antiklinorium dan cekungan Palembang yang berarah N300oE
(Pulunggono, 1986). Demikian pula pola sebaran cekungan Laut Jawa sebelah selatan sangat
dipengaruhi oleh pola struktur berarah timur-barat (Brandsen & Mattew, 1992), sedang pola
cekungan di Laut Jawa bagian barat-laut berarah berarah timur-laut – baratdaya, sedang pola
cekungan di timur-laut berarah barat-laut – tenggara. Cekungan Kutai dan Tarakan
merupakan cekungan intra kraton (intracratonic basin) di Indonesia. Pembentukan cekungan
terjadi selama Neogen ketika terjadi proses penurunan cekungan dan sedimentasi yang
bersifat transgresif, dan dilanjutkan bersifat regresif di Miosen Tengah (Barber, 1985). Pola-
pola ini menjadiken pembentukan delta berjalan efektif sebagai pembentuk perangkap
minyak bumi maupun batubara.
Zona tumbukan (collision zone), tempat endapan-endapan kontinen bertumbukan
dengan kompleks subduksi, merupakan tempat prospektif minyak bumi. Cekungan Bula,
Seram, Bituni dan Salawati di sekitar Kepala burung Papua, cekungan lengan timur Sulawesi,
serta Buton, merupakan cekungan yang masuk dalam kategori ini. (Barber, 1985).
Keberadaan endapan aspal di Buton berasosiasi dengan zona tumbukan antara mikro
kontinen Tukang Besi dengan lengan timur-laut Sulawesi, dengan Banggai Sula sebagai
kompleks ofiolit (Barber, 1985; Sartono, 1999). Kehadiran minyak di Papua berasosiasi
dengan lipatan dan patahan Lenguru, yang merupakan tumbukan mikro kontinen Papua Barat
dengan tepi benua Australia (Barber, 1985). Sumber dan reservoar hidrokarbon terperangkap
struktur di bagian bawah foot-wall sesar normal serta di bagian bawah hanging-wall sesar
sungkup (Simanjuntak dkk, 1994.

Keberadaan Batubara dan Bituminus


Parameter yang mengendalikan bembentukan batubara adalah (1) sumber vegetasi, (2)
posisi muka air tanah (3) penurunan yang terjadi bersamaan dengan pengendapan, (4)
penurunan yang terjadi setelah pengendapan, (5) kendali lingkungan geotektonik endapan
batubara dan (6) lingkungan pengendapan terbentuknya batubara. Batubara lazim terbentuk
di lingkungan (1) dataran sungai teranyam, (2) lembah aluvial, (3) dataran delta, (4) pantai
berpenghalang dan (5) estuaria (Diessel, 1992). Batubara di Indonesia umumnya menyebar
tidak merata, 60% terletak di Sumatera Selatan dan 30% di Kalimantan Timur dan Selatan.
Sebagian besar batubara terbentuk di lingkungan litoral, paralik dan delta, sedang beberapa
terbentuk di lingkungan cekungan antar pegunungan. Kualitas batubara umumnya berupa
bituminous, termasuk dalam steaming coal. Antrasit berkualitas rendah karena pemanasan
oleh intrusi ditemukan di Bukit Asam, Sumatera dan Kalimantan Timur sedang pematangan
karena tekanan tektonik terbentuk di Ombilin, Sumatera Barat (Sudradjat, 1999).
Urutan kualitas batubara cenderung menggambarkan umurnya. Selama ini batubara di
Indonesia dihasilkan oleh cekungan berumur Tersier. Gambut berumur Resen sampai
Paleosen, batubara sub bituminus berumur Miosen dan batubara bituminus berumur Eosen.
Keberadaan Panasbumi
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki panas bumi terbesar di dunia.
Panasbumi sebaai energi alternatif tidak mempunyai potensi bahaya seperti energi nuklir,
serta dari sisi pencemaran jauh lebih rendah dari batubara. Keberadaan lapangan panas bumi
tersebut secara umum dikontrol oleh keberadaan sistem gunungapi. Di Indonesia lapangan
panasbumi tersebar di sepanjang jalur gunungapi yang memperlihatkan kegiatan sejak
Kwarter hingga saat ini. Jalur ini merentang dari ujung barat-laut Sumatera sampai kepulau
Nusatenggara, kemudian melengkung ke Maluku dan Sulawesi Utara. Pada jalur memanjang
sekitar 7.000 km, dengan lebar 50-200 km tersebut, terdapat 217 lokasi prospek, terdiri dari
70 lokasi prospek entalpi tinggi (t > 200oC) dan selebihnya entalpi menengah dan rendah.
Lapangan prospek tersebut tersebar di Sumatera (31), Jawa-Bali (22), Sulawesi (6),
Nusatenggara (8) dan Maluku (3), dengan seluruh potensi mencapai 20.000 MWe, dengan
total cadangan sekitar 9.100 Mwe. Pengembangan geotermal di Indonesia saat ini
dikonsentrasikan di Sumatera, Jawa-Bali dan Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan kawasan
tersebut telah memiliki infrastruktur yang memadai serta memiliki pertumbuhan kebutuhan
listrik yang tinggi. (Sudrajat, 1982: Sudarman dkk., 1998)

Mineralisasi Busur Vulkanik Jawa:


Sebuah Contoh Busur vulkanik Jawa merupakan bagian dari busur vulkanik Sunda-
Banda yang membentang dari Sumatera hingga Banda, sepanjang 3.700 km yang dikenal
banyak mengandung endapan bijih logam (Carlile & Mitchell, 1994). Batuan vulkanik hasil
kegiatan gunungapi yang berumur Eosen hingga sekarang merupakan penyusun utama pulau
Jawa. Terbentuknya jalur gunungapi ini merupakan hasil dinamika subduksi ke arah utara
lempeng Samudera Hindia ke Lempeng Benua Eurasia (Katili, 1989) yang berlangsung sejak
jaman Eosen (Hall, 1999). Kerak kontinen yang membentuk tepi benua aktif (active continent
margin) mempengaruhi kegiatan vulkanisme Tersier Jawa bagian barat, sedang kerak
samudera yang membentuk busur kepulauan (island arc) mempengarui kegiatan vulkanisme
Tersier Jawa bagian timur (Carlile & Mitchell, 1994).
Jalur penyebaran gunungapi di Indonesia terdiri dari jalur gunungapi tua (Tersier) dan
muda (Kwarter), yang sejajar dengan jalur penunjaman. Kegiatan vulkanisma Tersier terjadi
dalam dua perioda, yaitu perioda Eosen Akhir – Miosen Awal yang sebagian besar berafinitas
toleitik dan perioda Miosen Akhir – Pliosen yang sebagian besar berafinitas alkali kapur K
tinggi (Soeria-Atmadja dkk, 1991) beberapa batuan berafinitas shosonitik terdapat di Pacitan
dan Jatiluhur (Sutanto, 1993). Berdasarkan pentarikhan umur dengan menggunakan metoda
K/Ar, batuan volkanik Tersier tertua terdapat di Pacitan dengan umur 42,7, juta tahun, sedang
termuda terdapat di Bayah dengan umur 2,65 juta tahun (Soeria-Atmadja, 1991). Kegiatan
vulkanisma umumnya menghasilkan komposisi batuan bersifat andesitik. Beberapa
singkapan batuan beku bersifat dasitik terdapat di beberapa tempat, misalnya intrusi dasit
Ciemas Jawa Barat dan granodiorit Meruberi Jawa Timur serta retas-retas basalt yang banyak
terdapat di Kulonprogo Yogyakarta dan Pacitan Jawa Timur (Soeria-Atmadja, 1991; Sutanto,
1993; Paripurno dan Sutarto, 1996). Pola ritmik initerjadi karena adanya perubahan sudut
penunjaman.
Sutanto (1993) mengelompokkan batuan vulkanik Jawa berdasarkan waktu
terbentuknya, yaitu batuan-batuan vulkanik yang terbentuk oleh (1) Eosen-Oligosen awal, (2)
vulkanisme Eosen-Miosen Akhir, (3) vulkanisme Eosen Akhir – Miosen Awal, (4)
vulkanisme Miosen Tengah – Pliosen, serta (5) vulkanisme Kwarter. Batuan-batuan volkanik
Tersier di atas dikenal sebagai batuan vulkanik kelompok Andesit Tua (van Bemmerlen,
1933), yang saat ini lebih dikenal dengan nama Formasi Jampang, Formasi Cikotok dan
Formasi Cimapag untuk wilayah Jawa Barat; Formasi Gabo, Formasi Totogan, untuk wilayah
Kebumen dan sekitarnya; Formasi Kebo, Formasi Butak, Formasi Semilir, Formasi
Nglanggran, Formasi Semilir, untuk kawasan Gunungsewu dan sekitarnya; serta Formasi
Kaligesing, Formasi Dukuh, Formasi Giripurwo untuk wilayah Kulonprogo dan sekitarnya;
serta di Jawa Timur dikenal dengan nama Formasi Besole, Formasi Mandalika dan Fomasi
Arjosari.
Proses hidrotermal di Jawa yang terdapat mulai dari Pongkor Jawa Barat sampai
Sukamade Jawa Timur. Sebagian besar cebakan merupakan tipe low sulphidation epithermal
mineralization. Tipe lain berupa volcanogenic massive sulphide mineralization, misalnya
terdapat di Cibuniasih; sedang tipe veins assosiated with porphyry system misalnya terdapat
di Ciomas, dan sediment hosted mineralization hanya terdapat di beberapa tempat, misalnya
di Cikotok.
Secara umum cadangan yang terdapat di Jawa bagian barat lebih besar dibanding yang
terdapat di Jawa bagian timur. Cadangan terbesar di Jawa bagian barat terdapat di Pongkor
dengan kadar rata-rata 17,4 (Sumanagara dan Sinambela, 1991) dan jumlah cadangan lebih
dari 98 ton Au dan 1.026 Ag (Milesi dkk, 1999). Vulkanisme yang terkait dengan
mineralisasi umumnya menunjukkan umur yang relatif muda, Miosen Tengah – Pliosen.
Pentarikhan pada beberapa urat di Pongkor menunjukkan umur 2,7 juta tahun, di Cirotan
menujukkan umur 1,7 juta tahun, serta di Ciawitali menujukkan umur 1,5 juta tahun. Di
Cirotan urat-urat tersebut memotong ignimbrit riodasit berumur 9,5 juta tahun yang diintrusi
oleh mikrodiorit berumur 4,5 juta tahun (Milesi dkk., 1994). Di Pongkor urat-urat tersebut
berada pada lingkungan vulkanik kaldera purba yang terdiri dari batuan tufa breksi,
piroklastika dan lava bersusunan andesit-basalt yang diintrusi oleh andesit, dasit dan basalt
(Sumanagara dan Sinambela, 1991).
Gempa dan bencana lain suatu saat dan kapan saja akan terjadi pada kita. Namun
daibalik dari semua itu ada sisi baik dari sebuah bencana yang terjadi selama ini dengan
kelimpahan selain sumber daya alam adalah berupa bahan tambang yang telah dapat kita
nimati. Rasa syukur kita senantiasa menjauhkan kita dari bencana dan marabahaya yang
sewaktu – waktu datang pada kita

Anda mungkin juga menyukai