Anda di halaman 1dari 82

i

TEKNIK BUDIDAYA UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei)


PADA TAMBAK UDANG INTENSIF DI PT. SURYA WINDU KARTIKA,
KECAMATAN ROGOJAMPI, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR

LAPORAN PRAKTEK KERJA LAPANG


PROGRAM STUDI S-1 BUDIDAYA PERAIRAN

Oleh :

DONY HUSIN
SURABAYA-JAWA TIMUR

FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
ii

TEKNIK BUDIDAYA UDANG VANNAMEI (Litopenaeus vannamei)


PADA TAMBAK UDANG INTENSIF DI PT. SURYA WINDU KARTIKA,
KECAMATAN ROGOJAMPI, KABUPATEN BANYUWANGI, JAWA TIMUR

Praktek Kerja Lapang sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan
dan Kelautan Universitas Airlangga

Oleh :

DONY HUSIN
141411131128

Mengetahui, Menyetujui,

Dekan,
Fakultas Perikanan dan Kelautan Dosen Pembimbing
Universitas Airlangga,

Prof. Dr. Mirni Lamid, drh., MP Ir. Muhammad Arief, M.Kes


NIP.19620116 199203 2 001 NIP. 19750522 200312 1 001

ii
iii

RINGKASAN

DONY HUSIN. TEKNIK BUDIDAYA UDANG VANNAMEI (Litopenaeus


vannamei) PADA TAMBAK UDANG INTENSIF DI PT. SURYA WINDU
KARTIKA, KECAMATAN ROGOJAMPI, KABUPATEN BANYUWANGI,
JAWA TIMUR . Dosen Pembimbing Ir. Muhammad Arief, M.Kes.
Udang vannamei merupakan salah satu produk unggulan komoditas perikanan
yang banyak dikembangkan saat ini. Berkembangnya spesies ini disebabkan oleh
keunggulan yang dimiliki udang vannamei yaitu mempunyai kemampuan adaptasi
yang relatif tinggi terhadap perubahan lingkungan seperti perubahan suhu dan salinitas,
memiliki tingkat responsif yang tinggi terhadapan pakan yang diberikan dan memiliki
pemasaran yang baik di tingkat internasional.
Tujuan dari Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah untuk mengetahui secara
langsung teknik budidaya udang vannamei secara intensif serta permasalahan atau
kendala yang timbul selama proses budidaya udang vannamei secara intensif . Praktek
Kerja Lapang dilaksanakan di PT. Surya Windu Kartika, Rogojampi, Banyuwangi,
Jawa Timur pada tanggal 23 Januari hingga 23 februari 2017. Metode kerja yang
digunakan dalam Praktek Kerja Lapang ini adalah metode deskriptif dengan
pengambilan data meliputi data primer dan data sekunder.
Kegiatan dimulai dari persiapan tambak, persiapan air budidaya, penebaran benur
dengan padat tebar 150 ekor/m2, pemberian pakan dengan empat jenis pakan yaitu PL
feed, starter, grower dan finisher, manajemen kualitas air dengan suhu 26-32oC,
salinitas sebesar 23-25 ppt, pH sebesar 8-9,6, kecerahan tambak 30-45 cm dan TOM
sebesar40-70 mg/l, aplikasi probiotik, pengendalian hama dan penyakit, panen sebesar
5,5 ton, pasca panen.
Masalah yang dihadapi adalah sumber air yang digunakan memiliki kandungan
TOM yang sangat tinggi. Untuk mengatasi hai ini, maka perlu meningkatkan panjang
pipa pengambilan air laut agar jauh dari lingkungan pesisir yang memiliki kontaminan
tinggi.

iii
iv

SUMMARY

LUKMAN ARIF KURNIAWAN. Culture Tecniques of Vannamei Shrimp

(Litopenaeus vannamei) with Organism Autotrof and Heterotrof Combination on

Intensif Shrimp Pond at CV. Citra Birawa Wira Sakti, Banyuwangi, East Java.

Academic Advisor Prof. Moch. Amin Alamsjah, Ir., M.Si., Ph.D.

Vannamei shrimp is one of commodity that superior products developed today.


The development of this species due to the advantages of vannamei shrimp that have a
relatively high adaptability to environmental changes such as temperature and salinity,
have a high level of responsiveness to given feed and have good marketing on an
international level.
The purpose of this Field Work Practice (PKL) is to know directly vannamei
shrimp culture techniques intensively with autotrophic and heterotrophic combination
and also the problems or obstacles that arise during the process of intensive cultivation
of vannamei shrimp with a combination autotrof and heterotrophic underway. Practice
Field Work was held in CV. Citra Birawa Wira Sakti, Wongsorejo, Banyuwangi, East
Java on January 11 until February 12, 2015. The working methods used in this Field
Work Practice was a descriptive method with data collection includes primary data and
secondary data.
Activities begin from pond preparation, culture water preparation, stocking
practices with stocking density 130-160 tail / m2, feeding with four types of feed that
feeds PL, starter, grower and finisher, water quality management with 25-28oC
temperature in the morning and 22-26oC in the afternoon, salinity at 38.5 to 41 ppt, pH
of 7.2 to 7.8 and the brightness of the pond 30-45 cm, the application of probiotics,
pests and diseases control, harvest, post-harvest.
Problems in the provision of artificial feed is limited and can not be ascertained
stock. To resolve this matter, it is necessary to increase the feed warehouse capacity to
maintain feed stocks remain available until feed back to normal distribution.

iv
v

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, serta

hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Praktek Kerja Lapang

tentang teknik budidaya udang vannamei (litopenaeus vannamei) pada tambak udang

intensif di PT. surya windu kartika, kecamatan rogojampi, Kabupaten Banyuwangi,

jawa timur. Penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga pada orang tua dan

keluarga yang telah mendoa’akan, mendidik dan memberikan motivasi serta semangat

hingga terselesaikannya laporan Praktek Kerja Lapang ini. Laporan Praktek Kerja

Lapang (PKL) ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan

Universitas Airlangga Surabaya.

Penulis menyadari bahwa laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini masih belum

sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi

perbaikan dan kesempurnaan laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini. Penulis

berharap semoga laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini bermanfaat dan dapat

memberikan informasi kepada semua pihak, khususnya bagi Mahasiswa Program Studi

Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Airlangga Surabaya

guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan,

terutama budidaya perairan.

Surabaya, 11 Juni 2017

Penulis

v
vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Praktek Kerja Lapang ini banyak

melibatkan orang - orang yang sangat berarti bagi penulis, oleh karena itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat serta ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Mirni Lamid, drh., MP., selaku Dekan Fakultas Perikanan dan

Kelautan Universitas Airlangga.

2. Ir. Muhammad Arief, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bimbingan sejak penyusunan usulan hingga penyelesaian Laporan

Praktek Kerja Lapang ini dengan penuh kesabaran.

3. Rr. Juni Triastuti, S.Pi., M.Si, selaku Dosen Wali yang telah memberikan saran

dan nasehat dan menjadi orang tua kedua saya.

4. Dr. Woro Hastuti Satyantini,Ir., M.Si., dan Dr. Kismiyati, Ir., M.Si., selaku

Dosen Penguji sidang Praktek Kerja Lapang yang telah memberikan banyak

masukan dan saran.

5. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan terbaiknya dari

awal hingga akhir penyusunan.

6. Bapak Mujianto, Bapak David, Mas Rahmmad, Mas Saihul dan Mba ifa sebagai

pembimbing lapangan yang banyak memberikan informasi selama PKL.

Surabaya, 11 Juni 2017

Penulis

vi
vii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ..................................................................................................... iv
SUMMARY ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.3 Manfaat ...................................................................................................... 3
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udang Vannamei ....................................................................................... 4
2.1.1 Klasifikasi Udang Vannamei........................................................... 4
2.1.2 Morfologi Udang Vannamei ........................................................... 4
2.1.3 Reproduksi dan Siklus Hidup Udang Vannamei ............................. 6
2.1.4 Habitat Udang Vannamei .............................................................. 10
2.1.5 Kebiasaan Makan Udang Vannamei ............................................. 11
2.2 Teknik Budidaya Udang Vannamei. ....................................................... 11
2.2.1 Persiapan Tambak........................................................ .................. 11
2.2.2 Persiapan Air Tambak........................................................ ............ 13
2.2.3 Seleksi dan Penebaran Benih........................................................ . 14
2.2.4 Pengelolaan Kualitas Air........................................................ ........ 15
2.2.5 Manajemen Pakan Buatan........................................................ ...... 17
2.2.6 Pengendalian Hama dan Penyakit Udang.......................................19
2.2.7 Panen dan Pasca Panen................................................................... 23

vii
viii

2.2.8 Analisis Usaha................................................. ....... ....................... 24


III PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1 Tempat dan Waktu ................................................................................ 25
3.2 Metode Kerja ......................................................................................... 25
3.3 Metode Pengumpulan Data ................................................................... 26
3.3.1 Data Primer.................................................................................... 26
3.3.2 Data Sekunder ............................................................................... 27
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang ...................................... 29
4.1.1 Latar Belakang Berdirinya Usaha ................................................. 29
4.1.2 Letak Geografis dan Topografi Lokasi ......................................... 29
4.1.3 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja ......................................... 30
4.1.4 Kegiatan Usaha.............................................................................. 31
4.2 Sarana dan Prasarana .............................................................................. 32
4.2.1 Sarana ............................................................................................ 32
4.2.2 Prasarana ....................................................................................... 35
4.3 Kegiatan di Lokasi Praktek Kerja Lapang (PKL) .................................. 37
4.3.1 Persiapan Tambak ......................................................................... 37
4.3.2 Persiapan Air Budidaya ................................................................. 37
4.4 Penebaran Benur ..................................................................................... 40
4.5 Manajemen Pemberian Pakan ................................................................ 41
4.5.1 Pakan yang Digunakan ................................................................... 41
4.5.2 Frekuensi Pemberian Pakan ........................................................... 42
4.5.3 Metode Pemberian Pakan ............................................................... 44
4.5.4 Kontrol Anco .................................................................................. 45
4.5.5 Penyimpanan Pakan ....................................................................... 46
4.6 Manajemen Kualitas Air ......................................................................... 48
4.6.1 Parameter Fisika Air ....................................................................... 48
4.6.2 Parameter Kimia Air ...................................................................... 50
4.6.3 Parameter Biologi Air .................................................................... 54
4.7 Manajemen Pupuk .................................................................................... 56

viii
ix

4.8 Manajemen Probiotik ............................................................................... 58


4.9 Pengendalian hama dan Penyakit ............................................................. 60
4.9.1 WFD (White Feses Disease) ............................................................ 60
4.9.2 IMNV (Infectious Myo Necrotic Virus) ........................................... 61
4.10 Panen dan Pasca Panen ........................................................................... 62
4.11 Analisis Usaha ........................................................................................ 64
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 66
5.2 Saran ........................................................................................................ 67
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 68
LAMPIRAN ....................................................................................................... 70

ix
x

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Parameter Kualitas air budidaya udang vannamei ................................. 15

2. Data Tenaga Kerja ................................................................................. 31

3. Bangunan PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II ............................. 35

4. Fasilitas Transportasi di PT Surya Windu Kartika Unit Jatisari II. ........ 36

5. Kualitas pakan dalam air setelah 1 jam. ................................................. 43

6. Analisis usaha Tambak Udang Jatisari II ............................................... 64

x
xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Morfologi udang vannamei ............................................................................... 5

2. Perkembangan Stadia Nauplius Udang Vannamei ............................................ 7

3. Perkembangan Larva Stadia Protozoea Udang Vannamei ................................ 8

4. Perkembangan Larva Stadia Mysis Udang Vannamei ...................................... 9

5. Perkembangan Larva Stadia Post Larva Udang Vannamei ............................... 9

6. Siklus hidup udang vannamei.......................................................................... 10

7. Kolam Budidaya Udang Vannamei ................................................................. 32

8. Posisi Kincir dan Arah Arus pada Petakan ..................................................... 34

xi
xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Peta Lokasi PKL ............................................................................................. 70

xii
1

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia yang merupakan negara dengan garis pantai terbesar di dunia yakni

mencapai 7.000.000 ha, dengan sumber daya alam yang melimpah merupakan potensi

untuk kegiatan perikanan di Indonesia. Menurut data dari Direktorat Jendral Perikanan

(2007) luas lahan di sekitar pantai yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi

tambak sekitar 600.000 – 985.000 ha dengan perhitungan maksimal 20 % hutan bakau

di Indonesia dapat dibuka menjadi tambak. Menurut Fariyanto (2012) potensi

sumberdaya alam yang melimpah ini sangat mendukung kegiatan budidaya komoditas

air payau di Indonesia, seperti ikan air payau dan udang di tambak.

Kegiatan usaha budidaya udang merupakan salah satu komoditas yang paling

di minati di Indonesia, dengan nilai produksi yang mencapai 640 ribu ton pada tahun

2013 dengan peningkatan 13.9% per tahun, dengan nilai produksi yang sangat tinggi

tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara produsen utama udang di ASEAN

(Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2015).

Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) resmi masuk ke indonesia pada tahun

2001 berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 41/2001. Udang

vannamei sendiri merupakan udang yang berasal berasal dari daerah subtropis pantai

barat Amerika, mulai dari Teluk California diMexico bagian utara sampai ke pantai

barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke

Peru di Amerika Selatan (Badrudin, 2014). Udang vannamei merupakan komoditas

unggulan yang memiliki beberapa kelebihan di bandingkan udang windu, antara lain

pertumbuhan lebih cepat, terutama pada 60 hari pertama, sehinga masa pemeliharaan
2

relatif lebih pendek untuk memperoleh ukuran pasar (ukuran 60-80), umumnya dapat

diperoleh ukuran panen yang lebih seragam, pakan buatan untuk budidaya udang

vannamei harganya relatif lebih murah dengan rasio konversi pakan yang lebih rendah,

produktifitas per satuan luas lahan lebih tinggi, karena hidup di seluruh kolom air,

sehingga kepadatannya dapat ditingkatkan sampai lebih dari seratus ekor/m2 dan udang

vannamei yang masuk ke Indonesia berasal dari populasi yang Spesific Pathogen Free

(SPF), terutama terhadap infeksi Taura Syndrome Virus (TSV) dan lebih resisten

terhadap infeksi WSSV (Taukhid dkk, 2009).

Kegiatan budidaya udang vannamei meliputi aspek teknis dan aspek non teknis,

aspek teknis sendiri meliputi segala kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan

budidaya yakni, persiapan lahan, pemilihan benih yang berkualitas, manajemen

kualitas air, manajemen pakan, serta kontrol hama dan penyakit. Sedangkan aspek non

teknis seperti panen dan kegiatan pasca panen (Slamet dkk, 2009).

1.2 Tujuan

Tujuan pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah :

a. Untuk mengetahui secara langsung tentang teknik budidaya udang vannamei

(Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika,

Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

b. Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam kegiatan budidaya udang

vannamei (Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu

Kartika, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.


3

c. Untuk mengetahui Prospek usaha dalam kegiatan budidaya udang vannamei

(Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika,

Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

1.3 Manfaat

Manfaat pelaksanaan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini adalah :

a. Mahasiswa dapat mengetahui secara langsung tentang teknik budidaya udang

vannamei (Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu

Kartika, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

b. Mahasiswa dapat mengetahui permasalahan yang terjadi dalam teknik budidaya

udang vannamei (Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya

Windu Kartika, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

c. Mahasiswa dapat mengetahui Prospek usaha dalam teknik budidaya udang

vannamei (Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu

Kartika, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.


4

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei)


2.1.1 Klasifikasi Udang Vannamei
Klasifikasi Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) menurut Haliman dan

Adiwidjaya (2005) :

Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Sub Kelas : Eumalacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Dendrobrachiata
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

2.1.2 Morfologi Udang Vannamei


Udang vannamei memiliki tubuh yang terdiri dari dua segmen atau disebut juga

dengan (biramous), yakni bagian eksopodite dan endopodite. Udang vannamei

termasuk kelompok hewan yang seluruh bagian tubuhnya tertutup oleh eksoskeleton

yang tebuat dari zat kitin. Tubuh dari udang vannamei terdiri dari beberapa ruas dan

memiliki kebiasan ganti kulit yang disebut dengan (moulting) secara berkala.

Berdasarkan eksoskeleton yang ada pada udang ini tubuh udang vannamei dibagi

menjadi 3 bagian yakni bagian depan kepala sampai dada yang disebut

(chepalothorax), bagian perut yang disebut (abdomen), dan bagian ekor yang disebut

(uropod). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat

digunakan untuk beberapa keperluan antara lain : makan, bergerak dan membenamkan
5

diri ke dalam lumpur, menopang insang, karena struktur insang udang mirip bulu

unggas serta organ sensor seperti antenna dan antennulae (Haliman dan Adijaya, 2005).

Bentuk morfologi udang vannamei dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Morfologi udang vannamei (Haliman dan Adijaya, 2005)

Cephalothorax udang vannamei terdiri dari antenna, antennulae, mandibula

dan dua pasang maxillae. Kepala ditutupi oleh cangkang yang memiliki ujung runcing

dan bergigi yang disebut rostrum. Kepala udang juga dilengkapi dengan tiga pasang

maxilliped dan lima pasang kaki jalan (periopod). Maxilliped sudah mengalami

modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan (Haliman dan Adijaya, 2005).

Bagian abdomen terdiri dari enam ruas, terdapat lima pasang kaki renang pada ruas

pertama sampai kelima, sepasang ekor kipas (uropoda) dan ujung ekor (telson) pada

ruas yang keenam serta di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus)

(Wyban dan Sweeny, 1991).


6

Ciri morfologi khusus yang dimiliki oleh udang vannamei adalah pigmen

karotenoid yang terdapat pada kulit udang vannamei yang dapat memberikan pigmen

warna putih kemerahan, pigmen karotenoid ini dapat berkurang dan terdegradasi setiap

kali udang ini mengalami moulting (Haliman dan Adijaya, 2005).

2.1.3 Reproduksi dan Siklus Hidup Udang Vannamei


Udang vannamei termasuk sebagai hewan yang memiliki organ reproduksi

yang terpisah atau disebut juga dengan hewan heteroseksual, organ reproduksi pada

jantan antara lain petasma, testis, vasa deferensia dan apendiks maskulina, organ

reproduksi jantan terletak di antara kaki renang pertama dan berfungsi sebagai organ

penyalur sperma, sedangkan organ reproduksi betina disebut Thelikum, sepasang

ovarium¸oviduct dan lubang genital. Thelikum terletak di antara kaki jalan ke 5 dan

kaki jalan ke 6, organ ini berfungsi sebagai penampung sperma sebelum terjadi

pembuahan (Akbar, 2015).

Udang vannamei termasuk sebagai golongan hewan nocturnal atau hewan yang

aktif pada malam hari, proses perkawinan juga sering dilakukan ketika malam atau

pada kondisi yang minim cahaya. Secara alami udang vannamei kawin pada daerah

lepas pantai yang dangkal, proses kawin udang vannamei terbilang sederhana yakni

pemasukan spermatophor dari udang jantan ke betina, dimana setelah mendapat sinyal

dari alam maka akan langsung terjadi pemijahan. Proses pembuahan dilakukan pada

perairan pantai yang lebih dalam, dimana telur akan dikeluarkan dan difertilisasi secara

eksternal dalam air (Martosudarmo dan Ranumiharjo, 1983). Menurut Haliman dan

Adijaya (2005) udang vannamei yang berukuran 30-45 gr dapat menghasilkan

100.000-250.000 butir telur yang berukuran kurang lebih 0,22 mm. Perkembangan

larva udang vannamei terdiri dari beberapa stadia antara lain :


7

a. Stadia Nauplius

Nauplius bersifat planktonik dan phototaksis positif (mendekati cahaya). Udang

yang masih dalam stadia ini belum memerlukan makanan dikarenakan masih memiliki

kuning telur. Perkembangan stadia nauplius terdiri dari enam stadium. Nauplius

memiliki tiga pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena kedua dan mandible.

Fase Nauplius dapat dilihat pada gambar 2 berikut.:

Gambar 2. Perkembangan Stadia Nauplius Udang Vannamei (Pudadera et al, 1985)

Keterangan : N-1 = Stadia Nauplius fase pertama


N-2 = Stadia Nauplius fase kedua
N-3 = Stadia Nauplius fase ketiga
N-4 = Stadia Nauplius fase keempat
N-5 = Stadia Nauplius fase kelima

b. Stadia Zoea

Perubahan bentuk dari nauplius menjadi zoea memerlukan waktu kira-kira 40

jam setelah penetasan. Pada stadia ini larva cepat bertambah besar. Tambahan makanan

yang diberikan sangat berperan dan larva aktif memakan phytoplankton. Stadia akhir

zoea juga memakan zooplankton. Zoea sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat
8

kuat dan ada juga yang lemah diantara tingkat stadia zoea tersebut. Fase Zoea dapat

dilihat pada gambar 3 berikut :

Gambar 3. Perkembangan Larva Stadia Protozoea Udang Vannamei


(Pudadera et al, 1985)

Keterangan : Z-1 = Stadia Protozoea fase pertama


Z-2 = Stadia Protozoea fase kedua
Z-3 = Stadia Protozoea fase ketiga

c. Stadia Mysis

Larva mencapai stadia mysis pada hari ke lima setelah penetasan. Larva pada

stadia ini kelihatan lebih dewasa dari dua stadia sebelumnya. Stadia mysis lebih kuat

dari stadia zoea dan dapat bertahan dalam penanganan. Stadia mysis memakan

phytoplankton dan zooplankton, akan tetapi lebih menyukai zooplankton menjelang

stadia mysis akhir. Fase Mysis dapat dilihat pada gambar 4 berikut:
9

Gambar 4. Perkembangan Larva Stadia Mysis Udang Vannamei


(Pudadera et al, 1985)
Keterangan : M-1 : Stadia Mysis fase pertama
M-2 : Stadia Mysis fase kedua
M-3 : Stadia Mysis fase ketiga

d. Stadia Post Larva

Perubahan bentuk dari mysis menjadi post larva terjadi pada hari kesembilan.

Stadia post larva mirip dengan udang dewasa, dimana lebih kuat dan lebih dapat

bertahan dalam penanganan. Post larva bersifat planktonik, dimana mulai mencari

jasad hidup sebagai makanan. Fase Post Larva dapat dilihat pada gambar 5 berikut :

Gambar 5. Perkembangan Larva Stadia Post Larva Udang Vannamei


(Pudadera et al, 1985)
Keterangan : PL 1 = Stadia Post larva fase pertama

Siklus hidup atau siklus produksi dari udang vannamei dapat di lihat pada
gambar 6.
10

Gambar 6. Siklus hidup udang vannamei (Haliman dan Adijaya, 2005)

2.1.4 Habitat Udang Vannamei


Udang vannamei memiliki habitat alami berupa perairan pantai Pasifik Barat,

sepanjang Peru bagian utara, melalui Amerika Tengah dan Selatan sampai Meksiko

bagian selatan, secara umum udang ini mampu hidup pada perairan dengan suhu di

bawah 20°C dan hidup optimum pada perairan tropis dengan suhu 23-30°C. Udang

vannamei merupakan hewan yang memiliki toleransi salinitas yang cukup tinggi yakni,

0,5-45 ppt, hal ini menyebabkan udang ini memiliki penyebaran yang cukup luas di
11

alam karena tidak di batasi oleh pengaruh suhu dan salinitas suatu perairan (Brown,

1991).

2.1.5 Kebiasaan Makan Udang Vannamei


Udang vannamei merupakan hewan pemakan segala atau disebut juga

omnivorus, pada habitat alaminya udang ini sering memakan jasad renik, krustacea

kecil, amphipoda dan polychaeta. Udang vannamei tidak makan setiap saat, akan tetapi

hanya makan pada waktu tertentu saja, intensitas makan dan waktu makan pada udang

ini di tentukan oleh faktor lingkungan di sekitarnya (Badrudin, 2014).

Udang vannamei memiliki organ tambahan berupa bulu-bulu halus (setae) yang

berfungsi sebagai organ sensoris untuk mencari dan mengidentifikasi sumber pakan

yang mengandung senyawa organik berupa asam amino, protein dan asam lemak.

Organ ini akan memberikan sinyal kimiawi apabila terdapat sumber pakan yang

mengandung senyawa yang dibutuhkan udang. Organ sensor ini terdapat pada ujung

anterior antenula bagian mulut, capit, antenna dan maxilliped (Haliman dan Adijaya,

2005).

2.2 Teknik Budidaya Udang Vannamei


2.2.1 Persiapan Tambak
Sebelum dilakukan pengisian air terlebih dahulu dilakukan persiapan tambak

yang meliputi, perbaikan petakan, pengeringan, pengapuran, pemupukan dan

pembalikan tanah dasar tambak guna memperbaiki kualitas petakan sebelum dilakukan

pemeliharaan udang vannamei. Selain persiapan tambak tandon sebagai tempat

penampungan air sebelum digunakan dalam budidaya juga harus di persiapkan dengan

cara, pengeringan dan pengapuran (Slamet dkk, 2009).


12

Perbaikan konstruksi tambak meliputi penambalan dan penutupan kebocoran

pada fisik pematang tambak agar lebih kuat dan mengantisipasi kebocoran pada saat

kegiatan budidaya berlangsung, selain itu juga meliputi perbaikan saluran keluar masuk

air dan membentuk kemiringan pada dasar tambak kearah pintu pengeluaran air untuk

mempermudah penyiponan sisa pakan dan kotoran udang (Badrudin, 2014).

Pengeringan dasar tambak bertujuan untuk memperbaiki kualitas tanah dasar

tambak serta mematikan hama dan penyakit yang ada di dasar tambak. Pengeringan

dilakukan sampai tanah dasar tanah dasar tambak terlihat pecah-pecah atau kandungan

air dari tanah dasar tambak di bawah 20%, tidak berbau serta apabila dilakukan

pemeriksaan secara laboratorium, kandungan bahan organik dari tanah dasar akan

kurang dari 12% (Badrudin, 2014).

Pengapuran tanah tambak bertujuan untuk memperbaiki pH tanah suatu

tambak, mempercepat proses penguraian bahan organik, mengikat gas asam yang di

hasilkan dari organisme perairan serta mematikan bakteri dan parasit yang ada di dasar

tambak. Pengapuran tanah tambak dapat menggunakan kapur dolomit, kapur pertanian

(CaCO3), kapur tohor (CaO) dan kapur mati (Ca(OH)2). Dosis pengapuran tergantung

dari jenis kapur yang di gunakan, luas lahan tambak dan tingkat keasaman dari tanah

dasar tambak itu sendiri, untuk dosis penggunaan kapur tohor (CaO) dalam tanah yang

ber pH kurang dari 4 dapat menggunakan kapur tohor sebanyak 500-1000 kg/ha

(Badrudin, 2014).

Pemupukan bertujuan untuk memperbaiki kualitas air serta menumbuhkan

pakan alami berupa plankton. Pemupukan dilakukan setelah pengapuran, hal ini

bertujuan agar organisme parasit tidak berkembang setelah pemberian nutrisi yang
13

berasal dari proses pemupukan. Jenis pupuk yang digunakan tergantung dari jenis tanah

dasar tambak, untuk tambak yang memiliki dasar pasir sebaiknya menggunakan jenis

pupuk kompos atau komersial. Penggunaan pupuk Nitrat (N) dan Fosfat (P) dilakukan

secara langsung pada tanah dasar tambak dengan rasio perbandingan 1:4 atau 1:6

(Nitrogen dan Fosfat), dosis pemupukan minimal 1ppm untuk pupuk Sp36 (Badrudin,

2014).

2.2.2 Persiapan air tambak


Kualitas air yang akan di gunakan dalam kegiatan budidaya harus diperiksa

terlebih dahulu sebelum di masukan ke dalam petakan tambak. Air yang akan di

gunakan diendapkan dalam tandon selama beberapa saat, pengendapan bertujuan agar

bahan-bahan tersuspensi tidak ikut masuk kedalam petakan tambak budidaya. Setelah

air diendapkan dalam tandon air di saring dengan saringan berlapis yang memiliki

ukuran mesh size 80, untuk mencegah masuknya bibit predator, ikan liar dan inang

penyakit. Pengisian air minimal 80 cm dari dasar tambak. Setelah pengisian air,

dilakukan sterilisasi dengan klorin berbahan aktif 90% dengan dosis 10-20 ppm,

aplikasi klorin dilakukan dengan cepat dan merata karena chlorin merupakan oksidator

yang kuat dan dapat merusak lingkungan apabila dosis yang diberikan tidak sesuai

dengan daya dukung lingkungan (Badrudin, 2014).

Pembentukan warna air dapat dilakukan dengan pemupukan urea 10 Kg/Ha dan

SP36 sebanyak 15 Kg/Ha sampai terbentuk warna pada air. Sedangkan untuk

mempertahankan warna air atau menumbuhkan bakteri menguntungkan dapat

menggunakan probiotik yang mengandung Bacillus subtilis, Nitrosomonas,


14

Nitrobacter, Saccaromyces, Rhodobacter dan Rhodococcus. Pembentukan warna air

dilakukan sampai terbentuk transparansi 70 cm (Slamet dkk, 2009).

2.2.3 Seleksi dan Penebaran Benih


Benih udang vannamei yang akan dibudidayakan harus menggunakan benih

yang berkualitas dan bebas dari virus serta berasal dari pembenihan atau hatchery

bersertifikat serta sudah menerapkan cara pembenihan yang baik. Benih udang yang di

gunakan telah memenuhi kriteria SPF (Specific Pathogen Free). Salah satu cara seleksi

benih udang yang berkualitas dengan cara screaning benih udang dengan pemberian

formalin dengan dosis 10 ppm selama 1 jam dan di amati tingkah laku udang setelah

perlakuan, apabila udang masih dapat bergerak aktif maka bisa di simpulkan benih

udang tersebut terbebas dari WSSV (White Spot Synrome Virus) (Lulu, 2016).

Penebaran benih udang vannamei dengan padat tebar intensif mencapai 60-100

ekor/m2. Penebaran benih udang dilakukan setelah warna air berwarna hijau

kecoklatan, karena warna air merupakan indikator kepadatan plankton pada suatu

perairan, apabila warna perairan sudah menunjukan warna hijau kecoklatan maka

plankton yang ada di perairan tersebut sudah siap di gunakan dalam kegiatan budidaya.

Penebaran benih udang di awali dengan proses aklimatisasi untuk menyesuaikan suhu

media angkut benih dengan suhu perairan, proses aklimatisasi dilakukan dengan cara

mengapung-apungkan media angkut benih ke perairan tambak sampai timbul embun

dari dalam media angkut. Adaptasi salinitas merupakan proses penyesuaian diri benih

udang terhadap tingkat salinitas lingkungannya, dengan cara memasukan air tambak

sedikit demi sedikit ke dalam media angkut benih sampai salinitas di tambak sama

dengan salinitas yang ada pada media angkut benih. Pelepasan benih udang ke tambak
15

dapat dilakukan dengan menenggelamkan media angkut benih secara perlahan, sampai

benur keluar dengan sendirinya. Sisa benur yang tidak keluar dari kantong, dibantu

pengeluarannya secara hati-hati (Badrudin, 2014).

2.2.4 Pengelolaan Kualitas Air


Kualitas air merupakan salah satu parameter kunci dalam kegiatan budidaya,

hal ini dikarenakan kualitas air sangat mempengaruhi pertumbuhan udang yang

dibudidayakan. Pengelolaan kualitas air yang baik pada kegiatan budidaya udang

vannamei dapat meningkatkan produktivitas dari tambak, laju pertumbuhan udang

serta tingkat kelulushidupan dari udang vannamei (Haeruddin dkk, 2013).

Parameter kualitas air yang sangat mempengaruhi keberhasilan kegiatan

budidaya mencangkup parameter fisika dan parameter kimia air, beberapa parameter

kualitas air tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1. Parameter Kualitas air budidaya udang vannamei

Parameter Metode atau alat uji Waktu uji Angka referensi


Fisik
1. Suhu Termometer Pagi dan sore 26-300 C
2. Kecerahan secchi disc Pagi dan sore 7.5-8,5
Kimia
Siang atau sore 2-3
1. Nitrit Test kit < 0,1 ppm
hari sekali
Siang atau sore
2. Fosfat Test kit 1-3 ppm
seminggu sekali
3. Alkalinitas Titrasi asam basa siang dan sore > 150 ppm
4. Besi (Fe) Test kit 2-3 hari sekali < 1 ppm
5. H2S Spektrofometer Seminggu sekali < 7 ppb
pH meter dan kertas
6. pH pagi dan sore 7,5-8,5
pH
7. Salinitas Refraktometer pagi dan sore 15-30 ppt
8. DO DO meter 02.00-05.00 > 3 ppm
Sumber : (Haliman dan Adijaya, 2005)
16

Pengukuran parameter kualitas air secara laboratorium dapat dilakukan secara

periodik selama seminggu sekali, adapun parameter kualitas air yang di ukur secara

laboratorium antara lain, Total Kandungan Bahan Organik (TOM), kelimpahan dan

jenis plankton, total bakteri, dan total padatan tersuspensi (Badrudin, 2014).

Kandungan oksigen terlarut (DO) merupakan salah satu parameter yang

mempengaruhi metabolisme udang vannamei dalam suatu perairan, metabolisme

udang akan terhambat apabila DO suatu perairan di bawah 3 ppm, kebutuhan akan DO

dapat berubah tergantung dari suhu perairan itu sendiri, semakin tinggi suhu suatu

perairan maka metabolisme udang di perairan tersebut semakin meningkat sehingga

kebutuhan akan oksigen juga semakin meningkat (Haeruddin dkk, 2013). Kandungan

oksigen terlarut dalam suatu perairan dapat di tingkatkan dengan penggunaan kincir

dan penggantian air baru, dalam kondisi darurat atau kondisi DO yang sangat buruk

dapat dilakukan penambahan hydrogen peroksida dilakukan secara berulang setiap 2

jam sampai kandungan oksigen kembali stabil (Badrudin, 2014).

Udang vannamei secara umum merupakan hewan air yang dapat hidup pada

rentang salinitas yang luas, udang vannamei dapat hidup pada salinitas 0,5-35 ppt.

udang vannamei hidup optimal pada salinitas dengan kisaran 15-30 ppt, apabila udang

vannamei hidup pada salinitas di bawah 15 ppt, udang vannamei masih dapat hidup

akan tetapi metabolisme udang akan terganggu dan menurunkan laju pertumbuhan dari

udang vannamei, selain itu apabila udang vannamei hidup pada salinitas yang rendah

karapas udang akan lembek dan menurunkan harga jual dari udang vannamei (Weihua

et al, 2016).
17

Kandungan bahan organik yang ada pada dasar perairan berupa amoniak dan

nitrit harus selalu di perhatikan, amoniak dan nitrat berasal dari sisa metabolisme atau

feses dan sisa bahan pakan yang tidak di cerna udang. Amoniak dan nitrit bersifat toksik

dan dapat mengakibatkan kematian pada udang apabila konsentrasinya tinggi dalam

suatu perairan, oleh karena itu perlu adanya pemberian probiotik yang mengandung

bakteri nitrifikasi agar dapat merombak amoniak dan nitrat menjadi nitrit, nitrit sendiri

merupakan senyawa yang dapat dimanfaatkan sebagai nutrient oleh plankton di

perairan tersebut (Haeruddin dkk, 2013). Apabila terjadi penumpukan bahan organik

yang ada di dasar tambak. Dapat dilakukan penambahan air untuk menjaga ketinggian

air agar tetap stabil, selain itu penambahan air juga dapat dilakukan apabila terjadi

penguapan yang cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi ketinggian perairan. Air

yang di gunakan dalam penambahan terlebih dahulu diendapkan selama beberapa saat

di tandon air dan juga disterilisasi menggunakan kaporit sebesar 30 ppm (Slamet dkk,

2009).

2.2.5 Manajemen Pakan Udang


Dalam budidaya udang vannamei manajemen pakan sangat menentukan laju

pertumbuhan dari udang yang dibudidayakan, semakin baik manajemen pakan yang

dilakukan maka laju pertumbuhan udang akan ikut meningkat. Manajemen pakan

udang vannamei meliputi pakan alami berupa plankton yang ada di perairan dan juga

pakan buatan berupa pelet dan crumble. Pakan buatan berupa pelet diberikan sebagai

penambah nutrisi bagi udang untuk mempercepat laju pertumbuhan agar lebih optimal.

Nilai nutrisi dari pakan buatan harus memenuhi kebutuhan protein, lemak, karbohidrat,

vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh udang. Kandungan protein dari suatu bahan
18

pakan sangat menentukan laju pertumbuhan dari udang, karena protein merupakan

unsur penyusun dari tubuh udang dan juga sebagai sumber energi, kandungan protein

yang optimum untuk pertumbuhan udang adalah 30-36%, apabila kandungan protein

dari pakan buatan kurang dari itu maka pertumbuhan udang akan terhambat (Deisi dkk,

2010).

Persentase pakan yang diberikan kepada udang vannamei di awal penebaran

yang optimal sebesar 25% dari bobot biomassa udang yang dibudidayakan, apabila

kurang dari itu pertumbuhan udang akan terhambat, karena kandungan nutrisi yang

dibutuhkan tidak terpenuhi, apabila pakan yang diberikan lebih dari itu akan

mengakibatkan pakan tidak dimanfaatkan sepenuhnya karna overfeeding sehingga

menurunkan kualitas air dan berdampak pada pertumbuhan udang yang dibudidayakan

(Edward dkk, 2015). Pengujian terhadap kecukupan dosis pemberian pakan dapat

dilakukan dengan cara pengamatan usus udang pada saat pengamatan udang yang

terdapat pada anco. Pemberian pakan dilakukan dengan ketentuan kincir dimatikan 15

menit sebelum dilakukan penebaran pakan, pakan berbentuk tepung dibasahi terlebih

dahulu agar tidak terbawa angin, pakan di tebar secara merata dan hindari penebaran

di daerah penumpukan bahan organik (titik mati). Frekuensi pemberian pakan pada

udang berumur kurang dari 1 bulan, cukup 2-3 kali sehari, karena pakan alami cukup

tersedia di tambak. Setelah udang berumur lebih dari 30 hari frekuensi pemberian

pakan di tingkatkan menjadi 4-5 kali sehari dengan paduan perhitungan bobot biomassa

udang (Badrudin, 2014).

FCR (Food Convertion Ratio) merupakan perhitungan antara total berat pakan

buatan yang diberikan dibandingkan dengan berat total udang hasil panen. Pada
19

umumnya FCR dalam budidaya udang vannamei antara 1,2-1,5, semakin kecil nilai

FCR maka semakin tinggi kecernaan pakan yang diberikan sehingga meningkatkan

keuntungan yang di peroleh dalam kegiatan budidaya. Meningkatkan nilai kecernaan

pakan dapat dilakukan dengan cara pemberian probiotik, immunostimulan, feed

addictive dan vitamin tambahan dengan dosis sesuai dengan yang di anjurkan,

pemberian bahan-bahan tersebut dalam pakan selain dapat meningkatkan kecernaan

udang juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh udang itu sendiri. Pemberian bahan

tambahan dapat dilakukan setiap hari bersamaan dengan pemberian pakan, sebaikan

pemberian dilakukan siang hari pada saat nafsu makan udang paling tinggi (Badrudin,

2014).

2.2.6 Pengendalian Hama dan Penyakit Udang


Hama dan penyakit merupakan salah satu penyebab kegagalan dalam kegiatan

budidaya udang vannamei, oleh karena itu perlu adanya pengendalian hama dan

penyakit agar tidak mengakibatkan kerugian dalam kegiatan budidaya. Hama dalam

kegiatan budidaya udang terdiri dari 3 golongan yakni, golongan pemangsa, penyaing

dan pengganggu. Penyakit merupakan segala sesuatu yang dapat menimbulkan

gangguan suatu fungsi atau struktur dari suatu alat-alat tubuh, baik secara langsung

maupun tidak langsung (Suyanto dan Mujiman, 2011). Penyakit sendiri di sebabkan

oleh ketidakseimbangan antara host, lingkungan dan agen penyebab penyakit. Agen

penyebab penyakit disebut juga dengan Pathogen, pathogen yang ada di ikan antara

lain parasit, bakteri, jamur dan virus (Nurlaila, 2016).

Hama merupakan organisme penggganggu yang merugikan kegiatan budidaya

udang vannamei. Hama golongan pemangsa adalah hama yang bersifat predator pada
20

udang vannamei seperti burung, kepiting dan ular. Hama golongan penyaing bersifat

kompetitor terhadap ruang hidup dan makanan bagi udang vannamei, yang tergolong

sebagai hama penyaing adalah ikan liar. Hama pengganggu adalah hama yang merusak

sarana tambak seperti pematang dan tanah dasar tambak, yang tergolong sebagai

organisme pengganggu seperti kepiting, karena kepiting memiliki kebiasaan membuat

lubang pada pematang tambak. Pencegahan serangan dari hama dapat dilakukan

dengan cara pembuatan pagar di sekeliling wilayah tambak untuk mencegah hewan liar

masuk ke dalam area tambak, pemberian penghalau berupa tali senar di atas tambak

untuk mencegah burung memasuki area tambak dan juga memberi saringan pada pipa

pemasukan air untuk mencegah benih ikan liar masuk ke area tambak (Haliman dan

Adijaya, 2005). Pembasmian hama dapat dilakukan dengan cara pemberian pestisida

organik berupa biji teh yang mengandung saponin, akar tuba yang mengandung

retenon dan sisa-sisa tembakau yang mengandung nicotin. Penggunaan pestisida alami

ini lebih di anjurkan karena lebih cepat terurai di tambak dan tidak meninggalkan residu

yang berbahaya. Dosis pemberian saponin tergantung dari salinitas tambak, untuk

tambak dengan salinitas di atas 30 ppt dapat menggunakan saponin dengan dosis 15-

20 ppm, untuk tambak dengan salinitas di bawah 30 ppt dapat menggunakan saponin

dengan dosis 25-30 ppm (Badrudin, 2014).

Organisme yang bersifat pathogen pada udang terdiri dari parasit, bakteri, jamur

dan virus. Organisme pathogen akan menyerang udang vannamei apabila kondisi tubuh

udang sedang terganggu, hal ini juga sering diakibatkan oleh faktor lingkungan tambak

yang kurang baik seperti kualitas air budidaya menurun atau padat tebar dari tambak

terlalu tinggi sehingga ikan mengalami stress dan mudah terserang organisme
21

pathogen. Beberapa spesies parasit yang menyerang udang vannamei antara lain,

Zoothamnium sp., Vorticella sp., Epistylis sp. Parasit ini mengakibatkan penyakit

udang bersepatu, parasit ini akan memenuhi permukaan tubuh udang dan dapat

mengganggu aktivitas udang vannamei, dalam kondisi yang kronis dapat menyebabkan

kematian pada udang (Nurlaila, 2016).

Bakteri dan jamur tumbuh optimal di perairan yang mengandung bahan organik

tinggi mencapai 50 ppm. Oleh karena itu, sebaiknya kandungan bahan organik di air

tambak tidak melebihi 50 ppm. Bakteri yang perlu diwaspadai adalah bakteri vibrio

yang menyebabkan penyakit vibriosis. Secara umum serangan bakteri vibrio dapat di

cegah karena udang vannamei memiliki sistem kekebalan tubuh berupa fucoidan yang

dapat mempertahankan kondisi tubuh terhadap serangan bakteri vibrio, akan tetapi

kekebalan tubuh ini sangat di pengaruhi oleh faktor lingkungan, apabila lingkungan

budidaya udang vannamei memiliki kualitas air yang kurang baik maka sistem

kekebalan tubuh tidak dapat bertahan terhadap serangan bakteri vibrio (Yuan, Y et al,

2016). Infeksi bakterial dapat diobati dengan pemberian antibiotik. Namun perlu

berhati-hati dalam menggunakan antibiotik, karena antibiotika seperti chloramphenicol

dan nitrofuran telah dilarang penggunaannya karena bisa meninggalkan residu di

dalam tubuh ikan. Tindakan pencegahan juga dapat dilakukan dengan penggunaan

probiotik yang mampu berkompetisi dengan bakteri patogen. Jamur (cendawan) juga

sering dijumpai pada udang yang sakit. Jenis cendawan yang umumnya menyerang

udang antara lain Sirolpidium sp., Halipthoros sp. dan Lagenidium spp. (Haliman dan

Adijaya, 2005).
22

Virus adalah organisme pathogen yang paling berbahaya bagi udang vannamei,

serangan virus merupakan ancaman serius bagi budidaya udang, karena dapat

menyebabkan kematian udang secara massal dalam waktu singkat dengan gejala klinis

yang sulit di amati. Faktor pemicu munculnya virus yaitu faktor nutrisi, lingkungan dan

genetika. Beberapa virus yang sering menyerang dan perlu diwaspadai adalah White

Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious

Hypodermal Hematopoetic Necrosis Virus (IHHNV) (Haliman dan Adijaya, 2005).

Penyakit bercak purih yang disebabkan oleh WSSV merupakan penyakit utama udang

dan krustace lain yang telah mengakibatkan hancurnya usaha budidaya udang di dunia

termasuk Indonesia. WSSV merupakan penyakit yang tersebar melalui dua jalur, yaitu

jalur vertical dan horizontal. Pada jalur vertical penyebarannya melalui induk ke anak,

sedangkan jalur horizontal penyebarannya melalui kontak langsung, udang yang

terserang WSSV akan lemah dan di mangsa oleh udang yang sehat, sehingga udang

yang sehat ikut tertular (Lulu dkk, 2011). Pencegahan penyebaran virus WSSV dapat

dilakukan dengan cara perlakuan tambak dengan biosecurity yang baik, perlakuan

biosecurity meliputi pengawasan keluar masuk air, pemasangan pagar di sekitar

tambak untuk mencegah hewan liar masuk kedalam tambak, pemasangan tali senar di

atas tambak untuk mencegah burung masuk ke dalam area tambak dan menyiapkan

menyiapkan bak sterilisasi bagi manusia yang ingin masuk ke dalam area tambak

(Handayani dkk, 2015).

2.2.7 Panen dan Pasca Panen


Udang dapat dipanen setelah memasuki ukuran pasar (100 – 30 ind./kg). Untuk

mendapatkan kualitas udang yang baik, sebelum panen dapat dilakukan penambahan
23

dolomit untuk mengeraskan kulit udang dengan dosis 6 - 7 ppm. Selain dolomit juga

dapat menggunakan kapur CaOH dengan dosis 5 – 20 ppm sehari sebelum panen untuk

menaikkan pH air hingga 9 agar udang tidak moulting. Panen udang dapat dilakukan

secara parsial atau panen total. Panen parsial dilakukan pada pagi hari untuk

menghindari udang moulting dan DO rendah. Udang telah mencapai ukuran 100 ind/kg

(dipanen sebanyak 20 - 30% dari jumlah udang). Panen parsial berikutnya pada ukuran

80 hingga 60 ind/kg (Slamet dkk, 2009).

Panen parsial dilakukan menggunakan jala kantong yang baik sehingga udang

yang tertangkap tidak mudah terlepas, dasar tempat penjalaan harus keras serta tidak

berlumpur agar lumpur tidak mudah teraduk. Untuk memancing udang berkumpul,

maka dilakukan pemberian pakan pada tempat penjalaan. Panen total biasanya ketika

udang telah mencapai ukuran 40 ind/kg. Panen total dilakukan dengan menggunakan

jaring kantong yang dipasang pada pintu air, kemudian dilanjutkan dengan jaring tarik

(jaring arad). Udang yang masih tersisa dapat diambil menggunakan tangan.

Pengeringan air untuk panen total dilakukan dengan cepat untuk menghindari udang

moulting. Waktu pemanenan maksimal 3 jam, lebih dari itu udang akan stress

(Badrudin, 2014).

Kegiatan pasca panen menjangkup penyimpanan setelah udang vannamei di

panen berupa wadah yang telah di isi oleh air dan es dengan jumblah yang cukup untuk

menjaga kebersihan udang, setelah itu udang di cuci dan di sortir berdasarkan ukuran

dan kualitas udang. Udang vannamei yang telah di sortir lalu di masukan ke dalam

wadah dengan rapi, lalu tambahkan es curah dengan perbandingan 1:1 dengan model

penyusunan berlapis antara udang dan es curah yang di tambahkan (Badrudin, 2014).
24

2.2.8 Analisis Usaha


Budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) merupakan komoditas

dengan prospek usaha yang menjanjikan, selain karna waktu buidaya yang relatif

singkat yaitu kurang dari 90 hari, udang vannamei juga lebih tahan terhadap penyakit.

Budidaya perikanan merupakan penggerak sektor riil maka pengembangannya harus

mempertimbangkan kaidah ekonomi dengan memperhatikan keterkaitan berbagai

sektor ekonomi (Zulfanita, 2012). Perhitungan analisis usaha dilakukann guna

mengetahui kelayakan dari usaha budidaya serta mengetahui tingkat keuntungan dari

kegiatan budidaya tersebut. Perhitungan analisis usaha dilakukan dengan analisis R/C

ratio dan BEP ratio.


25

III PELAKSANAAN KEGIATAN

3.1 Tempat dan Waktu


Praktek Kerja Lapang dilaksanakan di PT. Surya Windu Kartika, Kecamatan

Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Kegiatan Praktek Kerja Lapang

telah dilaksanakan mulai tanggal 18 Januari sampai 14 Februari 2017.

3.2 Metode Kerja


Metode kerja yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapang adalah metode

observasi yang dapat diartikan suatu metode dalam meneliti status sekelompok

manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas

peristiwa pada masa sekarang untuk membuat diskripsi, gambaran atau lukisan secara

sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena

yang diselidiki (Nazir, 2011). Pelaksanaan metode kerja pada saat Praktek Kerja

Lapang adalah mengamati dan mengikuti semua kegiatan yang berhubungan dengan

teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif

di PT. Surya Windu Kartika, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa

Timur.

3.3 Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data adalah dengan mengumpulkan data yang akan

dijadikan sumber yaitu data primer dan data sekunder.


26

3.3.1 Data Primer


Data primer merupakan data penelitian yang diperoleh secara langsung dari

sumber asli (tidak melalui perantara) (Sangadji dan Sopiah, 2010). Data primer dapat

berupa opini orang secara individu maupun kelompok, hasil observasi terhadap suatu

benda, kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian (Sangadji dan Sopiah, 2010).

Pengambilan data primer dalam Praktek Kerja Lapang ini dilakukan dengan cara

pencatatan data hasil observasi maupun wawancara. Data primer yang diperlukan

adalah: padat tebar, pemberian pakan, kualitas air, luas tambak, laju pertumbuhan

Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei).

A. Observasi

Observasi atau pengamatan secara langsung adalah pengambilan data dengan

menggunakan indera mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan

tersebut (Nasution, 1990). Observasi dalam Praktek Kerja Lapang dilakukan terhadap

berbagai hal yang berhubungan dengan teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus

vannamei) secara intensif dengan menggunakan sumber air pompa seperti : padat tebar,

pemberian pakan, kualitas air, luas tambak, laju pertumbuhan Udang Vannamei

(Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika,

Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.


27

B. Wawancara

Metode wawancara adalah teknik pengumpulan data untuk menemukan

permasalahan yang harus diteliti dan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dan

jumlah respondennya sedikit atau kecil. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur

maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan dengan tatap muka maupun dengan

telepon (Sugiyono, 2006). Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab mengenai

sejarah berdirinya, struktur organisasi, sarana dan prasarana, tenaga kerja, kegiatan

teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif

di PT. Surya Windu Kartika, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi, Jawa

Timur.

C. Partisipasi Aktif

Partisipasi aktif dilakukan dengan mengikuti secara langsung beberapa kegiatan

yang berhubungan tentang teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika, Kecamatan Rogojampi,

Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.

3.3.2 Data Sekunder


Data sekunder merupakan sumber data penelitian yang diperoleh secara tidak

langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data

sekunder kemudian dikategorikan menjadi dua yaitu data internal dan data eksternal.

Data internal yaitu data dokumen akuntansi dan operasi yang dikumpulkan, dicatat dan

disimpan dalam suatu organisasi. Data eksternal yaitu data sekunder yang pada

umumnya disusun oleh suatu instansi selain peneliti dari organisasi yang bersangkutan
28

(Sangadji dan Sopiah, 2010). Data ini diperoleh dari data studi literatur, pustaka yang

menunjang, laporan dari lembaga, instansi, dinas perikanan, pustaka dan pihak lain

yang berhubungan dengan teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei)

meliputi seperti : padat tebar, pemberian pakan, kualitas air, luas tambak, laju

pertumbuhan udang vannamei (Litopenaeus vannamei) setelah dilakukan secara

intensif.
29

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi Praktek Kerja Lapang


4.1.1 Latar Belakang Berdirinya Usaha
PT. Surya Windu Kartika di dirikan dan di kelola oleh Ir. H. Hardi Pitoyo pada

awal tahun 1986. Nama dari perusahaan ini di ambil dari nama spesies udang budidaya

yang sedang berkembang saat itu yakni udang windu. Perusahaan ini bergerak dibidang

budidaya pembesaran udang khususnya udang windu. Pada awalnya PT. Surya Windu

Kartika mendirikan 3 unit tambak budidaya yakni, unit Bomo A, Bomo B dan Bomo

C. Melihat prospek windu yang sangat menguntungkan, maka PT. SWK memproduksi

udang windu dengan menambah jumlah lokasi yang ada di Banyuwangi menjadi 9 unit

tambak. Lokasi tambak tersebut antara lain yaitu, Bomo A, Bomo B, Bomo C, Jatisari

1, Jatisari 2, Badean, Bulusan, Bangsring dan Tambakwedi.

Meningkatnya kegagalan dalam budidaya udang windu yang di karenakan

infeksi dari penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV), pada tahun 1999 PT. Surya

Windu Kartika tidak lagi membudidayakan udang windu dan beralih untuk

membudidayakan udang vannamei. Hingga saat ini PT. Surya Windu Kartika masih

memproduksi udang vannamei.

4.1.2 Letak Geografis dan Topografi Lokasi


PT. Surya Windu Kartika merupakan perusahaan swasta yang hingga saat ini

memiliki 8 unit lokasi tambak yang berbeda-beda, kedelapan unit lokasi tambak

tersebut yaitu: Unit Bomo A, Bomo B, Bomo C, Jatisari I, Jatisari II, Badean, Bulusan,

Bangsring. Unit Jatisari II terletak di Desa Jatisari, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten

Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Luas lahan keseluruhan tambak intensif udang
30

vannamei ini yaitu sekitar 15 Ha. Berdasarkan letak geografis, PT. Surya Windu

Kartika terletak pada koordinat 7° 43’ - 8° 46’ LS dan 113° 53’ - 114° 38’ BT. yang

secara geografis lokasi tambak berbatasan dengan:

Batas Utara : Tambak PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II

Batas Barat : Desa Bomo

Batas Selatan : Tambak PT. Surya Windu Kartika Unit Bomo B

Batas Timur : Selat Bali dan Gunung Sembulungan

4.1.3 Struktur Organisasi dan Tenaga Kerja


Struktur organisasi dan Tenaga kerja dari tambak Unit Jatisari II yang

merupakan bagian dari PT. Surya Windu Kartika, dipimpin oleh seorang general

manager yang mengatur segala aktifitas usaha yang dijalankan. General manager

membawahi beberapa staf diantaranya teknisi, unit bengkel dan administrai. Teknisi

membawahi asisten teknisi, keamanan tambak dan karyawan pakan. Teknisi bengkel

membawahi karyawan mesin dan listrik. Administrasi hanya membawahi karyawan

dapur.

Tambak Unit Jatisari II memiliki 19 tenaga kerja yang terdiri dari 17 pegawai

tetap dan 2 pegawai harian. Tenaga kerja tersebut terdiri dari teknisi, asisten teknisi,

laboran, bagian pakan, teknisi bengkel, listrik dan mesin, administrasi, bagian dapur,

keamanan, bagian timbang pakan dan pekerja harian.


31

Tabel 2. Data Tenaga Kerja di Tambak PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II

No Jabatan Jumlah Pendidikan Tupoksi


1 General 1 S1 Pemegang saham utama
Manager
2 Teknisi 1 S1 Teknisi utama tambak
3 Asisten Teknisi 1 S1 Pembantu teknisi
4 Teknisi Bengkel 1 S1 Analisa Laboratorium
5 Bagian Pakan 3 SD SMP Menyiapkan dan memberi
SMK pakan udang
6 Listrik dan 5 SMK Operasional peralatan dan
Mesin kelengkapan listrik tambak
7 Administrasi 1 SMK Sekretaris yang merangkap
bagian keuangan tambak
8 Dapur 1 SD Memasak untuk kebutuhan
makan pegawai
9 Keamanan 2 SD Patroli keamanan tambak

10 Pekerja Harian 2 SD Siphon dan persiapan


tambak
11 Timbang pakan 1 S1 Menimbang pakan dan
mengantarkan pakan ke
petakan

Jumlah 19
(Sumber: PT Surya Windu Kartika Unit Jatisari II)

4.1.4 Kegiatan Usaha


Kegiatan usaha yang dijalankan oleh PT. Surya Windu Kartika adalah usaha

pembesaran udang vannamei dengan sistem teknologi intensif. Dalam satu tahun unit

usaha tambak ini dapat beroperasi atau produksi sebanyak 3 siklus, dengan lama waktu

setiap siklusnya adalah 4 bulan dan sudah termasuk dalam tahap pengeringan serta

persiapan. PT. Surya Windu Kartika melakukan kerja sama dengan PT. Surya

Adikumala Abadi dan PT. Surya Alam Tunggal dalam hal pemasaran, yaitu PT. Surya

Adikumala Abadi dan PT. Surya Alam Tunggal berperan sebagai pembeli tetap dari

hasil budidaya atau produksi dengan harga udang yang berlaku di pasaran.
32

4.2 Sarana dan Prasarana


Unit Jatisari II sebagai unit usaha tambak yang menerapkan teknologi intensif,

diperlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung dan memperlancar

kegiatan budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei). Berikut sarana dan

prasarana yang terdapat di Jatisari II.

4.2.1 Sarana
Sarana yang dimiliki pada tambak Unit Jatisari II untuk kegiatan budidaya

udang vannamei meliputi petakan tambak yang berjumlah 10 buah.

4.2.1.1 Kolam Budidaya


Kolam pembesaran yang digunakan di PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari

II memiliki konstruksi beton. Petakan tambak Unit Jatisari terdiri dari 10 petakan yang

terbagi dalam 9 petak aktif, 3 petak tandon dan 1 petak dalam perbaikan, dengan

kisaran luasan antara 2632-3908 m2. Setiap petakan tambak memiliki kisaran panjang

68,7-80,8 meter dan lebar 35-55 meter dengan satu pintu pengeluaran air dan satu pintu

pemasukan air. Pintu pemasukan dan pintu pengeluaran air memiliki lebar yang sama

yaitu 90 cm, sedangkan tinggi pintu pengeluaran yaitu 2 m dan tinggi pintu pemasukan

yaitu 60 cm. Jarak antara pintu pemasukan satu dengan lainnya yaitu 10 meter. Setiap

petakan juga memiliki central drain yang merupakan saluran pembuangan tengah

memiliki diameter 3,4 meter dengan diameter pipa salurannya yaitu 20 cm, panjang

2,56 meter dan 29,60 meter dari central drain menuju outlet. Pipa tersebut dilubangi

dengan diameter lubang kecil 0,8 cm dan lubang besar berdiameter 1 cm. Lubang kecil

berfungsi untuk menyerap lumpur yang bertekstur halus, sedangkan lubang besar
33

digunakan untuk menyerap lumpur yang bertekstur kasar. Lumpur tersebut kemudian

dikeluarkan melalui pipa pembuangan yang berdiameter 8 cm dan tinggi 2,72 meter.

Pada setiap petakan terdapat empat buah jembatan anco dan satu jembatan

tengah yang digunakan untuk mempermudah pengontrolan akumulasi limbah feses

udang dan sisa pakan serta pengaontrolan kualitas air. Jembatan anco memiliki panjang

8 meter, lebar 40 cm, dan tinggi 2,5 meter dengan bahan dasar berupa bambu. Anco

yang digunakan berjumlah 4 buah dengan diameter anco 0,75 meter dengan kerangka

besi dan diselimuti kain kasa. Jembatan tengah memiliki panjang 13 meter, lebar 40

cm dan tinggi 2,5 meter.

Gambar 7. Kolam Budidaya Udang Vannamei

4.2.1.2 Sumber Air


Kegiatan budidaya pembesaran udang vannamei di PT. Surya Windu Kartika

Unit Jatisari II menggunakan air laut dan air tawar. Pompa penyedot air laut berjumlah

2 buah. Setiap pompa memiliki kapasitas 25 HP dengan jenis HB 8 DIM. Air laut

diambil dengan jarak 300 meter dari garis pantai dengan saluran outlet 7 meter. Sumber

air tawar berasal dari sumur bor dengan kedalaman 130 meter, air tawar disedot

menggunakan elektro 15 HP 1500 rpm yang digerakkan oleh tenaga listrik.

Air tawar dan air laut yang diambil selanjutnya masuk ke petakan tandon dan

terjadi pencampuran dengan perbandingan air tawar dan air laut 1:3. Volume air tawar
34

115.000 m3 dan air laut dengan volume 354.000 m3, dari pencampuran tersebut

didapatkan kisaran salinitas 24-25 ppt. Pada tandon pertama, air tersebut selanjutnya

akan memperoleh perlakuan fisika, biologi dan kimia. Filter fisika dilakukan dengan

cara pengendapan lumpur atau bahan organik yang terbawa oleh air, pengendapan ini

dilakukan selama 24 jam. Filter biologi dilakukan dengan menggunakan ikan kakap,

nila dan kerang kijing yang memiliki sifat filter feeder sehingga mampu memangsa

telur-telur predator serta menyaring bahan organik dalam petakan tandon.

4.2.1.3 Sistem Aerasi


Sistem aerasi pada tambak Jatisari II menggunakan kincir air dengan jumlah

rata-rata 8 buah per petakan tambak, setiap kincir terdiri dari 1 dinamo dan empat kipas.

Kincir air memiliki kekuatan 2 HP untuk 6 kipas, 1 HP setara dengan 760 watt. Kincir

dipasang dengan jarak 5 meter dari tepi sisi panjang petakan dan 7,5 meter dari lebar

pematang petakan, serta 2-3 meter dari jembatan anco agar arus dapat menyebar merata

ke seluruh bagian petakan.


35

Gambar 8. Posisi Kincir dan Arah Arus pada Petakan

Keterangan:

: Kincir Rantai (Renteng)

: Kincir Rantai Tunggal (Engkel)

: Arah Arus

: Central Drain

4.2.2 Prasarana
4.2.2.1 Bangunan
Aspek prasarana penunjang yang ada terdiri dari kantor, laboratorium, gudang

pakan, mess karyawan, dapur, rumah genset, toilet, rumah sortir serta pos jaga.

Bangunan yang ada di PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II dapat diihat pada Tabel

3.
36

Tabel 3. Bangunan PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II

Bangunan Jumlah Luas (m2) Fungsi


Kantor 1 4000 Pusat urusan administrasi
Laboratorium Biologi 1 14 Pengecekan fisika air dan
pengamatan plankton
Mess Karyawan 10 12 Tempat tinggal karyawan
Pos Keamanan 1 2 Pemantauan keamanan tambak
Rumah Jaga 4 6 Tempat jaga malam
Gudang Pakan 1 36 Tempat penyimpanan pakan
Tempat Sortir 1 100 Tempat sortir udang saat panen
Dapur 1 20 Tempat memasak
Toilet 6 2 MCK
(Sumber: PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II, 2017)

4.2.2.2 Tenaga Listrik


Sumber tenaga listrik di PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II berasal dari

Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan 1 genset. Listrik yang berasal dari PLN memiliki

daya sebesar 179 kVA digunakan untuk kegiatan operasional budidaya serta untuk

memenuhi kebutuhan mess karyawan, kantor, dan laboratorium. Genset memiliki daya

sebesar 200 kVA yang digunakan saat pemadaman listrik oleh PLN. Mesin genset

menggunkan bahan bakar berupa solar.

4.2.2.3 Transportasi
Kondisi jalan menuju lokasi tambak Unit Jatisari II berupa jalan beraspal.

Lokasi tambak yang dekat dengan perkampungan akan memudahkan dalam hal

penyediaan tenaga kerja, kemudahan dalam transportasi dan komunikasi. PT. Surya

Windu Kartika Unit Jatisari II memiliki fasilitas kendaraan roda dua, roda tiga dan roda

empat.
37

Tabel 4. Fasilitas Transportasi di PT Surya Windu Kartika Unit Jatisari II

No Jenis Kendaraan Jumlah Keterangan


1 Motor 1 Baik
2 Tosa 1 Baik
3 Pick Up 1 Baik
(Sumber: PT Surya Windu Kartika, 2017)

4.2.2.4 Komunikasi
Komunikasi di PT Surya Windu Kartika menggunakan telepon, HP, faximili

dan e-mail. Komunikasi digunakan untuk hubungan komunikasi antar unit tambak di

PT Surya Windu Kartika, tambak lain di luar perusahaan, dan juga dengan masyarakat

dalam lingkup kegiatan usaha.


38

4.3 Kegiatan di Lokasi Praktek Kerja Lapang (PKL)


4.3.1 Persiapan Petakan Tambak
Persiapan petakan tambak disebut juga sebagai proses maintanance di

karenakan pada proses ini tidak dilakukan kegiatan produksi pada petakan tersebut.

Persiapan petakann tambak di awali dengan pembersihan petakan dari sisa kerang mati

dan lumut yang menempel pada permukaan petakan, kincir dan jembatan anco.

Pembersihan ini dilakukan secara bertahap yakni dengan menggosok seluruh

permukaan petakan, kincir dan jembatan anco dengan sikat besi agar karang mati dan

lumut terangkat, di bilas dengan air mengalir hingga semua kotoran larut dan terbuang

melewati saluran pembuangan, lalu di keringkan agar sisa-sisa benih lumut dan bahan

beracun pada petakan menguap, selanjutnya dilakukan penyemprotan permukaan

petakan dengan hydrogen peroksida dan kaporit untuk sterilisasi terakhir petakan

sebelum di gunakan kembali dalam siklus budidaya udang vannamei.

4..3.2 Persiapan Air Budidaya


Sumber air yang di gunakan dalam budidaya berasal dari air laut dan di ambil

dengan pipa paralon dengan diameter 8 inch dan panjang lebih dari 500 meter dari garis

pantai, hal ini dilakukan agar air yang di ambil memiliki kualitas yang baik karena jauh

dari pencemaran yang ada di bibir pantai. air yang di pompa dari laut selanjutnya di

alirkan ke dalam tandon filter, tandon pengendapan dan tandon treatment.

Tandon pertama adalah tandon filter, tandon ini memiliki waring yang

membentang membelah petakan tandon menjadi tiga bagian dari saluran pemasukan

air sampai saluran pengeluaran air. Tandon filter juga merupakan salah satu biosecurity

yang di gunakan, karena merupakan perbatasan langsung antara air laut dan lingkungan
39

budidaya, sehingga fungsi dari tandon filter ini sangat penting. Fungsi dari tandon filter

ini adalah untuk menyaring sampah dan benih ikan liar yang masuk ke petakan tandon

agar tidak sampai masuk ke petakan budidaya dan menyebabkan kerugian, apabila

terdapat benih ikan liar yang merupakan carier dari berbagai penyakit masuk kedalam

petakan budidaya maka akan mengakibatkan tertularnya udang yang dibudidayakan

tersebut.

Tandon kedua adalah tandon pengendapan, air laut yang telah melewati tandon

filter akan di alirkan ke dalam petakan tandon pengendapan yang berisi ikan nila, ikan

kakap dan kerang kijing. Fungsi dari tandon pengendapan ini selain mengendapkan

sedimen yang di bawa air laut juga sebagai filter biologis terhadap air laut tersebut,

fungsi dari filter biologis ini dilakukan oleh biota air yang terdapat di dalam tandon ini

seperti ikan kakap yang berfungsi untuk memakan benih ikan atau telur ikan yang

berhasil melewati filter fisik pada tandon pertama, selain itu sifat dari ikan nila dan

kerang kijing sebagai filter feeder dimanfaatkan sebagai penyaring biologis alami

untuk meningkatkan kualitas air yang ada pada kolam tandon tersebut.

Tandon ketiga merupakan tandon terakhir yang di gunakan dalam proses

persiapan air budidaya, tandon ini merupakan tandon treatment yang di gunakan

sebagai filter kimia atau tempat sterilisasi air laut menggunakan bahan kimia. Proses

sterilisasi yang terjadi dalam tandon ini menggunakan kaporit dan juga cairan detok,

penggunaan kaporit dan cairan detok dilakukan pada sore hari yakni pukul 17.00

dengan dosis 20 ppm, penggunaan dosis 20 ppm dilakukan untuk mengurangi residu

bahan kimia agar tidak memberikan efek merugikan dalam proses budidaya. Setelah

dilakukan treatment bahan tersebut dilakukan pengadukan petakan tandon


40

menggunakan kincir selama 2 jam, agar bahan kimia yang di gunakan dapat tersebar

merata ke seluruh kolom air. Penggunaan kedua cairan tersebut dikarenakan kedua

cairan tersebut merupakan oksidator kuat yang dapat mengoksidasi bahan organik yang

ada dalam petakan tandon tersebut. Setelah air di treatment pada tandon treatment

selama satu hari dan di pastikan residu dari bahan kimia telah teroksidasi sempurna,

maka air laut di alirkan ke dalam masing-masing petakan tambak budidaya.

Pengisian air ke dalam petakan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama

pengisian air ke dalam petakan diisi dengan ketinggian 50-70 cm dan diberi treatmentt

bestacine dan kaporit, bestacine sendiri merupakan insektisida aktif yang berfungsi

untuk membunuh ikan-ikan kecil serta organisme lain yang tumbuh di tambak,

sedangkan fungsi kaporit merupalan desinfeksi bagi mikroorganisme yang hidup pada

tambak tersebut. Tahap kedua pengisian air diisi dengan ketinggian air 70-90 cm dan

diberi treatmentt HCl dan H202. Tahap ketiga pengisian air diisi dengan kedalaman 90-

120 cm dan diberi treatmentt dolomit, probiotik, aquacime dan pupuk. Pemberian

pupuk pada tahap ketiga pengisian air sesuai dengan pernyataan Erlangga (2012),

bahwa pemberian pupuk dilakukan untuk menumbuhkan bibit-bibit plankton yang

digunakan sebagai pakan alami benur udang. Waktu yang dibutuhkan untuk siap masuk

benur kurang lebih 15-20 hari.


41

4.4 Penebaran Benur


Penebaran benur dilakukan setelah 15-20 hari masa persiapan air petakan,

apabila plankton telah terbentuk di petakan maka petakan telah siap untuk diisi benur.

Penebaran benur dengan kepadatan 130 ekor/m2. Benur yang digunakan oleh tambak

Jatisari II adalah benur dari PT. Daru Laut dengan kode produksi Delta, penggunaan

benih ini dikarenakan benih dari perusahaan ini telah tersertifikasi dan bebas terhadap

berbagai virus yang berbahaya. Ukuran benur yang digunakan untuk tebar adalah PL

9-11. Waktu penebaran pada pagi hari pukul 05.00 sampai 06.00 atau sore hari pukul

15.00 sampai 17.00, tergantung dari waktu pengiriman benur tersebut.

Sebelum benur ditebar ke dalam tambak, dilakukan aklimatisasi benur pada

bagian samping petakan dan di beri penghalang agar benur tidak bergerak menjauh dari

tempat aklimatisasi yang di sediakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haliman dan

Adijaya (2005), yang menjelaskan tujuan dilakukannya aklimatisasi pada bagian

samping petakan adalah untuk mengadaptasikan benur udang dengan lingkungan atau

tambak yang akan dijadikan tempat hidupnya. Setelah dilakukan aklimatisasi selama

30-60 menit sampai plastik packing benih mengalami pengembunan maka benur siap

di tebar dengan cara melepaskan ikatan yang ada pada plastik packing tersebut dan

melepaskan benur secara langsung ke dalam petakan tambak.


42

4.5 Manajemen Pemberian Pakan


4.5.1 Pakan yang Digunakan
Pakan yang digunakan berupa pakan alami dan pakan buatan. Pakan alami

berupa Artemia sp. hanya dibutuhkan pada saat penebaran benur sebagai suplemen

nutrisi. Selama periode budidaya sejak Day of Culture (DOC) 1 hingga menjelang

panen pakan yang diberikan berupa pakan buatan. Pakan buatan untuk udang dapat

diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu PL feed, starter, grower dan finisher (Edhy

dkk, 2010).

DOC 1-6 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Irawan 681 yang

merupakan pakan buatan untuk pra-starter (PL feed II). Pakan pada masa pra-starter

memiliki kandungan protein tertinggi dari pakan jenis lain yaitu sebesar 30%, kadar

lemak sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan kadar air 12% dengan bentuk pakan

berupa Crumble dengan ukuran 0,425 x 0,71 mm.

DOC 7-21 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Irawan 682 yang

merupakan pakan buatan untuk starter. Pakan starter ini memiliki kandungan protein

lebih rendah dari pakan pra-starter dan lebih tinggi dari pakan finisher, selain itu pakan

ini memiliki ukuran yang lebih besar serta lebih kasar di bandingkan jenis pakan

sebelumnya. Kandungan protein pada jenis pakan starter ini sebesar 30%, kandungan

lemak sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan kadar air 12% dengan bentuk crumble

berukuran 0,71 x 1,0 mm.

DOC 22-27 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Irawan 683 yang

merupakan pakan buatan untuk masa starter, perbedaan antara pakan ini dengan pakan

dengan nomor pakan sebelumnya terletak pada bentuk pakannya, untuk pakan dengan

nomor pakan Irawan 683 memiliki bentuk pellet. Kandungan protein pada pakan
43

Irawan 683 ini sebesar 30%, kandungan lemak sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan

kadar air 12% dengan bentuk pellet berukuran 1,8 x 2,0 mm.

DOC 28-40 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Beryl 2A yang

merupakan pakan buatan untuk masa grower dan mempunyai kandungan nutrisi yang

berbeda dari jenis pakan yang diberikan sebelumnya, pemberian pakan dengan

produksi pabrik yang berbeda di karenakan pakan dengan nomor pakan Beryl 2A

memiliki aroma yang lebih kuat di bandingkan dengan pakan yang diberikan sebelum

nya. Kandungan protein pada pakan Beryl 2A ini sebesar 38%, kandungan lemak

sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan kadar air 12%, dengan bentuk pellet berukuran

1,5 x 2,0 mm.

DOC 41 hingga memasuki masa panen diberikan pakan buatan dengan nomor

pakan Beryl 3 yang merupakan pakan untuk finisher. Kandungan protein pada pakan

buatan dengan nomor pakan Beryl 3 paling rendah dibandingkan pakan buatan

sebelumnya yaitu sebesar 36%, kandungan lemak sebesar 6%, serat kasar sebesar 3%,

kadar air 11% dan kadar abu 13%, dengan bentuk pellet berukuran 2,0-2,5 mm.

Kriteria pakan yang di gunakan dalam kegiatan budidaya udang vannamei di

tambak jatisati II sesuai dengan pernyataan Edhy dkk (2010) memiliki karakteristik

tidak berjamur, tidak basah, tidak menggumpal, memiliki bau yang khas pellet,

kemasan utuh dan memiliki water stability lebih dari 2 jam.

4.5.2 Frekuensi Pemberian Pakan


Frekuensi pemberian pakan selama periode budidaya udang vannamei

tergantung dari usia budidaya udang tersebut dan kondisi udang itu sendiri. Pada masa

awal budidaya udang yakni DOC 1-10 pemberian pakan dilakukan sebanyak tiga kali
44

yaitu pada pukul 07.00, 10.00 dan 13.00, sedangkan pada usia DOC 11-23 frekuensi

pemberian pakan di tingkatkan menjadi empat kali dalam sehari yakni pada pukul

07.00, 11.00, 13.00 dan 17.00, apabila usia udang sudah lebih dari 23 hari atau DOC >

23 pemberian pakan dilakukan sebanyak lima kali yakni pada pukul 07.00, 11.00,

13.00, 17.00 dan 22.00. Frekuensi pemberian pakan pada kegiatan budidaya ini sesuai

dengan pernyataan Malik dkk. (2014) yang menjelaskan frekuensi pemberian pakan

untuk DOC 1-30 sebanyak 3-4 kali sehari dan untuk DOC > 30 diberi pakan 4-5 kali

dalam sehari.

Waktu pemberian pakan di sesuaikan dengan kebiasaan makan udang, hal ini

dilakukan agar menghindari penurunan nutrisi pakan karena terlalu lama terendam

dalam air, semakin lama pakan terendam dalam air dan tidak termakan oleh udang

maka nutrisi dari pakan tersebut akan semakin menurun. Persentase kehilangan nutrisi

dalam pakan terendam dalam air selama satu jam dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kualitas pakan dalam air setelah 1 jam

Nutrisi Kandungan awal Setelah 1 jam Persentase kehilangan

Bahan Kering (%) 100 81 19

Protein Kasar (%) 52 41 21

Karbohidrat (%) 16 8 50

Vitamin C 3.089 332 89

(mg/Kg)

Thiamine (mg/Kg) 29,5 0,7 98

Sumber: (Edhy dkk, 2010)


45

4.5.3 Metode Pemberian Pakan


Sebelum dilakukan pemberian pakan pada petakan budidaya, terlebih dahulu

dilakukan perhitungan dan penimbangan pakan yang diberikan, perhitungan jumblah

pakan yang diberikan tergantung dari usia udang dan kondisi udang itu sendiri.

Perhitungan jumblah pakan pada DOC (Day Of Culture) 1-15 menggunakan prinsip

blind feeding yakni melakukan perhitungan berdasarkan jumblah tebar dikali dengan

ABW, SR dan feeding rate. Fungsi dari blind feeding bertujuan untuk mempertahankan

SR di bulan pertama, mencegah variasi ukun (blantik), untuk perkembangan sel-sel

somatis dan membantu penumbuhan pakan alami (Edhy dkk, 2010).Perhitungan

jumblah pakan pada DOC 16-30 masih menggunakan prinsip blind feeding akan tetapi

sudah dilakukan pemberian pakan menggunakan anco untuk membiasakan udang

makan pada daerah sekitar anco untuk mempermudah pengamatan anco pada DOC >

30, sedangkan untuk perhitungan pakan pada DOC > 30 menggunakan prinsip

pengamatan pada anco.

Pemberian paka dalam budidaya udang vannamei dilakukan pada feeding area.

Feeding area merupakan zona sasaran tempat udang berkumpul dan mencari makan

dengan dasar yang selalu dikondisikan dalam keadaan bersih dengan cara di sipon.

Pemberian pakan pada feeding area dilakukan dengan menggunakan rakit dan

diberikan secara merata dengan jarak 1-2 meter dari pematang kolam. udang memiliki

feeding area yang berbeda sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan udang

(Adiwijaya dkk, 2005).

Pemberian pakan pada DOC 1-30 berbentuk crumble halus dilakukan dengan

mencampurkan pakan terlebih dahulu dengan air dengan tujuan agar pakan lebih cepat

tenggelam, pada DOC > 30 pakan yang diberikan sudah berbentuk pellet sehingga tidak
46

perlu dilakukan penambahan air untuk pemberiannya, akan tetapi dilakukan pemberian

enzim atau chitosan sebagai nutrient enrichment yang diberikan pada pakan udang.

4.5.4 Kontrol Anco


Pemberian pakan dengan menggunakan anco dilakukan pada DOC > 15, pada

umur udang tersebut sudah dilakukan pemberian pakan di anco tetapi tidak dilakukan

pengamatan pakan, hal ini di karenakan pada umur tersebut kebiasaan makan udang

belum terbentuk dengan sempurna. Pengamatan pakan pada anco dilakukan pada DOC

> 30 dikarenakan pola makan dan kesehatan udang relatif dapat di amati melalui anco.

Fungsi dari pengamatan anco menurut Edhy dkk (2010) antara lain, mengetahui

populasi udang di dalam tambak pada awal budidaya, mengetahui pertumbuhan

keseragaman udang, memantau kesehatan udang, memantau nafsu makan udang,

mengetahui daya tarik dari suatu pakan, mengetahui kondisi moulting dari udang dan

juga mengetahui kondisi dasar tambak.

Pemberian pakan pada anco dilakukan setelah pemberian pakan pada feeding

area. Pakan yang diberikan pada anco sebesar 1% dari total pakan yang diberikan

setiap jam pemberian pakan dan diberikan secara merata ke seluruh permukaan anco.

Anco diletakkan secara perlahan untuk menghindari keluarnya pakan dari anco hingga

berada di dasar kolam dengan kondisi tegak. Pengecekan anco dilakukan setiap 1,5-2

jam setelah pemberian pakan. Menurut Adiwidjaya (2008) pakan yang diberikan dalam

anco 0,8-1% dari total pakan dan dikontrol setelah 2-3 jam. Pengecekan anco dilakukan

empat kali karena setelah pemberian pakan jam terakhir tidak dilakukan pengecekan.

Pada saat pengecekan anco juga dilakukan pengamatan terhadap nafsu makan, tingkah

laku udang, kondisi udang dan kondisi perairan. Hasil pengecekan anco akan
47

mempengaruhi jumlah pakan yang akan diberikan di jam pemberian pakan selanjutnya.

Menurut Adiwidjaya (2008) pakan yang diberikan dalam anco 0,8-1% dari total pakan

dan dikontrol setelah 2-3 jam.

Penambahan dosis pakan dalam waktu singkat dapat terjadi apabila pakan yang

diletakkan pada anco habis dalam waktu 1,5 jam. Hal ini dapat disebabkan karena

semakin bertambahnya usia udang, maka semakin bertambah pula kebutuhan pakan.

Penambahan pakan diberikan sebanyak 10% dari dosis pakan awal, sedangkan

pengurangan dosis pakan dilakukan apabila pada saat pengecekan anco masih terdapat

cukup banyak pakan. Jumblah sisa pakan pada anco tergantung dari nafsu makan

udang, kondisi udang dan kondisi perairan.

4.5.5 Penyimpanan Pakan


Proses penyimpanan pakan bertujuan untuk menghindari pengurangan nutrisi

pada pakan, pertumbuhan mikroorganisme, gangguan serangga dan hewan pengerat

serta menghindari proses ketengikan. Proses penyimpanan pakan pada tambak

budidaya udang Jatisari II menggunakan gudang pakan yang terhindar dari cahaya

matahari langsung, memiliki ventilasi udara yang cukup serta memiliki alas berupa

pallet kayu sebagai dasar peletakan pakan. Pakan yang disimpan dalam gudang pakan

tidak boleh lebih dari satu minggu untuk menghindari penurunan mutu dan kualitas

dari pakan tersebut. Hal yang perlu di perhatikan dalam penyimpanan pakan menurut

Edhy dkk (2010) antara lain, pakan harus di simpan dalam tempat kering, sejuk dan

berventilasi baik, pakan harus diletakan di atas pallet kayu dan tidak lebih dari 5 susun,

pakan tidak boleh di letakan langsung di atas lantai semen atau bersentuhan langsung

dengan dinding semen, tidak menyimpan pakan pada ruangan yang terkena sinar
48

matahari secara langsung, tidak menyimpan pakan lebih dari 3 bulan sejak tanggal

produksi dan pakan yang rusak atau pakan lama tidak boleh digunakan kembali, karena

kerugian yang di timbulkan kepada udang akan lebih besar bila di bandingkan dengan

memusnahkan pakan itu sendiri.


49

4.6 Manajemen Kualitas Air


4.6.1 Parameter Fisika Air
Parameter kualitas air merupakan tolak ukur untuk menentukan kelayakan dair

yang di gunakan dalam budidaya ikan maupun udang (Edhy dkk, 2010). Parameter

fisika air meliputi suhu, salinitas dan kecerahan air tambak. Suhu air tambak yang ideal

berkisar antara 28-32oC. Salinitas yang ideal untuk pertumbuhan udang sekitar 15-25

ppt. Kecerahan air tambak yang baik berkisar antara 35-45 cm (Erlangga, 2012).

A. Suhu

Pengukuran suhu air pada tambak Jatisari II dilakukan pada pagi hari pukul

06.30 WIB dan siang hari pukul 12.30 WIB, pengukuran kualitas air dilakukan

sebanyak dua kali bertujuan agar dapat di bandingkan antara kualitas air pada pagi hari

dengan kualitas air pada siang hari. Hasil pengukuran didapat hasil berkisar antara 26-

30oC pada pagi hari dan 29-32°C pada siang hari menggunakan DO meter yang dapat

mengukur parameter suhu air. Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang

tidak dapat di manipulasi oleh manusia, perubahan suhu perairan sangat di pengaruhi

oleh kondisi cuaca dan musim pada lingkungan budidaya tersebut. Suhu sangat

berpengaruh terhadap udang budidaya, suhu yang terlalu rendah pada air tambak akan

mengakibatkan rendahnya laju konsumsi pakan udang, sedangkan suhu yang terlalu

tinggi menyebabkan tingkat konsumsi terhadap pakan akan terhenti (Erlangga 2012).

Untuk menjaga kestabilan suhu supaya tidak terjadi fluktuasi antara pagi hari dan sore

hari yang besar maka perlunya menciptakan kondisi agar panas matahari yang diserap

air tambak, tertahan dalam air dan dilepaskan secara perlahan-lahan pada malam hari.

Untuk itu perlu adanya benda-benda atau partikel-partikel hidup maupun mati yang
50

mampu menyerap panas dan menyimpannya hingga malam. Partikel-partikel yang

paling memungkinkan untuk dikembangkan adalah fitoplankton (Edhy dkk, 2010).

B. Salinitas

Salinitas didefinisikan sebagai konsentrasi total ion-ion terlarut dalam air.

Salinitas memiliki pengaruh penting terhadap pertumbuhan, nafsu makan udang

vannamei dan siklus ganti kulit (moulting) udang vannamei. Pada salinitas tinggi dapat

merangsang udang moulting dan di harap dapat menaikan pertumbuhannya, akan tetapi

pertumbuhan udang juga dapat menurun karena proses osmoregulasi terganggu.

Osmoregulasi merupkan proses pengaturan dan peneyimbang tekanan osmosis antara

di dalam dan diluar tubuh udang. Apabila salinitas meningkat maka pertumbuhan

udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi

dibandingkan pertumbuhan (Haliman dan Adijaya, 2005). Tambak Jatisari II

melakukan pengukuran salinitas dilakukan setiap hari setiap pagi dan siang hari dengan

menggunakan refraktometer. Pada tambak Jatisari II memiliki nilai salinitas rata-rata

23-25 ppt. Salinitas optimal dalam budidaya udang vannamei di bawah 28 ppt, hal ini

di sesuaikan dengan siklus hidup udang vannamei yang dibudidayakan yakni hidup

pada fase di atas postlarva dengan salinitas di bawah 28 ppt (Edhy dkk, 2010).

C. Kecerahan

Kecerahan merupakan tingkat penetrasi cahaya matahari yang dapat masuk

kedalam kolom air, kecerahan pada suatu perairan di pengaruhi oleh bahan terlarut

dalam perairan tersebut, yakni plankton dan padatan tersuspensi yang ada dalam

perairan tersebut. Kepadatan plankton memegang peranan paling besar dalam

menentukan kecerahan meskipun partikel tersuspensi dalam air juga berpengaruh


51

dalam perairan. Plankton tersebut akan memberikan warna hijau, kuning, biru-hijau,

dan coklat pada air, tergantung dari jenis plankton dominan yang ada pada perairan

tersebut (Edhy dkk, 2010).

Kecerahan diukur setiap pagi pukul 06.30 WIB dan siang hari pukul 12.30 WIB

dengan menggunakan sechi disk yang terbuat dari tongkat kayu berwarna hitam dan

putih untuk mempermudah pengamatan kecerahan air. Tambak Jatisari II memiliki

kecerahan tambak rata-rata 30-45 cm. Kecerahan tambak yang tinggi sangat buruk bagi

perairan dalam lingkungan budidaya tambak, karena ini mengindikasikan bahwa

plankton pada ekosistem tambak tersebut mulai berkurang. Air tambak yang bening ini

lebih cepat panas daripada air keruh karena cahaya matahari mudah sekali berpenetrasi,

akibatnya fluktuasi suhu air pada tambak akan bernilai besar.

4.6.2 Parameter Kimia Air

A. DO (Dissolved Oxygen)

Kandungan oksigen terlarut (DO) sangat mempengaruhi keberhasilan kegiatan

budidaya udang vannamei karena kandungan DO dapat mempengaruhi metabolisme

tubuh udang. Kadar okseigen terlarut yang baik berkisar 4-6 ppm, apabila kandungan

DO suatu perairan di bawah 3 ppm dapat menurunkan metabolisme udang,

menurunkan nafsu makan dan dapat mengganggu sistem respirasi udang sehingga

dapat mengakibatkan kematian. Pada siang hari, tambak akan memiliki angka DO yang

cenderung tinggi karena adanya proses fotosintesis plankton yang menghasilkan

oksigen. Pada saat malam hari, plankton tidak melakukan proses fotosintesis, bahkan

membutuhkan oksigen menjadi kompetitor bagi udang dalam mengambil oksigen. DO

yang baik pada malam hari adalah tidak kurang dari 3 ppm (Haliman dan Adijaya,
52

2005). Hal ini sesuai dengan pengukuran oksigen terlarut pada tambak Jatisari II

menggunakan DO meter yang dilakukan pada pagi hari dan siang hari. Oksigen terlarut

pada tambak Jatisari II yaitu berkisar antara 3,9-6,2 ppm, menunjukkan kondisi DO

yang optimal untuk pertumbuhan udang vannamei.

B. Amonia

Amonia merupakan senyawa kimia yang berbahaya dalam kegiatan budidaya

udang vannamei, hal ini dikarenakan kadar amonia yang tinggi ini dapat menyebabkan

terbentuknya ammonium (NH4-) yang bersifat racun bagi udang vannamei (Haeruddin

dkk, 2013). Pengukuran amonia sangatlah penting karena pola budidaya yang intensif

dengan kepadatan dan pemberian pakan yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan

kadar amonia dalam air, hal di sebabkan oleh tinggi nya sisa pakan dan kotoran yang

di hasilkan udang budidaya. Pengukuran amonia dilakukan satu kali dalam seminggu

yaitu pada hari Selasa dan Jumat yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer

di laboraturium milik PT. Surya Windu Kartika. Hasil pengukuran amonia pada tambak

Jatisari II yaitu berkisar 0,001-0,145 ppm.

Faktor yang mempengaruhi kadar amonia yaitu suhu dan pH pada air, pada

suhu tinggi aktifitas metabolisme pada udang juga ikut meningkat sehingga hasil

ekskresi atau kotoran udang juga ikut meningkat. Kotoran udang merupakan sumber

amonia pada air tambak. Selain itu, dengan meningkatnya pH dapat membuat NH4+

melepaskan ion hydrogen menghasilkan amonia (NH3) (Allan et al., 1990 dalam

Schuler, 2008). Standar nilai amonia maksimal pada tambak Jatisari II tidak lebih dari

0,1 ppm. Menjaga kandungan amonia dalam air dapat dilakukan dengan cara

menstabilkan jumblah plankton dalam perairan, menghindari terjadinya kematian


53

plankton secara massal, memberikan pupuk urea dan pupuk nitrogen pada saat ada sinar

matahari, memberi pupuk fermentasi secara berkala untuk mencukupi sumber nutrient

bagi plankton dan melakukan sipon secara berkala untuk mencegah penumpukan bahan

organik pada dasar tambak (Edhy dkk, 2010).

C. pH

pH merupakan tingkat keasaman dari suatu perairan yang sangat di pengaruhi

oleh kandungan ion-ion yang ada dalam suatu perairan tersebut. Konsentrasi Ion

Hidrogen (H+) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses kimia dan

biologi suatu perairan termasuk kandungan pH perairan tersebut, dengan demikian pH

merupakan variable penting dalam upaya menjaga kualitas air (Boyd et al., 2011). Pada

tambak Jatisari II, pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter.

Pengukuran dilakukan dilakukan pada pagi dan siang hari dan didapatkan pH pada

tambak tersebut berkisar antara 8,0-9,6 dengan fluktuasi pH harian berkisar antara 0,5-

0,8. Untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik organisme air (ikan dan udang)

memerlukan medium dengan kisaran pH antra 6,8-8,5 (Boyd, 1998). Kisaran pH pada

tambak Jatisari II lebih tinggi dari kisaran pH optimal bagi organisme air dikarenakan

sistem yang di gunakan pada tambak Jatisari II minim penggunaan kapur dan lebih

banyak menggunakan bahan fermentasi yang mengandung Karbon tinggi sehingga

mengakibatkan tingginya nilai pH pada tambak Jatisari II.

Pengaruh lansung pH yang sangat rendah pada udang menyebabkan kulit udang

menjadi lunak dan angka kehidupan menjadi rendah (Edhy dkk, 2010). Fluktuasi pH

yang tidak terlalu tinggi dapat mengoptimalkan pertumbuhan pada udang vannamei.

Pengontrolan pH dapat dilakukan dengan pemberian molase dan bakteri pada pH yang
54

terlalu tinggi, sedangkan pada pH terlalu rendah dapat dilakukan dengan cara

pemberian kapur pada tambak. Menurut Edhy dkk. (2010) pengapuran dapat dilakukan

sebagai usaha untuk memperbaiki kondisi pH tanah dengan bertujuan untuk

memperbaiki angka kehidupan (% SR) udang yang dibudidayakan. Untuk

mmpertahankan nilai pH pada tambak Jatisari II, perlakuan yang diberikan berupa

pemberian kapur CaCO3, CaO dan Dolomit.

D. Total Organik Matter (TOM)

Bahan organik terlarut atau Total Organik Matter (TOM) merupakan gambaran

kandungan bahan organik suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut,

tersuspensi (particulate) dan koloid. Bahan organik merupakan bahan bersifat

kompleks dan dinamis dan berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam

tanah yang menggalami perombakan. Bahan-bahan organik ini mengalami perubahan

karakteristik secara terus menerus yang di akbatkan oleh faktor fisika, kimia dan

biologi. Kadar bahan organik terlarut yang ideal untuk budidaya udang vannamei

berkisar antara 20-30 mg/l (Lim Fang et al., 2006). Pengujian bahan organik terlarut

pada tambak budidaya udang vannamei Jatisari II dilakukan setiap hari, pengambilan

sampel dilakukan pada saat pagi hari yakni pukul 07.00 dengan menggunakan test kit.

Hasil pengujian Total Organik Matter pada tambak budidaya udang vannamei Jatisari

II berkisar 40-70 mg/l. tingginya kadar Total Organik Matter dikarenakan sumber air

yang digunakan dalam kegiatan budidaya terlalu dekat dari garis pantai, sehingga

mengandung banyak polutan.


55

4.6.3 Parameter Biologi Air


Parameter biologi air yang di amati dalam kegiatan budidaya udang vannamei

mencangkup plankton dan bakteri yang ada dalam perairan tersebut. Plankton seperti

fitoplankton yang menguntungkan mutlak dibutuhkan baik dari segi jenis maupun

jumlahnya. Plankton antara lain dapat berfungsi sebagai pakan alami, penyangga

(buffer) terhadap intensitas cahaya matahari, dan bioindikator kestabilan lingkungan

air media pemeliharaan (Haliman dan Adijaya, 2005).

Penghitungan plankton pada tambak Bomo C dilakukan dengan meggunakan

haemocytometer dan diamati dengan mikroskop yang dihitung secara manual. Selain

itu dilakukan juga pengamatan terhadap jenis, ukuran dan kesehatan dari plankton yang

di amati. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui prosentase dari plankton yang

merugikan dan plankton yang menguntungkan serta dapat memprediksi siklus hidup

dari jenis plankton yang di inginkan, sehingga dapat di gunakan untuk menentukan

treathmen pupuk yang akan diberikan. Hasil pengamatan pada tambak Jatisari II jumlah

plankton berkisar antara 1,2×106-9,8×106 sel/ml.

Pengamatan mikroskop pada sampel air tambak sering ditemukan jenis plankton

menguntungkan berupa Green Algae golongan Chlorophyceace seperti Chlorella sp.

dan Chlamidomonas sp., golongan diatom seperti Amphipora sp., Nitzchia sp. dan

Thalasiosira sp.. Untuk jenis plankton merugikan yang ditemukan yaitu golongan

Dinoflagellata seperti Peridinium sp., Protoperidinium sp., dan Gyrodinium sp., dari

golongan Blue Green Algae seperti Oscillatoria sp., Microcystis sp., Anabaena sp., dan

Chroococcus sp.. Pertumbuhan plankton pada tambak Bomo C dilakukan dengan

pemberian pupuk serta pemberiaan nutrilake dengan dosis 3-5 ppm untuk menjaga

supaya plankton tidak mengalami kematian masal selama proses budidaya.


56

Pengamatan jumblah bakteri pada tambak Bomo C dilakukan satu kali seminggu,

setiap hari Kamis dengan mengamati jumblah bakteri vibrio dan jumblah total bakteri

dalam peraira tersebut. Pengamatan jumblah bakteri ini bertujuan untuk

membandingkan jumblah total bakteri dengan jumblah bakteri vibrio yang ada dalam

perairan tersebut. Berdasarkan pengamatan yang ada pada tambak jatisari II jumblah

bakteri vibrio yang ada berkisar 170-1970 sel/ml, sedangkan jumblah total bakteri yang

ada di tambak Jatisari II berkisar 4,2x104-7,04x106 sel/ml.

4.7 Manajemen Pupuk


Pemberian pupuk merupakan salah satu kegiatan yang menunjang keberhasilan

budidaya udang vannamei, karena pupuk merupakan bahan yang sangat penting untuk
57

mempertahankan kondisi plankton dan perairan yang di gunakan dalam kegiatan

budidaya udang vannamei. Pupuk yang di gunakan dalam budidaya ikan dan udang

terdiri dari 2 bagian, yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Nutrisi anorganik yang

terdapat padapupuk kimia merangsang pertumbuhan fitoplankton, demikian pula hasil

dekomposisi pupuk organik yang terbebas ke dalam air tambak. Pupuk organik yang

digunakan dalam tambak antara lain di buat dari fermentasi bungkil kedelai, dedak,

kotoran hewan dan sebagainya, sedangkan pupuk anorganik terdiri dari TSP, Urea, ZA,

dolomit, ammonium nitrat dan sebagainya (Edhy dkk, 2010).

Pupuk yang di gunakan pada tambak budidaya udang Jatisari II lebih sering

menggunakan jenis pupuk anorganik berupa pupuk TSP, Urea, ZA, tetes, FeCl, CaCl,

silikat dan dolomit, sedangkan untuk pupuk organik jarang di gunakan karena

membutuhkan waktu untuk fermentasi dan aplikasinya dalam tambak, fermentasi

bahan-bahan anorganik lebih sering di gunakan sebagai prebiotik ataupun probiotik

dalam tambak udang Jatisari II. Pemberian pupuk dilakukan setiap satu kali sehari pada

waktu pagi hari setelah hasil pengujian kualitas air telah selesai dilakukan, hal ini

bertujuan agar perlakuan pupuk yang diberikan sesuai dengan kebutuhan plankton dan

air yang ada pada perairan tersebut. Dosis pemberian pupuk pada tambak budidaya

udang jatisari II berkisar 20-50 gr/m2.

Jenis dan dosis pupuk yang digunakan tergantung dari kualitas air, jenis

plankton dominan dan kualitas dari plankton yang ada pada perairan tersebut, apabila

plankton yang tumbuh dari jenis green algae dan blue green algae pemberian pupuk

urea dan TSP harus di perhatikan untuk mengontrol komposisi N:P ratio dalam air,

sedangkan apabila ingin menumbuhkan plankton jenis diatom perlu dilakukan


58

pemberian silikat sebagai bahan penyusun tubuh diatom tersebut. Pemberian pupuk

juga harus memperhatikan kondisi cuaca, pemberian pupuk dengan cuaca hujan dan

berawan dapat mengakibatkan pupuk yang diberikan tidak dapat di serap oleh plankton

dan mengendap pada dasar perairan. Pemberian pupuk juga berhubungan dengan

kondisi lingkungan perairan, apabila terjadi hujan lebat agar tidak terjadi fluktuasi pH

pada perairan diberikan dolomit sebagai penjaga kestabilan pH perairan tersebut.

4.8 Manajemen Pemberian Probiotik


Probiotik merupakan mikroorganisme yang di tambahkan pada kegiatan

budidaya ikan dan udang yang bertujuan untuk menunjang kegiatan budidaya tersebut,

probiotik memiliki banyak manfaat antara lain dapat membantu proses pencernaan ikan
59

dan udang yang dibudidayakan, meningkatkan pemanfaatan nutrisi pakan,

meningkatkan respon kekebalan ikan dan udang dan memperbaiki kualitas lingkungan

budidaya (Gunarto dan Andi, 2008). Penggunaan probiotik sendiri dapat dilakukan

dengan dua metode, yakni penebaran langsung pada tambak budidaya atau dapat di

campurkan ke dalam pakan, metode penggunaan probiotik dapat di sesuaikan dengan

jenis dan fungsi probiotik yang diberikan. Probiotik dengan fungsi untuk menjaga

kualitas air dapat diberikan secara penebaran langsung, sedangkan probiotik yang

berfungsi untuk meningkatkan kecernaan dapat diberikan secara oral melalui

pencampuran dengan pakan.

Probiotik yang digunakan merupakan probiotik komersial dengan merek

dagang Pro-1 dengan fungsi antara lain, menstabilkan dan meningkatkan kualitas air,

menstabilkan plankton, menekan pertumbuhan pathogen, meningkatkan kekebalan

ikan dan menstabilkan saluran cerna ikan dan udang yang di pelihara. Komposisi dari

probiotik tersebut mengandung Bacillus subtilis, Bacillus licheniformis dan

Lactobacillus plantarum. Sesuai dengan fungsi probiotik tersebut, menurut Suryati

(2014) penggunaan probiotik dengan kandungan Bacillus subtilis berfungsi untuk

menghambat munculnya bakteri patogen dan juga meningkatkan kesehatan larva udang

sebagai salah satu upaya penanggulangan penyakit, selain itu juga bertujuan untuk

memperbaiki kualitas air tambak.

Pemberian probiotik dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Pemberian probiotik secara langsung dapat dilakukan dengan cara di campur dengan

pakan udang, dosis probiotik yang di gunakan sebesar 25 ppm. Sedangkan pemberian

probiotik secara tidak langsung harus melalui beberapa proses sebelum diberikan
60

kepada udang budidaya, sebelum probiotik diberikan harus di kultur terlebih dahulu

karena probiotik tersebut masih dalam kondisi dorman sehingga perlu dilakukan proses

aktivasi dengan cara di kultur terlebih dahulu (Hasnawati, 2014). Proses kultur

probiotik yang dilakukan pada tambak budidaya udang Jatisari II terdiri dari 2 cara

yakni secara aerob dan anaerob, untuk proses secara aerob membutuhkan waktu selama

24 jam, sedangkan untuk anaerob membutuhkan waktu selama 7 hari. Proses kultur

probiotik dilakukan dengan pencampuran antara pro-1, pakan udang, pupuk ZA, susu

skim dan air. Penambahan bahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri

selama proses kultur berlangsung, pakan udang dan pupuk ZA berfungsi sebagai

penjaga C:N ratio bagi bakteri yang di kultur, sedangkan susu skim diberikan sebagai

nutrisi tambahan berupa protein sederhana yang dapat mempercepat pembentukan

dinding sel

bagi bakteri yang di kultur. Probiotik yang telah di kultur dapat langsung diberikan ke

dalam tambak budidaya secara langsung dengan cara di tebarkan secara merata ke

seluruh permukaan tambak. Penebaran probiotik dilakukan sehari sekali pada saat sore

hari, hal ini bertujuan untuk menghindari peningkatan suhu yang terjadi pada saat siang

hari yang dapat menghambat mekanisme kerja dari probiotik tersebut.

4.9 Pengendalian Hama dan Penyakit


Penyakit dalam budidaya udang vannamei yang banyak menyerang udang

vannamei saat ini adalah WFD (White Feses Disease) dan IMNV (Infectious Myo

Necrotic Virus), hal ini dapat dilihat dari banyaknya kematian udang dengan gejala

klinis yang sama dengan ke dua penyakit ini.


61

4.9.1 WFD (White Feses Disease)


Udang yang terserang oleh WFD akan mengalami penurunan nafsu makan,

pengeroposan bagian hepatopankreas udang dan akhirnya udang mengalami kematian.

Kondisi udang dan kualitas perairan dapat digunakan sebagai indikator udang terserang

WFD, yakni warna air berubah menjadi gelap dengan plankton dominan berupa blue

green algae, kandungan bahan organik di atas 250 ppm dan adanya infeksi dari bakteri

vibrio pada perairan tersebut.

Pencegahan dari penyakit WFD dapat dilakukan dengan cara, mengendalikan

kestabilan warna air dengan mengatur keseimbangan dan kestabilan plangton dengan

mengatur nutrien C:N:P rasio. Perlakukan dengan aplikasi sumber karbon organik

(molase) dengan dosis 2-5 % dari total pakan yang diberikan setiap 2x seminggu.

Aplikasi pupuk Nitrogen (pupuk ZA atau Urea) dengan dosis 2-5 ppm setiap minggu,

Penurunan kandungan bahan organik air tambak dengan cara pengenceran atau

penambahan air dari petak tandon tiap hari sekitar 5%. Air yahg digunakan untuk

pengenceran harus sudah disetrilkan menggunakan desifektan untuk mengeliminasi

patogen virus atau bakteri dan menekan pertumbuhan bakteri vibrio dengan cara

pemberian probiotik yang bersifat antagonis terhadap bakteri vibrio

4.9.2 IMNV (Infectious Myo Necrotic Virus)


Penyakit IMNV ditandai degan timbulnya otot putih, ekor berwarna

kemerahan, dan terjadinya pembesaran pada limfoid organ udang. Penyakit IMNV

bersifat akut dengan tingkat kematian berkisar antara 40-70% dan akan meningkat

secara bertahap dan terus-menerus. Kematian terjadi ketika udang menampakkan

gejala klinis yang parah, yaitu ekor kemerahan atau udang telah memutih. Laju
62

perkembangan penyakit pada udang yang terinfeksi dipengaruhi oleh memburuknya

kualitas air tambak. Makin buruk kualitas air tambak, makin meningkat juga laju

perkembangan penyakit. Kualitas air yang buruk akan memicu penurunan sistem

kekebalan tubuh udang sehingga mengakibatkan terjadinya penyebaran virus di dalam

lingkungan tambak (Erlangga, 2012).

Proses penanganan terhadap timbulnya penyakit IMNV harus dimulai sejak awal

proses budidaya dilaksanakan, dimulai dengan penerapan biosecurity yang ketat,

seleksi indukan dan benur, pemusnahan organisme dan mikroorganisme pembawa

penyakit, pemilihan pakan, serta pelaku budidaya yang disiplin. Semua proses tersebut

harus dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan agar wabah penyakit tidak

meluas.
63

4.10 Panen dan Pasca Panen

Panen merupakan kegiatan terakhir dalam siklus budidaya udang vannamei,

kegiatan panen dilakukan berdasarkan kondisi udang yang dibudidayakan dan harga

udang di pasar saat itu. Apabila tingkat kematian udang meningkat dan daya dukung

lingkungan saat itu mengalami penurunan, maka udang secepatnya harus dilakukan

pemanenan sebelum terjadi kematian masal dan dapat merugikan pembudidaya udang.

Panen sendiri terdiri dari dua cara, yakni panen masal dan panen parsial. Panen masal

dilakukan dengan pengambilan seluruh udang yang dibudidayakann dengan cara

membuka pintu pengeluaran (outlet), sebelum pintu pengeluaran dibuka saluran

pengeluaran terlebih dahulu di pasang jaring untuk menghindari udang terlepas

(Haliman dan adijaya, 2005). Sedangkan panen parsial dilakukan dengan penjaringan

udang dengan jala, hal ini bertujuan untuk mengurangi sebagian udang yang di pelihara

untuk menurunkan tingkat kepadatan udang yang dibudidayakan. Keadaan normal

umur 110 – 125 hari dengan size 40 - 28 (Erlangga, 2012). Panen pada tambak Jatisari

II dilakukan pada DOC 90 dengan hasil panen mencapai 5.5 ton/petak dan size

mencapai 70.

Kegiatan pasca panen yang dilakukan dalam budidaya udang vannamei antara

lain, membersihkan udang dan packing udang sebelum di pasarkan. Udang yang telah

dipanen dibersihkan dahulu untuk menghilangkan kotoran atau lumpur yang menempel

pada tubuh udang, setelah itu udang disortir dan dikelompokkan berdasarkan ukuran

dan kualitasnya. Penimbangan udang dilakukan oleh petambak dan pembeli, kemudian

udang segera dimasukkan kedalam truk (countainer). Penataan udang dan es batu di
64

dalam truk dilakukan bergantian agar kualitas udang tetap terjaga (Haliman dan

Adijaya, 2005).
65

4.11 Analisis Usaha


Analisis usaha merupakan kegiatan untuk menghitung pengeluaran atau modal

selama kegiatan budidaya dan membandingkan dengan hasil dari kegiatan budidaya,

manfaat dari pembuatan analisis usaha dalam budidaya udang vannamei untuk

memperhitungkan keutungan selama periode budidaya dan menentukan keberlanjutan

kegiatan budidaya. Apabila dinilai kegiatan budidaya tidak menguntungkan maka

kegiatan budidaya dapat di hentikan agar tidak mengakibatkan kerugian.

Perhitungan analisis usaha yang dilakukan oleh tambak udang vannamei

Jatisari 2 menggunakan beberapa metode antara lain, dengan perhitungan BEP dan juga

perhitungan R/C Ratio dari kegiatan budidaya yang di lakukan. BEP (Analisa Titik

Impas) merupakan perhitungan batas kwantitas produksi yang mengalami keuntungan

dan kerugian pada usaha perikanan yang dilakukan petani atau petambak, sedangkan

R/C Ratio adalah perbandingan total penerimaan yang di peroleh dengan total biaya

yang di keluarkan (sa’adah, 2010). Perhitungan BEP dan R/C Ratio diharap dapat

menunjukan seberapa besar nilai keuntungan yang didapat dari kegiatan budidaya

udang serta, untuk mengetahui jumlah produksi yang di butuhkan untuk dapat

mengembalikan modal usaha awal yang di gunakan dalam kegiatan budidaya udang

vannamei. Data analisis budidaya udang vannamei dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai

berikut :
66

Tabel 6. Analisis usaha Tambak Udang Jatisari II

harga
Komponen jumblah (Rp) total (Rp)
A. Biaya
Investasi
sewa lahan/tahun 3.000.000
perbaikan konstruksi 20.000.000
mesin, pompa & kelengkapan 20.000.000
kincir & kelengkapannya 35.000.000
rumah jaga & Gudang 3.000.000
jala udang & timbangan 700.000
jembatan anco 600.000
Anco 150.000
sub total 82.450.000
B. Biaya
Oprasional
CaO 500 kg 500 250.000
CaMgCO3 (Doloit) 50 Kg 700 35.000
Urea 40 Kg 1.800 72.000
TSP 10 kg 2000 20.000
Saponin 125 Kg 4000 500.000
probiotik 1 (cair)
probiotik 2 8 Kg 450.000 3.600.000
Omega P 10 Kg 19.000 190.000
Vitamin 15 Kg 150.000 2.250.000
Pupuk Organik 6000 Kg 110 660.000
Elektrik 10 Unit 2.128.896 21.288.960
495.000
Benur ekor 37 18.315.000
Pakan 11.769 Kg 15.000 176.535.000
Tenaga Kerja 2 orang 9.300.000 18.600.000
sub total 242.315.960
total pengeluaran 324.765.960
C. Penerimaan Jumblah udang / produksi 5.500 Kg 85.000 467.500.000
D. Keuntungan 142.734.040

Jika dihitung tingkat kelayakan usaha budidaya udang vannamei, maka dapat

diketahui melalui perbandingan antara besarnya penerimaan dengan biaya yang dikenal
67

dengan istilah R/C. Berdasarkan pada informasi yang ditunjukan pada Tabel 6, R/C

usaha budidaya udang vannamei adalah sebesar 2,7. Perhitungan R/C adalah sebagai

berikut :

R/C = Jumlah Total Penerimaan

Jumlah Pengeluaran

R/C = Rp 467.500.000

Rp 324.765.960

R/C = 1,4

Hal ini menunjukan bahwa usaha budidaya udang vannamei adalah layak secara

ekonomis untuk dikembangkan. Rasio tersebut berarti bahwa setiap penambahan

modal Rp 1,00 akan memberikan peningkatan penerimaan sebesar 1,4.

Perhitungan nilai impas terhadap modal usaha dengan hasil budidaya tiap siklus

dapat menggunakan perhitungan BEP, berdasarkan data yang di tunjukan tabel 6, BEP

usaha budidaya udang vannamei adalah sebesar Rp. 171.164.625 ,-. Perhitungan BEP

adalah sebagai berikut :

BEP = Biaya tetap


1- Biaya Variabel / Total penerimaan

BEP = Rp. 82.540.000


1- Rp. 242.315.960 / Rp. 467.500.000

BEP = Rp. 171.164.625

Hal ini menunjukan bahwa petambak udang mengalami impas apabila total

penerimaan sebesar Rp. 171.164.625,- dengan kata lain apabila nilai penerimaan di

tambak udang jatisari II sebesar Rp. 467.500.000 maka tambak jatisari II mengalami

keuntungan yang tinggi.


68
69

V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Hasil Praktek Kerja Lapang Teknik Budidaya Udang Vannamei (Litopenaeus


vannamei) pada Tambak Udang Intensif di PT. Surya Windu Kartika dapat diambil
kesimpulan yaitu:
1. Teknik budidaya udang vannamei meliputi persiapan tambak, penebaran benur

sebesar 150 ekor/m2, pemberian pakan menggunakan sistem blind feeding dan

pengamatan anco, pakan yang diberikan berkisar 3% biomas udang dengan

frekuensi pemberian 3-4 kali sehari, pemberian pupuk berupa pupuk Urea, TSP

dan ZA dengan dosis 20-50 gr/m2, aplikasi probiotik berupa Pro-1 dengan dosis

1 gr/kg pakan, manajemen kualitas air yang dilakukan selama proses budidaya

meliputi DO yang berkisar 3,9-6,2 ppm, suhu 26-32 oC, kecerahan 30-45 cm, pH

8-9,6, TOM 40-70 mg/l, salinitas 23-25 ppt dan amoniak 0,001-0,145 ppm,

pengendalian hama dan penyakit, serta panen yang mencapai size 70 dengan total

biomassa panen sebesar 5,5 ton dan pasca panen.

2. Masalah yang ditemui dalam tambak Jatisari II adalah sumber air yang di

gunakan memiliki kadar Total Organik Matter (TOM) yang sangat tinggi

mencapai 40-70 mg/l, kondisi perairan pesisir yang memburuk dan lingkungan

masyarakat sekitar tambak yang terkadang merugikan pihak tambak.

3. Prospek usaha yang ada pada tambak udang Jatisari II memiliki prospek yang

cukup menguntungkan, dilihat dari nilai R/C nya mencapai 1,4 yakni dengan

modal Rp. 324.765.960 dapat menghasilkan keuntungan bersih sebesar Rp.

142.734.040 rupiah/siklus budidaya.


70

5.2 Saran

Berdasarkan masalah yang ditemui dalam Budidaya Udang Vannamei

(Litopenaeus vannamei) pada Tambak Udang Intensif di PT. Surya Windu Kartika

adalah sebaiknya dilakukan rehabilitasi lingkungan pesisir untuk memperbaiki kondisi

ekosistem yang ada di sekitar tambak jatisari II, penambahan panjang pipa

pengambilan air agar dapat mengambil air laut lebih baik, , meningkatkan kapasitas

gudang pakan untuk menjaga stok pakan untuk kebutuhan 6 petak dan agar kegiatan

budidaya tidak mengalami hambatan pada saat pabrik tidak dapat melakukan kegiatan

distribusi serta melakukan sosialisasi dengan pihak lingkungan sekitar agar tidak

mengakibatkan kerugian selama masa produksi dan panen udang.

Anda mungkin juga menyukai