Oleh :
DONY HUSIN
SURABAYA-JAWA TIMUR
Praktek Kerja Lapang sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Perikanan
dan Kelautan Universitas Airlangga
Oleh :
DONY HUSIN
141411131128
Mengetahui, Menyetujui,
Dekan,
Fakultas Perikanan dan Kelautan Dosen Pembimbing
Universitas Airlangga,
ii
iii
RINGKASAN
iii
iv
SUMMARY
Intensif Shrimp Pond at CV. Citra Birawa Wira Sakti, Banyuwangi, East Java.
iv
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, taufiq, serta
tentang teknik budidaya udang vannamei (litopenaeus vannamei) pada tambak udang
jawa timur. Penulis haturkan terima kasih yang tak terhingga pada orang tua dan
keluarga yang telah mendoa’akan, mendidik dan memberikan motivasi serta semangat
hingga terselesaikannya laporan Praktek Kerja Lapang ini. Laporan Praktek Kerja
Lapang (PKL) ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Perikanan pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Kelautan
Penulis menyadari bahwa laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini masih belum
sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan dan kesempurnaan laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini. Penulis
berharap semoga laporan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini bermanfaat dan dapat
memberikan informasi kepada semua pihak, khususnya bagi Mahasiswa Program Studi
guna kemajuan serta perkembangan ilmu dan teknologi dalam bidang perikanan,
Penulis
v
vi
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Praktek Kerja Lapang ini banyak
melibatkan orang - orang yang sangat berarti bagi penulis, oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat serta ucapan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Mirni Lamid, drh., MP., selaku Dekan Fakultas Perikanan dan
3. Rr. Juni Triastuti, S.Pi., M.Si, selaku Dosen Wali yang telah memberikan saran
4. Dr. Woro Hastuti Satyantini,Ir., M.Si., dan Dr. Kismiyati, Ir., M.Si., selaku
Dosen Penguji sidang Praktek Kerja Lapang yang telah memberikan banyak
5. Kedua orang tua dan keluarga tercinta yang selalu mendoakan terbaiknya dari
6. Bapak Mujianto, Bapak David, Mas Rahmmad, Mas Saihul dan Mba ifa sebagai
Penulis
vi
vii
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ..................................................................................................... iv
SUMMARY ......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................................ 2
1.3 Manfaat ...................................................................................................... 3
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udang Vannamei ....................................................................................... 4
2.1.1 Klasifikasi Udang Vannamei........................................................... 4
2.1.2 Morfologi Udang Vannamei ........................................................... 4
2.1.3 Reproduksi dan Siklus Hidup Udang Vannamei ............................. 6
2.1.4 Habitat Udang Vannamei .............................................................. 10
2.1.5 Kebiasaan Makan Udang Vannamei ............................................. 11
2.2 Teknik Budidaya Udang Vannamei. ....................................................... 11
2.2.1 Persiapan Tambak........................................................ .................. 11
2.2.2 Persiapan Air Tambak........................................................ ............ 13
2.2.3 Seleksi dan Penebaran Benih........................................................ . 14
2.2.4 Pengelolaan Kualitas Air........................................................ ........ 15
2.2.5 Manajemen Pakan Buatan........................................................ ...... 17
2.2.6 Pengendalian Hama dan Penyakit Udang.......................................19
2.2.7 Panen dan Pasca Panen................................................................... 23
vii
viii
viii
ix
ix
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
x
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
xi
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
xii
1
I PENDAHULUAN
mencapai 7.000.000 ha, dengan sumber daya alam yang melimpah merupakan potensi
untuk kegiatan perikanan di Indonesia. Menurut data dari Direktorat Jendral Perikanan
(2007) luas lahan di sekitar pantai yang memungkinkan untuk dikembangkan menjadi
sumberdaya alam yang melimpah ini sangat mendukung kegiatan budidaya komoditas
air payau di Indonesia, seperti ikan air payau dan udang di tambak.
Kegiatan usaha budidaya udang merupakan salah satu komoditas yang paling
di minati di Indonesia, dengan nilai produksi yang mencapai 640 ribu ton pada tahun
2013 dengan peningkatan 13.9% per tahun, dengan nilai produksi yang sangat tinggi
vannamei sendiri merupakan udang yang berasal berasal dari daerah subtropis pantai
barat Amerika, mulai dari Teluk California diMexico bagian utara sampai ke pantai
unggulan yang memiliki beberapa kelebihan di bandingkan udang windu, antara lain
pertumbuhan lebih cepat, terutama pada 60 hari pertama, sehinga masa pemeliharaan
2
relatif lebih pendek untuk memperoleh ukuran pasar (ukuran 60-80), umumnya dapat
diperoleh ukuran panen yang lebih seragam, pakan buatan untuk budidaya udang
vannamei harganya relatif lebih murah dengan rasio konversi pakan yang lebih rendah,
produktifitas per satuan luas lahan lebih tinggi, karena hidup di seluruh kolom air,
sehingga kepadatannya dapat ditingkatkan sampai lebih dari seratus ekor/m2 dan udang
vannamei yang masuk ke Indonesia berasal dari populasi yang Spesific Pathogen Free
(SPF), terutama terhadap infeksi Taura Syndrome Virus (TSV) dan lebih resisten
Kegiatan budidaya udang vannamei meliputi aspek teknis dan aspek non teknis,
aspek teknis sendiri meliputi segala kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan
kualitas air, manajemen pakan, serta kontrol hama dan penyakit. Sedangkan aspek non
teknis seperti panen dan kegiatan pasca panen (Slamet dkk, 2009).
1.2 Tujuan
(Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika,
vannamei (Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu
(Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika,
1.3 Manfaat
vannamei (Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu
udang vannamei (Litopenaues vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya
vannamei (Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu
II TINJAUAN PUSTAKA
Adiwidjaya (2005) :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Sub Kelas : Eumalacostraca
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Dendrobrachiata
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
termasuk kelompok hewan yang seluruh bagian tubuhnya tertutup oleh eksoskeleton
yang tebuat dari zat kitin. Tubuh dari udang vannamei terdiri dari beberapa ruas dan
memiliki kebiasan ganti kulit yang disebut dengan (moulting) secara berkala.
Berdasarkan eksoskeleton yang ada pada udang ini tubuh udang vannamei dibagi
menjadi 3 bagian yakni bagian depan kepala sampai dada yang disebut
(chepalothorax), bagian perut yang disebut (abdomen), dan bagian ekor yang disebut
(uropod). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi, sehingga dapat
digunakan untuk beberapa keperluan antara lain : makan, bergerak dan membenamkan
5
diri ke dalam lumpur, menopang insang, karena struktur insang udang mirip bulu
unggas serta organ sensor seperti antenna dan antennulae (Haliman dan Adijaya, 2005).
dan dua pasang maxillae. Kepala ditutupi oleh cangkang yang memiliki ujung runcing
dan bergigi yang disebut rostrum. Kepala udang juga dilengkapi dengan tiga pasang
maxilliped dan lima pasang kaki jalan (periopod). Maxilliped sudah mengalami
modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan (Haliman dan Adijaya, 2005).
Bagian abdomen terdiri dari enam ruas, terdapat lima pasang kaki renang pada ruas
pertama sampai kelima, sepasang ekor kipas (uropoda) dan ujung ekor (telson) pada
ruas yang keenam serta di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur (anus)
Ciri morfologi khusus yang dimiliki oleh udang vannamei adalah pigmen
karotenoid yang terdapat pada kulit udang vannamei yang dapat memberikan pigmen
warna putih kemerahan, pigmen karotenoid ini dapat berkurang dan terdegradasi setiap
yang terpisah atau disebut juga dengan hewan heteroseksual, organ reproduksi pada
jantan antara lain petasma, testis, vasa deferensia dan apendiks maskulina, organ
reproduksi jantan terletak di antara kaki renang pertama dan berfungsi sebagai organ
ovarium¸oviduct dan lubang genital. Thelikum terletak di antara kaki jalan ke 5 dan
kaki jalan ke 6, organ ini berfungsi sebagai penampung sperma sebelum terjadi
Udang vannamei termasuk sebagai golongan hewan nocturnal atau hewan yang
aktif pada malam hari, proses perkawinan juga sering dilakukan ketika malam atau
pada kondisi yang minim cahaya. Secara alami udang vannamei kawin pada daerah
lepas pantai yang dangkal, proses kawin udang vannamei terbilang sederhana yakni
pemasukan spermatophor dari udang jantan ke betina, dimana setelah mendapat sinyal
dari alam maka akan langsung terjadi pemijahan. Proses pembuahan dilakukan pada
perairan pantai yang lebih dalam, dimana telur akan dikeluarkan dan difertilisasi secara
eksternal dalam air (Martosudarmo dan Ranumiharjo, 1983). Menurut Haliman dan
100.000-250.000 butir telur yang berukuran kurang lebih 0,22 mm. Perkembangan
a. Stadia Nauplius
yang masih dalam stadia ini belum memerlukan makanan dikarenakan masih memiliki
kuning telur. Perkembangan stadia nauplius terdiri dari enam stadium. Nauplius
memiliki tiga pasang organ tubuh yaitu antena pertama, antena kedua dan mandible.
b. Stadia Zoea
jam setelah penetasan. Pada stadia ini larva cepat bertambah besar. Tambahan makanan
yang diberikan sangat berperan dan larva aktif memakan phytoplankton. Stadia akhir
zoea juga memakan zooplankton. Zoea sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat
8
kuat dan ada juga yang lemah diantara tingkat stadia zoea tersebut. Fase Zoea dapat
c. Stadia Mysis
Larva mencapai stadia mysis pada hari ke lima setelah penetasan. Larva pada
stadia ini kelihatan lebih dewasa dari dua stadia sebelumnya. Stadia mysis lebih kuat
dari stadia zoea dan dapat bertahan dalam penanganan. Stadia mysis memakan
stadia mysis akhir. Fase Mysis dapat dilihat pada gambar 4 berikut:
9
Perubahan bentuk dari mysis menjadi post larva terjadi pada hari kesembilan.
Stadia post larva mirip dengan udang dewasa, dimana lebih kuat dan lebih dapat
bertahan dalam penanganan. Post larva bersifat planktonik, dimana mulai mencari
jasad hidup sebagai makanan. Fase Post Larva dapat dilihat pada gambar 5 berikut :
Siklus hidup atau siklus produksi dari udang vannamei dapat di lihat pada
gambar 6.
10
sepanjang Peru bagian utara, melalui Amerika Tengah dan Selatan sampai Meksiko
bagian selatan, secara umum udang ini mampu hidup pada perairan dengan suhu di
bawah 20°C dan hidup optimum pada perairan tropis dengan suhu 23-30°C. Udang
vannamei merupakan hewan yang memiliki toleransi salinitas yang cukup tinggi yakni,
0,5-45 ppt, hal ini menyebabkan udang ini memiliki penyebaran yang cukup luas di
11
alam karena tidak di batasi oleh pengaruh suhu dan salinitas suatu perairan (Brown,
1991).
omnivorus, pada habitat alaminya udang ini sering memakan jasad renik, krustacea
kecil, amphipoda dan polychaeta. Udang vannamei tidak makan setiap saat, akan tetapi
hanya makan pada waktu tertentu saja, intensitas makan dan waktu makan pada udang
Udang vannamei memiliki organ tambahan berupa bulu-bulu halus (setae) yang
berfungsi sebagai organ sensoris untuk mencari dan mengidentifikasi sumber pakan
yang mengandung senyawa organik berupa asam amino, protein dan asam lemak.
Organ ini akan memberikan sinyal kimiawi apabila terdapat sumber pakan yang
mengandung senyawa yang dibutuhkan udang. Organ sensor ini terdapat pada ujung
anterior antenula bagian mulut, capit, antenna dan maxilliped (Haliman dan Adijaya,
2005).
pembalikan tanah dasar tambak guna memperbaiki kualitas petakan sebelum dilakukan
penampungan air sebelum digunakan dalam budidaya juga harus di persiapkan dengan
pada fisik pematang tambak agar lebih kuat dan mengantisipasi kebocoran pada saat
kegiatan budidaya berlangsung, selain itu juga meliputi perbaikan saluran keluar masuk
air dan membentuk kemiringan pada dasar tambak kearah pintu pengeluaran air untuk
tambak serta mematikan hama dan penyakit yang ada di dasar tambak. Pengeringan
dilakukan sampai tanah dasar tanah dasar tambak terlihat pecah-pecah atau kandungan
air dari tanah dasar tambak di bawah 20%, tidak berbau serta apabila dilakukan
pemeriksaan secara laboratorium, kandungan bahan organik dari tanah dasar akan
tambak, mempercepat proses penguraian bahan organik, mengikat gas asam yang di
hasilkan dari organisme perairan serta mematikan bakteri dan parasit yang ada di dasar
tambak. Pengapuran tanah tambak dapat menggunakan kapur dolomit, kapur pertanian
(CaCO3), kapur tohor (CaO) dan kapur mati (Ca(OH)2). Dosis pengapuran tergantung
dari jenis kapur yang di gunakan, luas lahan tambak dan tingkat keasaman dari tanah
dasar tambak itu sendiri, untuk dosis penggunaan kapur tohor (CaO) dalam tanah yang
ber pH kurang dari 4 dapat menggunakan kapur tohor sebanyak 500-1000 kg/ha
(Badrudin, 2014).
pakan alami berupa plankton. Pemupukan dilakukan setelah pengapuran, hal ini
bertujuan agar organisme parasit tidak berkembang setelah pemberian nutrisi yang
13
berasal dari proses pemupukan. Jenis pupuk yang digunakan tergantung dari jenis tanah
dasar tambak, untuk tambak yang memiliki dasar pasir sebaiknya menggunakan jenis
pupuk kompos atau komersial. Penggunaan pupuk Nitrat (N) dan Fosfat (P) dilakukan
secara langsung pada tanah dasar tambak dengan rasio perbandingan 1:4 atau 1:6
(Nitrogen dan Fosfat), dosis pemupukan minimal 1ppm untuk pupuk Sp36 (Badrudin,
2014).
terlebih dahulu sebelum di masukan ke dalam petakan tambak. Air yang akan di
gunakan diendapkan dalam tandon selama beberapa saat, pengendapan bertujuan agar
bahan-bahan tersuspensi tidak ikut masuk kedalam petakan tambak budidaya. Setelah
air diendapkan dalam tandon air di saring dengan saringan berlapis yang memiliki
ukuran mesh size 80, untuk mencegah masuknya bibit predator, ikan liar dan inang
penyakit. Pengisian air minimal 80 cm dari dasar tambak. Setelah pengisian air,
dilakukan sterilisasi dengan klorin berbahan aktif 90% dengan dosis 10-20 ppm,
aplikasi klorin dilakukan dengan cepat dan merata karena chlorin merupakan oksidator
yang kuat dan dapat merusak lingkungan apabila dosis yang diberikan tidak sesuai
Pembentukan warna air dapat dilakukan dengan pemupukan urea 10 Kg/Ha dan
SP36 sebanyak 15 Kg/Ha sampai terbentuk warna pada air. Sedangkan untuk
yang berkualitas dan bebas dari virus serta berasal dari pembenihan atau hatchery
bersertifikat serta sudah menerapkan cara pembenihan yang baik. Benih udang yang di
gunakan telah memenuhi kriteria SPF (Specific Pathogen Free). Salah satu cara seleksi
benih udang yang berkualitas dengan cara screaning benih udang dengan pemberian
formalin dengan dosis 10 ppm selama 1 jam dan di amati tingkah laku udang setelah
perlakuan, apabila udang masih dapat bergerak aktif maka bisa di simpulkan benih
udang tersebut terbebas dari WSSV (White Spot Synrome Virus) (Lulu, 2016).
Penebaran benih udang vannamei dengan padat tebar intensif mencapai 60-100
ekor/m2. Penebaran benih udang dilakukan setelah warna air berwarna hijau
kecoklatan, karena warna air merupakan indikator kepadatan plankton pada suatu
perairan, apabila warna perairan sudah menunjukan warna hijau kecoklatan maka
plankton yang ada di perairan tersebut sudah siap di gunakan dalam kegiatan budidaya.
Penebaran benih udang di awali dengan proses aklimatisasi untuk menyesuaikan suhu
media angkut benih dengan suhu perairan, proses aklimatisasi dilakukan dengan cara
dari dalam media angkut. Adaptasi salinitas merupakan proses penyesuaian diri benih
udang terhadap tingkat salinitas lingkungannya, dengan cara memasukan air tambak
sedikit demi sedikit ke dalam media angkut benih sampai salinitas di tambak sama
dengan salinitas yang ada pada media angkut benih. Pelepasan benih udang ke tambak
15
dapat dilakukan dengan menenggelamkan media angkut benih secara perlahan, sampai
benur keluar dengan sendirinya. Sisa benur yang tidak keluar dari kantong, dibantu
hal ini dikarenakan kualitas air sangat mempengaruhi pertumbuhan udang yang
dibudidayakan. Pengelolaan kualitas air yang baik pada kegiatan budidaya udang
budidaya mencangkup parameter fisika dan parameter kimia air, beberapa parameter
periodik selama seminggu sekali, adapun parameter kualitas air yang di ukur secara
laboratorium antara lain, Total Kandungan Bahan Organik (TOM), kelimpahan dan
jenis plankton, total bakteri, dan total padatan tersuspensi (Badrudin, 2014).
udang akan terhambat apabila DO suatu perairan di bawah 3 ppm, kebutuhan akan DO
dapat berubah tergantung dari suhu perairan itu sendiri, semakin tinggi suhu suatu
kebutuhan akan oksigen juga semakin meningkat (Haeruddin dkk, 2013). Kandungan
oksigen terlarut dalam suatu perairan dapat di tingkatkan dengan penggunaan kincir
dan penggantian air baru, dalam kondisi darurat atau kondisi DO yang sangat buruk
Udang vannamei secara umum merupakan hewan air yang dapat hidup pada
rentang salinitas yang luas, udang vannamei dapat hidup pada salinitas 0,5-35 ppt.
udang vannamei hidup optimal pada salinitas dengan kisaran 15-30 ppt, apabila udang
vannamei hidup pada salinitas di bawah 15 ppt, udang vannamei masih dapat hidup
akan tetapi metabolisme udang akan terganggu dan menurunkan laju pertumbuhan dari
udang vannamei, selain itu apabila udang vannamei hidup pada salinitas yang rendah
karapas udang akan lembek dan menurunkan harga jual dari udang vannamei (Weihua
et al, 2016).
17
Kandungan bahan organik yang ada pada dasar perairan berupa amoniak dan
nitrit harus selalu di perhatikan, amoniak dan nitrat berasal dari sisa metabolisme atau
feses dan sisa bahan pakan yang tidak di cerna udang. Amoniak dan nitrit bersifat toksik
dan dapat mengakibatkan kematian pada udang apabila konsentrasinya tinggi dalam
suatu perairan, oleh karena itu perlu adanya pemberian probiotik yang mengandung
bakteri nitrifikasi agar dapat merombak amoniak dan nitrat menjadi nitrit, nitrit sendiri
perairan tersebut (Haeruddin dkk, 2013). Apabila terjadi penumpukan bahan organik
yang ada di dasar tambak. Dapat dilakukan penambahan air untuk menjaga ketinggian
air agar tetap stabil, selain itu penambahan air juga dapat dilakukan apabila terjadi
penguapan yang cukup tinggi sehingga dapat mempengaruhi ketinggian perairan. Air
yang di gunakan dalam penambahan terlebih dahulu diendapkan selama beberapa saat
di tandon air dan juga disterilisasi menggunakan kaporit sebesar 30 ppm (Slamet dkk,
2009).
pertumbuhan dari udang yang dibudidayakan, semakin baik manajemen pakan yang
dilakukan maka laju pertumbuhan udang akan ikut meningkat. Manajemen pakan
udang vannamei meliputi pakan alami berupa plankton yang ada di perairan dan juga
pakan buatan berupa pelet dan crumble. Pakan buatan berupa pelet diberikan sebagai
penambah nutrisi bagi udang untuk mempercepat laju pertumbuhan agar lebih optimal.
Nilai nutrisi dari pakan buatan harus memenuhi kebutuhan protein, lemak, karbohidrat,
vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh udang. Kandungan protein dari suatu bahan
18
pakan sangat menentukan laju pertumbuhan dari udang, karena protein merupakan
unsur penyusun dari tubuh udang dan juga sebagai sumber energi, kandungan protein
yang optimum untuk pertumbuhan udang adalah 30-36%, apabila kandungan protein
dari pakan buatan kurang dari itu maka pertumbuhan udang akan terhambat (Deisi dkk,
2010).
yang optimal sebesar 25% dari bobot biomassa udang yang dibudidayakan, apabila
kurang dari itu pertumbuhan udang akan terhambat, karena kandungan nutrisi yang
dibutuhkan tidak terpenuhi, apabila pakan yang diberikan lebih dari itu akan
menurunkan kualitas air dan berdampak pada pertumbuhan udang yang dibudidayakan
(Edward dkk, 2015). Pengujian terhadap kecukupan dosis pemberian pakan dapat
dilakukan dengan cara pengamatan usus udang pada saat pengamatan udang yang
terdapat pada anco. Pemberian pakan dilakukan dengan ketentuan kincir dimatikan 15
menit sebelum dilakukan penebaran pakan, pakan berbentuk tepung dibasahi terlebih
dahulu agar tidak terbawa angin, pakan di tebar secara merata dan hindari penebaran
di daerah penumpukan bahan organik (titik mati). Frekuensi pemberian pakan pada
udang berumur kurang dari 1 bulan, cukup 2-3 kali sehari, karena pakan alami cukup
tersedia di tambak. Setelah udang berumur lebih dari 30 hari frekuensi pemberian
pakan di tingkatkan menjadi 4-5 kali sehari dengan paduan perhitungan bobot biomassa
FCR (Food Convertion Ratio) merupakan perhitungan antara total berat pakan
buatan yang diberikan dibandingkan dengan berat total udang hasil panen. Pada
19
umumnya FCR dalam budidaya udang vannamei antara 1,2-1,5, semakin kecil nilai
FCR maka semakin tinggi kecernaan pakan yang diberikan sehingga meningkatkan
addictive dan vitamin tambahan dengan dosis sesuai dengan yang di anjurkan,
udang juga dapat meningkatkan daya tahan tubuh udang itu sendiri. Pemberian bahan
tambahan dapat dilakukan setiap hari bersamaan dengan pemberian pakan, sebaikan
pemberian dilakukan siang hari pada saat nafsu makan udang paling tinggi (Badrudin,
2014).
budidaya udang vannamei, oleh karena itu perlu adanya pengendalian hama dan
penyakit agar tidak mengakibatkan kerugian dalam kegiatan budidaya. Hama dalam
kegiatan budidaya udang terdiri dari 3 golongan yakni, golongan pemangsa, penyaing
gangguan suatu fungsi atau struktur dari suatu alat-alat tubuh, baik secara langsung
maupun tidak langsung (Suyanto dan Mujiman, 2011). Penyakit sendiri di sebabkan
oleh ketidakseimbangan antara host, lingkungan dan agen penyebab penyakit. Agen
penyebab penyakit disebut juga dengan Pathogen, pathogen yang ada di ikan antara
udang vannamei. Hama golongan pemangsa adalah hama yang bersifat predator pada
20
udang vannamei seperti burung, kepiting dan ular. Hama golongan penyaing bersifat
kompetitor terhadap ruang hidup dan makanan bagi udang vannamei, yang tergolong
sebagai hama penyaing adalah ikan liar. Hama pengganggu adalah hama yang merusak
sarana tambak seperti pematang dan tanah dasar tambak, yang tergolong sebagai
lubang pada pematang tambak. Pencegahan serangan dari hama dapat dilakukan
dengan cara pembuatan pagar di sekeliling wilayah tambak untuk mencegah hewan liar
masuk ke dalam area tambak, pemberian penghalau berupa tali senar di atas tambak
untuk mencegah burung memasuki area tambak dan juga memberi saringan pada pipa
pemasukan air untuk mencegah benih ikan liar masuk ke area tambak (Haliman dan
Adijaya, 2005). Pembasmian hama dapat dilakukan dengan cara pemberian pestisida
organik berupa biji teh yang mengandung saponin, akar tuba yang mengandung
retenon dan sisa-sisa tembakau yang mengandung nicotin. Penggunaan pestisida alami
ini lebih di anjurkan karena lebih cepat terurai di tambak dan tidak meninggalkan residu
yang berbahaya. Dosis pemberian saponin tergantung dari salinitas tambak, untuk
tambak dengan salinitas di atas 30 ppt dapat menggunakan saponin dengan dosis 15-
20 ppm, untuk tambak dengan salinitas di bawah 30 ppt dapat menggunakan saponin
Organisme yang bersifat pathogen pada udang terdiri dari parasit, bakteri, jamur
dan virus. Organisme pathogen akan menyerang udang vannamei apabila kondisi tubuh
udang sedang terganggu, hal ini juga sering diakibatkan oleh faktor lingkungan tambak
yang kurang baik seperti kualitas air budidaya menurun atau padat tebar dari tambak
terlalu tinggi sehingga ikan mengalami stress dan mudah terserang organisme
21
pathogen. Beberapa spesies parasit yang menyerang udang vannamei antara lain,
Zoothamnium sp., Vorticella sp., Epistylis sp. Parasit ini mengakibatkan penyakit
udang bersepatu, parasit ini akan memenuhi permukaan tubuh udang dan dapat
mengganggu aktivitas udang vannamei, dalam kondisi yang kronis dapat menyebabkan
Bakteri dan jamur tumbuh optimal di perairan yang mengandung bahan organik
tinggi mencapai 50 ppm. Oleh karena itu, sebaiknya kandungan bahan organik di air
tambak tidak melebihi 50 ppm. Bakteri yang perlu diwaspadai adalah bakteri vibrio
yang menyebabkan penyakit vibriosis. Secara umum serangan bakteri vibrio dapat di
cegah karena udang vannamei memiliki sistem kekebalan tubuh berupa fucoidan yang
dapat mempertahankan kondisi tubuh terhadap serangan bakteri vibrio, akan tetapi
kekebalan tubuh ini sangat di pengaruhi oleh faktor lingkungan, apabila lingkungan
budidaya udang vannamei memiliki kualitas air yang kurang baik maka sistem
kekebalan tubuh tidak dapat bertahan terhadap serangan bakteri vibrio (Yuan, Y et al,
2016). Infeksi bakterial dapat diobati dengan pemberian antibiotik. Namun perlu
dalam tubuh ikan. Tindakan pencegahan juga dapat dilakukan dengan penggunaan
probiotik yang mampu berkompetisi dengan bakteri patogen. Jamur (cendawan) juga
sering dijumpai pada udang yang sakit. Jenis cendawan yang umumnya menyerang
udang antara lain Sirolpidium sp., Halipthoros sp. dan Lagenidium spp. (Haliman dan
Adijaya, 2005).
22
Virus adalah organisme pathogen yang paling berbahaya bagi udang vannamei,
serangan virus merupakan ancaman serius bagi budidaya udang, karena dapat
menyebabkan kematian udang secara massal dalam waktu singkat dengan gejala klinis
yang sulit di amati. Faktor pemicu munculnya virus yaitu faktor nutrisi, lingkungan dan
genetika. Beberapa virus yang sering menyerang dan perlu diwaspadai adalah White
Spot Syndrome Virus (WSSV), Taura Syndrome Virus (TSV), dan Infectious
Penyakit bercak purih yang disebabkan oleh WSSV merupakan penyakit utama udang
dan krustace lain yang telah mengakibatkan hancurnya usaha budidaya udang di dunia
termasuk Indonesia. WSSV merupakan penyakit yang tersebar melalui dua jalur, yaitu
jalur vertical dan horizontal. Pada jalur vertical penyebarannya melalui induk ke anak,
terserang WSSV akan lemah dan di mangsa oleh udang yang sehat, sehingga udang
yang sehat ikut tertular (Lulu dkk, 2011). Pencegahan penyebaran virus WSSV dapat
dilakukan dengan cara perlakuan tambak dengan biosecurity yang baik, perlakuan
tambak untuk mencegah hewan liar masuk kedalam tambak, pemasangan tali senar di
atas tambak untuk mencegah burung masuk ke dalam area tambak dan menyiapkan
menyiapkan bak sterilisasi bagi manusia yang ingin masuk ke dalam area tambak
mendapatkan kualitas udang yang baik, sebelum panen dapat dilakukan penambahan
23
dolomit untuk mengeraskan kulit udang dengan dosis 6 - 7 ppm. Selain dolomit juga
dapat menggunakan kapur CaOH dengan dosis 5 – 20 ppm sehari sebelum panen untuk
menaikkan pH air hingga 9 agar udang tidak moulting. Panen udang dapat dilakukan
secara parsial atau panen total. Panen parsial dilakukan pada pagi hari untuk
menghindari udang moulting dan DO rendah. Udang telah mencapai ukuran 100 ind/kg
(dipanen sebanyak 20 - 30% dari jumlah udang). Panen parsial berikutnya pada ukuran
Panen parsial dilakukan menggunakan jala kantong yang baik sehingga udang
yang tertangkap tidak mudah terlepas, dasar tempat penjalaan harus keras serta tidak
berlumpur agar lumpur tidak mudah teraduk. Untuk memancing udang berkumpul,
maka dilakukan pemberian pakan pada tempat penjalaan. Panen total biasanya ketika
udang telah mencapai ukuran 40 ind/kg. Panen total dilakukan dengan menggunakan
jaring kantong yang dipasang pada pintu air, kemudian dilanjutkan dengan jaring tarik
(jaring arad). Udang yang masih tersisa dapat diambil menggunakan tangan.
Pengeringan air untuk panen total dilakukan dengan cepat untuk menghindari udang
moulting. Waktu pemanenan maksimal 3 jam, lebih dari itu udang akan stress
(Badrudin, 2014).
panen berupa wadah yang telah di isi oleh air dan es dengan jumblah yang cukup untuk
menjaga kebersihan udang, setelah itu udang di cuci dan di sortir berdasarkan ukuran
dan kualitas udang. Udang vannamei yang telah di sortir lalu di masukan ke dalam
wadah dengan rapi, lalu tambahkan es curah dengan perbandingan 1:1 dengan model
penyusunan berlapis antara udang dan es curah yang di tambahkan (Badrudin, 2014).
24
dengan prospek usaha yang menjanjikan, selain karna waktu buidaya yang relatif
singkat yaitu kurang dari 90 hari, udang vannamei juga lebih tahan terhadap penyakit.
mengetahui kelayakan dari usaha budidaya serta mengetahui tingkat keuntungan dari
kegiatan budidaya tersebut. Perhitungan analisis usaha dilakukan dengan analisis R/C
observasi yang dapat diartikan suatu metode dalam meneliti status sekelompok
manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang untuk membuat diskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena
yang diselidiki (Nazir, 2011). Pelaksanaan metode kerja pada saat Praktek Kerja
Lapang adalah mengamati dan mengikuti semua kegiatan yang berhubungan dengan
teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif
Timur.
sumber asli (tidak melalui perantara) (Sangadji dan Sopiah, 2010). Data primer dapat
berupa opini orang secara individu maupun kelompok, hasil observasi terhadap suatu
benda, kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian (Sangadji dan Sopiah, 2010).
Pengambilan data primer dalam Praktek Kerja Lapang ini dilakukan dengan cara
pencatatan data hasil observasi maupun wawancara. Data primer yang diperlukan
adalah: padat tebar, pemberian pakan, kualitas air, luas tambak, laju pertumbuhan
A. Observasi
menggunakan indera mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan
tersebut (Nasution, 1990). Observasi dalam Praktek Kerja Lapang dilakukan terhadap
berbagai hal yang berhubungan dengan teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) secara intensif dengan menggunakan sumber air pompa seperti : padat tebar,
pemberian pakan, kualitas air, luas tambak, laju pertumbuhan Udang Vannamei
(Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika,
B. Wawancara
permasalahan yang harus diteliti dan mengetahui hal-hal yang lebih mendalam dan
jumlah respondennya sedikit atau kecil. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur
maupun tidak terstruktur, dan dapat dilakukan dengan tatap muka maupun dengan
telepon (Sugiyono, 2006). Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab mengenai
sejarah berdirinya, struktur organisasi, sarana dan prasarana, tenaga kerja, kegiatan
teknik budidaya udang vannamei (Litopenaeus vannamei) pada tambak udang intensif
Timur.
C. Partisipasi Aktif
pada tambak udang intensif di PT. Surya Windu Kartika, Kecamatan Rogojampi,
langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data
sekunder kemudian dikategorikan menjadi dua yaitu data internal dan data eksternal.
Data internal yaitu data dokumen akuntansi dan operasi yang dikumpulkan, dicatat dan
disimpan dalam suatu organisasi. Data eksternal yaitu data sekunder yang pada
umumnya disusun oleh suatu instansi selain peneliti dari organisasi yang bersangkutan
28
(Sangadji dan Sopiah, 2010). Data ini diperoleh dari data studi literatur, pustaka yang
menunjang, laporan dari lembaga, instansi, dinas perikanan, pustaka dan pihak lain
meliputi seperti : padat tebar, pemberian pakan, kualitas air, luas tambak, laju
intensif.
29
awal tahun 1986. Nama dari perusahaan ini di ambil dari nama spesies udang budidaya
yang sedang berkembang saat itu yakni udang windu. Perusahaan ini bergerak dibidang
budidaya pembesaran udang khususnya udang windu. Pada awalnya PT. Surya Windu
Kartika mendirikan 3 unit tambak budidaya yakni, unit Bomo A, Bomo B dan Bomo
C. Melihat prospek windu yang sangat menguntungkan, maka PT. SWK memproduksi
udang windu dengan menambah jumlah lokasi yang ada di Banyuwangi menjadi 9 unit
tambak. Lokasi tambak tersebut antara lain yaitu, Bomo A, Bomo B, Bomo C, Jatisari
infeksi dari penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV), pada tahun 1999 PT. Surya
Windu Kartika tidak lagi membudidayakan udang windu dan beralih untuk
membudidayakan udang vannamei. Hingga saat ini PT. Surya Windu Kartika masih
memiliki 8 unit lokasi tambak yang berbeda-beda, kedelapan unit lokasi tambak
tersebut yaitu: Unit Bomo A, Bomo B, Bomo C, Jatisari I, Jatisari II, Badean, Bulusan,
Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur. Luas lahan keseluruhan tambak intensif udang
30
vannamei ini yaitu sekitar 15 Ha. Berdasarkan letak geografis, PT. Surya Windu
Kartika terletak pada koordinat 7° 43’ - 8° 46’ LS dan 113° 53’ - 114° 38’ BT. yang
merupakan bagian dari PT. Surya Windu Kartika, dipimpin oleh seorang general
manager yang mengatur segala aktifitas usaha yang dijalankan. General manager
membawahi beberapa staf diantaranya teknisi, unit bengkel dan administrai. Teknisi
membawahi asisten teknisi, keamanan tambak dan karyawan pakan. Teknisi bengkel
dapur.
Tambak Unit Jatisari II memiliki 19 tenaga kerja yang terdiri dari 17 pegawai
tetap dan 2 pegawai harian. Tenaga kerja tersebut terdiri dari teknisi, asisten teknisi,
laboran, bagian pakan, teknisi bengkel, listrik dan mesin, administrasi, bagian dapur,
Tabel 2. Data Tenaga Kerja di Tambak PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II
Jumlah 19
(Sumber: PT Surya Windu Kartika Unit Jatisari II)
pembesaran udang vannamei dengan sistem teknologi intensif. Dalam satu tahun unit
usaha tambak ini dapat beroperasi atau produksi sebanyak 3 siklus, dengan lama waktu
setiap siklusnya adalah 4 bulan dan sudah termasuk dalam tahap pengeringan serta
persiapan. PT. Surya Windu Kartika melakukan kerja sama dengan PT. Surya
Adikumala Abadi dan PT. Surya Alam Tunggal dalam hal pemasaran, yaitu PT. Surya
Adikumala Abadi dan PT. Surya Alam Tunggal berperan sebagai pembeli tetap dari
hasil budidaya atau produksi dengan harga udang yang berlaku di pasaran.
32
diperlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk mendukung dan memperlancar
4.2.1 Sarana
Sarana yang dimiliki pada tambak Unit Jatisari II untuk kegiatan budidaya
II memiliki konstruksi beton. Petakan tambak Unit Jatisari terdiri dari 10 petakan yang
terbagi dalam 9 petak aktif, 3 petak tandon dan 1 petak dalam perbaikan, dengan
kisaran luasan antara 2632-3908 m2. Setiap petakan tambak memiliki kisaran panjang
68,7-80,8 meter dan lebar 35-55 meter dengan satu pintu pengeluaran air dan satu pintu
pemasukan air. Pintu pemasukan dan pintu pengeluaran air memiliki lebar yang sama
yaitu 90 cm, sedangkan tinggi pintu pengeluaran yaitu 2 m dan tinggi pintu pemasukan
yaitu 60 cm. Jarak antara pintu pemasukan satu dengan lainnya yaitu 10 meter. Setiap
petakan juga memiliki central drain yang merupakan saluran pembuangan tengah
memiliki diameter 3,4 meter dengan diameter pipa salurannya yaitu 20 cm, panjang
2,56 meter dan 29,60 meter dari central drain menuju outlet. Pipa tersebut dilubangi
dengan diameter lubang kecil 0,8 cm dan lubang besar berdiameter 1 cm. Lubang kecil
berfungsi untuk menyerap lumpur yang bertekstur halus, sedangkan lubang besar
33
digunakan untuk menyerap lumpur yang bertekstur kasar. Lumpur tersebut kemudian
dikeluarkan melalui pipa pembuangan yang berdiameter 8 cm dan tinggi 2,72 meter.
Pada setiap petakan terdapat empat buah jembatan anco dan satu jembatan
udang dan sisa pakan serta pengaontrolan kualitas air. Jembatan anco memiliki panjang
8 meter, lebar 40 cm, dan tinggi 2,5 meter dengan bahan dasar berupa bambu. Anco
yang digunakan berjumlah 4 buah dengan diameter anco 0,75 meter dengan kerangka
besi dan diselimuti kain kasa. Jembatan tengah memiliki panjang 13 meter, lebar 40
Unit Jatisari II menggunakan air laut dan air tawar. Pompa penyedot air laut berjumlah
2 buah. Setiap pompa memiliki kapasitas 25 HP dengan jenis HB 8 DIM. Air laut
diambil dengan jarak 300 meter dari garis pantai dengan saluran outlet 7 meter. Sumber
air tawar berasal dari sumur bor dengan kedalaman 130 meter, air tawar disedot
Air tawar dan air laut yang diambil selanjutnya masuk ke petakan tandon dan
terjadi pencampuran dengan perbandingan air tawar dan air laut 1:3. Volume air tawar
34
115.000 m3 dan air laut dengan volume 354.000 m3, dari pencampuran tersebut
didapatkan kisaran salinitas 24-25 ppt. Pada tandon pertama, air tersebut selanjutnya
akan memperoleh perlakuan fisika, biologi dan kimia. Filter fisika dilakukan dengan
cara pengendapan lumpur atau bahan organik yang terbawa oleh air, pengendapan ini
dilakukan selama 24 jam. Filter biologi dilakukan dengan menggunakan ikan kakap,
nila dan kerang kijing yang memiliki sifat filter feeder sehingga mampu memangsa
rata-rata 8 buah per petakan tambak, setiap kincir terdiri dari 1 dinamo dan empat kipas.
Kincir air memiliki kekuatan 2 HP untuk 6 kipas, 1 HP setara dengan 760 watt. Kincir
dipasang dengan jarak 5 meter dari tepi sisi panjang petakan dan 7,5 meter dari lebar
pematang petakan, serta 2-3 meter dari jembatan anco agar arus dapat menyebar merata
Keterangan:
: Arah Arus
: Central Drain
4.2.2 Prasarana
4.2.2.1 Bangunan
Aspek prasarana penunjang yang ada terdiri dari kantor, laboratorium, gudang
pakan, mess karyawan, dapur, rumah genset, toilet, rumah sortir serta pos jaga.
Bangunan yang ada di PT. Surya Windu Kartika Unit Jatisari II dapat diihat pada Tabel
3.
36
Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan 1 genset. Listrik yang berasal dari PLN memiliki
daya sebesar 179 kVA digunakan untuk kegiatan operasional budidaya serta untuk
memenuhi kebutuhan mess karyawan, kantor, dan laboratorium. Genset memiliki daya
sebesar 200 kVA yang digunakan saat pemadaman listrik oleh PLN. Mesin genset
4.2.2.3 Transportasi
Kondisi jalan menuju lokasi tambak Unit Jatisari II berupa jalan beraspal.
Lokasi tambak yang dekat dengan perkampungan akan memudahkan dalam hal
penyediaan tenaga kerja, kemudahan dalam transportasi dan komunikasi. PT. Surya
Windu Kartika Unit Jatisari II memiliki fasilitas kendaraan roda dua, roda tiga dan roda
empat.
37
4.2.2.4 Komunikasi
Komunikasi di PT Surya Windu Kartika menggunakan telepon, HP, faximili
dan e-mail. Komunikasi digunakan untuk hubungan komunikasi antar unit tambak di
PT Surya Windu Kartika, tambak lain di luar perusahaan, dan juga dengan masyarakat
karenakan pada proses ini tidak dilakukan kegiatan produksi pada petakan tersebut.
Persiapan petakann tambak di awali dengan pembersihan petakan dari sisa kerang mati
dan lumut yang menempel pada permukaan petakan, kincir dan jembatan anco.
permukaan petakan, kincir dan jembatan anco dengan sikat besi agar karang mati dan
lumut terangkat, di bilas dengan air mengalir hingga semua kotoran larut dan terbuang
melewati saluran pembuangan, lalu di keringkan agar sisa-sisa benih lumut dan bahan
petakan dengan hydrogen peroksida dan kaporit untuk sterilisasi terakhir petakan
dengan pipa paralon dengan diameter 8 inch dan panjang lebih dari 500 meter dari garis
pantai, hal ini dilakukan agar air yang di ambil memiliki kualitas yang baik karena jauh
dari pencemaran yang ada di bibir pantai. air yang di pompa dari laut selanjutnya di
Tandon pertama adalah tandon filter, tandon ini memiliki waring yang
membentang membelah petakan tandon menjadi tiga bagian dari saluran pemasukan
air sampai saluran pengeluaran air. Tandon filter juga merupakan salah satu biosecurity
yang di gunakan, karena merupakan perbatasan langsung antara air laut dan lingkungan
39
budidaya, sehingga fungsi dari tandon filter ini sangat penting. Fungsi dari tandon filter
ini adalah untuk menyaring sampah dan benih ikan liar yang masuk ke petakan tandon
agar tidak sampai masuk ke petakan budidaya dan menyebabkan kerugian, apabila
terdapat benih ikan liar yang merupakan carier dari berbagai penyakit masuk kedalam
tersebut.
Tandon kedua adalah tandon pengendapan, air laut yang telah melewati tandon
filter akan di alirkan ke dalam petakan tandon pengendapan yang berisi ikan nila, ikan
kakap dan kerang kijing. Fungsi dari tandon pengendapan ini selain mengendapkan
sedimen yang di bawa air laut juga sebagai filter biologis terhadap air laut tersebut,
fungsi dari filter biologis ini dilakukan oleh biota air yang terdapat di dalam tandon ini
seperti ikan kakap yang berfungsi untuk memakan benih ikan atau telur ikan yang
berhasil melewati filter fisik pada tandon pertama, selain itu sifat dari ikan nila dan
kerang kijing sebagai filter feeder dimanfaatkan sebagai penyaring biologis alami
untuk meningkatkan kualitas air yang ada pada kolam tandon tersebut.
persiapan air budidaya, tandon ini merupakan tandon treatment yang di gunakan
sebagai filter kimia atau tempat sterilisasi air laut menggunakan bahan kimia. Proses
sterilisasi yang terjadi dalam tandon ini menggunakan kaporit dan juga cairan detok,
penggunaan kaporit dan cairan detok dilakukan pada sore hari yakni pukul 17.00
dengan dosis 20 ppm, penggunaan dosis 20 ppm dilakukan untuk mengurangi residu
bahan kimia agar tidak memberikan efek merugikan dalam proses budidaya. Setelah
menggunakan kincir selama 2 jam, agar bahan kimia yang di gunakan dapat tersebar
merata ke seluruh kolom air. Penggunaan kedua cairan tersebut dikarenakan kedua
cairan tersebut merupakan oksidator kuat yang dapat mengoksidasi bahan organik yang
ada dalam petakan tandon tersebut. Setelah air di treatment pada tandon treatment
selama satu hari dan di pastikan residu dari bahan kimia telah teroksidasi sempurna,
Pengisian air ke dalam petakan dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama
pengisian air ke dalam petakan diisi dengan ketinggian 50-70 cm dan diberi treatmentt
bestacine dan kaporit, bestacine sendiri merupakan insektisida aktif yang berfungsi
untuk membunuh ikan-ikan kecil serta organisme lain yang tumbuh di tambak,
sedangkan fungsi kaporit merupalan desinfeksi bagi mikroorganisme yang hidup pada
tambak tersebut. Tahap kedua pengisian air diisi dengan ketinggian air 70-90 cm dan
diberi treatmentt HCl dan H202. Tahap ketiga pengisian air diisi dengan kedalaman 90-
120 cm dan diberi treatmentt dolomit, probiotik, aquacime dan pupuk. Pemberian
pupuk pada tahap ketiga pengisian air sesuai dengan pernyataan Erlangga (2012),
digunakan sebagai pakan alami benur udang. Waktu yang dibutuhkan untuk siap masuk
apabila plankton telah terbentuk di petakan maka petakan telah siap untuk diisi benur.
Penebaran benur dengan kepadatan 130 ekor/m2. Benur yang digunakan oleh tambak
Jatisari II adalah benur dari PT. Daru Laut dengan kode produksi Delta, penggunaan
benih ini dikarenakan benih dari perusahaan ini telah tersertifikasi dan bebas terhadap
berbagai virus yang berbahaya. Ukuran benur yang digunakan untuk tebar adalah PL
9-11. Waktu penebaran pada pagi hari pukul 05.00 sampai 06.00 atau sore hari pukul
bagian samping petakan dan di beri penghalang agar benur tidak bergerak menjauh dari
tempat aklimatisasi yang di sediakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haliman dan
samping petakan adalah untuk mengadaptasikan benur udang dengan lingkungan atau
tambak yang akan dijadikan tempat hidupnya. Setelah dilakukan aklimatisasi selama
30-60 menit sampai plastik packing benih mengalami pengembunan maka benur siap
di tebar dengan cara melepaskan ikatan yang ada pada plastik packing tersebut dan
berupa Artemia sp. hanya dibutuhkan pada saat penebaran benur sebagai suplemen
nutrisi. Selama periode budidaya sejak Day of Culture (DOC) 1 hingga menjelang
panen pakan yang diberikan berupa pakan buatan. Pakan buatan untuk udang dapat
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu PL feed, starter, grower dan finisher (Edhy
dkk, 2010).
DOC 1-6 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Irawan 681 yang
merupakan pakan buatan untuk pra-starter (PL feed II). Pakan pada masa pra-starter
memiliki kandungan protein tertinggi dari pakan jenis lain yaitu sebesar 30%, kadar
lemak sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan kadar air 12% dengan bentuk pakan
DOC 7-21 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Irawan 682 yang
merupakan pakan buatan untuk starter. Pakan starter ini memiliki kandungan protein
lebih rendah dari pakan pra-starter dan lebih tinggi dari pakan finisher, selain itu pakan
ini memiliki ukuran yang lebih besar serta lebih kasar di bandingkan jenis pakan
sebelumnya. Kandungan protein pada jenis pakan starter ini sebesar 30%, kandungan
lemak sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan kadar air 12% dengan bentuk crumble
DOC 22-27 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Irawan 683 yang
merupakan pakan buatan untuk masa starter, perbedaan antara pakan ini dengan pakan
dengan nomor pakan sebelumnya terletak pada bentuk pakannya, untuk pakan dengan
nomor pakan Irawan 683 memiliki bentuk pellet. Kandungan protein pada pakan
43
Irawan 683 ini sebesar 30%, kandungan lemak sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan
kadar air 12% dengan bentuk pellet berukuran 1,8 x 2,0 mm.
DOC 28-40 diberikan pakan buatan dengan nomor pakan Beryl 2A yang
merupakan pakan buatan untuk masa grower dan mempunyai kandungan nutrisi yang
berbeda dari jenis pakan yang diberikan sebelumnya, pemberian pakan dengan
produksi pabrik yang berbeda di karenakan pakan dengan nomor pakan Beryl 2A
memiliki aroma yang lebih kuat di bandingkan dengan pakan yang diberikan sebelum
nya. Kandungan protein pada pakan Beryl 2A ini sebesar 38%, kandungan lemak
sebesar 5%, serat kasar sebesar 4% dan kadar air 12%, dengan bentuk pellet berukuran
DOC 41 hingga memasuki masa panen diberikan pakan buatan dengan nomor
pakan Beryl 3 yang merupakan pakan untuk finisher. Kandungan protein pada pakan
buatan dengan nomor pakan Beryl 3 paling rendah dibandingkan pakan buatan
sebelumnya yaitu sebesar 36%, kandungan lemak sebesar 6%, serat kasar sebesar 3%,
kadar air 11% dan kadar abu 13%, dengan bentuk pellet berukuran 2,0-2,5 mm.
tambak jatisati II sesuai dengan pernyataan Edhy dkk (2010) memiliki karakteristik
tidak berjamur, tidak basah, tidak menggumpal, memiliki bau yang khas pellet,
tergantung dari usia budidaya udang tersebut dan kondisi udang itu sendiri. Pada masa
awal budidaya udang yakni DOC 1-10 pemberian pakan dilakukan sebanyak tiga kali
44
yaitu pada pukul 07.00, 10.00 dan 13.00, sedangkan pada usia DOC 11-23 frekuensi
pemberian pakan di tingkatkan menjadi empat kali dalam sehari yakni pada pukul
07.00, 11.00, 13.00 dan 17.00, apabila usia udang sudah lebih dari 23 hari atau DOC >
23 pemberian pakan dilakukan sebanyak lima kali yakni pada pukul 07.00, 11.00,
13.00, 17.00 dan 22.00. Frekuensi pemberian pakan pada kegiatan budidaya ini sesuai
dengan pernyataan Malik dkk. (2014) yang menjelaskan frekuensi pemberian pakan
untuk DOC 1-30 sebanyak 3-4 kali sehari dan untuk DOC > 30 diberi pakan 4-5 kali
dalam sehari.
Waktu pemberian pakan di sesuaikan dengan kebiasaan makan udang, hal ini
dilakukan agar menghindari penurunan nutrisi pakan karena terlalu lama terendam
dalam air, semakin lama pakan terendam dalam air dan tidak termakan oleh udang
maka nutrisi dari pakan tersebut akan semakin menurun. Persentase kehilangan nutrisi
dalam pakan terendam dalam air selama satu jam dapat dilihat pada Tabel 5.
Karbohidrat (%) 16 8 50
(mg/Kg)
pakan yang diberikan tergantung dari usia udang dan kondisi udang itu sendiri.
Perhitungan jumblah pakan pada DOC (Day Of Culture) 1-15 menggunakan prinsip
blind feeding yakni melakukan perhitungan berdasarkan jumblah tebar dikali dengan
ABW, SR dan feeding rate. Fungsi dari blind feeding bertujuan untuk mempertahankan
jumblah pakan pada DOC 16-30 masih menggunakan prinsip blind feeding akan tetapi
makan pada daerah sekitar anco untuk mempermudah pengamatan anco pada DOC >
30, sedangkan untuk perhitungan pakan pada DOC > 30 menggunakan prinsip
Pemberian paka dalam budidaya udang vannamei dilakukan pada feeding area.
Feeding area merupakan zona sasaran tempat udang berkumpul dan mencari makan
dengan dasar yang selalu dikondisikan dalam keadaan bersih dengan cara di sipon.
Pemberian pakan pada feeding area dilakukan dengan menggunakan rakit dan
diberikan secara merata dengan jarak 1-2 meter dari pematang kolam. udang memiliki
feeding area yang berbeda sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan udang
Pemberian pakan pada DOC 1-30 berbentuk crumble halus dilakukan dengan
mencampurkan pakan terlebih dahulu dengan air dengan tujuan agar pakan lebih cepat
tenggelam, pada DOC > 30 pakan yang diberikan sudah berbentuk pellet sehingga tidak
46
perlu dilakukan penambahan air untuk pemberiannya, akan tetapi dilakukan pemberian
enzim atau chitosan sebagai nutrient enrichment yang diberikan pada pakan udang.
umur udang tersebut sudah dilakukan pemberian pakan di anco tetapi tidak dilakukan
pengamatan pakan, hal ini di karenakan pada umur tersebut kebiasaan makan udang
belum terbentuk dengan sempurna. Pengamatan pakan pada anco dilakukan pada DOC
> 30 dikarenakan pola makan dan kesehatan udang relatif dapat di amati melalui anco.
Fungsi dari pengamatan anco menurut Edhy dkk (2010) antara lain, mengetahui
mengetahui daya tarik dari suatu pakan, mengetahui kondisi moulting dari udang dan
Pemberian pakan pada anco dilakukan setelah pemberian pakan pada feeding
area. Pakan yang diberikan pada anco sebesar 1% dari total pakan yang diberikan
setiap jam pemberian pakan dan diberikan secara merata ke seluruh permukaan anco.
Anco diletakkan secara perlahan untuk menghindari keluarnya pakan dari anco hingga
berada di dasar kolam dengan kondisi tegak. Pengecekan anco dilakukan setiap 1,5-2
jam setelah pemberian pakan. Menurut Adiwidjaya (2008) pakan yang diberikan dalam
anco 0,8-1% dari total pakan dan dikontrol setelah 2-3 jam. Pengecekan anco dilakukan
empat kali karena setelah pemberian pakan jam terakhir tidak dilakukan pengecekan.
Pada saat pengecekan anco juga dilakukan pengamatan terhadap nafsu makan, tingkah
laku udang, kondisi udang dan kondisi perairan. Hasil pengecekan anco akan
47
mempengaruhi jumlah pakan yang akan diberikan di jam pemberian pakan selanjutnya.
Menurut Adiwidjaya (2008) pakan yang diberikan dalam anco 0,8-1% dari total pakan
Penambahan dosis pakan dalam waktu singkat dapat terjadi apabila pakan yang
diletakkan pada anco habis dalam waktu 1,5 jam. Hal ini dapat disebabkan karena
semakin bertambahnya usia udang, maka semakin bertambah pula kebutuhan pakan.
Penambahan pakan diberikan sebanyak 10% dari dosis pakan awal, sedangkan
pengurangan dosis pakan dilakukan apabila pada saat pengecekan anco masih terdapat
cukup banyak pakan. Jumblah sisa pakan pada anco tergantung dari nafsu makan
budidaya udang Jatisari II menggunakan gudang pakan yang terhindar dari cahaya
matahari langsung, memiliki ventilasi udara yang cukup serta memiliki alas berupa
pallet kayu sebagai dasar peletakan pakan. Pakan yang disimpan dalam gudang pakan
tidak boleh lebih dari satu minggu untuk menghindari penurunan mutu dan kualitas
dari pakan tersebut. Hal yang perlu di perhatikan dalam penyimpanan pakan menurut
Edhy dkk (2010) antara lain, pakan harus di simpan dalam tempat kering, sejuk dan
berventilasi baik, pakan harus diletakan di atas pallet kayu dan tidak lebih dari 5 susun,
pakan tidak boleh di letakan langsung di atas lantai semen atau bersentuhan langsung
dengan dinding semen, tidak menyimpan pakan pada ruangan yang terkena sinar
48
matahari secara langsung, tidak menyimpan pakan lebih dari 3 bulan sejak tanggal
produksi dan pakan yang rusak atau pakan lama tidak boleh digunakan kembali, karena
kerugian yang di timbulkan kepada udang akan lebih besar bila di bandingkan dengan
yang di gunakan dalam budidaya ikan maupun udang (Edhy dkk, 2010). Parameter
fisika air meliputi suhu, salinitas dan kecerahan air tambak. Suhu air tambak yang ideal
berkisar antara 28-32oC. Salinitas yang ideal untuk pertumbuhan udang sekitar 15-25
ppt. Kecerahan air tambak yang baik berkisar antara 35-45 cm (Erlangga, 2012).
A. Suhu
Pengukuran suhu air pada tambak Jatisari II dilakukan pada pagi hari pukul
06.30 WIB dan siang hari pukul 12.30 WIB, pengukuran kualitas air dilakukan
sebanyak dua kali bertujuan agar dapat di bandingkan antara kualitas air pada pagi hari
dengan kualitas air pada siang hari. Hasil pengukuran didapat hasil berkisar antara 26-
30oC pada pagi hari dan 29-32°C pada siang hari menggunakan DO meter yang dapat
mengukur parameter suhu air. Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang
tidak dapat di manipulasi oleh manusia, perubahan suhu perairan sangat di pengaruhi
oleh kondisi cuaca dan musim pada lingkungan budidaya tersebut. Suhu sangat
berpengaruh terhadap udang budidaya, suhu yang terlalu rendah pada air tambak akan
mengakibatkan rendahnya laju konsumsi pakan udang, sedangkan suhu yang terlalu
tinggi menyebabkan tingkat konsumsi terhadap pakan akan terhenti (Erlangga 2012).
Untuk menjaga kestabilan suhu supaya tidak terjadi fluktuasi antara pagi hari dan sore
hari yang besar maka perlunya menciptakan kondisi agar panas matahari yang diserap
air tambak, tertahan dalam air dan dilepaskan secara perlahan-lahan pada malam hari.
Untuk itu perlu adanya benda-benda atau partikel-partikel hidup maupun mati yang
50
B. Salinitas
vannamei dan siklus ganti kulit (moulting) udang vannamei. Pada salinitas tinggi dapat
merangsang udang moulting dan di harap dapat menaikan pertumbuhannya, akan tetapi
di dalam dan diluar tubuh udang. Apabila salinitas meningkat maka pertumbuhan
udang akan melambat karena energi lebih banyak terserap untuk proses osmoregulasi
melakukan pengukuran salinitas dilakukan setiap hari setiap pagi dan siang hari dengan
23-25 ppt. Salinitas optimal dalam budidaya udang vannamei di bawah 28 ppt, hal ini
di sesuaikan dengan siklus hidup udang vannamei yang dibudidayakan yakni hidup
pada fase di atas postlarva dengan salinitas di bawah 28 ppt (Edhy dkk, 2010).
C. Kecerahan
kedalam kolom air, kecerahan pada suatu perairan di pengaruhi oleh bahan terlarut
dalam perairan tersebut, yakni plankton dan padatan tersuspensi yang ada dalam
dalam perairan. Plankton tersebut akan memberikan warna hijau, kuning, biru-hijau,
dan coklat pada air, tergantung dari jenis plankton dominan yang ada pada perairan
Kecerahan diukur setiap pagi pukul 06.30 WIB dan siang hari pukul 12.30 WIB
dengan menggunakan sechi disk yang terbuat dari tongkat kayu berwarna hitam dan
kecerahan tambak rata-rata 30-45 cm. Kecerahan tambak yang tinggi sangat buruk bagi
plankton pada ekosistem tambak tersebut mulai berkurang. Air tambak yang bening ini
lebih cepat panas daripada air keruh karena cahaya matahari mudah sekali berpenetrasi,
A. DO (Dissolved Oxygen)
tubuh udang. Kadar okseigen terlarut yang baik berkisar 4-6 ppm, apabila kandungan
menurunkan nafsu makan dan dapat mengganggu sistem respirasi udang sehingga
dapat mengakibatkan kematian. Pada siang hari, tambak akan memiliki angka DO yang
oksigen. Pada saat malam hari, plankton tidak melakukan proses fotosintesis, bahkan
yang baik pada malam hari adalah tidak kurang dari 3 ppm (Haliman dan Adijaya,
52
2005). Hal ini sesuai dengan pengukuran oksigen terlarut pada tambak Jatisari II
menggunakan DO meter yang dilakukan pada pagi hari dan siang hari. Oksigen terlarut
pada tambak Jatisari II yaitu berkisar antara 3,9-6,2 ppm, menunjukkan kondisi DO
B. Amonia
udang vannamei, hal ini dikarenakan kadar amonia yang tinggi ini dapat menyebabkan
terbentuknya ammonium (NH4-) yang bersifat racun bagi udang vannamei (Haeruddin
dkk, 2013). Pengukuran amonia sangatlah penting karena pola budidaya yang intensif
dengan kepadatan dan pemberian pakan yang tinggi dapat mengakibatkan peningkatan
kadar amonia dalam air, hal di sebabkan oleh tinggi nya sisa pakan dan kotoran yang
di hasilkan udang budidaya. Pengukuran amonia dilakukan satu kali dalam seminggu
yaitu pada hari Selasa dan Jumat yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer
di laboraturium milik PT. Surya Windu Kartika. Hasil pengukuran amonia pada tambak
Faktor yang mempengaruhi kadar amonia yaitu suhu dan pH pada air, pada
suhu tinggi aktifitas metabolisme pada udang juga ikut meningkat sehingga hasil
ekskresi atau kotoran udang juga ikut meningkat. Kotoran udang merupakan sumber
amonia pada air tambak. Selain itu, dengan meningkatnya pH dapat membuat NH4+
melepaskan ion hydrogen menghasilkan amonia (NH3) (Allan et al., 1990 dalam
Schuler, 2008). Standar nilai amonia maksimal pada tambak Jatisari II tidak lebih dari
0,1 ppm. Menjaga kandungan amonia dalam air dapat dilakukan dengan cara
plankton secara massal, memberikan pupuk urea dan pupuk nitrogen pada saat ada sinar
matahari, memberi pupuk fermentasi secara berkala untuk mencukupi sumber nutrient
bagi plankton dan melakukan sipon secara berkala untuk mencegah penumpukan bahan
C. pH
oleh kandungan ion-ion yang ada dalam suatu perairan tersebut. Konsentrasi Ion
Hidrogen (H+) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses kimia dan
merupakan variable penting dalam upaya menjaga kualitas air (Boyd et al., 2011). Pada
Pengukuran dilakukan dilakukan pada pagi dan siang hari dan didapatkan pH pada
tambak tersebut berkisar antara 8,0-9,6 dengan fluktuasi pH harian berkisar antara 0,5-
0,8. Untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik organisme air (ikan dan udang)
memerlukan medium dengan kisaran pH antra 6,8-8,5 (Boyd, 1998). Kisaran pH pada
tambak Jatisari II lebih tinggi dari kisaran pH optimal bagi organisme air dikarenakan
sistem yang di gunakan pada tambak Jatisari II minim penggunaan kapur dan lebih
Pengaruh lansung pH yang sangat rendah pada udang menyebabkan kulit udang
menjadi lunak dan angka kehidupan menjadi rendah (Edhy dkk, 2010). Fluktuasi pH
yang tidak terlalu tinggi dapat mengoptimalkan pertumbuhan pada udang vannamei.
Pengontrolan pH dapat dilakukan dengan pemberian molase dan bakteri pada pH yang
54
terlalu tinggi, sedangkan pada pH terlalu rendah dapat dilakukan dengan cara
pemberian kapur pada tambak. Menurut Edhy dkk. (2010) pengapuran dapat dilakukan
mmpertahankan nilai pH pada tambak Jatisari II, perlakuan yang diberikan berupa
Bahan organik terlarut atau Total Organik Matter (TOM) merupakan gambaran
kandungan bahan organik suatu perairan yang terdiri dari bahan organik terlarut,
kompleks dan dinamis dan berasal dari sisa tanaman dan hewan yang terdapat di dalam
karakteristik secara terus menerus yang di akbatkan oleh faktor fisika, kimia dan
biologi. Kadar bahan organik terlarut yang ideal untuk budidaya udang vannamei
berkisar antara 20-30 mg/l (Lim Fang et al., 2006). Pengujian bahan organik terlarut
pada tambak budidaya udang vannamei Jatisari II dilakukan setiap hari, pengambilan
sampel dilakukan pada saat pagi hari yakni pukul 07.00 dengan menggunakan test kit.
Hasil pengujian Total Organik Matter pada tambak budidaya udang vannamei Jatisari
II berkisar 40-70 mg/l. tingginya kadar Total Organik Matter dikarenakan sumber air
yang digunakan dalam kegiatan budidaya terlalu dekat dari garis pantai, sehingga
mencangkup plankton dan bakteri yang ada dalam perairan tersebut. Plankton seperti
fitoplankton yang menguntungkan mutlak dibutuhkan baik dari segi jenis maupun
jumlahnya. Plankton antara lain dapat berfungsi sebagai pakan alami, penyangga
haemocytometer dan diamati dengan mikroskop yang dihitung secara manual. Selain
itu dilakukan juga pengamatan terhadap jenis, ukuran dan kesehatan dari plankton yang
di amati. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui prosentase dari plankton yang
merugikan dan plankton yang menguntungkan serta dapat memprediksi siklus hidup
dari jenis plankton yang di inginkan, sehingga dapat di gunakan untuk menentukan
treathmen pupuk yang akan diberikan. Hasil pengamatan pada tambak Jatisari II jumlah
Pengamatan mikroskop pada sampel air tambak sering ditemukan jenis plankton
dan Chlamidomonas sp., golongan diatom seperti Amphipora sp., Nitzchia sp. dan
Thalasiosira sp.. Untuk jenis plankton merugikan yang ditemukan yaitu golongan
Dinoflagellata seperti Peridinium sp., Protoperidinium sp., dan Gyrodinium sp., dari
golongan Blue Green Algae seperti Oscillatoria sp., Microcystis sp., Anabaena sp., dan
pemberian pupuk serta pemberiaan nutrilake dengan dosis 3-5 ppm untuk menjaga
Pengamatan jumblah bakteri pada tambak Bomo C dilakukan satu kali seminggu,
setiap hari Kamis dengan mengamati jumblah bakteri vibrio dan jumblah total bakteri
membandingkan jumblah total bakteri dengan jumblah bakteri vibrio yang ada dalam
perairan tersebut. Berdasarkan pengamatan yang ada pada tambak jatisari II jumblah
bakteri vibrio yang ada berkisar 170-1970 sel/ml, sedangkan jumblah total bakteri yang
budidaya udang vannamei, karena pupuk merupakan bahan yang sangat penting untuk
57
budidaya udang vannamei. Pupuk yang di gunakan dalam budidaya ikan dan udang
terdiri dari 2 bagian, yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik. Nutrisi anorganik yang
dekomposisi pupuk organik yang terbebas ke dalam air tambak. Pupuk organik yang
digunakan dalam tambak antara lain di buat dari fermentasi bungkil kedelai, dedak,
kotoran hewan dan sebagainya, sedangkan pupuk anorganik terdiri dari TSP, Urea, ZA,
Pupuk yang di gunakan pada tambak budidaya udang Jatisari II lebih sering
menggunakan jenis pupuk anorganik berupa pupuk TSP, Urea, ZA, tetes, FeCl, CaCl,
silikat dan dolomit, sedangkan untuk pupuk organik jarang di gunakan karena
dalam tambak udang Jatisari II. Pemberian pupuk dilakukan setiap satu kali sehari pada
waktu pagi hari setelah hasil pengujian kualitas air telah selesai dilakukan, hal ini
bertujuan agar perlakuan pupuk yang diberikan sesuai dengan kebutuhan plankton dan
air yang ada pada perairan tersebut. Dosis pemberian pupuk pada tambak budidaya
Jenis dan dosis pupuk yang digunakan tergantung dari kualitas air, jenis
plankton dominan dan kualitas dari plankton yang ada pada perairan tersebut, apabila
plankton yang tumbuh dari jenis green algae dan blue green algae pemberian pupuk
urea dan TSP harus di perhatikan untuk mengontrol komposisi N:P ratio dalam air,
pemberian silikat sebagai bahan penyusun tubuh diatom tersebut. Pemberian pupuk
juga harus memperhatikan kondisi cuaca, pemberian pupuk dengan cuaca hujan dan
berawan dapat mengakibatkan pupuk yang diberikan tidak dapat di serap oleh plankton
dan mengendap pada dasar perairan. Pemberian pupuk juga berhubungan dengan
kondisi lingkungan perairan, apabila terjadi hujan lebat agar tidak terjadi fluktuasi pH
budidaya ikan dan udang yang bertujuan untuk menunjang kegiatan budidaya tersebut,
probiotik memiliki banyak manfaat antara lain dapat membantu proses pencernaan ikan
59
meningkatkan respon kekebalan ikan dan udang dan memperbaiki kualitas lingkungan
budidaya (Gunarto dan Andi, 2008). Penggunaan probiotik sendiri dapat dilakukan
dengan dua metode, yakni penebaran langsung pada tambak budidaya atau dapat di
jenis dan fungsi probiotik yang diberikan. Probiotik dengan fungsi untuk menjaga
kualitas air dapat diberikan secara penebaran langsung, sedangkan probiotik yang
dagang Pro-1 dengan fungsi antara lain, menstabilkan dan meningkatkan kualitas air,
ikan dan menstabilkan saluran cerna ikan dan udang yang di pelihara. Komposisi dari
menghambat munculnya bakteri patogen dan juga meningkatkan kesehatan larva udang
sebagai salah satu upaya penanggulangan penyakit, selain itu juga bertujuan untuk
Pemberian probiotik secara langsung dapat dilakukan dengan cara di campur dengan
pakan udang, dosis probiotik yang di gunakan sebesar 25 ppm. Sedangkan pemberian
probiotik secara tidak langsung harus melalui beberapa proses sebelum diberikan
60
kepada udang budidaya, sebelum probiotik diberikan harus di kultur terlebih dahulu
karena probiotik tersebut masih dalam kondisi dorman sehingga perlu dilakukan proses
aktivasi dengan cara di kultur terlebih dahulu (Hasnawati, 2014). Proses kultur
probiotik yang dilakukan pada tambak budidaya udang Jatisari II terdiri dari 2 cara
yakni secara aerob dan anaerob, untuk proses secara aerob membutuhkan waktu selama
24 jam, sedangkan untuk anaerob membutuhkan waktu selama 7 hari. Proses kultur
probiotik dilakukan dengan pencampuran antara pro-1, pakan udang, pupuk ZA, susu
skim dan air. Penambahan bahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bakteri
selama proses kultur berlangsung, pakan udang dan pupuk ZA berfungsi sebagai
penjaga C:N ratio bagi bakteri yang di kultur, sedangkan susu skim diberikan sebagai
dinding sel
bagi bakteri yang di kultur. Probiotik yang telah di kultur dapat langsung diberikan ke
dalam tambak budidaya secara langsung dengan cara di tebarkan secara merata ke
seluruh permukaan tambak. Penebaran probiotik dilakukan sehari sekali pada saat sore
hari, hal ini bertujuan untuk menghindari peningkatan suhu yang terjadi pada saat siang
vannamei saat ini adalah WFD (White Feses Disease) dan IMNV (Infectious Myo
Necrotic Virus), hal ini dapat dilihat dari banyaknya kematian udang dengan gejala
Kondisi udang dan kualitas perairan dapat digunakan sebagai indikator udang terserang
WFD, yakni warna air berubah menjadi gelap dengan plankton dominan berupa blue
green algae, kandungan bahan organik di atas 250 ppm dan adanya infeksi dari bakteri
kestabilan warna air dengan mengatur keseimbangan dan kestabilan plangton dengan
mengatur nutrien C:N:P rasio. Perlakukan dengan aplikasi sumber karbon organik
(molase) dengan dosis 2-5 % dari total pakan yang diberikan setiap 2x seminggu.
Aplikasi pupuk Nitrogen (pupuk ZA atau Urea) dengan dosis 2-5 ppm setiap minggu,
Penurunan kandungan bahan organik air tambak dengan cara pengenceran atau
penambahan air dari petak tandon tiap hari sekitar 5%. Air yahg digunakan untuk
patogen virus atau bakteri dan menekan pertumbuhan bakteri vibrio dengan cara
kemerahan, dan terjadinya pembesaran pada limfoid organ udang. Penyakit IMNV
bersifat akut dengan tingkat kematian berkisar antara 40-70% dan akan meningkat
gejala klinis yang parah, yaitu ekor kemerahan atau udang telah memutih. Laju
62
kualitas air tambak. Makin buruk kualitas air tambak, makin meningkat juga laju
perkembangan penyakit. Kualitas air yang buruk akan memicu penurunan sistem
Proses penanganan terhadap timbulnya penyakit IMNV harus dimulai sejak awal
penyakit, pemilihan pakan, serta pelaku budidaya yang disiplin. Semua proses tersebut
harus dilakukan secara terintegrasi dan berkesinambungan agar wabah penyakit tidak
meluas.
63
kegiatan panen dilakukan berdasarkan kondisi udang yang dibudidayakan dan harga
udang di pasar saat itu. Apabila tingkat kematian udang meningkat dan daya dukung
lingkungan saat itu mengalami penurunan, maka udang secepatnya harus dilakukan
pemanenan sebelum terjadi kematian masal dan dapat merugikan pembudidaya udang.
Panen sendiri terdiri dari dua cara, yakni panen masal dan panen parsial. Panen masal
(Haliman dan adijaya, 2005). Sedangkan panen parsial dilakukan dengan penjaringan
udang dengan jala, hal ini bertujuan untuk mengurangi sebagian udang yang di pelihara
umur 110 – 125 hari dengan size 40 - 28 (Erlangga, 2012). Panen pada tambak Jatisari
II dilakukan pada DOC 90 dengan hasil panen mencapai 5.5 ton/petak dan size
mencapai 70.
Kegiatan pasca panen yang dilakukan dalam budidaya udang vannamei antara
lain, membersihkan udang dan packing udang sebelum di pasarkan. Udang yang telah
dipanen dibersihkan dahulu untuk menghilangkan kotoran atau lumpur yang menempel
pada tubuh udang, setelah itu udang disortir dan dikelompokkan berdasarkan ukuran
dan kualitasnya. Penimbangan udang dilakukan oleh petambak dan pembeli, kemudian
udang segera dimasukkan kedalam truk (countainer). Penataan udang dan es batu di
64
dalam truk dilakukan bergantian agar kualitas udang tetap terjaga (Haliman dan
Adijaya, 2005).
65
selama kegiatan budidaya dan membandingkan dengan hasil dari kegiatan budidaya,
manfaat dari pembuatan analisis usaha dalam budidaya udang vannamei untuk
Jatisari 2 menggunakan beberapa metode antara lain, dengan perhitungan BEP dan juga
perhitungan R/C Ratio dari kegiatan budidaya yang di lakukan. BEP (Analisa Titik
dan kerugian pada usaha perikanan yang dilakukan petani atau petambak, sedangkan
R/C Ratio adalah perbandingan total penerimaan yang di peroleh dengan total biaya
yang di keluarkan (sa’adah, 2010). Perhitungan BEP dan R/C Ratio diharap dapat
menunjukan seberapa besar nilai keuntungan yang didapat dari kegiatan budidaya
udang serta, untuk mengetahui jumlah produksi yang di butuhkan untuk dapat
mengembalikan modal usaha awal yang di gunakan dalam kegiatan budidaya udang
vannamei. Data analisis budidaya udang vannamei dapat dilihat pada Tabel 6 sebagai
berikut :
66
harga
Komponen jumblah (Rp) total (Rp)
A. Biaya
Investasi
sewa lahan/tahun 3.000.000
perbaikan konstruksi 20.000.000
mesin, pompa & kelengkapan 20.000.000
kincir & kelengkapannya 35.000.000
rumah jaga & Gudang 3.000.000
jala udang & timbangan 700.000
jembatan anco 600.000
Anco 150.000
sub total 82.450.000
B. Biaya
Oprasional
CaO 500 kg 500 250.000
CaMgCO3 (Doloit) 50 Kg 700 35.000
Urea 40 Kg 1.800 72.000
TSP 10 kg 2000 20.000
Saponin 125 Kg 4000 500.000
probiotik 1 (cair)
probiotik 2 8 Kg 450.000 3.600.000
Omega P 10 Kg 19.000 190.000
Vitamin 15 Kg 150.000 2.250.000
Pupuk Organik 6000 Kg 110 660.000
Elektrik 10 Unit 2.128.896 21.288.960
495.000
Benur ekor 37 18.315.000
Pakan 11.769 Kg 15.000 176.535.000
Tenaga Kerja 2 orang 9.300.000 18.600.000
sub total 242.315.960
total pengeluaran 324.765.960
C. Penerimaan Jumblah udang / produksi 5.500 Kg 85.000 467.500.000
D. Keuntungan 142.734.040
Jika dihitung tingkat kelayakan usaha budidaya udang vannamei, maka dapat
diketahui melalui perbandingan antara besarnya penerimaan dengan biaya yang dikenal
67
dengan istilah R/C. Berdasarkan pada informasi yang ditunjukan pada Tabel 6, R/C
usaha budidaya udang vannamei adalah sebesar 2,7. Perhitungan R/C adalah sebagai
berikut :
Jumlah Pengeluaran
R/C = Rp 467.500.000
Rp 324.765.960
R/C = 1,4
Hal ini menunjukan bahwa usaha budidaya udang vannamei adalah layak secara
Perhitungan nilai impas terhadap modal usaha dengan hasil budidaya tiap siklus
dapat menggunakan perhitungan BEP, berdasarkan data yang di tunjukan tabel 6, BEP
usaha budidaya udang vannamei adalah sebesar Rp. 171.164.625 ,-. Perhitungan BEP
Hal ini menunjukan bahwa petambak udang mengalami impas apabila total
penerimaan sebesar Rp. 171.164.625,- dengan kata lain apabila nilai penerimaan di
tambak udang jatisari II sebesar Rp. 467.500.000 maka tambak jatisari II mengalami
5.1 Kesimpulan
sebesar 150 ekor/m2, pemberian pakan menggunakan sistem blind feeding dan
frekuensi pemberian 3-4 kali sehari, pemberian pupuk berupa pupuk Urea, TSP
dan ZA dengan dosis 20-50 gr/m2, aplikasi probiotik berupa Pro-1 dengan dosis
1 gr/kg pakan, manajemen kualitas air yang dilakukan selama proses budidaya
meliputi DO yang berkisar 3,9-6,2 ppm, suhu 26-32 oC, kecerahan 30-45 cm, pH
8-9,6, TOM 40-70 mg/l, salinitas 23-25 ppt dan amoniak 0,001-0,145 ppm,
pengendalian hama dan penyakit, serta panen yang mencapai size 70 dengan total
2. Masalah yang ditemui dalam tambak Jatisari II adalah sumber air yang di
gunakan memiliki kadar Total Organik Matter (TOM) yang sangat tinggi
mencapai 40-70 mg/l, kondisi perairan pesisir yang memburuk dan lingkungan
3. Prospek usaha yang ada pada tambak udang Jatisari II memiliki prospek yang
cukup menguntungkan, dilihat dari nilai R/C nya mencapai 1,4 yakni dengan
5.2 Saran
(Litopenaeus vannamei) pada Tambak Udang Intensif di PT. Surya Windu Kartika
ekosistem yang ada di sekitar tambak jatisari II, penambahan panjang pipa
pengambilan air agar dapat mengambil air laut lebih baik, , meningkatkan kapasitas
gudang pakan untuk menjaga stok pakan untuk kebutuhan 6 petak dan agar kegiatan
budidaya tidak mengalami hambatan pada saat pabrik tidak dapat melakukan kegiatan
distribusi serta melakukan sosialisasi dengan pihak lingkungan sekitar agar tidak