Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

KEJANG PADA ANAK

Disusun Oleh:

Shahnaz Medina

1810221023

Diajukan Kepada:

Pembimbing: dr. Endang Prasetyowati, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA 2018
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
KEJANG PADA ANAK

Disusun dan diajukan untuk memenuhi persyaratan


Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Referat diajukan oleh


Nama : Shahnaz Medina
NRP : 1810221023
Judul : Kejang Pada Anak
Telah berhasil dipertahankan di hadapan pembimbing dan diterima sebagai syarat yang
diperlukan untuk ujian kepaniteraan klinik anak Program Studi Profesi Dokter,
Fakultas Kedokteran, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Mengetahui,

Pembimbing: dr. Endang Prasetyowati, Sp.A


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Kejang pada
Anak”. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kesehatan Anak.

Penyusunan makalah ini terselesaikan atas bantuan dari banyak pihak yang
turut membantu terselesaikannya masalah ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Endang
Prasetyowati, Sp.A
selaku pembimbing dan seluruh teman kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak atas
kerjasamanya selama penyusunan makalah ini.
Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari Pembaca guna
perbaikan yang lebih baik. Semoga makalah ini dapat bermanfaat baik bagi penulis
sendiri, pembaca maupun bagi semua pihak – pihak yang berkepentingan.

Ambarawa, Oktober 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Kejang merupakan kelainan neurologik tersering pada anak, dengan 4-10 %
anak – anak pernah menderita kejang minimal satu kali dalam 16 tahun pertama
kehidupan. Insidensi kejang lebih tinggi pada anak – anak usia < 3 tahun, dengan
frekuensi yang menurun pada anak – anak yang lebih dewasa. Berdasarkan penelitian
epidemiologi, 150.000 anak akan merasakan kejang pertama kali, tanpa provokasi per
tahun dan diantaranya 30.000 akan berkembang menjadi epilepsi.
Kejang atau bangkitan didefinisikan sebagai kejadian mendadak yang berupa
kesadaran terganggu, bingung, gerakan otot abnormal yang sifatmya involunter.
Selama kejang, aliran darah otak, oksigen, konsumsi glukosa, karbon dioksida dan
produksi asam laktat meningkat. Kejang singkat jarang menghasilkan efek yang
berlangsung pada otak. Kejang merupakan sebuah manifestasi akut yang bila terjadi
berkepanjangan atau berulang dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia,
hipertermia, hipoglikemia, dan kondisi ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis
permanen. Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang
demam, hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan
elektrolit, dan overdosis obat. Meskipun penyebab dari kejang beragam namun pada
fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok mana, karena
manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah prioritas awal pada pasien
dengan kejang aktif.
Kejang pada anak dan remaja berbeda dari etiologi, tingkat keparahan dan
dampak yang ditimbulkannya. Risiko dari beberapa kejang dapat di cegah atau
dikurangi dengan mengeliminasi penyebabnya, seperti memastikan perawatan prenatal
dan perinatal yang sesuai dan pencegahan trauma kepala. Hasil dari penelitian oleh
CDC menyatakan bahwa kejang memengaruhi 0.7% anak dan remaja usia 6-17 tahun,
dan sesuai dengan populasi umum, anak dan remaja dengan kejang memiliki
ketifakberuntungan social dan ekonomi, cenderung memiliki kondisi kesehatan lain,
dan cenderung memiliki hambatan untuk mendapatkan perawatan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Kejang atau bangkitan didefinisikan sebagai kejadian mendadak yang berupa


kesadaran terganggu, bingung, gerakan otot abnormal yang sifatnya involunter.
Kejang menurut American Epilepsy Society adalah manifestasi (wujud) klinis
dari suatu sinkronisasi (hubungan) berlebih dan abnormal sekumpulan neuron
kortikal. Kejang merupakan alterasi terhadap kesadaran, sikap, aktivitas motorik,
sensasi atau disfungsi otonom yang transien dan involunter yang disebabkan oleh
kecepatan berlebihan dan hipersinkroni oleh lepas muatan listrik dari sekelompok
neuron cerebral. Periode post iktal dengan penurunan respon biasanya terjadi setelah
kejang dimana durasi dari periode post iktal ini sama dengan durasi dari kejang
tersebut. Kejang juga dapat diartikan sebagai perubahan aktivitas motorik abnormal
yang tanpa atau disertai dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang
disebabkan akibat perubahan aktivitas elektrik di otak.

2.2 Epidemiologi

Menurut penelitian CDC pada tahun 2016, 4-10 % anak menderita kejang
minimal 1 kali dalam 16 tahun pertama hidupnya. Insidensi kejang paling tinggi
pada anak usia 3 tahun dan menurun seiring dengan peningkatan usia. Berdasarkan
penelitian epidemiologi, 150.000 anak akan merasakan kejang pertama kali, tanpa
provokasi per tahun dan diantaranya 30.000 akan berkembang menjadi epilepsi.

2.3 Etiologi
Penentuan faktor penyebab kejang sangat menentukan untuk tatalaksana
selanjutnya, karena kejang dapat diakibatkan berbagai macam etiologi. Penyebab
kejang secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu intrakranial dan ekstrakranial.
1. Intrakranial

2
Penyebab intrakranial dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu primer dan
sekunder. Penyebab intrakranial primer disebut juga idiopatik. Sedangkan
sekunder dapat disebabkan karena neoplasma intrakranial, kelainan kongenital
seperti hidrosefalus, infeksi seperti meningitis dan ensefalitis, dan trauma
kepala.
2. Ekstrakranial
Penyebab ekstrakranial biasa disebabkan karena gangguan metabolisme
seperti hipoglikemia, hipokalsemia, hepatik ensefalopati, uremia,
hiperproteinemia, hiperlipidemia, hipotiroid, dan hipoksia. Penyebab
ekstrakranial dapat juga disebabkan oleh metastasis keganasan ke otak.

a. Berikut adalah etiologi dari kejang pada anak secara umum :


• Kejang demam
• Infeksi: meningitis, ensefalitis
• Gangguan metabolik: hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia, hipokalsemia,
gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati, gangguan
metabolik bawaan
• Trauma kepala
• Keracunan: alkohol, teofilin
• Penghentian obat anti epilepsi
• Lain-lain: enselopati hipertensi, tumor otak, idiopatik

b. Etiologi kejang yang sering terjadi berdasarkan usia :


• <2 tahun : defek pada tumbuh dan kembang, trauma saat kelahiran, infeksi
CNS dan kelainan metabolic
• 2-14 : kelainan kejang idiopatik

c. Berdasarkan penyakit yang mendasarinya :


1. Kejang dengan Penyebab (Non-Epileptik)
2. Kejang tanpa Penyebab ( Epileptik)

3
2.4 Kriteria Kejang

Sangat penting untuk dapat membedakan apakah serangan yang terjadi adalah
kejang atau serangan yang menyerupai kejang. Berikut adalah perbedaan diantara
keduanya :
No. Keadaan Kejang Menyerupai
Kejang
1. Onset Tiba-tiba Dapat gradual
2. Lama serangan Detik/menit Beberapa menit
3. Kesadaran Sering terganggu Jarang terganggu
4. Sianosis Sering Jarang
5. Gerakan Ekstremitas Sinkron Asinkron
6. Stereotipik Serangan Selalu Jarang
7. Lidah tergigit atau luka lain Sering Sangat jarang
8. Gerakan abnormal bola mata Selalu Jarang
9. Fleksi pasif ekstremitas Gerakan tetap ada Gerakan hilang
10. Dapat diprovokasi jarang Hampir selalu
11. Tahanan terhadap gerakan pasif Jarang Selalu
12. Bingung pasca serangan Hampir selalu Tidak pernah
13. Iktal EEG abnormal selalu Hampir tidak
pernah
14 Pasca Iktal EEG abnormal Selalu Jarang

2.5 Klasifikasi
Menurut International League against Epilepsy, kejang dapat diklasifikasikan
menjadi :
I.Kejang parsial (fokal, lokal)
A. Kejang fokal sederhana
B. Kejang parsial kompleks
C. Kejang parsial yang menjadi umum

4
II.Kejang umum
A. Absens
B. Mioklonik
C. Klonik
D. Tonik
E. Tonik-klonik
F. Atonik
III.Tidak dapat diklasifikasi

1. Kejang parsial
Kejang parsial adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibatan
satu hemisfer serebri. Kejang parsial dapat berkembang menjadi kejang umum
pada 30% anak yang mengalami kejang. Pada umumnya kejang ini ditemukan
pada anak berusia 3 hingga 13 tahun. Kejang parsial dapat dikelompokkan
menjadi :
• Kejang parsial simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang tanpa
disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering ditandai dengan
perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering terlihat pola aktivitas
motorik yang tetap pada wajah dan ekstremitas atas saat episode kejang
terjadi. Walaupun kejang parsial simpleks sering ditandai dengan
perubahan abnormal dari aktivitas motorik, perubahan abnormal dari
sensorik, autonom, dan psikis.
• Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan abnormal dari
persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan kesadaran. Pada saat
kejang, pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan seringkali
disertai mual dan muntah.

5
• Kejang parsial dengan kejang umum sekunder
Kejang parsial dapat melibatkan kedua hemisfer serebri dan
menimbulkan gejala seperti kejang umum. Kejang parsial dengan kejang
umum sekunder biasanya menimbulkan gejala seperti kejang tonik klonik.
Hal ini sulit dibedakan dengan kejang tonik – klonik.

2. Kejang Umum
Kejang umum adalah kejang yang berhubungan dengan keterlibata kedua
hemisfer serebri. Kejang umum disertai dengan perubahan kesadaran. Kejang
umum dapat dikelompokkan menjadi :
• Kejang tonik klonik (grand mal seizure)
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling sering
terjadi pada anak. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba,
namun pada beberapa anak kejang ini didahului oleh aura (motorik atau
sensorik). Pada awal fase tonik, anak menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua
pupil, dan kontraksi otot – otot yang disertai dengan rigiditas otot yang
progresif. Sering juga disertai dengan inkontinensia urin atau inkontinensia
tinja. Kemudian pada fase klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik
dan gerakan fleksi yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi
perubahan kesadaran pada anak selama episode kejang berlangsung dan
bisa berlanjut hingga beberapa saat setelah kejang berhenti.
• Kejang tonik
Bentuk kejang ini sama seperti kejang tonik klonik pada fase tonik.
Anak tiba-iba terdiam dengan seluruh tubuh menjadi kaku akibat rigiditas
otot yang progresif.
• Kejang mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan gerakan kepala seperti terjatuh
secara tiba – tiba dan disertai dengan fleksi lengan. Kejang tipe ini dapat
terjadi hingga ratusan kali per hari.
• Kejang atonik

6
Kejang atonik ditandai dengan kehilangan tonus otot secara tiba – tiba.
• Kejang absens
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel (tipikal) atau
disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks (atipikal). Kejang absens
tipikal ditandai dengan berhentinya aktivitas motorik anak secara tiba – tiba,
kehilangan kesadaran sementara secara singkat, yang disertai dengan
tatapan kosong. Sering tampak kedipan mata berulang saat episode kejang
terjadi. Episode kejang terjadi kurang dari 30 detik. Kejang ini jarang
dijumpai pada anak berusia kurang dari 5 tahun. Kejang absens atipikal
ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa ditemukan
pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan perubahan kesadaran.

3. Kejang tak terklasifikasi


Kejang ini digunakan untuk mengklasifikasikan bentuk kejang yang
tidak dapat dimasukkan dalam bentuk kejang umum maupun kejang parsial.
Kejang ini termasuk kejang yang terjadi pada neonatus dan anak hingga usia
1 tahun.

7
v Kriteria kejang berdasarkan onset :
Ø Non-Rekuren (akut)
1. Dengan demam
- infeksi ekstrakranial
- infeksi intrakranial
2. Tanpa demam
- trauma
- toksisitas
- hypoxia
- metabolis
-vascular
Ø Rekuren (kronik)
1. Epilepsy
v Berdasarkan temuan EEG
- Generalisata : kedua hemisfer serebral, kehilangan kesadaran
- Fokal : hanya salah satu dari hemisfer, tidak kehilangan kesadaran.

8
2.6 Patofisiologi
Kejang adalah manifestasi klinis khas yang berlangsung secara intermitten
dapat berupa gangguan kesadaran, tingkah laku, emosi, motorik, sensorik, dan atau
otonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan listrik yang berlebihan di neuron
otak. Status epileptikus adalah kejang yang terjadi lebih dari 30 menit atu kejang
berulang lebih dari 30 menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh;
1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan
muatan listrik yang berlebihan;
2] berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino but irat
[GABA]; atau
3] meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat
melalui jalur eksitasi yang berulang. Status epileptikus terjadi oleh karena proses
eksitasi yang berlebihan berlangsung terus menerus, di samping akibat inhibisi
yang tidak sempurna.

2.7 Diagnosis

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik diperlukan untuk memilih


pemeriksaan penunjang yang terarah dan tatalaksana selanjutnya.
Anamnesis dimulai dari riwayat perjalanan penyakit sampai terjadinya
kejang, kemudian Pemeriksaan fisik dimulai dengan tanda-tanda vital, mencari
tanda-tanda trauma akut kepala dan adanya kelainan sistemik, terpapar zat
toksik, infeksi, atau adanya kelainan neurologis fokal.
Bila terjadi penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk
mencari faktor penyebab. Untuk menentukan faktor penyebab dan komplikasi
kejang pada anak, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu:
laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi, dan neuroradiologi.

9
Pemilihan jenis pemeriksaan penunjang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pemeriksaan yang dianjurkan pada pasien dengan kejang pertama adalah kadar
glukosa darah, elektrolit, dan hitung jenis.

A. Anamnesa
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian
sebelum episode kejang terjadi :
• Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti
keadaan stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
• Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau
– bauan, melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara –
suara, mual, merasa ketakutan dan sebagainya?
• Apa yang dilakukan anak sesaat sebelum kejang terjadi?
• Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang anak
mengkonsumsi obat – obatan tertentu?
• Apakah anak sedang menderita penyakit tertentu? Apakah anak
sedang demam sebelum kejang terjadi?
• Apakah anak pernah mengalami kejang sebelumnya?
• Jika anak pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang
terdahulu sama seperti bentuk kejang yang baru saja terjadi?
• Jika anak pernah mengalami kejang, apakah anak berobat rutin
dan mengkonsumsi obat anti kejang secara teratur?
• Apakah anak pernah mengalami trauma, terutama di bagian
kepala, beberapa jam atau hari sebelum kejang?
2. Kejadian saat kejang
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian
saat episode kejang terjadi :
• Berapa lama kejang berlangsung?
• Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?

10
• Apakah anak kehilangan kesadaran saat kejang?
• Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode
kejang terjadi?
• Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah anak tetap sadar
atau tidak sadar, di antara epdisode kejang yang terjadi?
3. Kejadian post – iktal
• Apakah anak langsung sadar setelah kejang berhenti?
• Apakah anak merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti
atau anak tampak seperti tidak terjadi apa – apa?
• Apakah anak mengingat kejadian saat kejang berlangsung?

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda-tanda vital
meliputi denyut nadi, laju pernapasan dan terutama suhu tubuh harus diperiksa, karena
demam merupakan penyebab utama kejang pada anak-anak. Periksa kepala apakah ada
kelainan bentuk, tanda-tanda trauma kepala, serta tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial. Periksa leher apakah terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis secara
menyeluruh juga penting dilakukan.

C. Pemeriksaan Penunjang
Penentuan ada tidaknya kejang ditentukan oleh kondisi klinis pasien yang tepat
sesuai klinis, tetapi pemeriksaan penunjang juga dapat membantu dalam mempertajam
diagnosis dari kejang tersebut. Pemeriksaan penunjang yang dapat di lakukan adalah :
1. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal tidak dianjurkan pada anak-anak dengan hemodinamik
yang tidak stabil. Sangat dipertimbangkan untuk melakukan pungsi lumbal
pada anak kurang dari 12 bulan dan anak kurang dari 18 bulan. Pungsi
lumbal dianjurkan pada :
- Anak yang telah menerima antibiotik sebelum kejang dan didiagnosa
sebagai meningitis, dalam kasus ini dilakukan pungsi lumbal tanpa

11
memandang usia. Bahkan jika pungsi lumbal dilakukan dan hasilnya negatif,
dapat dipertimbangkan untuk pemberian pengobatan meningitis, karena
cairan cerebrospinal (CSF) mungkin normal pada fase awal perjalanan
penyakit meningitis.1
- Iritasi meningens didefinisikan sebagai adanya Brudzinski sign (fleksi
leher menyebabkan fleksi dari pinggul pasien dan lutut), Kernig sign (nyeri
muncul ketika adanya fleksi 90◦ dari fleksi sendi pinggul dan ekstensi sendi
lutut), kaku kuduk yaitu kekakuan leher pada anak yang lebih tua dari usia 1
tahun. Pada anak-anak berusia kurang dari 1 tahun, tanda-tanda iritasi
meningens adalah tanda-tanda di atas atau rasa gelisah atau rewel selama
manipulasi kepala atau kaki oleh dokter dan atau menggembungnya
fontanel. Perlu ditekankan bahwa tanda-tanda klinis meningitis tidak sensitif
dan jika klinisi curiga bahwa meningitis positif, pungsi lumbal tidak boleh
ditunda sampai tanda-tanda ini muncul.
2. Pencitraan
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah episode kejang demam
sederhana, tapi bisa dipertimbangkan ketika ada fitur klinis dari gangguan
neurologis, misalnya mikrosefali atau makrosefali, defisit neurologis yang
sudah ada, defisit neurologis post-iktal bertahan selama lebih dari beberapa
jam, atau ketika ada kejang demam berulang yang kompleks, atau kejang
yang dicurigai bukan kejang demam Magnetic Resonance Imaging lebih
sensitif dibandingkan Computed Tomography untuk mendeteksi proses
intrakranial yang dapat menyebabkan kejang. Pada umumnya neuroimaging
tidak diperlukan kecuali pada keadaan dimana terdapat kelumpuhan nervus
kranialis (cth: N.VI), Hemiparesis atau persisten neurologic fokal,
penurunan kesadaran.

3. Electroencephalography (EEG)
Kelainan epileptiform relatif umum didapatkan pada anak-anak dengan
kejang demam. EEG sendiri memiliki sensitivitas yang rendah pada anak di

12
bawah usia tiga tahun dengan kejang dan peran yang terbatas dalam
diagnosis gangguan ensefalopatik akut.

2.8 GEJALA KLINIS


Ketika anak menampakkan gejala klinis seperti kejang, maka pemeriksa harus
segera menentukkan sebab dari kejang tersebut. Penting untuk mengetahui apakah
yang dialami seorang anak benar adalah kejang atau bukan kejang. Berikut adalah
beberapa kondisi pediatrik yang dapat disalahartikan sebagai kejang :
1. Sinkop
Sinkop biasanya didahului oleh dizziness, pandangan yang kabur, penderita
tahu jika sebentar lagi akan kehilangan kesadaran, dan pucat. Sinkop biasanya
terjadi pada siang hari dan posisi penderita sedang berdiri. Sedangkan kejang
terjadi secara tiba – tiba, kapan saja, dan dimana saja.
2. Breath holding spells
Breath holding spells merupakam salah satu episode apnea pada anak – anak,
biasanya berkaitan dengan penurunan kesadaran. Breath holding spells terjadi
pada 5% anak – anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun. Ada beberapa tipe dari
Breath holding spells yang menyerupai episode kejang, yaitu cyanotic spell dan
pallid spell. Pada cyanotic spell, anak menangis kuat diikuti dengan menahan
napas, sianosis, rigiditas otot dan pincang, serta seringkali disertai dengan
gerakan seperti kejang pada ekstremitas. Pallid spell terjadi dengan rangsangan
nyeri, diikuti dengan penderita tampak pucat dan kehilangan kesadaran yang
singkat.
3. Migrain
Pada anak dengan migrain, anak dapat kehilangan kesadaran, yang sering
diawali dengan pandangan kabur, dizziness, dan kehilangan postur tubuh.
4. Paroxysmal movement disorders
Paroxysmal movement disorders melibatkan aktivitas motorik yang abnormal
dan dapat menyerupai kejang dan penurunan kesadaran jarang terjadi. Tics
adalah gerakan berulang dan singkat dan dapat terjadi pada bagian tubuh

13
manapun. Tics muncul terutama pada keadaan stres dan biasanya dapat ditekan
kemunculannya. Shuddering attacks adalah tremor pada seluruh tubuh yang
berlangsung selama beberapa detik dan setelah itu kembali ke aktivitas normal.
Distonia akut ditandai dengan kontraksi wajah dan batang tubuh secara
involunter dengan postur yang abnormal dan wajah yang meringis.
5. Pseudoseizures
Pseudoseizures dapat muncul dengan gerakan seperti pada paroxysmal
movement disorders. Pseudoseizures sulit dibedakan dengan kejang yang
sebenarnya dan sering terjadi pada anak – anak dengan riwayat epilepsi.
6. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat dibedakan dengan kejang dengan melihat karaterisktik
perubahan perilaku yang terjadi. Night terrors terjadi pada anak usia sebelum
masuk sekolah. Anak tiba – tiba terbangun dari tidurnya, diikuti dengan
menangis, berteriak dan tidak bisa didiamkan. Lalu anak kembali ke tidurnya
dan tidak dapat mengingat kejadian tersebut. Sleepwalking atau somnabulisme
dapat ditemukan pada anak usia sekolah yang terbangun dari tidurnya dan
berjalan tanpa tujuan dan disertai dengan pandangan kosong lalu anak tersebut
kembali ke tidurnya. Narcolepsy sering ditemukan pada anak usia remaja
dengan perubahan kesadaran disertai rasa kantuk tak tertahan. Narcolepsy
sering disertai dengan katapleksi, yaitu kehilangan tonus otot secara tiba – tiba7.

2.8 Tatalaksana
1. Penilaian Awal
Langkah pertama dalam pengelolaan pasien yang mengalami kejang adalah
untuk menilai dan mendukung saluran napas, pernapasan dan sirkulasi. Ini akan
memastikan bahwa kejang tidak membahayakan pasokan darah beroksigen ke
otak dan tidak menyebabkan cedera sekunder terhadap hipoksia dan atau
iskemia. Penilaian awal terdiri dari :
1. Airway
Saluran napas yang bebas adalah syarat pertama. Lakukan penilaian

14
patensi jalan napas dengan metode look, listen dan feel. Jika jalan
napas tidak bebas, maka kita harus membuka dan menjaganya dengan
cara head tilt- chin lift atau jaw thrust manuver dan memberikan
ventilasi dengan bag-valve-mask jika perlu. Jika jalan napas terganggu
karena kejang, mengendalikan kejang dengan antikonvulsan
umumnya akan mengontrol jalan napas. Bahkan jika jalan napas telah
bebas, orofaring mungkin perlu dibersihkan dari sekret oleh suction.
2. Breathing
Penilaian kemampuan pernapasan dilihat dari laju pernapasan, suara
napas yang merintih, ekspansi dada, denyut jantung dan warna kulit.
Pemantauan saturasi oksigen dilakukan dengan menggunakan pulse
oksimetry. Jika anak menderita hipoventilasi, respirasi harus didukung
dengan oksigen melalui perangkat bag-valve - mask.
3. Circulation
Menilai kecukupan sirkulasi dilakukan dengan palpasi denyut nadi.
Capillary refill time yang lebih dari dua detik, pucat, sianosis serta
akral yang dingin menunjukkan sirkulasi perifer yang tidak adekuat.
Jika perlu, lakukan pemberian cairan intravena. Jika akses pembuluh
darah tidak dapat diperoleh, pemberian antikonvulsan harus diberikan
melalui rektal, intramuskular atau rute bukal. Intraosseous acces (IO)
dipergunakan pada anak-anak dengan tanda-tanda syok jika akses
intravena tidak dapat diperoleh. Akses IO mungkin dibutuhkan untuk
administrasi long acting antikonvulsan jika tidak ada akses intravena
setelah dua dosis benzodiazepin. Berikan 20 mL/kg BB bolus cepat
normal saline untuk setiap pasien dengan tanda-tanda syok, lalu
periksa tekanan darah segera setelah pemberian normal saline atau
setelah kejang selesai. Pengambilan tes glukosa darah dan uji
laboratorium tetap diperlukan. Jika terdapat hipoglikemi berikan
dextrose 10% sebanyak 5 mL/kg untuk pasien yang hipoglikemi
tersebut.

15
4. Disability
Menilai fungsi neurologis dengan skor AVPU (Alert, Voice, Pain,
Responsive) tidak dapat diukur secara bermakna selama kejang yang
disertai dengan penurunan kesadaran. Ukuran dan reaksi pupil harus
diperhatikan. Perubahan pupil dapat terjadi selama kejang tetapi
mungkin juga hasil dari keracunan opiat, amfetamin, atropin dan
trisiklik atau peningkatan tekanan intrakranial. Perhatikan tanda-tanda
defisit neurologis fokal, baik selama atau setelah kejang dan
perhatikan postur anak, apakah terdapat dekortikasi atau deserebrasi
sikap dimana sebelumnya postur anak normal. Hal ini menunjukan
bahwa terdapat peningkatan tekanan intrakranial, tetapi postur ini
kadang dapat keliru untuk fase tonik-klonik. Carilah kaku kuduk pada
anak dan fontanelle yang membubung pada bayi, yang dapat
menunjukkan tanda – tanda meningitis. Perlu diingat bahwa
penggunaan berkepanjangan atau berulang-ulang dari obat anti
konvulsan dapat menyebabkan depresi kesadaran.
5. Exposure
Carilah ruam dan memar sebagai tanda-tanda cedera.

2. Menilai Kembali ABC


Tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15 menit sementara kejang
berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat kesadaran
kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti – epilepsi. Jika
memungkinkan beri pula pemantauan dengan ECG dan pulse-oksimetri.

3. Medikasi Pada Kejadian Akut (first and second line anticonvulsant)


Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi.
Dahulu di tahun 1960an obat antiepilepsi yang digunakan dalam pengelolaan
kejang telah berkembang karena ketersediaan obat diazepam intravena.
Sekarang obat anti kejang yang menjadi pilihan pertama adalah benzodiazepin.

16
Hal ini dikarenakan benzodiazepin dapat dengan cepat mengkontrol kejang
dengan efek samping yang minimal. Selain itu benzodiazepin dapat diberikan
dari beberapa rute dan dapat diberikan kembali dalam waktu singkat.
Obat anti kejang yang menjadi pilihan kedua, untuk kejang refrakter harus
kompatibel dengan obat pilihan pertama. Idealnya bekerja secara sinergis tanpa
efek samping dan menjadi lebih efektif dalam mencegah berkelanjutan kejang.
Pilihan obat lini kedua tersebut adalah fenitoin dan fenobarbital.
Dalam pemilihan obat anti konvulsan, hasil yang diinginkan adalah yang
paling cepat menghentikan kejang akut dengan efek samping terkecil dan biaya
yang minimal. Persyaratan obat tersebut belumlah cukup karena harus pula
meliputi kemudahan pemberian dan tersedianya obat tersebut di pasaran.
Pengobatan dini sangat penting, karena setelah kejangditetapkan selama lebih
dari 15 menit, penangannanya akan lebih sulit. Protokol penanganan kejang
berbasis lini ini digunakan di tiga rumah sakit anak-anakdi New South Wales.
Protokol inipun telah di akui oleh Advance Paediatric Life Support (APLS) di
Inggris pada tahun 2000.

4. Terapi Lini Pertama


1. Diazepam
Digunakan secara intravena dan rectal sejak 1965. Pemberian
intravena menghasilkan kontrol kejang yang cepat pada sekitar
80% pasien. Setelah pemberian rektal, kadar serum terapeutik
terlihat dalam lima menit dan kontrol kejang yang cepat terjadi
pada hingga 80%. Sementara mungkin ada manfaat dari diazepam
intravena berikutnya di pasien yang tidak responsif terhadap terapi,
kejang menetap terhadapdosis rektal tunggal (kejang resisten)
maka pasien tersebut membutuhkan pengobatan lini kedua.
2. Midazolam
Midazolam sekarang telah menggantikan diazepam sebagai obat
pilihan pertama sebelum akses vena dapat diperoleh, karena rute

17
pemberian yang lebih disukai yaitu melalui bukal tidak seperti
diazepam yang melalui rektal. Midazolam sangat efektif sebagai
lini pertama antikonvulsan karena menghentikan sebagian besar
kejang dalam satu menit setelah injeksi intravena dari 0,1-0,3
mg/kg dan secara intramuskular dalam waktu 5-10 menit. Dosis
tunggal midazolam bukal 0,5mg /kg telah terbukti meminimalisir
risiko depresi pernapasan.
3. Paraldehyde
Paraldehyde telah digunakan sebagai supposituria untuk
pengobatan kejang sejak awal 1930. Paraldehyde sekarang
diberikan secara rektal Administrasi dubur dapat ditoleransi
dengan baik dan menghasilkan onset kontrol kejang yang cepat
dan efek depresi pernafasan yang kurang minimal.

5. Terapi Lini Kedua (epilepsi status refraktori)


1. Fenitoin
Fenitoin dikenal sebagai nonsedating anti - convulsant pertama.
Dalam dosis intravena 20 mg/kg untuk anak-anak, kejang
terkontrol dengan baik di 60-80% pasien dalam 20 menit. Fenitoin
memiliki efek depresi pernapasan yang lebih kecil daripada
fenobarbital. Fenitoin telah diakui sebagai pilihan pertama anti
konvulsan lini kedua oleh British Working Party.2
2. Fenobarbital
Fenobarbital telah digunakan dalam kontrol kejang sejak tahun
1912 dan digunakan di seluruh dunia. Jika dibandingkan dengan
anti konvulsan yang lainnya, fenobarbital dianggap lebih murah
dan sangat efektif. Setelah pemberian intravena terdapat distribusi
bifasik dan sangat menyebar melalui seluruh pembuluh darah
termasuk pembuluih darah otak. Meskipun penetrasi ke otak telah
dilaporkan terjadi 12-60 menit setelah pemberian, penetrasi ini

18
terjadi lebih cepat dalam status epileptikus karenapeningkatan
aliran darah otak. Fenibarbital digunakan sebagai anti konvulsan
lini kedua pada periode neonatal. Dosis pemberian adalah 5-10
mg/kg.2

19
v Tatalaksana Kejang Demam
Kecenderungan sifat kejang demam adalah singkat dan kejang biasanya
telah berhenti saat sampai diruang UGD. Penatalaksanaan kejang demam pada
anak mencakup tiga hal yaitu :
1. Pengobatan fase akut yaitu membebaskan jalan nafas dan memantau
fungsi vital tubuh. Antipiretik berupa asetaminofen 10-15 mg/kgBB
diberikan 4 kali atau saat demam sangat dianjurkan walaupun tidak
terbukti untuk mengurangi risiko berulang kejang. Saat ini diazepam
intravena atau rektal merupakan obat pilihan utama, oleh karena
mempunyai masa kerja yang singkat. Jika tidak ada diazepam, dapat
digunakan luminal suntikan intramuskular ataupun yang lebih praktis
midazolam intranasal. Jika kejang masih terlihat maka penanganan
dengan intra vena diazepam dan lorazepam adalah mutlak.
2. Mencari dan mengobati penyebab dengan melakukan pemeriksaan
pungsi lumbal pada saat pertama kali terjadinya kejang demam. Pungsi
lumbal dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun karena gejala
neurologis sulit ditemukan.
3. Pengobatan profilaksis
• Hilang timbul (intermittent) : anti konvulsan segera diberikan pada
waktu pasien demam (suhu rektal lebih dari 38◦C) dengan
menggunakan diazepam oral atau rektal, klonazepam atau kloralhidrat
supositoria.
Diazepam oral atau rektal : dosis 0.3mg/kgBB (2-3 hari) BB : 10-20kg
à5-10mg
Usia :
- <1th : 2-4 mg
- 1-3 th : 5 mg
- >3th : 7.5 mg
• Terus menerus (rumatan): Dengan memberikan fenobarbital atau asam
valproat tiap hari untuk mencegah berulangnya kejang demam

20
Phenobarbital sebesar 3-5 mg/kgBB/hari 2 kali sehari atau asam valproate
15-40 mg/KgBB/hari 3 kali sehari durasi satu tahun.
Diazepam rektal (0,5 mg /kg) atau lorazepam (0,1 mg/kg) harus
diberikan jika akses intravena tidak dapat diberikan. Midazolam yang
diberikan secara bukal (0,5 mg/kg; dosis maksimal 10 mg/kg) lebih efektif
daripada diazepam rektal untuk anak.
Pemberian midazolam secara bukal dicapai dengan mengalirkan
sesuai dosis antara pipi dan gusi dari rahang bawah dengan pasien dalam
posisi pemulihan dari fase kejang. Penyerapan teknik ini secara langsung
melalui mukosa bukal, memberikan hasil yang lebih cepat daripada
midazolam yang ditelan. Lorazepam yang diberikan secara intravena
setidaknya sama efektifnya dengan diazepam intravena dan berhubungan
dengan efek samping yang lebih sedikit (termasuk depresi pernafasan)
dalam pengobatan kejang tonik klonik akut.

2.9 Edukasi Keluarga Perjalanan Penyakit dan Rekurensi


Edukasi pasien dan pendidikan keluarga merupakan bagian integral dari
pengelolaan kejang demam. Langkah-langkah yang perlu dilakukan antara lain:
1. Membantu keluarga untuk mengatasi pengalaman yang menakutkan
dan menyingkirkan asumsi bahwa anak mereka akan meninggal saat
kejang demam pertama dengan kesepakatan keluarga untuk memahami
prognosis dari kejang.
2. Memastikan keluarga mengerti bahwa tidak ada peningkatan risiko
keterlambatan intelektual jika kejang kurang dari 30 menit.
3. Memberikan keluarga informasi tentang risiko kekambuhan kejang
berikutnya.1

2.10 Rekurensi
Risiko untuk terjadinya kekambuhan setelah kejang pertama adalah
sekitar 33%. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan

21
kekambuhan meliputi kejang demam pertama pada usia muda, riwayat keluarga
kejang demam, durasi pendek demam sebelum kejang atau demam yang relatif
rendah pada saat kejang awal. Terdapat faktor genetik yang mempengaruhi
terjadinya kejang. Hal ini terlihat dari risiko saudara kandung untuk menderita
kejang adalah sekitar 10-20% dan dapat lebih tinggi jika orang tua juga
memiliki riwayat kejang. Profilaksis terus menerus dengan obat antiepilepsi
tidak dianjurkan.

2.11. Penanganan Pertama Saat di Rumah


Hal yang harus dilakukan pertama saat dirumah dan berhadapan dengan
anak yang sedang kejang adalah tetap tenang dan jangan panik, jangan
memaksa atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Pastikan pasien aman
dengan menempatkan mereka pada lantai dan menyingkirkan benda-benda
yang bisa melukai mereka. Perhatikan waktu saat mulai dan berhentinya
kejang, karena hal ini penting untuk diketahui dokter. Setelah kejang berhenti,
tempatkan pasien dalam posisi tidur pada salah satu sisinya dan membuat
mereka nyaman. Jangan mengguncang pasien untuk membangunkan mereka
atau menahan pasien saat pasien mengalami kejang aktif. Bawalah pasien ke
dokter atau instansi kesehatan setempat sesegera mungkin.

22
BAB III
KESIMPULAN
Kejang adalah perubahan aktivitas motorik abnormal yang tanpa atau disertai
dengan perubahan perilaku yang sifatnya sementara yang disebabkan akibat perubahan
aktivitas elektrik di otak.
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang demam,
hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan
elektrolit, dan overdosis obat. Meskipun penyebab dari kejang beragam namun pada
fase awal tidak perlu untuk melabelnya masuk pada kelompok mana, karena
manajemen jalan nafas dan penghentian kejang adalah prioritas awal pada pasien
dengan kejang aktif.
Penatalaksanaan kegawatdaruratan kejang harus diketahui dan dilakukan
dengan tepat. Pertama kali yang harus dilakukan adalah menilai dan mendukung
saluran napas, pernapasan dan sirkulasi untuk memastikan bahwa kejang tidak
membahayakan pasokan darah beroksigen ke otak dan tidak menyebabkan cedera
sekunder terhadap hipoksia dan atau iskemia.
Penatalaksanaan kedua adalah tanda-tanda vital harus dinilai ulang setiap 15
menit sementara kejang berlangsung atau setiap 30 menit setelah kejang sampai tingkat
kesadaran kembali ke normal atau setelah setiap pemberian dosis obat anti-epilepsi.
Pengobatan dengan obat anti kejang diberikan setelah ABC di stabilisasi.
Terapi lini pertama adalah diazepam, midazolam dan paraldehyde. Terapi lini kedua
adalah fenitoin dan fenobarbital.
Edukasi terhadap keluarga juga sangat penting dalam penanganan
kegawatdaruratan pasien kejang di rumah. Keluarga harus tetap tenang dan jangan
panik, jangan memaksa atau memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Pastikan pasien
aman dengan menempatkan mereka pada lantai dan menyingkirkan benda-benda yang
bisa melukai mereka. Perhatikan waktu saat mulai dan berhentinya kejang, karena hal
ini penting untuk diketahui dokter. Setelah kejang berhenti, tempatkan pasien dalam
posisi tidur pada salah satu sisinya dan membuat mereka nyaman. Jangan
mengguncang pasien untuk membangunkan mereka atau menahan pasien saat pasien

23
mengalami kejang aktif dan bawalah sesegera mungkin pasien ke dokter untuk
mendapatkan penanganan lebih lanjut.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines.


NSW Department of Health. 2009.
2. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child
With a Simple Febrile Seizure. Pediatrics. 2011 Feb:2(127);390-394
3. Sampson HA dan Leung D. Seizures in Childhood. Di dalam: Kliegman et al.
Nelson Textbook of Pediatrics, 18th edition. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.
4. Fauci A, Braunwald E, Kasper D, Hauser S, Longo D, Jameson J, et al.
Epilepsy. Di Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition:
McGraw Hill. 2008.
5. Seizures in children. Pediatric clinics of North America 53 (2006) 257-277.
6. https://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/mm6443a2.htm diakses
16/10/18,21.58.
7. Tracy Glauser et al. Evidence-Based Guideline: Treatment of Convulsive
Status Epilepticus in Children and Adults: Report of the Guideline Committee
of the American Epilepsy Society, Epilepsy Currents (2016)
8. Guidelines and Protocols Advisory Committe. Febrile Seizure. British
Columbia Medical Association. 2010.
9. Children and Infants with Seizures-Acute Management Clinical Guidelines.
NSW Department of Health. 2009.
10. Convulsions in Children. Pediatric Guidelines. 2006. October;1-3
11. Friedman M.J, Sharrieff G. Q. Seizures in Children. Pediatric Clin N Am.
2006;53:257-277
12. Major P, Thiele E.A. Seizures in Children: Determining the Variation.
Pediatrics in Review. 2007;28:363-371.
13. Breton A. N. Seizures: Stages, Types, and Care. 10th Emergency & Critical
Care UK Annual Congress. 2013
14. Deliana M. Tatalaksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri.
2002:2(4);59-62.
15. Fallah R, Karbasi A.S, Golestan M. Efficacy and Safety of Lamotrigene in

25
Lennox – Gastaut Syndrome. Iran Journal Child Neurology. 2009
December;33-38.
16. Tavazolli A,Ghofrani M,Rouzrokh M,Eznollah A.Efficacy of Oxarbazepine
Add – On Therapy on Intractable Seizures in Children. Journal of Neuroscience
and Behavioural Health, 2010 September;3:30-34.
17. Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershon A. Rudolph’s Pediatrics
22nd Edition. San Fransisco:McGraw-Hill. 2012.
18. Febrile Convulsions in Children. Victoria Departement of Health. December
2010.

26

Anda mungkin juga menyukai