Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

APPENDISITIS

Oleh:
Eka Yulizar, S.Ked 04054821820006
Nurul Lintang Amelia, S.Ked 04084821719235
Puput Eka Sari, S.Ked 04084821719216
Syahnas Ya Rahma, S.Ked 04084821719236

Pembimbing:
dr. H. Yudhi Arimansyah, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/
RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2018

3
4

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul: Apendisitis

Disusun oleh :

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik


Senior di Bagian Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 22 Oktober – 29 Desember 2018.

Palembang, Desember 2018


Pembimbing

dr. H. Yudhi Arimansyah, Sp.B


5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Apendisitis” untuk memenuhi tugas laporan kasus yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
H. Yudhi Arimansyah, Sp.B selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga laporan ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi
manfaat dan pelajaran bagi kita semua.

Palembang, Desember 2018

Penulis
6

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II STATUS PASIEN ...............................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks ................................................... 3
2.2. Definisi .......................................................................................... 5
2.3 Etiologi .......................................................................................... 6
2.4 Epidemiologi.................................................................................. 6
2.5 Klasifikasi ...................................................................................... 7
2.6 Patofisiologi .................................................................................... 8
2.7 Manifestasi Klinis ........................................................................... 10
2.8 Diagnosis ........................................................................................ 13
2.9 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 14
2.10 Diagnosis Banding .......................................................................... 16
2.11 Manajemen Awal ............................................................................ 17
2.12 Tindakan ......................................................................................... 20
2.13 Komplikasi...................................................................................... 21
BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23
7

BAB I

PENDAHULUAN

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis, yaitu


divertikulum pada caecum yang menyerupai cacing, panjangnya bervariasi dari 7
sampai 15 cm, dan berdiameter sekitar 1 cm dan merupakan penyebab nyeri
abdomen akut yang paling sering ditemukan. Apendisitis merupakan
kegawatdaruratan medik dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.1
Apendisitis dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan,
tetapi paling sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga dalam kehidupan. Insidens
pada perempuan dan laki-laki umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun
dimana insidens pada laki-laki lebih tinggi.1
WHO (World Health Organization) menyebutkan insidensi apendisitis di
Asia dan Afrika pada tahun 2004 adalah 4,8% dan 2,6% penduduk dari total
populasi. Tujuh persen populasi di Amerika Serikat menderita apendisitis dengan
insidensi 1,1 kasus tiap 1000 orang per tahun. Angka kejadian apendisitis akut
mengalami kenaikan dari 7,62 menjadi 9,38 per 10.000 dari tahun 1993 sampai
2008. Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006, apendisitis menempati urutan
keempat penyakit terbanyak di Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis,
dan penyakit sistem cerna lain dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040.2
Kesulitan dalam mendiagnosis apendisitis masih merupakan masalah dalam
bidang bedah. Terdapat beberapa pasien yang menunjukan gejala dan tanda
apendisitis yang tidak khas, sehingga dapat menyebabkan kesalahan dalam
diagnosis dan keterlambatan dalam hal penanganannya. Kedua hal tersebut dapat
meningkatkan terjadinya perforasi, morbiditas, dan negative apendectomy. Angka
negative apendectomy di Amerika Serikat sebesar 15,3% pada apendisitis akut.3
Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan dasar dalam diagnosis
apendisitis dengan tingkat akurasi sebesar 76-80%. Modalitas pencitraan seperti
Ultrasonography (USG) dan Computed Tomography (CT) scan dapat
8

meningkatkan akurasi diagnosis hingga 90%, namun karena biayanya yang mahal
dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya, pemeriksaan ini jarang
digunakan. Gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas akan menyulitkan dokter
dalam menegakkan diagnosis, sehingga dokter akan melakukan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis. Meningkatnya jumlah sel darah putih
antara 11.000/mm3 sampai 17.000/mm3 didapatkan pada 80% penderita, tetapi
tidak jelas apakah spesifik untuk appendisitis atau penyakit lain dengan gejala nyeri
abdomen akut.3
Berdasarkan hal tersebut, kemampuan dokter dalam menegakkan diagnosis
apendisitis serta membedakan antara apendisitis akut dan apendisitis perforasi
secara klinis sangat diperlukan, karena keduanya memiliki penanganan yang
berbeda dan berkaitan dengan bahaya komplikasi yang ditimbulkan.
9

BAB II
STATUS PASIEN

2.1. Identifikasi
Nama : Yuni Ariyanto
Tanggal Lahir/usia : 28 Juni 2001/ 17 tahun
Alamat :Dusun 4,Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Tugu
Mulyo, Musi Rawas.
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Pekerjaan : Pelajar
MRS :
Ruangan : Cempaka
Rekam Medik : 0299209

2.2. Anamnesa
Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS
Riwayat perjalanan penyakit
Riwayat penyakit dahulu : Di sangkal
Riwayat penyakit keluarga : Di sangkal

2.3. Pemeriksaan Fisik


Regio Abdomen : Nyeri tekan McBurney (+), Rebound pain(+), defans
muskular(+)

Alvarado Score : 9

2.4. Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (26-11-2018)
Hb : 14.4 g/dL
10

Eritrosit : 5.3 x 1012/L


Trombosit : 160 x 109/L
Leukosit : 15.9 x 109/L
Hematokrit : 42.3%

2.5. Diagnosis
2.6. Penatalaksanaan
2.7. Prognosis
11

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Apendiks


Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 8-13
cm (kisaran 3-5 inci), dasar melekat pada caecum dan ujung lainnya bebas, diliputi
oleh peritoneum, dan mempunyai mesenterium sendiri yang disebut mesoappendix
yang berisi vena, arteri appendicularis, dan saraf-saraf. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal. Namun pada bayi, apendiks berbentuk
kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi penyebab rendahnya insidens apendisitis pada usia tersebut.2

Gambar 3.1. Anatomi Caecum dan Apendiks Vermiformis

Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di


regio iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada
titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan
umbilicus yang di sebut titik McBurney. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus
12

selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang


colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens.
13

Gambar 3.2. Variasi letak Apendiks Vermiformis

Apendiks diperdarahi oleh arteri appendicularis yang merupakan arteri


tanpa kolateral dan vena appendicularis, sedangkan persarafannya berasal dari
cabang-cabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari plexus
mesentericus superior. Aliran limfenya ke satu atau dua nodi dalam mesoapendiks
dan di alirkan ke nodi mesenterici superiores.2

Gambar 3.3. Perdarahan Apendiks Vermiformis

Secara histologi, struktur apendiks sama dengan usus besar. Kelenjar


submukosa dan mukosa dipisahkan dari lamina muskularis. Diantaranya berjalan
pembuluh darah dan kelenjar limfe. Bagian paling luar apendiks ditutupi oleh
lamina serosa yang berjalan pembuluh darah besar yang berlanjut ke dalam
mesoapendiks. Bila letak apendiks retrosekal, maka tidak tertutup oleh
peritoneum viserale.2
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesenterika superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di
sekitar umbilikus.4
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi,
apendiks akan mengalami gangrene.4
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
14

lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada pathogenesis apendisitis.


Imunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid
tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jumlah jaringan limfe di sini kecil sekali jika dibandingka n dengan jumlahnya di
saluran cerna dan di seluruh tubuh.5

3.2 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.6
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam
kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat,
angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur. 4

3.3 Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis, dan akibatnya terjadi infeksi.
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang dikatakan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris juga dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E. histolytica.4
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
15

fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.


Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut.4

3.4 Epidemiologi
Appendisitis berkembang pada 8,6% laki-laki dan 6,7% perempuan dengan
insidensi terjadi pada dekade kedua dan ketiga masa kehidupan. Insiden apendisitis
paling tinggi pada usia 20-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak usia kurang
dari 2 tahun. Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan
perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia
pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Apendektomi menurun sejak tahun 1950 di banyak negara. Amerika Serikat meraih
insidensi terendah, sekitar 15 per 10.000 orang pada tahun 1990. Sejak saat itu,
terjadi peningkatan insidensi appendisitis nonperforasi.1

3.5 Klasifikasi Apendisitis


1. Apendisitis Akut
a. Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa
disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks
dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran
limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala
diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia,
malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan
apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.4,7
b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada
apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam
dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi
suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada apendiks dan mesoapendiks
16

terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat


fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri
tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak
aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.4,7
c. Apendisitis Akut Gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-
tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding
apendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada
apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan
peritoneal yang purulen.4,7

2. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.4,7

3. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan
pelvic.4,7

4. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.4,7

5. Apendisitis Kronik
17

Apendisitis kronik merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai


proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi
rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronik
baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan
bawah lebih dari dua minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan
mikroskopik. Secara histologis, dinding apendiks menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan
eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa
tampak dilatasi.4,7

3.6 Patofisiologi Apendisitis


Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
fekalit, hiperplasia folikel limfoid, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Fekalit ditemukan sebagai penyebab
paling sering dari obstruksi apendiks dengan frekuensi sebesar 40% pada
apendisitis akut sederhana tanpa komplikasi, 65% pada apendisitis gangrenosa, dan
hampir 90% pada apendisitis perforasi.4,8
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen, dimana kapasitas lumen apendiks normal adalah
hanya ± 0,1 ml. Tekanan yang meningkat sedikit saja akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila
sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding.4,6
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark
18

dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa.4
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.3,4
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.4,8
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan
pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat
dalam makanan yang rendah.6
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi
mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan
muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal.6
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga
peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan
terjadi.6
19

3.7 Manifestasi klinis apendisitis


3.7.1 Gejala
Nyeri perut adalah gejala utama dari apendisitis. Perlu diingat bahwa
nyeri perut bisa terjadi akibat penyakit – penyakit dari hampir semua organ
tubuh. Tidak ada yang sederhana maupun begitu sulit untuk mendiagnosis
apendistis. Gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar-samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium sekitar umbilikus. Nyeri perut ini
sering disertai mual serta satu atau lebih episode muntah dengan rasa sakit, dan
setelah beberapa jam, nyeri akan beralih ke perut kanan bawah pada titik
McBurney. Umumnya nafsu makan akan menurun. Rasa sakit menjadi terus
menerus dan lebih tajam serta lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri
somatik setempat, akibatnya pasien menemukan gerakan tidak nyaman dan ingin
berbaring diam, dan sering dengan kaki tertekuk. Kadang tidak ada nyeri
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan
obat pencahar. Hal ini sangat berbahaya karena dapat mempermudah terjadinya
perforasi. Bila terdapat rangsangan peritoneum, biasanya penderita mengeluh
1,7
sakit perut bila berjalan atau batuk.

3.7.2 Pemeriksaan fisik


Temuan fisik ditentukan terutama oleh posisi anatomis apendiks
vermiformis yang mengalami inflamasi, serta organ yang telah mengalami ruptur
ketika pasien pertama kali diperiksa. Tanda vital seperti peningkatan suhu jarang

>1oC (1.8oF) dan denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi
perubahan yang signifikan dari biasanya menunjukkan bahwa komplikasi atau
perforasi telah terjadi atau diagnosis lain harus dipertimbangkan. Perforasi
apendiks vermikularis akan menyebabkan peritonitis purulenta yang di tandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan defans muskuler
yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan,
20

dan perut menjadi tegang dan kembung. Peristalsis usus dapat menurun sampai
7,9
menghilang akibat adanya ileus paralitik.
Pasien dengan apendisitis biasanya berbaring dengan terlentang, karena
gerakan apa saja dapat meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk menggerakkan
paha terutama paha kanan pasien akan melakukan dengan perlahan-lahan dan
5
hati-hati.
Jika dilakukan palpasi akan didapatkan nyeri yang terbatas pada regio
iliaka kanan, biasanya di sertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan parietal. Tanda rovsing adalah apabila melakukan penekanan pada
perut kiri bawah maka akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Peristalsis
usus sering didapatkan normal tetapi dapat menghilang akibat adanya ileus
7
paralitik yang disebabkan oleh apendisitis perforata.
Uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan
untuk mengetahui letak apendiks vermiformis. Cara melakukan uji psoas yaitu
dengan rangsangan otot psoas melalui hiperekstensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Tindakan ini akan
menimbulkan nyeri bila apendiks vermiformis yang meradang menempel di otot
psoas mayor.

Gambar 2.4. Pemeriksaan Psoas sign

Pada pemeriksaan uji obturator untuk melihat bilamana apendiks


vermiformis yang meradang bersentuhan dengan otot obturator internus.
21

Gambar 3.5. Pemeriksaan Obturator sign

Ketika peradangan apendiks vermiformis telah mencapai panggul, nyeri


perut kemungkinan tidak ditemukan sama sekali, yaitu misalnya pada
apendisitis pelvika. Sehingga dibutuhkan pemeriksaan colok dubur. Dengan
melakukan pemeriksaan colok dubur nyeri akan dirasakan pada daerah lokal
suprapubik dan rektum. Tanda-tanda iritasi lokal otot pelvis juga dapat dirasakan
1,7,9
penderita.
22

Tabel 1. Sensitivity and Specificity of Clinical Findings for the Diagnosis of


Acute Appendicitis

3.8 Diagnosis Appendisitis


Tabel 2. Skor Alvarado untuk mendiagnosis apendisitis
Manifestations Value
Symptoms Migration of pain 1
Anorexia 1
Nausea and/or vomiting 1

Signs Right lower quadrant 2


tenderness
Rebound 1

Elevated temperature 11

Laboratory Values Leukocytosis 2


Left shift in leukocyt 1
Count

Total Points 10

Interpretasi Alvarado score :


23

- Skor total 1-4: unlikely to have apendisitis  pasien dipulangkan


dengan diberi obat simptomatik dan disarankan untuk kembali apabila
gejala bertambah berat atau tidak berkurang.
- Skor total 5-6: compatible with, but not diagnostic of apendisitis 
pasien diberi obat simptomatik dan antibiotik serta dilakukan observasi
selama 24 jam dengan memperhatikan penilaian skor ulang. Dapat
dilakukan CT-scan pada pasien dengan skor 5-6.
- Skor total 7-8: have a high likelihood of apendisitis  pasien
dipersiapkan untuk dilakukan apendiktomi cito

3.9 Pemeriksaan penunjang


3.9.1 Pemeriksaan laboratorium
3.9.1.1 Leukosit Darah
Pemeriksaan laboratorium rutin sangat membantu dalam mendiagnosis
apendisitis akut, terutama untuk mengesampingkan diagnosis lain. Pemeriksaan
laboratorium yang rutin dilakukan adalah jumlah leukosit darah. Jumlah leukosit
darah biasanya meningkat pada kasus apendisitis. Hitung jumlah leukosit darah
merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan memiliki standar
pemeriksaan terbaik. Pada kebanyakan kasus terdapat leukositosis, terlebih pada
kasus dengan komplikasi berupa perforasi. Penelitian yang dilakukan oleh Guraya
SY menyatakan bahwa peningkatan jumlah leukosit darah yang tinggi merupakan
indikator yang dapat menentukan derajat keparahan apendisitis. Tetapi, penyakit
inflamasi pelvik terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium
1,7
yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut.
Terjadinya apendisitis akut dan adanya perubahan dinding apendiks
vermiformis secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya jumlah leukosit
darah. Temuan ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah leukosit berhubungan
dengan peradangan mural dari apendiks vermiformis, yang merupakan tanda khas
10
pada apendisitis secara dini.
24

Beberapa penulis menekankan bahwa leukosit darah polimorfik merupakan


fitur penting dalam mendiagnosis apendisitis akut. Leukositosis ringan, mulai dari

10.000-18.000 sel/mm3, biasanya terdapat pada pasien apendisitis akut. Namun,


peningkatan jumlah leukosit darah berbeda pada setiap pasien apendisitis.
Beberapa pustaka lain menyebutkan bahwa leukosit darah yang meningkat

>12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari pasien dengan apendisitis akut.

Apabila jumlah leukosit darah meningkat >18.000 sel/mm3 menyebabkan


1,9
kemungkinan terjadinya komplikasi berupa perforasi.

3.9.1.2 Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan
penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi
apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau bakteriuria sebanyak
40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang melebihi 30 sel per lapangan
pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan pandang
4,10
menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.

3.9.2 Radiografi konvensional


Pada foto polos abdomen, meskipun sering digunakan sebagai bagian dari
pemeriksaan umum pada pasien dengan abdomen akut, jarang membantu dalam
mendiagnosis apendisitis akut. Pasien dengan apendisitis akut, sering terdapat
gambaran gas usus abnormal yang non spesifik. Pemeriksaan tambahan radiografi
lainnya yaitu pemeriksaan barium enema dan scan leukosit berlabel radioaktif.
Jika barium enema mengisi pada apendiks vermiformis, diagnosis apendisitis
9
ditiadakan.

3.9.3 Ultrasonografi
25

Ultrasonografi berguna dalam memberikan diferensiasi penyebab nyeri


abdomen akut ginekologi, misalnya dalam mendeteksi massa ovarium.
Ultrasonografi juga dapat membantu dalam mendiagnosis apendisitis perforasi
dengan adanya abses. Apendisitis akut ditandai dengan (1) adanya perbedaan
densitas pada lapisan apendiks vermiformis/hilangnya lapisan normal (target sign);
(2) penebalan dinding apendiks vermiformis; (3) hilangnya kompresibilitas dari
apendiks vermiformis ; (4) peningkatan ekogenitas lemak sekitar (5) adanya
penimbunan cairan. Keadaan apendisitis dengan perforasi ditandai dengan (1)
tebal dinding apendiks vermiformis yang asimetris; (2) cairan bebas
1
intraperitonial, dan (3) abses tunggal atau multipel.

3.10 Diagnosis Banding


Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan
apendisitis, diantaranya:1,4,6
1. Gastroenteritis ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului
rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, hiperperistaltis sering ditemukan, panas
dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan
mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh
hasil positif untuk Rumple Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang
meningkat.
4. Infeksi Panggul, salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis
akut, KET, ruptur kista korpus luteum. Pada pasien dengan salpingitis,
biasanya mengeluh nyeri bilateral pada abdomen bawah dan ditemukan
vaginal discharge serta infeksi urin. USG membantu memvisualisasikan
salpingitis dan KET. Suhu pada salpingitis biasanya lebih tinggi dari pada
apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus.
26

5. Gangguan alat reproduksi perempuan, folikel ovarium yang pecah dapat


memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi.
Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.
6. Meckel’s diverticulitis, sering tumpang tindih dengan appendisitis, namun
pada saat eksplorasi appendiks dalam batas normal
7. Acute Crohn’s ileitis, biasanya diderita oleh pasien dewasa muda yang
memiliki riwayat nyeri yang sering kambuh
8. Ileus obstruktif, nyeri kolik dan muntah, peningkatan bising usus dan ususnya
distensi pada X-ray
9. Perforasi peptic ulcer, onsetnya tiba-tiba
10. Acute cholecystitis
11. Pankreatitis
12. Traktur urogenital: ureteric colic and acute pyelonephritis, urin dan darah
harus dicek dan Testicular torsion
13. Pada Dada: basal pneumonia dapat menyebabkan nyeri abdomen, yang sangat
susah dibedakan, terutama pada anak kecil. Auskultasi dan pemeriksaan X-
ray menunjukkan adanya pneumonia.
14. Sistem nervus sentralis: nyeri yang disebabkan karena herpes zoster pada
segmen ke 11 dan 12, iritasi pada posterior nerve roots pada pasien dengan
spinal disease (tumor invasif atau tuberkulosis) biasanya memiliki gejala
yang mirip dengan appendicitis.

3.11 Manajemen Awal


a. Appendisitis non-komplikasi
Pasien dengan appendisitis non-komplikasi, tindakan operasi merupakan
tatalaksana standar sejak ditemukannya McBurney. Konsep tindakan tanpa operasi
pada appendisitis non-komplikasi berkembang dari 2 pengamatan. Pertama, pasien
berada pada lingkungan di mana tidak memungkinkan dilakukan tingdakan bedah
(di lepas pantai dan daerah ekspedisi), sedangkan pengobatan antibiotik dinyatakan
efektif. Kedua, banyak pasien dengan tanda dan gejala konsisten yang tidak
27

mengikuti pengobatan medis seringkali terjadi resolusi spontan pada penyakitnya.


1,3

b. Appendisitis komplikasi
Appendisitis komplikasi berkaitan dengan perforasi appendisitis yang
berkaitan dengan abses dan phlegmon. Insidensinya sekitar 2 per 10.000 orang dan
memiliki variasi yang sedikit berbeda dari waktu ke waktu. Anak-anak yang berusia
kurang dari 5 tahun dan pasien yang berusia lebih dari 65 tahun menduduki
peringkat teratas untuk insidensi perforasi. Proporsi perforasi meningkat seiring
dengan berapa lama gejalanya. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan
toksik,dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu. 1,3
28

Gambar 3.6. Algoritma tatalaksana abses apendiks

Gambar 3.7. Algoritma tatalaksana appendisitis akut

3.12 Tindakan
Berdasarkan guideline dari SAGES 2010 (Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon), indikasi appendektomi laparoskopi
dengan open appendectomy dibagi sebagai berikut:11
 Appendektomi laparoskopi
o Appendisitis tanpa komplikasi
29

o Appendisitis pada anak-anak


o Appendisitis pada ibu hamil
 Open appendektomi
o Appendisitis perforasi
o Appendisitis pada pasien geriatri
o Appendisitis pada pasien obesitas

a. Open Appendectomy
30

b. Laparoscopi Appendectomy

3.13 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu

37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen
yang kontinyu.4
31

BAB IV
ANALISIS KASUS
32

DAFTAR PUSTAKA

1. Jaffe, B.M., Berger, D.H. The appendix. In Brunicardi, F.C., Andersen, D.K.,
Biiliar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Pollock, R.E, editors. Schwartz’s
principles of surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2015.
2. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendiks. Available from:
http://www.bedahugm.net/tag/appendix (diakses pada tanggal 29 Agustus
2016)
3. Smal, V. 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. 2nd edition. London: Elsevier.
4. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
5. Guyton AC, Hall JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11, Penerbit Buku
Kedokteran EGC,Jakarta, 2007.
6. Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, and Management. 4th edition. London: Elsevier,
389-398.
7. Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery 25th Edition. Edward Arnold Publisher. London. 2008.
8. Craig, S. 2011. Appendicitis Treatment & Management.
9. Ellis H, Calne SR, Watson Chistopher. The 50th Anniversary Edition General
Surgery: Lecture Notes. Willey Blackwel. 2016: 201-204.
10. Crawford, J dan Kumar, V. 2007. Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinal.
In: Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
11. Beuchamp, Evers, dan Maatox. Sabiston Textbookk of Surgery: The Biological
Basis of Modern Surgical Practice 19th Edition. Elsevier: (2012)1278-1291

Anda mungkin juga menyukai