APPENDISITIS
Oleh:
Eka Yulizar, S.Ked 04054821820006
Nurul Lintang Amelia, S.Ked 04084821719235
Puput Eka Sari, S.Ked 04084821719216
Syahnas Ya Rahma, S.Ked 04084821719236
Pembimbing:
dr. H. Yudhi Arimansyah, Sp.B
3
4
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul: Apendisitis
Disusun oleh :
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT atas berkah dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul
“Apendisitis” untuk memenuhi tugas laporan kasus yang merupakan bagian dari
sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya Bagian Bedah Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
H. Yudhi Arimansyah, Sp.B selaku pembimbing yang telah membantu memberikan
ajaran dan masukan sehingga laporan ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini disebabkan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi
perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan laporan ini dapat memberi
manfaat dan pelajaran bagi kita semua.
Penulis
6
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
BAB II STATUS PASIEN ...............................................................................
BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 3
2.1. Anatomi dan Fisiologi Apendiks ................................................... 3
2.2. Definisi .......................................................................................... 5
2.3 Etiologi .......................................................................................... 6
2.4 Epidemiologi.................................................................................. 6
2.5 Klasifikasi ...................................................................................... 7
2.6 Patofisiologi .................................................................................... 8
2.7 Manifestasi Klinis ........................................................................... 10
2.8 Diagnosis ........................................................................................ 13
2.9 Pemeriksaan Penunjang .................................................................. 14
2.10 Diagnosis Banding .......................................................................... 16
2.11 Manajemen Awal ............................................................................ 17
2.12 Tindakan ......................................................................................... 20
2.13 Komplikasi...................................................................................... 21
BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23
7
BAB I
PENDAHULUAN
meningkatkan akurasi diagnosis hingga 90%, namun karena biayanya yang mahal
dan tidak semua unit pelayanan kesehatan memilikinya, pemeriksaan ini jarang
digunakan. Gejala dan tanda apendisitis yang tidak khas akan menyulitkan dokter
dalam menegakkan diagnosis, sehingga dokter akan melakukan pemeriksaan
penunjang untuk menegakkan diagnosis. Meningkatnya jumlah sel darah putih
antara 11.000/mm3 sampai 17.000/mm3 didapatkan pada 80% penderita, tetapi
tidak jelas apakah spesifik untuk appendisitis atau penyakit lain dengan gejala nyeri
abdomen akut.3
Berdasarkan hal tersebut, kemampuan dokter dalam menegakkan diagnosis
apendisitis serta membedakan antara apendisitis akut dan apendisitis perforasi
secara klinis sangat diperlukan, karena keduanya memiliki penanganan yang
berbeda dan berkaitan dengan bahaya komplikasi yang ditimbulkan.
9
BAB II
STATUS PASIEN
2.1. Identifikasi
Nama : Yuni Ariyanto
Tanggal Lahir/usia : 28 Juni 2001/ 17 tahun
Alamat :Dusun 4,Kelurahan Sidoharjo, Kecamatan Tugu
Mulyo, Musi Rawas.
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Pekerjaan : Pelajar
MRS :
Ruangan : Cempaka
Rekam Medik : 0299209
2.2. Anamnesa
Keluhan utama : Nyeri perut kanan bawah sejak 2 hari SMRS
Riwayat perjalanan penyakit
Riwayat penyakit dahulu : Di sangkal
Riwayat penyakit keluarga : Di sangkal
Alvarado Score : 9
2.5. Diagnosis
2.6. Penatalaksanaan
2.7. Prognosis
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Definisi
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendisitis
akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah
rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.6
Apendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam
kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat,
angka kematian cukup tinggi dikarenakan oleh peritonitis dan syok ketika umbai
cacing yang terinfeksi hancur. 4
3.3 Etiologi
Apendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis, dan akibatnya terjadi infeksi.
Apendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang dikatakan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris juga dapat menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E. histolytica.4
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
15
3.4 Epidemiologi
Appendisitis berkembang pada 8,6% laki-laki dan 6,7% perempuan dengan
insidensi terjadi pada dekade kedua dan ketiga masa kehidupan. Insiden apendisitis
paling tinggi pada usia 20-30 tahun, dan jarang ditemukan pada anak usia kurang
dari 2 tahun. Pada remaja dan dewasa muda rasio perbandingan antara laki-laki dan
perempuan sekitar 3 : 2. Setelah usia 25 tahun, rasionya menurun sampai pada usia
pertengahan 30 tahun menjadi seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Apendektomi menurun sejak tahun 1950 di banyak negara. Amerika Serikat meraih
insidensi terendah, sekitar 15 per 10.000 orang pada tahun 1990. Sejak saat itu,
terjadi peningkatan insidensi appendisitis nonperforasi.1
2. Apendisitis Infiltrat
Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.4,7
3. Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus),
biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan
pelvic.4,7
4. Apendisitis Perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.4,7
5. Apendisitis Kronik
17
dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan
apendisitis gangrenosa.4
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, maka dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.3,4
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi
akan membentuk jaringan parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan
dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan
keluhan pada perut kanan bawah. Pada suatu saat organ ini dapat mengalami
peradangan kembali dan dinyatakan mengalami eksaserbasi.4,8
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang
disebabkan oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan
pengamatan epidemiologi bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan serat
dalam makanan yang rendah.6
Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi
mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan
muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal.6
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga
peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan
terjadi.6
19
>1oC (1.8oF) dan denyut nadi normal atau sedikit meningkat. Apabila terjadi
perubahan yang signifikan dari biasanya menunjukkan bahwa komplikasi atau
perforasi telah terjadi atau diagnosis lain harus dipertimbangkan. Perforasi
apendiks vermikularis akan menyebabkan peritonitis purulenta yang di tandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat berupa nyeri tekan dan defans muskuler
yang meliputi seluruh perut, disertai pungtum maksimum di regio iliaka kanan,
20
dan perut menjadi tegang dan kembung. Peristalsis usus dapat menurun sampai
7,9
menghilang akibat adanya ileus paralitik.
Pasien dengan apendisitis biasanya berbaring dengan terlentang, karena
gerakan apa saja dapat meningkatkan rasa sakit. Jika diminta untuk menggerakkan
paha terutama paha kanan pasien akan melakukan dengan perlahan-lahan dan
5
hati-hati.
Jika dilakukan palpasi akan didapatkan nyeri yang terbatas pada regio
iliaka kanan, biasanya di sertai nyeri lepas. Defans muskuler menunjukkan adanya
rangsangan parietal. Tanda rovsing adalah apabila melakukan penekanan pada
perut kiri bawah maka akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Peristalsis
usus sering didapatkan normal tetapi dapat menghilang akibat adanya ileus
7
paralitik yang disebabkan oleh apendisitis perforata.
Uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan
untuk mengetahui letak apendiks vermiformis. Cara melakukan uji psoas yaitu
dengan rangsangan otot psoas melalui hiperekstensi sendi panggul kanan atau
fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Tindakan ini akan
menimbulkan nyeri bila apendiks vermiformis yang meradang menempel di otot
psoas mayor.
Elevated temperature 11
Total Points 10
>12.000 sel/mm3 pada sekitar tiga-perempat dari pasien dengan apendisitis akut.
3.9.1.2 Urinalisis
Sekitar 10% pasien dengan nyeri perut memiliki penyakit saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium urin dapat mengkonfirmasi atau menyingkirkan
penyebab urologi yang menyebabkan nyeri perut. Meskipun proses inflamasi
apendisitis akut dapat menyebabkan piuria, hematuria, atau bakteriuria sebanyak
40% pasien, jumlah eritrosit pada urinalisis yang melebihi 30 sel per lapangan
pandang atau jumlah leukosit yang melebihi 20 sel per lapangan pandang
4,10
menunjukkan terdapatnya gangguan saluran kemih.
3.9.3 Ultrasonografi
25
b. Appendisitis komplikasi
Appendisitis komplikasi berkaitan dengan perforasi appendisitis yang
berkaitan dengan abses dan phlegmon. Insidensinya sekitar 2 per 10.000 orang dan
memiliki variasi yang sedikit berbeda dari waktu ke waktu. Anak-anak yang berusia
kurang dari 5 tahun dan pasien yang berusia lebih dari 65 tahun menduduki
peringkat teratas untuk insidensi perforasi. Proporsi perforasi meningkat seiring
dengan berapa lama gejalanya. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan
nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan
toksik,dan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu. 1,3
28
3.12 Tindakan
Berdasarkan guideline dari SAGES 2010 (Society of American
Gastrointestinal and Endoscopic Surgeon), indikasi appendektomi laparoskopi
dengan open appendectomy dibagi sebagai berikut:11
Appendektomi laparoskopi
o Appendisitis tanpa komplikasi
29
a. Open Appendectomy
30
b. Laparoscopi Appendectomy
3.13 Komplikasi
Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat
berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%
sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara
umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu
37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan abdomen
yang kontinyu.4
31
BAB IV
ANALISIS KASUS
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Jaffe, B.M., Berger, D.H. The appendix. In Brunicardi, F.C., Andersen, D.K.,
Biiliar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Pollock, R.E, editors. Schwartz’s
principles of surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2015.
2. Departemen Bedah UGM. 2010. Apendiks. Available from:
http://www.bedahugm.net/tag/appendix (diakses pada tanggal 29 Agustus
2016)
3. Smal, V. 2008. Surgical Emergencies. In: Dolan, Brian and Holt, Lynda, ed.
Accident & Emergency Theory into Practice. 2nd edition. London: Elsevier.
4. Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, W. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.
Jakarta: EGC.
5. Guyton AC, Hall JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11, Penerbit Buku
Kedokteran EGC,Jakarta, 2007.
6. Burkitt, H.G., Quick, C.R.G., and Reed, J.B. 2007. Appendicitis. In: Essential
Surgery Problems, Diagnosis, and Management. 4th edition. London: Elsevier,
389-398.
7. Norman S., Bulstrode W., O’Connel P.R. Bailey & Love’s Short Practice of
Surgery 25th Edition. Edward Arnold Publisher. London. 2008.
8. Craig, S. 2011. Appendicitis Treatment & Management.
9. Ellis H, Calne SR, Watson Chistopher. The 50th Anniversary Edition General
Surgery: Lecture Notes. Willey Blackwel. 2016: 201-204.
10. Crawford, J dan Kumar, V. 2007. Rongga Mulut dan Saluran Gastrointestinal.
In: Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta: EGC.
11. Beuchamp, Evers, dan Maatox. Sabiston Textbookk of Surgery: The Biological
Basis of Modern Surgical Practice 19th Edition. Elsevier: (2012)1278-1291