Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MID PRAKTEK BANTUAN HUKUM

Analisis Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Penyelesaian


Perkara Pidana Dengan Menggunakan Konsep Bantuan Hukum
Konstitusional

OLEH :

ZAHRN ZUKRI ALYAFIE


H1 A1 12 043

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2015
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT


karena atas pemberian rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Analisis Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Penyelesaian
Perkara Pidana Dengan Menggunakan Konsep Bantuan Hukum
Konstitusional, makalah ini di buat dalam rangka nilai dan tentunya sebagai
bahan informasi untuk para pembaca.
Dalam penyusunan makalah ini saya menyadari bahwa dalam pembahasan
masih banyak terdapat kekurangan baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun
dalam penulisan kalimat. Walaupun demikian saya telah berusaha semaksimal
mungkin supaya dapat mencapai sasaran penulisan makalah.
Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya khususnya
dan para pembaca umumnya.

Kendari, November 2015

Zahren Zukri Alyafie


DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV PEMBAHASAN

1. Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum.


2. Pelayanan Bantuan Hukum Dan Konsep Bantuan Hukum Konstitusional
3. Analisis Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Penyelesaian Perkara
Pidana Dengan Menggunakan Konsep Bantuan Hukum Konstitusional

BAB V PENUTUP

1) Kesimpulan
2) Saran

Daftar Pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum


(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum
Undang - Undang Dasar 1945. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia
adalah Negara hukum. Sebagai negara hukum, Indonesia menerima hukum
sebagai ideologi untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta
kesejahteraan bagi warga negaranya. Konsekuensi dari itu semua adalah
bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia.
Hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup
bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan
ketentraman. Oleh karena itu hukum bekerja dengan cara memberikan
petunjuk tentang tingkah laku dan karena itu pula hukum berupa norma.
Hukum yang berupa norma dikenal dengan sebutan norma hukum, dimana
hukum mengikatkan diri pada masyarakat sebagai tempat bekerjanya
hukum tersebut. Konsekuensi dari dianutnya hukum sebagai ideologi oleh
suatu Negara adalah bahwa hukum mengikat setiap tindakan yang
dilakukan oleh warga negara Indonesia, maka hukum juga wajib
memberikan timbal balik terhadap negara yang menerimanya sebagai
ideologi, dengan cara memperhatikan kebutuhan dan kepentingan-
kepentingan anggota-anggota masyarakat serta memberikan pelayanan
kepada masyarakat.
Penciptaan keadilan dalam masyarakat serta memberikan pelayanan
terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, hukum tidak selalu bisa
memberikan keputusannya dengan segera, hukum membutuhkan waktu
untuk menimbang-nimbang yang bisa memakan waktu lama sekali, guna
mencapai keputusan yang seadil-adilnya dan tidak merugikan masyarakat.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki beberapa macam hukum untuk
mengatur tindakan warga negaranya, antara lain adalah hukum pidana dan
hukum acara pidana. Kedua hukum ini memiliki hubungan yang sangat
erat, karena pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam
pengertian hukum pidana. Hanya saja hukum acara pidana atau yang juga
dikenal dengan sebutan hukum pidana formal lebih tertuju pada ketentuan
yang mengatur bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan
haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Sedangkan hukum
pidana (materiil) lebih tertuju pada peraturan hukum yang menunjukan
perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan pidana apa yang
dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana tersebut.
Dalam suatu negara hukum, proses pembangunan nasional yang terus-
menerus dilaksanakan menimbulkan konsekuensi terhadap terjadinya
proses perubahan dan pembaharuan terhadap seluruh pranata sosial yang
ada, termasuk pranata hukum. Apabila mengkaji hukum dalam kaitannya
dengan pembangunan nasional, maka akan terlihat dengan jelas
keterlibatan hukum secara aktif dan meluas ke dalam bidang-bidang
kehidupan dan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat.
Pelaksanaan pembangunan nasional dibidang hukum khususnya dalam
rangka meningkatkan kesadaran hukum rakyat, menjamin penegakan
hukum dan kepastian hukum, serta pelayanan hukum dilakukan dengan
berbagai upaya diantaranya yaitu pemberian bantuan hukum. Bantuan
hukum merupakan masalah yang terkait dengan hak-hak asasi manusia,
terutama dari segi pelaksanaan pemberian bantuan hukum.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari uraian dalam latar belakang di atas, dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum ?
2. Bagaimana Pelayanan Bantuan Hukum Dan Konsep Bantuan
Hukum Konstitusional ?
3. Bagaimana Analisis Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses
Penyelesaian Perkara Pidana Dengan Menggunakan Konsep
Bantuan Hukum Konstitusional ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan dari
pembuatan makalah, yaitu:
1. Untuk Mengetahui Dan Memahami Pemenuhan Hak Atas Bantuan
Hukum.
2. Untuk Mengetahui Pelayanan Bantuan Hukum Dan Konsep
Bantuan Hukum Konstitusional.
3. Untuk Mengetahui Dan Memahami Analisis Pemberian Bantuan
Hukum Dalam Proses Penyelesaian Perkara Pidana Dengan
Menggunakan Konsep Bantuan Hukum Konstitusional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep bantuan hukum telah ada sejak lama, bahkan sejak berabad-abad
yang lalu. Abdurrahman juga menyatakan bahwa, “Konsepsi tentang bantuan
hukum ini pada dasarnya adalah berasal dari negara-negara Barat yang sudah
mempunyai sejarah cukup lama”.1 Seiring dengan perkembangan hukum dan
pola pikir masyarakat, konsep bantuan hukumpun berkembang dengan berbagai
pemikiran yang menimbulkan berbagai variasi atau jenis bantuan hukum yang
diberikan kepada masyarakat yang tergolong miskin. Perkembangannya, konsep
bantuan hukum semakin diperluas dan dipertegas. Dalam hal ini, banyak para
ahli yang memberikan pandangannya, baik mengenai pengertian bantuan hukum
dan juga mengenai konsep bantuan hukum.
Bantuan hukum yang berkembang di Indonesia pada hakikatnya tidak luput
dari perkembangan bantuan hukum yang terdapat pada negara-negara yang telah
maju. Pengertian bantuan hukum mempunyai ciri dan istilah yang berbeda,
antara lain:
Menurut Adnan Buyung Nasution bantuan hukum adalah2 : Legal aid, yang
berarti pemberian jasa dibidang hukum kepada seseorang yang terlibat dalam
suatu kasus atau perkara:
1) Pemberian jasa bantuan hukum dilakukan dengan cuma-cuma,
2) Bantuan jasa hukum dalam legal aid lebih dikhususkan bagi yang tidak
mampu dalam lapisan masyarakat miskin,
3) Dengan demikian motifasi utama konsep legal aid adalah menegakkan
hukum dengan jalan membela kepentingan hak asasi rakyat kecil yang
tak punya dan buta hukum.

1
Abdurrahman, 1980, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru di
Indonesia, Alumni, Bandung, h. 114
2
Adnan Buyung Nasution, dkk.2007 Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marginal terhadap
Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan. Jakarta: LBH
Jakarta.hlm.13
Istilah bantuan hukum itu sendiri dipergunakan sebagai terjemahan dari dua
istilah yang berbeda yaitu “Legal Aid” dan “legal Assistance”. Istilah Legal Aid
biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pengertian bantuan hukum dalam arti
sempit berupa pemberian jasa jasa di bidang hukum kepada seorang yang terlibat
dalam suatu perkara secara Cuma Cuma/gratis khususnya bagi mereka yang
kurang mampu. Sedangkan pengertian Legal Assistance dipergunakan untuk
menunjukkan pengertian bantuan hukum oleh para Advokat yang
mempergunakan honorarium.3

Bantuan hukum adalah hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa
bayar (pro bono publico) sebagai penjabaran persamaan hak di hadapan hukum.
Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 34 UUD 1945 di mana di dalamnya
ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih
lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) dan hak
untuk di bela Advokat (access to legal counsel) adalah hak asasi manusia yang
perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari
kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.

Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak
terlantar dipelihara oleh negara. Secara ekstensif pasal ini juga berarti negara
bertanggung jawab memberikan jaminan hak ekonomi, sosial, politik, dan
budaya serta hukum bagi fakir miskin, termasuk di dalamnya hak atas bantuan
hukum. Terlebih lagi pasal 28D menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum. International Covenant on Civil and Political
Rights yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2005 pada pasal 14 juga melindungi hak setiap orang untuk mendapatkan
perlakuan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi. Dengan demikian hak

3
Abdurrahman, Aspek aspek bantuan hukum di indonesia, (Yogyakarta: Cendana Press, 1983)., h.
h. 34
mendapatkan bantuan hukum merupakan hak konstitusional bagi masyarakat di
negara ini, tanpa terkecuali juga terhadap masyarakat miskin.4

Pemberian bantuan (pembelaan) hukum bagi masyarakat tidak mampu. Hanya


dapat dilakukan oleh Advokat yang sudah terdaftar pada Pengadilan Tinggi
setempat. Pemberian bantuan hukum tersebut dapat dilakukan melalui :

 Bantuan (pembelaan) hukum yang dilakukan oleh Advokat secara


perorangan;
 Bantuan (pembelaan) hukum yang dilakukan oleh Advokat secara
kelembagaan melalui Lembaga Bantuan Hukum setempat.

4
Todung Mulya Lubis,” Gerakan Bantuan Hukum Di Indonesia :Sebuah Studi Awal” dalam
Abdul Hakim Garuda Nusantara Dan Mulayan W. Kusumah, Beberapa Pemikiran Mengenai
Bantuan Hukum: Kearah Bantuan Hukum Struktural, Alumni, Bandung, hlm 5
BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah cara-cara mengenai bagaimana suatu penelitian


itu akan dilakukan dengan cara-cara tertentu yang dibenarkan, baik mengenai tata
cara pengumpulan data, pengolahan data maupun analisis data serta penulisan
laporan penelitian.
Adapun metode yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1) Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian
normatif atau studi kepustakaan yaitu penelitian hukum yang dilakukan
dengan cara meneliti data sekunder atau bahan-bahan pustaka yang terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier.5
Bahan-bahan hukum tersebut kemudian disusun secara sistematis, dikaji
dan kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah
yang diteliti.
2) Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan Penulis adalah bersifat deskriptif
kualitatif, yakni penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin
dengan menggambarkan gejala tertentu. Suatu penelitian diskriptif
dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai
manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya.6 Berdasarkan pengertian di
atas metode penelitian jenis ini dimaksudkan untuk menggambarkan
semua data yang diperoleh yang berkaitan dengan judul penelitian secara
jelas dan rinci yang kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan
yang ada. Dalam penelitian ini, Penulis ingin memperoleh gambaran yang

5
Soerjono Soekanto, 1986:52
6
Soerjono Soekanto, 1986:10
lengkap dan jelas tentang Analisis Kasus Pidana Dengan Menggunakan
Konsep Bantuan Hukum Konstitusional.
3) Jenis Data
Jenis data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa
data sekunder , yaitu merupakan data yang diperoleh peneliti dari
penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang merupakan hasil penelitian
dan pengolahan orang lain yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku
atau dokumen-dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti oleh penulis.

Teknik Pengumpulan
Teknik pengumpulan yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan teknik
pengumpulan dengan mempelajari, membaca, dan mencatat buku-buku, literatur,
catatan-catatan, peraturan perundangundangan, serta artikel-artikel penting dari
media internet dan erat kaitannya dengan pokok masalah yang digunakan untuk
menyusun penulisan hukum ini yang kemudian dikategorikan menurut
pengelompokan yang tepat.

Bahan Hukum
Sumber data merupakan tempat dimana data dari suatu penelitian diperoleh.
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah sumber data sekunder,
yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat
dan mendasari bahan hukum lainnya yang berhubungan erat dengan
permasalahan yang diteliti. Disini penulis menggunakan bahan hukum
primer yang terdiri Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 7(KUHP).
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua
publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

7
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
resmi.8 Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku yang terkait dengan
masalah yang dikaji, hasil karya dari kalangan hukum, internet.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus (hukum) dan lain-lain.

Analisis bahan hukum

Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil


penelitian menjadi suatu laporan. Analisis data adalah proses pengorganisasian
dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian dasar, sehingga akan dapat
ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh
data.9 Teknis analisis data yang digunakan oleh penulis dalam penulisan hukum
ini adalah teknis analisis data kualitatif, yaitu denganmengumpulkan data,
mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan
masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Analisis data
merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian.

8
Peter Mahmud Marzuki, 2007:141
9
Lexy J. Moleong, 2002:103
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum.

Undang-undang Bantuan hukum muncul sebagai konsekuensi negara


hukum yang dianut Indonesia. Bantuan hukum adalah tanggung jawab yang
harus dipenuhi dalam sebuah negara yang menghendaki persamaan dimuka
hukum dan pemerintahan bagi warganya. Terlebih di Negara Indonesia yang
warga negaranya memiliki tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi yang tidak
merata yang berimbas pada kemampuan mereka mengakses keadilan.

Hak Atas bantuan hukum adalah hak asasi manusia yang dijamin dalam
konstitusi. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya ketika
memutuskan Judicial Review UU Advokat menyebutkan bahwa UUD 1945,
Pasal 1 ayat (3), secara tegas menyatakan Indonesia adalah negara hukum
yang dengan demikian berarti bahwa hak untuk mendapatkan bantuan hukum,
sebagai bagian dari hak asasi manusia, harus dianggap sebagai hak
konstitusional warga negara, kendatipun undang-undang dasar tidak secara
eksplisit mengatur atau menyatakannya, dan oleh karena itu negara wajib
menjamin pemenuhannya.

Hanya saja, selama ini tanggung jawab negara untuk memenuhi hak atas
bantuan hukum kepada masyarakat miskin dan marginal dilakukan oleh
masyarakat sipil yang berprofesi sebagai advokat publik yang tergabung
dalam organisasi Bantuan Hukum maupun oleh para advokat yang
menjalankan fungsi probono publico. Mengingat, selama ini negara memilih
absen untuk menjalankan kewajiban hukumnya sebagai pemegang
tanggungjawab pemenuhan HAM untuk memenuhi hak Bantuan Hukum bagi
warga negaranya.
Dalam negara hukum, bantuan hukum menjadi pijakan awal untuk
memperkuat masyarakat miskin dan marginal agar dapat berdaya mengakses
hak-hak dasar lainnya. Terkait proses hukum di peradilan, jaminan hak atas
bantuan hukum adalah sarana untuk terwujudnya masyarakat yang mampu
memperoleh peradilan yang adil dan mengakses keadilan. 10 Meskipun
memang, bantuan hukum bukanlah menjadi satu sarana tunggal. Masih
terdapat subsistem hukum lain yang mempengaruhi dan menentukan yakni
struktur hukum seperti lembaga-lembaga pemerintah dan aparat birokrasi
penegak hukum serta budaya hukum masyarakat yang menjadi sarana lain
yang harus dipenuhi juga untuk mewujudkan keadilan. Tentunya struktur, dan
budaya hukum yang mendorong pemenuhan hak atas keadilan bagi
masyarakat bukan struktur dan budaya hukum yang akrab dengan korupsi,
kolusi, nepostisme yang justru menjauhkan masyarakat dari akses menggapai
keadilan. Oleh karenanya, bersamaan dengan akses pemenuhan bantuan
hukum selain substansi hukum jaminan hak atas bantuan hukum, struktur
hukum dan budaya hukum harus didorong untuk dapat menjamin pemenuhan
hak atas keadilan bagi masyarakat.

Meskipun demikian, disamping persoalan diatas, budaya hukum terutama


kesadaran masyarakat akan hak-hak yang dimilikinya juga masih rendah.
Disinilah letak bantuan hukum memagang peranan penting untuk
menumbuhkan kesadaran masyarakat akan hak-haknya sebagai awal adanya
upaya hukum.

Berdasarkan situasi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya


UU Bantuan Hukum di terbitkan, untuk lebih menjamin pelaksanaan Hak atas
bantuan Hukum melalui UU advokat dan UU Kekuasaan Kehakiman yang
selama ini kurang memadai guna memastikan pemenuhan akses keadilan
kepada masyarakat dan jaminan persamaan dimuka hukum bagi masyarakat

10
Bantuan hukum merupakan pondasi bagi dinikmatinya hak-hak lainnya,termasuk hak atas
peradilan yang adil sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 11, paragraf 1, Deklarasi Universal
tentang Hak-hak Asasi Manusia,
miskin dan marginal . Pengaturan tersebut untuk melengkapi bukan
menghapus konsep Probono Publico yang telah diterapkan dengan konsep
Legal Aid. Pengaturan tanggung jawab negara dalam Bantuan Hukum ini
menunjukkan bahwa pemenuhan Hak Atas Bantuan Hukum pada dasarnya
adalah hak konstitusional yang pemenuhannya adalah tanggung Jawab Negara
yang tidak lain adalah untuk menjawab realitas kebutuhan Bantuan Hukum
bagi masyarakat.

2. Pelayanan Bantuan Hukum Dan Konsep Bantuan Hukum Konstitusional.

Pelayanan bantuan hukum Pada tingkatan pelaksanaanya Bantuan Hukum


diterjemahkan dengan aktivitas-aktivitas, seperti memberikan bantuan hukum,
mendidik masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya dan mengadakan
pembaharuan hukum dan perbaikan pelaksanaan hukum. Dan pengadilan
menjadi panggung untuk menyuarakan nilai-nilai yang diperjuangkan. Melalui
proses-proses persidangan, masyarakat dan aparat penegak hukum dididik
secara langsung. Maka tidak mengherankan, jika dilakukan pemilihan dan
pemilahan terhadap kasus-kasus yang ditangani melalui pengadilan.

Subyek pemberian bantuan hukum adalah lapisan masyarakat yang buta


huruf atau berpendidikan rendah atau yang tidak mengetahui dan menyadari
hak-haknya sebagai subyek hukum karena kedudukan sosial dan ekonomi
serta akibat tekanan-tekanan dari yang lebih kuat dan tidak mempunyai
keberanian/kemampuan untuk memperjuangkan hak-haknya. Atau biasa
disebut dengan ”Miskin” dan ”Buta Hukum”.

Kasus hanya menjadi entry point untuk mendorong perubahan hukum.


Impak lain selain selesainya kasus yang ditangani, dalam Pola Dasar Bantuan
Hukum dalam Rakernas 1986 , ditetapkan sebagai berikut :11

11
Pola Dasar Bantuan Hukum, rancangan naskah 1 dalam Rakernas LBH se Indonesia,
Yogyakarta, 27-28 Oktober1986, halaman 13
a. Berubahnya secara kualitatif orang atau kelompok orang yang menjadi
penerima bantuan hukum. Mereka dapat melihat kasus tersebut tidak
hanya sebagai masalah yang perlu dipecahkan, akan tetapi juga mereka
melihat kasus ini sebagai gejala yang menunjukkan posisinya dalam
kesatuan sosial dimana dia hidup. Juga kasus itu dapat menunjukkan
sejauh mana kepentingannya (bukan kepentingan pribadi), tetapi
kepentingan kelompoknya sudah atau belum terlindungi dalam peraturan
perundang-undangan, mekanisme-mekanisme apa saja yang menyebabkan
kesulitan untuk memperjuangkannya kasusnya. Bersamaan dengan
terjadinya proses pemahaman terjadi pula proses pemikiran untuk
mengupayakan perbaikan nasib.
b. Dengan cara melihat kasus yang lebih komprehensif dan mempelajari
posisi penerima bantuan hukum dalam hubungannya dengan sistem hukum
yang ada, maka dalam setiap kasus yang diterima dapat menjadi bahan
untuk dikembangkan dalam bentuk pembinaan publik opini, diskusi
ilmiah, bahan masukan untuk pengambilan keputusan. Ini merupakan
bagian dari proses penyadaran dan merupakan salah satu dasar penyusunan
program.
c. Merangsang minat belajar kelompok sasaran baik untuk memahami
kepentingan kelompoknya, tetapi juga menumbuhkan keinginan untuk
mengupayakan terpenuhinya kebutuhan mereka melalui cara-cara yang
tidak bertentangan dengan undang-undang.

Masukan-masukan dari pengalaman empirik tersebut diarahkan untuk


mengembangkan pemikiran hukum dalam kerangka pembaharuan hukum.
Dan untuk hal ini, LBH Jakarta mencoba mengemas pola ini melalui diskusi
yang diberi nama Strategic Impact Litigation Forum (SILF).

Selain itu, proses persidangan tidak hanya ditujukan untuk mendidik dan
membangun kesadaran kritis pencari keadilan, namun menjadi alat untuk
mendidik dan mengontrol prilaku aparat penegak hukum. Dalam pilihan
menggunakan proses di pengadilan, kekuatan masyarakat dan tim kampanye
untuk mengatur ritme publikasi menjadi titik terpenting dalam BHS.
Disamping organisasi rakyat yang kuat, dukungan media massa, konsolidasi
dengan elemen masyarakat sipil dan dukungan kalangan intelektual menjadi
hal yang mutlak.

Atas dasar itu, secara pribadi penulis menolak jika Lembaga Bantuan
Hukum menjadi “pemadam kebakaran”, dimana Lembaga Bantuan Hukum
hanya ditempatkan sebagai lawyer di persidangan. Walau disadari telah
banyak Lembaga Sosial Masyarakat yang melakukan pengorganisasian dan
pendidikan terhadap masayarakat, dan tuntutan Lembaga Bantuan Hukum
kembali ke fungsinya di bidang litigasi. Namun ketika pola yang dibangun
berbeda, maka proses di persidangan tidak akan membawa perubahan
sebagaimana diharapkan. Karena pemilihan pengadilan sebagai alat dalam
pemberian bantuan hukum utama waktu itu, harus diletakkan dalam konteks
masa itu di mana kebebasan mengeluarkan pendapat,berkumpul dan
berorganisasi serta hak-hak dasar lainnya tidak diakui, dan advokat
mempunyai imunitas di dalam ruang-ruang pengadilan untuk menyampaikan
itu. Sehingga harus dicari strategi baru dalam merelasikan antara penggunaan
layanan bantuan hukum, pendidikan hukum, dalam mencapai suatu susunan
hukum baru yang dijanjikan oleh konstitusi.

Konsep bantuan hukum konstitusional merupakan bantuan hukum untuk


rakyat miskin yang dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih
luas seperti hal-hal sebagai berikut :
a) Menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum ;
b) Penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai
sendi utama bagi tegaknya negara hukum.
c) Sifat dari konsep bantuan hukum konstitusional ini lebih aktif dalam
hal mana bantuan hukum tidak hanya diberikan secara individual saja
namun juga diberikan pula kepada kelompok-kelompok masyarakat
secara kolektif.
d) Metode pendekatan yang dilakukan selain menggunakan metode
formal legal juga melalui mekanisme politik dan negosiasi.
e) Bentuk dari adanya kegiatan dan aktifitas seperti kampanye
pengahpusan ketentuan hukum yang membatasi ruang gerak bagi
partisipasi aktif rakyat miskin, pengawasan terhadap birokrasi
pemerintah dan adanya pendidikan hukum bagi masyarakat merupakan
bagian yang esensial dalam konsep bantuan hukum konstitusional.

Konsep bantuan hukum konstitusional lebih diilhami oleh pemikiran


negara hukum (rule of law), yang unsur-unsurnya antara lain hukum dijadikan
panglima (supreme of law) dan penghormatan hak aAasi manusia. Rule of law
mewarnai aktivitas-aktivitas bantuan hukum konstitusional, yang berupa
Penyadaran hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek hukum dan Penegakan
dan pengembangan nilai-nilai HAM sebagai sendi utama tegaknya negara
hukum.
3. Analisis Pemberian Bantuan Hukum Dalam Proses Penyelesaian Perkara
Pidana Dengan Menggunakan Konsep Bantuan Hukum Konstitusional.

Dalam proses peradilan pidana, baik yang menyangkut hukum material


dan formil, dikenal asas-asas yang bertujuan untuk mendudukkan hukum pada
tempat yang sebenarnya. Untuk itu, ada ketentuan-ketentuan hukum dalam
UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang wajib dipenuhi
ketika seseorang harus didakwa dan dihukum melalui Pengadilan, misalnya :12

1. Pasal 6 (1) : Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan


selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang (Nullum delictum
sine praevia lege).
2. Pasal 6 (2) : Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila
pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang,

12
UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung
jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
3. Pasal 8 : Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dan/atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum
ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Presumption of innocense).
4. Pasal 37 : Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh
bantuan hukum.

Berdasarkan asas-asas hukum tersebut di atas, dalam hubungannya dengan


ketentuan Pasal 56 ayat (1) dan (2) KUHP, maka Program Bantuan Hukum
bagi Masyarakat Tidak mampu mempunyai arti penting bagi terselenggara dan
terpeliharanya prinsip-prinsip hukum dalam proses peradilan pidana.

Sebagai suatu cabang ilmu hukum, hukum pidana berfungsi mengatur


kehidupan masyarakat, menyelenggarakan tata dalam masyarakat, di samping
itu ada fungsi khusus, yaitu melindungi kepentingan hukum terhadap
perbuatan pelanggaran dengan sanksi pidana. Hukum pidana berkaitan erat
dengan hal yang sangat asasi dalam kehidupan manusia, karena sanksinya
yang tajam melebihi sanksi hukum yang lain. Sanksi hukum pidana dapat
menimbulkan penderitaan dengan suatu dalih yang diakui hukum, yaitu untuk
mempertahankan norma-norma hukum yang dilalui masyarakat. Karena
sanksinya dapat menimbulkan penderitaan tersebut, maka pengenaan suatu
pidana harus didasarkan putusan yang benar-benar cermat, teliti dan benar.
Putusan tersebut tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada hukum, tetapi
juga terhadapan masyarakat dan tuhan. Disinilah salah satu peranan pembela
dapat dibaca, dan bersama-sama penegak hukum yang lain, yaitu jaksa, hakim,
dan polisi wajib mewujudkan cita-cita dan tujuan suci hukum pidana.
Kedudukan dan peranan pembela sebagaimana diatur dalam kitab Undang -
Undang Hukum Acara Pidana berkaitan erat dengan pandangan tentang
kedudukan tersangka atau terdakwa dalam proses pradilan pidana.
Bangsa Indonesia dengan Pancasilanya, telah menciptakan Kitab Undang -
Undang Hukum Acara Pidana, nilai-nilai Pancasila tercermin dalam
bagaimana pandangan bangsa Indonesia terhadap kedudukan tersangka atau
terdakwa dan peranan pembela dalam mendampingi tersangka atau terdakwa
untuk memberikan bantuan hukum dalam proses peradilan dan bersama-sama
penegak hukum yang lain menegakan hukum dan kebenaran. Bahwa ini
menjadi hak setiap orang untuk mendapat perlakuan dan perlindungan yang
sama oleh hukum dan undang-undang, maka untuk setiap pelanggaran hukum
yang dituduhkan kepadanya, dan berhak pula untuk mendapat hukum yang
diperlukan sesuai dengan azas negara hukum. Maka dalam pembahasan ini,
peranan pembela berkaitan dengan hak-hak tersangka atau terdakwa dalam
pemeriksaan pendahuluan sampai ke pengadilan, berkaitan pula dengan
pandangan tentang hak-hak tersangka atau terdakwa yang perlu dilindungi.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di negara Indonesia, setiap insan yang
hidup dalam negara hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan bantuan hukum dari para
pembela atas penasihat hukum bilamana terlibat dalam suatu perkara. Hak
tersebut dimiliki oleh tersangka atau terdakwa untuk setiap tahapan
pemeriksaan yaitu pada saat ditangkap dan atau ditahan, pada saat sedang
dilakukan penyidikan maupun pada saat terdakwa dituntut di muka
pengadilan. Menurut hukum, masalah tentang bantuan hukum di Negara
Indonesia adalah merupakan masalah “hak” yang merupakan sebagian
daripada hak-hak kemanusian yang wajib dihormati dan dihargai oleh
siapapun termasuk dari pihak penguasa. Mengenai pengaturan hak-hak
tersangka dan terdakwa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
13
Pidana dalam bab VI, pasal 50 sampai dengan pasal 68 dengan
menggunakan pendekatan asas keseimbangan, keselarasan, keserasian dimana
satu pihak memberikan hak kepada tersangka atau terdakwa.

13
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam bab VI, pasal 50 sampai dengan pasal 68
Terwujudnya hukum di dalam suatu negara perlu diupayakan agar adanya
substansi aturan yang baik dan dapat diterima masyarakat di dalam suatu
negara dan tidak menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat, selain
substansi peraturan yang baik, perlu juga adanya penegak hukum yang
profesional dan berdasarkan substansi hukum yang baik serta adanya
kesadaran hukum masyarakat yang meliputi pengetahuan tentang hukum,
penghayatan fungsi hukum dan ketaatan terhadap hukum mempunyai peranan
yang besar bagi keberhasilan penegakan dan pelaksanaan suatu peraturan
hukum. Semakin tinggi tingkat kesadaran hukum masyarakat akan suatu
peraturan hukum, semakin besar menunjang keberhasilan penegakan dan
pelaksanaan peraturan hukum itu. Oleh karena itu, jika menginginkan
keberhasilan dalam pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
maka harus adanya substansi hukum yang baik, penegak hukum yang
profesional serta adanya kesadaran hukum masyarakat yang mutlak harus
dilaksanakan. Berikut ini peran Lembaga Bantuan Hukum dalam menjaga dan
atau membantu di dalam perkara pidana sesuai dengan ketentuan garis besar
tentang hak-hak tersangka/terdakwa pada pemeriksaan pendahuluan menurut
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 14:
1) Tersangka baik yang ditangkap, ditahan, dituntut dan dihadapkan pada
sidang pengadilan atau tidak, berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai
ada putusan pegadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap (penjelasan umum Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana angka 3 huruf c). Hak tersangka ini merupakan pencerminan
hak azasi manusia yang terpenting dalam pemeriksaan perkara pidana.
2) Tersangka yang terhadap dirinya akan dilakukan penangkapan oleh
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia berhak menanyakan dan
melihat surat perintah penangkapan dan uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. Surat perintah
penangkapan tersebut dibuat oleh pejabat Kepolisian Republik Indonesia
yang berwenang dalam melakukan penyidikan di daerah .

14
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Tersangka yang terhadap dirinya akan dilakukan penahanan atau
penahanan lanjutan oleh penyidik atau penyidik pembantu atau penuntut
umum berhak untuk menanyakan dan melihat surat perintah penahanan
atau penahanan lanjutan terhadap dirinya yang memuat identitas tersangka,
alasan penahanan dan uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia ditahan.
4) Tersangka berhak mengajukan keberatan atas penahanan jenis penahanan
terhadap dirinya kepada penyidik yang melakukan penahanan tersebut.
Apabila dalam waktu 3 (tiga) hari permintaan dalam keberatan tersebut
belum dikabulkan oleh penyidik yang bersangkutan, maka tersangka
berhak mengajukan keberatan tersebut kepada penyidik atau instansi yang
bersangkutan dengan disertai alasan. Penyidik atau atasan penyidik dapat
mengabulkan permintaan tersebut.
5) Tersangka, (atau melalui penasihat hukumnya) berhak untuk memohon
kepada Pengadilan Negeri setempat agar mengadakan prapradilan untuk
memeriksa dan memutuskan sah atau tidaknya penangkapan dan atau
penahanan terhadap dirinya.
6) Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan
selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum, penuntut umum
kemudian segera mengajukan perkaranya ke pengadilan dan pengadilan
segera mengadili.Dalam hal tersangka ditahan, dalam waktu 1 (satu) hari
setelah perintah penahanan itu dijalankan, ia harus mulai diperiksa oleh
penyidik. Diberikannya hak kepada tersangka atau terdakwa dalam pasal
ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan lamanya proses pemeriksaan
seseorang yang disangka melakukan tindak pidana, terutama mereka yang
dikenakan penahanan, jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan,
sehingga dirasakan tidak adanya kepastian hukum, adanya perlakuan
sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu juga untuk mewujudkan
peradilan yang dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Dengan adanya
ketentuan tersebut, maka tersangka atau terdakwa terjamin hak-haknya
untuk segera diperiksa oleh penyidik. Setelah penyidik selesai
mengadakan pemeriksaan, maka penyidik segera menyerahkan berkas
perkaranya kepada penuntut umum, setelah penuntut umum melakukan
penelitian, maka berkas perkara tersebut diajukan ke Pengadilan dan
terdakwa segera diadili.
7) Tersangka untuk mempersiapkan pembelaan hak untuk diberitahukuan
dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti oleh apa yang disangkakan
kepadanya dalam waktu pemeriksaan dimulai. Dengan diketahui serta
dimengerti oleh orang yang disangka melakukan tindak pidana tentang
perbuatan apa yang sebenarnya disangka telah dilakukan olehnya, maka ia
telah merasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan persiapan dalam
usaha pembelaan. Dengan demikian akan diketahui berat ringannya
sangkaan terhadap dirinya sehingga selanjutnya akan dapat
mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang dibutuhkan, misalnya
perlu atau tidaknya mengusahakan bantuan hukum untuk pembelaan
tersebut.
8) Tersangka pada tingkat penyidkian berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik, tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk
apapun juga. Tersangka tidak dibebani pembuktian. Hak tersangka ini
sesuai dengan tujuan dalam pemeriksaan perkara pidana yaitu mencari
kebenaran materil. Hak tersangka ini dalam pengertiannya memberikan
keterangan tanpa tekanan atau paksaan apapun, sehingga tersangka atau
terdakwa bebas dari rasa takut atau bebas dari pengaruh pihak lain.
9) Tersangka setiap waktu berhak untuk mendapat juru bahasa. Hal ini sangat
penting, mengingat tidak semua tersangka mengerti bahasa Indonesia
dengan baik, terutama orang asing, sehingga mereka tidak mengerti apa
yang disangkakan kepadanya.
10) Tersagka berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasihat hukum (selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan), dan memilih sendiri penasihat hukumnya. Untuk itu
tersangka yang dikenakan penahanan berhak menghubungi penasehat
hukumnya. Tersangka yang disangka melakukan tindak pidana yang
diancam pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih dan bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam pidana lima tahun atau lebih
yang tidak mempunyai penasihat hukumnya sendiri, berhak untuk
mendapatkan bantuan dengan Cuma-cuma dari penasihat hukum yang
ditunjuk oleh pejabat yang bersangkutan. Untuk kelancaran pelaksanaan
bantuan hukum ini, tersangka berhak mengirim surat kepada penasihat
hukumnya pada setiap tingkat pemeriksaan dan pada setiap waktu untuk
kepentingan pembelaan perkaranya.
11) Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan
tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses pradilan, kepada keluarganya atau orang
lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain
yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka untuk mendapatkan bantuan
hukum atau jaminan bagi penangguhannya.
12) Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan
dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan
tersangka guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan
ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum, dan juga dapat melalui
perantaraan penasihat hukumnya dalam hal tidak ada hubungannya dengan
perkara tersangka untuk kepentingan pekerjaan atau kepentingan
kekeluargaan , serta tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan
menerima kunjungan dari rohaniawan dan juga kunjungan dokter
pribadinya untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya
dengan proses perkara maupun tidak.
13) Tersangka atau terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang
terbuka untuk umum dan berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya.
14) Tersangka atau penuntut umum berhak meminta Banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat.
15) Tersangka berhak menuntut ganti rugi kerugian dan atau rehabilitasi
karena ditangkap, ditahan, dituntut atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan melalui hakim prapradilan.

Selain menjaga hak-hak tersangka dan terdakwa sesuai dengan apa yang
diatur dalam KUHAP, peran Lembaga Bantuan Hukum juga membantu dalam
penyelesaian perkara sampai di tingkat upaya hukum luar biasa untuk menjaga
agar tidak adanya penyimpangan yang dilakukan oknum-oknum di dalam
setiap tingkat pemeriksaan di dalam system peradilan pidana.
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1) pada dasarnya UU Bantuan Hukum di terbitkan, untuk lebih
menjamin pelaksanaan Hak atas bantuan Hukum melalui UU
advokat dan UU Kekuasaan Kehakiman yang selama ini kurang
memadai guna memastikan pemenuhan akses keadilan kepada
masyarakat dan jaminan persamaan dimuka hukum bagi
masyarakat miskin dan marginal . Pengaturan tersebut untuk
melengkapi bukan menghapus konsep Probono Publico yang telah
diterapkan dengan konsep Legal Aid. Pengaturan tanggung jawab
negara dalam Bantuan Hukum ini menunjukkan bahwa pemenuhan
Hak Atas Bantuan Hukum pada dasarnya adalah hak
konstitusional yang pemenuhannya adalah tanggung Jawab Negara
yang tidak lain adalah untuk menjawab realitas kebutuhan Bantuan
Hukum bagi masyarakat.
2) Pelayanan Bantuan Hukum Dan Konsep Bantuan Hukum
Konstitusional pada umumnya bantuan hukum untuk rakyat miskin
yang dilakukan dalam kerangka usaha dan tujuan yang lebih luas,
seperti :
a. menyadarkan hak-hak masyarakat miskin sebagai subyek
hukum,
b. penegakan dan pengembangan nilai-nilai hak asasi manusia
sebagai sendi utama bagi tegaknya negara hukum.

Sifat bantuan hukum konstitusional lebih aktif, di mana bantuan


hukum diberikan tidak saja secara individual akan tetapi juga
kepada kelompok masyarakat secara kolektif
3) Pada dasarnya bila dilihat dari segi yuridis normatif, KUHAP
secara jelas telah mengatur tentang jaminan perlindungan hak asasi
manusia khususnya bagi tersangka yang terindikasi melakukan
tindak pidana kejahatan, khususnya pada proses pemeriksaan.
Kewenanangan pihak penyidik cukup besar juga diimbangi dengan
pemberian batasan - batasan kewenangan dan ketentuan prosedur
tindakan yang cukup kuat. Pembatasan kewenangan tersebut secara
langsung sebenarnya berfungsi juga untuk melindungi kepentingan
pihak tersangka dari kemungkinan penyalahgunaan wewenang
yang dapat melanggar hak asasi tersangka. Namun pada
penerapannya masih ditemukan tidak terjaminnya perlindungan
hukum bagi tersangka.
B. SARAN
1) Agar pemberian Bantuan Hukum dapat lebih maksimal maka RUU
Bantuan Hukum yang sedang di bahas saat ini agar segera
diundangkan
2) Sosialisasi mengenai bantuan hukum harus lebih ditingkatkan
terutama bagi mereka yang sedang mengalami masalah pidana
sosialisasi ini hendaknya dilakukan petugas Rutan, Polisi Jaksa
maupun hakim
3) Prosedur untuk mendapatkan bantuan hukum bagi orang yang tidak
mampu hendaknya dipermudah sehingga dana bantuan hukum
dapat tersalur dengan maksimal. Demikin juga besar dana bantuan
Hukum untuk setiap kasus hendaknya ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, 1980, Pembaharuan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Pidana Baru di
Indonesia, Alumni, Bandung.

Abdurrahman, Aspek aspek bantuan hukum di indonesia, (Yogyakarta: Cendana Press, 1983)

Adnan Buyung Nasution, dkk.2007 Bantuan Hukum Akses Masyarakat Marginal terhadap
Keadilan, Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan. Jakarta: LBH
Jakarta

Todung Mulya Lubis,” Gerakan Bantuan Hukum Di Indonesia :Sebuah Studi Awal” dalam Abdul
Hakim Garuda Nusantara Dan Mulayan W. Kusumah, Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan
Hukum: Kearah Bantuan Hukum Struktural, Alumni, Bandung,

Harahap, M. Yahya harahap, Pembahasan Permasalahan dan penerapan KUHAP,


Penyidik dan penuntut, cet. Ke-5, Jakarta: Penerbit Sinar Grafik, 2003.

DASAR HUKUM

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Anda mungkin juga menyukai