Anda di halaman 1dari 22

BENCANA ALAM SEBAGAI MOMENTUM

REVITALISASI KETANGGUHAN BANGSA

Yang saya hormati,


Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta,
Pimpinan dan anggota Majelis Wali Amanat,
Pimpinan dan anggota Senat Akademik,
Pimpinan dan anggota Majelis Guru Besar,
Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor,
Pengurus Pusat dan Pengurus Daerah KAGAMA,
Para pejabat sipil dan militer,
Para relawan Merapi,
Segenap sitivas akademika Universitas Gadjah Mada,
Para tamu undangan dan hadirin yang saya muliakan.

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wa Barokatuh


Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.

Puji syukur marilah kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang


atas rahmat dan karunia-Nya pada hari ini kita diberikan kesehatan
dan kesempatan untuk memperingati Dies Natalis Universitas Gadjah
Mada yang ke 61. Adalah sebuah kehormatan bagi kami untuk
menyiapkan materi dan membacakan pidato Dies ini.
Sebagaimana kita ketahui dan rasakan, dalam beberapa
dasawarsa terakhir ini masyarakat dunia, Indonesia pada khususnya,
terus menerus dilanda bencana alam. Data yang dikumpulkan EM-
DAT menunjukkan peningkatan kejadian bencana alam selama 3
dasawarsa terahir mencapai hampir 350%. Dalam laporan CRED
(2009), selama tahun 2008 terjadi 354 kali bencana alam, jumlah
tersebut lebih rendah dari rerata selama tahun 2000-2007 yang
mencapai 397 bencana/tahun. Namun demikian jumlah korban dan
kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dari rerata tahun-tahun
sebelumnya. Lebih dari 230.000 manusia meninggal dunia (tiga kali
lipat rerata 2000-2007), 214 juta manusia terkena dampak bencana
serta kehilangan harta benda lebih dari 190 milyar US dolar (dua kali
2

lipat rerata 8 tahun sebelumnya).


Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa Asia masih menjadi
benua yang paling banyak mengalami bencana alam, dengan 9 dari 10
negara yang terbanyak mengalami bencana. Indonesia menempati
urutan ke empat setelah Cina, Amerika Serikat, dan Filipina. Pada
skala nasional, beberapa bencana alam yang cukup besar terjadi dalam
satu dasawarsa terahir ini dimulai dari tsunami di Aceh, gempa
tektonik di Bantul dan sekitarnya, gempa di Sumatera Barat, banjir di
Wasior, tsunami di Mentawai, sampai letusan Gunung Merapi yang
terjadi bulan lalu.
Pada peringatan hari ulang tahun UGM yang ke 61 ini, marilah
kita doakan semoga para korban becana yang telah tiada diberi tempat
yang mulia di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Semoga mereka yang
selamat dari bencana diberi kekuatan dan kemudahan dalam
menghadapi musibah, serta derajad kehidupan yang lebih baik
dibanding sebelumnya.
Sebagai bagian dari penghormatan, kepedulian dan tanggung
jawab Universitas Gadjah Mada kepada para korban bencana alam dan
masyarakat pada umumnya, pidato Dies UGM kali ini mengambil
tajuk bencana alam. Pilihan tema ini bukan dimaksudkan untuk
meratapi bencana yang telah menimpa kita, tetapi sebagai momentum
untuk belajar agar bisa lebih tangguh mengadapi segala macam krisis
dalam berbagai bidang.
Bencana alam adalah sebuah musibah, sebuah cobaan yang
teramat berat bagi umat manusia. Tetapi, sebagaimana telah diajarkan
oleh agama, di balik musibah itu ada hikmah dan bahkan anugerah.
Adalah diri kita sendiri yang bisa menjadikan musibah tersebut hanya
berhenti sebagai musibah, ataukah kita jadikan momentum untuk
menggaet hikmah dan anugerah. Atas pertimbangan tersebut, dalam
kesempatan yang sangat berharga ini kami bermaksud
menyumbangkan pemikiran tentang:

“Bencana Alam Sebagai Momentum Revitalisasi


Ketangguhan Bangsa”.

Hadirin yang berbahagia,


3

Kita semua menyadari bahwa bencana alam merupakan


peristiwa alam yang dahsyat dan sering membawa tragedi dan
penderitaan besar bagi umat manusia. Energi luar biasa yang dilepas
oleh alam bisa memporak-porandakan hasil jerih payah manusia
selama puluhan tahun dan menelan banyak korban jiwa, bahkan
mengubur satu peradaban manusia dalam waktu singkat. Bencana
tersebut bisa berupa gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi,
banjir bandang, tanah longsor, kebakaran hutan, dan yang lainnya,
yang sebagian merupakan dinamika alam, sebagian lain dipicu oleh
ulah manusia. Namun demikian, di balik penderitaan yang
diakibatkannya, bencana alam juga memberikan banyak peluang.
Bencana alam bisa menjadi pemicu (trigger) bagi bangkitnya
kehidupan baru yang lebih baik dan tangguh.
Pada saat bencana alam meluluh lantakan normalitas kehidupan
dan mengakibatkan penderitaan manusia di atasnya, kita melihat
peristiwa yang luar biasa yang jarang terjadi dalam situasi normal.
Semangat dan energi untuk membantu dan menolong kepada para
korban tanpa melihat hubungan darah, etnis dan agama tiba-tiba
bangkit. Bencana alam menggugah rasa kemanusiaan kita dan bahkan
menyatukan rasa kebangsaan kita. Kita melihat di media, bagaimana
tukang parkir di Jakarta yang bahkan belum pernah melihat Gunung
Merapi kemudian tergugah untuk berbagi hasil keringatnya dengan
korban bencana Merapi. Orang-orang yang sebelumnya tidak dikenal,
tiba-tiba mengulurkan tangan dan menjadi saudara. Justru pada saat
bencana terjadi, kebangsaan dan ke-Indonesiaan kita seolah lahir
kembali.
Fenomena kecil itulah yang antara lain menginspirasi isi pidato
Dies ini. Bencana alam menjadi semacam titik kritis percabangan,
yaitu di satu sisi membawa kehancuran, namun di sisi lain membuka
peluang untuk perbaikan, dan bahkan lompatan kemajuan sebuah
bangsa. Tema inilah yang coba kami angkat dalam pidato ini yang
merupakan sinergi pemikiran dari berbagai disiplin ilmu di universitas
kita tercinta ini.

Kedahsyatan Bencana Alam


Bapak Ibu hadirin yang saya hormati,
4

Terdapat banyak contoh yang menunjukkan bahwa bencana


alam bisa meluluh lantakkan sebuah masyarakat atau bangsa. Letusan
gunung Vesuvius yang terjadi di Italia Selatan di tahun 79 M telah
mengubur kota Pompeii dan Herculaneum dengan segala isinya. Kota
tersebut hilang setelah letusan dan baru ditemukan dan digali 1.600
tahun kemudian. Bukti kebesaran Kekaisaran Romawi ini oleh
UNESCO dijadikan sebagai salah satu Situs Warisan Dunia.
Yang terjadi satu dekade yang lalu di Philipina juga luar biasa
dahsyat. Pada tanggal 15 Juni 1991, gunung Pinatubo yang 600 tahun
sebelumnya tidur pulas, mendadak meletus dan mengakibatkan 850
orang meninggal dunia dan 66.000 orang harus dievakuasi. Hal ini
mengakibatkan rerata suhu global turun 0,4 derajad celsius selama tiga
tahun berikutnya. Lima miliar meter kubik semburan debu piroklastik
yang dilontarkan ke atmosfir telah memaksa ditutupnya Pangkalan
Angkatan Laut Amerika Serikat di Subic Bay yang terletak 75 km dari
puncak gunung dan Pangkalan AU Clark 25 km di sebelah timur
puncak Pinatubo.
Kedahsyatan letusan gunung berapi yang terjadi dalam sejarah
peradaban bangsa Indonesia tetap menempati posisi tertinggi. Letusan
Gunung Toba purba 73.000 tahun lalu tercatat sebagai salah satu
letusan gunung berapi terhebat dalam sejarah kehidupan manusia,
bahkan hampir memunahkan umat manusia di bumi. Letusan ini
termasuk kategori letusan megakolosal dengan level 8 dalam indeks
letusan gunung berapi. Tak kurang dari 150 milyar meter kubik
material dilontarkan ke angkasa dan merubah klimat global selama
dasawarsa berikutnya. Kaldera yang terbentuk akibat letusan dahsyat
tersebut mewariskan danau Toba sebagaimana yang kita saksikan
sekarang ini.
Kekuatan letusan Gunung Tambora pada 8-12 April 1815
masih jauh di bawah letusan Toba, namun sepuluh kali lebih dahsyat
dari letusan Pinatubo. Bencana Tambora ini menelan korban
terbanyak sepanjang sejarah peradaban manusia modern, dengan
perkiraan lebih dari 71.000 korban jiwa. Tercatat tiga kerajaan hancur,
yaitu Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar yang sempat
berkembang di wilayah Bima, Nusa Tenggara Barat. Lima puluh
miliar meter kubik material dilontarkan setinggi hingga 43.000 m dari
5

permukaan laut dan kemudian menyebar ke seluruh atmosfir bumi.


Debu volkanik dan 400 juta ton gas belerang yang diterbangkannya
menurunkan suhu global hingga 3 derajad Celcius dan menyebabkan
setahun tanpa musim panas di wilayah-wilayah empat musim.
Peristiwa tersebut mengakibatkan gagal panen dan kelaparan terbesar
di benua Eropa dan Kanada pada tahun 1816 yang menelan 200.000
korban jiwa, serta epidemi cholera di India. Namun, bencana Tambora
tersebut juga melahirkan inovasi. Kesulitan penyediaan pakan bagi
kuda mendorong inventor Jerman, Karl Drais mengembangkan
angkutan darat tanpa kuda dan lahirlah velocipede, cikal bakal sepeda
(New Scientist, 29 Januari 2005).
Indonesia tidak hanya pernah mengalami bencana Toba dan
Tambora. Dengan tidak kurang dari 150 gunung berapi yang tersebar
di kepulauan Indonesia, potensi letusan gunung berapi bisa terjadi di
banyak wilayah di Indonesia. Yang terakhir adalah letusan Gunung
Merapi yang terjadi sejak 26 Oktober 2010 lalu selama lebih dari satu
bulan yang merupakan letusan terdahsyat Merapi dalam seratus tahun
terakhir. Letusan ini telah mengakibatkan 353 orang meninggal dunia
(data per 3 Desember 2010 saat Merapi telah diturunkan statusnya),
lebih dari 4.000 keluarga kehilangan tempat tinggal dan mata
pencahariannya, sekitar 867 hektar hutan rusak dan terbakar, serta
sekitar 320.000 orang harus mengungsi pada saat puncak aktivitasnya.
Demikian pula dengan bencana gempa bumi, Indonesia
bersama Jepang merupakan negara dengan kejadian gempa paling
tinggi frekuensinya. Rekor gempa bumi dalam sejarah modern juga
terekam di Indonesia, ketika gempa di lepas pantai Banda Aceh pada
26 Desember 2004 mencatat getaran hingga 8,9 skala richter atau 9,3
skala magnitude (McKee, 2005). Gempa ini merupakan kekuatan
gempa bumi terbesar kedua yang pernah tercatat, sedikit di bawah
Gempa Chili tahun 1960 yang berkekuatan 9,5 M. Meski dari
pergeseran dan tumbukan lempeng Indo-Australia dan Eurasia telah
diprediksi bakal terjadi di pantai barat Sumatra, namun patahnya
1.600 km lempeng benua di dasar laut Andaman yang menimbulkan
mega Tsunami tersebut mengejutkan dunia dan menelan 230.000
korban jiwa. Gelombang tsunami yang dibangkitkan mencapai tinggi
30 meter dan melanda tidak saja Pantai Barat Sumatera tetapi sampai
6

ke Thailand, Sri Lanka, India, Maladewa, bahkan sampai Somalia.


Dalam 10 tahun terahir, Indonesia mengalami tidak kurang
dari 54 gempa bumi besar dengan kekuatan di atas 6 skala Richter.
Gempa Jogja dan Jawa Tengah pada tanggal 26 Mei 2006 menelan
5.749 korban jiwa, gempa Padang pada tanggal 30 September 2009
menelan korban 1.117 jiwa, serta gempa dan tsunami Mentawai pada
tanggal 25 Oktober 2010 menelan 431 korban jiwa.
Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati,
Memang, posisi geologis Indonesia pada mahkota “cincin api
Pasifik” – (the crown of the Pacific Ring of Fire) yang sekaligus di
pertemuan antara landas Benua Eurasia serta Indo-Australia
menyebabkan tingginya potensi bencana geofisik. Bukan hanya
gempa bumi, tsunami dan letusan gunung berapi, tetapi juga banjir
lahar, amblesan (subsidence), letusan lumpur (mud explosion), dan
tanah longsor.
Namun di balik keganasan alam itu tersimpan juga kemurahan
alam untuk manusia yang hidup di atasnya. Posisi geografis dan
kondisi geologis tersebut menjadikan Indonesia kaya dengan berbagai
macam bahan mineral tambang dan tanah yang subur. Tanah yang
subur dan sangat sesuai untuk budidaya pertanian dan perkebunan
adalah kombinasi dari endapan gunung berapi dan iklim hujan tropika.
Ketersediaan air kaya mineral yang melimpah untuk kehidupan adalah
juga sebagai akibat dari kombinasi relief pegunungan, endapan
gunungapi, dan iklim hujan tropika.
Lebih dari itu, keindahan relief pegunungan dan danau-danau
volkanik dan tektonik serta penutupan lahan yang selalu hijau
dilengkapi dengan iklim yang sejuk adalah panorama indah yang tiada
duanya. Betapa kayanya tanah air kita dengan sumber mineral,
kelimpahan air, serta kesuburan lahan untuk pertanian dan
perkebunan. Di samping itu, belasan ribu pulau dan perairan yang
kaya yang menghubungkan pulau-pulau tersebut merupakan kekayaan
yang tiada duanya di dunia. Di sinilah letak ironi alam di mana
masyarakat Indonesia berpijak, kita berpijak di bumi yang rawan
bencana alam, tetapi sekaligus kaya sumber daya alam. Oleh karena
itu, kita ditantang untuk mampu mengelola ironi alam tersebut
7

semaksimal mungkin melalui ketanggungan kita di bidang sosial,


ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi.

Mengelola Kerentanan Akibat Bencana


Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati,
Besarnya risiko bencana alam tidak semata-mata ditentukan
oleh besarnya bahaya alam (natural hazards), tetapi juga tingkat
kerentanan (vulnerability) masyarakat terhadap bencana. Oleh
karenanya untuk meminimalisasi bencana alam, kita tak saja harus
memahami potensi bahaya alam tetapi juga pada kerentanan berbagai
kelompok masyarakat.
Jumlah korban dan kerugian yang terjadi di negara miskin atau
masyarakat miskin umumnya jauh lebih besar dibanding dengan
negara maju atau masyarakat kaya. Data dari EM-DAT selama tahun
1973-2002 menunjukkan bahwa jumlah korban jiwa akibat bencana
alam di negara miskin (low income countries) mencapai lebih dari 1,4
juta jiwa, sementara di negara kaya kurang dari 10 ribu jiwa. Menurut
kajian Palang Merah Internasional, di negara maju jumlah korban jiwa
rerata mencapai 22 orang meninggal per kejadian bencana, di negara
penghasilan menengah 145 meninggal per kejadian bencana,
sementara di negara miskin 1.052 meninggal per kejadian bencana.
Jumlah korban jiwa yang besar pada masyarakat miskin ini
dikarenakan oleh banyak faktor. Masyarakat miskin pada umumnya
tidak mampu membangun hunian dengan standar kualitas tinggi agar
lebih tahan bencana, serta mereka harus tinggal di kawasan yang
rawan karena ketiadaan tempat tinggal yang layak dan aman terhadap
bencana alam. Selain itu, kurangnya pendidikan dan pemahaman akan
bahaya alam dan risikonya menyebabkan mereka tidak siap
menghadapi bencana alam. Saat terjadi bencana gempa bumi di
Yogyakarta pada 27 Mei 2006, hal tersebut terlihat benar. Pemukiman
masyarakat miskin mengalami kerusakan yang paling parah dan
menelah korban jiwa yang paling besar. Tertimpa reruntuhan
bangunan sederhana (non engineered building) yang dibuat sendiri
oleh masyarakat merupakan penyebab utama jatuhnya korban.
Dalam hal kerugian harta benda akibat bencana alam,
meskipun secara absolut di negara miskin lebih rendah dibanding
8

negara kaya, namun bila dihitung relatif terhadap GDPnya, proporsi


kerugian tersebut jauh lebih besar. Gempa Haiti dengan skala 7 pada
Januari 2010 menelan 222.570 korban jiwa dan kerugian ekonomi 8
milyar dolar atau setara dengan 73% GDP negara tersebut. Tsunami
Samudra Hindia 26 Desember 2004 memporakporandakan
perekonomian Maladewa yang 6 hari sebelum kejadian baru saja
dinyatakan telah lepas dari daftar negara-negara miskin PBB (least
developed countries). Tsunami tersebut telah mengembalikan negara
tersebut 20 tahun ke belakang (UNDP, 2005). Badai Mitch tahun 1998
menyebabkan kerugian 1 miliar dollar bagi Nicaragua, atau setara
dengan 50% GDPnya, dan 2 miliar dollar bagi Honduras, atau setara
dengan 37,7% GDP negara tersebut (EM-DAT).

Hadirin yang saya hormati,


Revitalisasi Ketangguhan Bangsa
Konsep bahwa bencana merupakan satu batu ujian untuk
mencapai ketangguhan yang lebih tinggi bahkan suatu kejayaan
bukanlah sesuatu yang asing. Dalam pewayangan kita mengenal kisah
Jabang Tetuko yang diuji dalam kawah Candradimuka sebelum
menjadi Gatotkaca, kesatria yang sakti mandraguna. Dalam ajaran
Hindu, Dewa Siwa sebagai dewa perusak atau pelebur adalah satu dari
Trimurti yang bertugas melebur segala sesuatu yang telah usang agar
kehidupan baru yang lebih baik bisa terjadi. Dari dewa Siwa lahirlah
Ganesha sebagai lambang pengetahuan dan kearifan. Dalam agama
Islam kita juga belajar bagaimana Nabi Muhammad s.a.w. diuji
dengan tahun-tahun yang penuh dengan cobaan, dengan kematian istri
serta paman beliau yang selama bertahun-tahun menjadi pelindung
beliau, sebelum akhirnya berhijrah ke Madinah yang merupakan titik
balik perkembangan agama Islam menuju kejayaannya. Bencana
merupakan satu batu ujian untuk meningkatkan ketangguhan manusia,
ketangguhan masyarakat. Dalam kitab suci Al Qur’an antara lain
difirmankan: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai
dengan kesanggupannya [QS 2: 286]. Dengan demikian mereka yang
selamat dan berhasil mengatasi bencana mempunyai ketangguhan
yang lebih tinggi.
Memang benar bahwa sebagian bencana alam adalah
9

fenomena alam yang tidak bisa dicegah oleh manusia. Kehadirannya


merupakan kodrat yang tidak bisa dihalangi apalagi ditolak oleh
manusia yang ada di dekatnya. Namun demikian, risiko yang
diakibatkan oleh bencana ini bisa diminimalisasi, dan bahkan
dijadikan momentum ketangguhan sebuah bangsa untuk menghadapi
berbagai macam krisis.
Paradigma dalam pengelolaan bencanapun telah mengalami
perubahan mendasar. Pendekatan pasif-reaktif yang memandang
bahwa bencana bersifat tak bisa diprakirakan, tak bisa dihindari,
sehingga harus ditangani secara darurat telah banyak ditinggalkan.
Pendekatan dominan saat ini adalah pendekatan aktif-preventif yang
memfokuskan pada upaya pencegahan dan pengurangan risiko
bencana. Perubahan paradigma tersebut mengandung konsekuensi
bahwa upaya penanggulangan bencana merupakan bagian integral
aktivitas pembangunan untuk membangun ketangguhan bangsa
menghadapi masa depannya.
Dalam konteks memanfaatkan bencana untuk momentum
revitalisasi ketangguhan bangsa, maka siklus manajemen bencana
harus kita maknai sebagai satu siklus untuk revitalisasi tersebut.
Bangsa yang tangguh menghadapi bencana baik alam maupun
bencana lainnya bisa dicirikan melalui ungkapan bahasa Jawa:
masyarakat yang tanggap, tangguh, tanggon, dan trengginas.
Proses pencegahan dan mitigasi bencana harus dimaknai
sebagai upaya untuk menyiapkan ketangguhan masyarakat melalui
pembangunan kesadaran akan bahaya bencana yang mengancam
sehingga siap dan tanggap menghadapinya. Ketanggapan dalam arti
luas adalah kemampuan untuk responsif terhadap perubahan, mampu
beradaptasi dan memanfaatkan peluang secara optimal.
Dalam kehidupan modern yang penuh dengan dinamika
perubahan dan persaingan, sikap tanggap tersebut merupakan
kapasitas dasar untuk menghadapi persaingan global. Kesiagaan
bencana adalah membangun masyarakat agar tidak saja tanggap
terhadap bencana tetapi juga trengginas ketika bencana datang.
Trengginas dalam arti luas adalah kemampuan untuk secara cepat,
cerdas dan tepat mengambil keputusan dan melangkah dengan
keputusan tersebut untuk mengatasi bencana, menghadapi berbagai
10

macam krisi dan memenangi persaingan.


Ketika bencana atau krisis melanda, maka masyarakat yang
tangguh tadi akan menjadi tanggon, yang artinya dapat diandalkan
untuk menghadapi dan mengatasi bencana. Momentum kejadian
bencana alam harus dimanfaatkan sebagai pemicu untuk membangun
itu semua bahkan lebih dari itu. Tahap pemulihan (recovery)
merupakan saat untuk melenting kembali (spring back), meloncat
menuju ke level ketangguhan yang lebih tinggi. Dengan demikian
rekonstruksi atau pembangunan kembali tidak sekedar
mengembalikan keadaan seperti kondisi semula, tetapi membangun
kembali dengan lebih baik (building back better). Pembangunan yang
tanggap dan tangguh bencana juga harus merupakan pembangunan
yang didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan
(sustainable development) dan pengentasan kemiskinan, karena
kemiskinan merupakan sumber kerentanan bencana yang paling utama
(Nizam, 2010).
Bapak Ibu para hadirin yang mulia,
Hasrat untuk membangun peradaban yang jauh lebih maju pasca
bencana telah dikenal dalam sejarah berbagai bangsa, termasuk bangsa
Indonesia. Strategi yang digunakan juga terus berkembang sesuai
dengan perkembangan peradaban. Strategi paling konvensional yang
digunakan adalah berpindah tempat tinggal menjauhi bencana, yang
sering juga digunakan sebagai momentum untuk membangun
masyarakat yang lebih kuat dan maju.
Dalam sejarah Nusantara, dipindahkannya pusat kerajaan
Mataram Hindu ke arah Timur yang melahirkan kerajaan-kerajaan di
Jawa Timur pada abad ke 12 hingga 16 juga bermaksud ganda. Di satu
sisi perpindahan ini dimaksudkan untuk menghindari risiko bencana
alam, baik letusan gunung berapi maupun gempa tektonik. Namun, di
sisi lain perpindahaan ini juga didorong oleh keinginan untuk
memanfaatkan potensi perdagangan antar negara yang mulai tumbuh
pada masa-masa tersebut. Wilayah dan orientasi kerajaan Mataram
Hindu yang agraris bergeser menuju pengembangan kerajaan yang
tidak hanya berbasis pada kekuatan agraris tetapi juga niaga dan
maritim. Akses ke laut dan perdagangan dunia yang lebih baik bisa
11

dikembangkan di Jawa Timur. Perkembangan kerajaan-kerajaan di


Jawa Timur tersebut akhirnya mengalami puncak kejayaannya pada
masa Majapahit (Purwanto, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa
momentum bencana alam telah diubah menjadi energi untuk
membangun hari esok yang lebih baik, menulis kembali bahkan
mereorientasi jalannya sejarah.
Peristiwa dramatis serupa bisa kita lihat dari lahirnya sistem
welfare-state di negara-negara Skandinavia yang lahir dari kebutuhan
untuk bersama-sama menghadapi bencana. Bencana besar the black
death melanda hampir seluruh Eropa dan menyebar dengan cepat ke
benua Asia dan Afrika Utara. Wabah mematikan yang bersumber dari
penyakit pes ini terjadi pada pertengahan abad ke 14 dan mencapai
puncaknya di Eropa antara tahun 1348 hingga 1350. Bencana tersebut
diperkirakan telah membunuh seperempat penduduk Eropa dari ujung
selatan Italia hingga kawasan Skandinavia, dari Cordoba hingga
wilayah Rusia. Diperkirakan korban mencapai 25.000.000 jiwa dari
sekitar 102.000.000 penduduk Eropa. Kengerian akan wabah tersebut
digambarkan dengan sampai tidak sanggupnya keluarga untuk
mengubur anggotanya yang meninggal, berhentinya seluruh aktifitas
politik-pemerintahan dan mandegnya kegiatan peribadatan di gereja-
gereja.
Namun the black death yang disebabkan oleh bakteri Yersinia
pestis tersebut tidak hanya menimbulkan kematian tetapi juga
membawa perubahan sangat mendasar dalam tata sosial masyarakat.
Di kawasan Norwegia misalnya, wabah yang membawa kematian
besar ini telah melahirkan reformasi agraria setelahnya sehingga
melahirkan struktur sosial baru yang lebih egaliter. Di kawasan Eropa
daratan, perubahan mendasar terjadi dalam aktifitas gereja, di mana
lembaga ini kemudian lebih aktif untuk menjalankan fungsi pelayanan
sosial kepada jemaatnya. Lebih luas lagi, bencana kematian besar
dalam sejarah Eropa tersebut menjadi pembelajaran penting, bahwa
tanpa peran institusi sosial-kolektif yang kuat, individu dan keluarga
sangatlah rentan. The black death telah memberikan fondasi bagi
lahirnya sistem perlindungan sosial-ekonomi yang lebih kokoh yang
dilakukan institusi di atas keluarga, yaitu Negara dan Gereja. Sistem
perlindungan yang kemudian bertransformasi menjadi sistem welfare,
12

baik yang berbasis Negara maupun institusi sosial-kolektif.


Esensi dari semua itu adalah bagaimana kita memanfaatkan
energi bencana menjadi momentum untuk merevitalisasi ketangguhan
kita sebagai bangsa. Bangsa Indonesia telah terbukti sebagai bangsa
yang tangguh, yang mampu berkembang berhadapan dengan dinamika
alam, mampu merebut kemerdekaan, serta yang terahir mampu
bangkit dari krisis multi dimensi pada akhir dekade 90-an menuju
lahirnya masyarakat demokratis modern seperti saat ini. Untuk bisa
mengubah bencana menjadi momentum tersebut dibutuhkan lompatan
kapasitas, lompatan derajat ketangguhan bangsa. Kita harus
merevitalisasi ketangguhan sosial, ketangguhan ekonomi, dan
ketangguhan teknologi.

Revitalisasi Ketangguhan Sosial


Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati,
Salah satu kunci sukses dalam Rekonstruksi Paska bencana
Gempa Bumi di Jawa tahun 2006 adalah kerja sinergis antara
pemerintah dengan kebijakan-kebijakan paska bencana yang relevan;
dukungan berbagai lembaga, donor nasional dan internasional yang
membantu melalui rencana konkret dan aksi nyata dalam mengisi
kesenjangan antara kebutuhan masyarakat dan kapasitas Pemerintah
saat bencana; dan tentu saja ketangguhan masyarakat dalam mengatasi
permasalahan paska bencana dengan kerja keras bahu membahu, yang
kesemuannya terakumulasi dalam kekuatan yang sering disebut
sebagai “modal sosial”. (Ikaputra, 2009).
Idham Samawi (2008)—yang saat itu menjabat sebagai bupati
Bantul, kabupaten yang paling berat terkena dampak kerusakan akibat
gempa tahun 2006, mendefinisikan terminologi modal sosial sebagai
kemampuan komunitas untuk mengembangkan kerja sama
(kemitraan) dalam rangka mencapai tujuan bersama, yang dilandasi
oleh semangat kebersamaan, nilai-nilai agama, dan kearifan lokal.
Kegiatan-kegiatan seperti membantu mereka yang sedang dalam
kesulitan, kegiatan bersih dusun, atau kebersamaan dalam
membangun wilayah, merupakan sejumlah contoh yang dapat
dikemukakan oleh Idham Samawi, yang kesemuanya memperlihatkan
kuatnya ikatan sosial dan pada sisi yang lain menunjukkan kuatnya
13

toleransi di dalam komunitas. Modal sosial tersebut tidak serta-merta


lahir tetapi tumbuh dan berkembang secara laten melalui interaksi dan
pranata sosial yang hidup dinamis di dalam masyarakat sehingga
menjadi kearifan lokal yang unik untuk setiap komunitas. Pada saat
bencana terjadi modal sosial tersebut menunjukkan daya dan
ketangguhannya dalam menanggapi kondisi kritis secara spontan
tanpa menunggu perintah. Ketangguhan yang muncul saat dan setelah
bencana datang menjadikan masyarakat kita terkenal tangguh dalam
merespon bencana. Sebelum pertolongan dari luar datang, sebelum
pemerintah memobilisasi dukungan, gotong-royong dan volunteerisme
masyarakat dengan cepat termobilisasi untuk bahu-membahu saling
bantu dan saling tolong satu dan lainnya.
Dalam tataran konseptual modal sosial dapat diterjemahkan
sebagai tradisi kuat bangsa dalam wujud yang kita kenal sebagai
“semangat gotong royong” dalam mengatasi berbagai permasalahan
masyarakat. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana modal sosial
atau gotong royong ini menjadi kunci sukses dalam
mentransformasikan retorika bangsa pada Pidato Kenegaraan tahun
2006 menjadi kenyataan, yakni mempertangguh “Modal sosial untuk
menjaga rasa kebersamaan, dan diharapkan mampu mencegah potensi
ketegangan dan konflik antar kelompok masyarakat” (Yudhoyono,
2006: 13)
Ketangguhan sebuah bangsa terdiri dari ketangguhan
perorangan yang terintegrasi dalam sebuah ketangguhan kolektif
masyarakatnya. Setiap kali terjadi bencana alam, proses tanggap
darurat dan pemulihan kembali selalu menunjukkan betapa rasa
kemanusiaan dan kebangsaan terpicu oleh peristiwa yang
mempersatukan seluruh komponen bangsa tersebut. Lahirlah
solidaritas, kepedulian sosial, kasih sayang, pengorbanan untuk
sesama. Semangat kolektif untuk mengatasi dan menyelesaikan
masalah secara bersama tanpa menonjolkan pamrih pribadi, hal ini
menggambarkan semangat kesukarelaan (volunteerism) yang ada
dalam diri kita. Secara kolektif hal tersebut menjadi modal
ketangguhan sosial yang sangat besar dan harus dijaga dalam proses
pemulihan pasca bencana.
Intervensi eksternal yang tidak menjiwai ketangguhan sosial
14

tersebut kadang justru meredupkan bahkan melenyapkan potensi


pemulihan cepat korban bencana untuk segera mandiri dan kembali ke
kehidupan normal. Sebagai contoh, semangat gotong-royong
pengungsi yang selamat dari bencana dengan mudah akan hilang
dengan pemberian insentif yang kurang tepat; pemerintah yang
memposisikan diri sebagai penjamin kerugian bencana dengan
menjanjikan penggantian atas kehilangan harta-benda bisa menjadi
kontra produktif. Respon pemerintah dalam kekacauan saat tanggap
darurat seringkali didasarkan pada tujuan pemulihan keamanan dan
ketertiban melalui pendekatan komando dari pusat yang salah
menafsirkan keadaan lapangan dan merendahkan potensi masyarakat.
Padahal, sebelum pemerintah bisa bertindak, pertolongan pertama
justru datang dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu Hamdi
(2010) menggaris bawahi pentingnya pendekatan partisipatoris
masyarakat mulai saat tanggap darurat untuk membangun
ketangguhan sosial yang berkelanjutan.
Untuk mewujudkan ketangguhan sosial pascabencana,
sejumlah prinsip perlu dijalankan dalam tahap-tahap tanggap bencana.
Pertama, pelibatan masyarakat yang tertimpa bencana dalam setiap
proses pengambilan keputusan menyangkut pemulihan pascabencana.
Tokoh-tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan
keputusan menyangkut pengorganisasian pengungsi, kebutuhan-
kebutuhan dalam tahap tanggap darurat dan terutama pada tahap-tahap
berikutnya, termasuk keputusan tentang tempat dan rancangan hunian
antara bagi pengungsi. Pelibatan masyarakat dalam pengambilan
keputusan akan membantu pemulihan psikologis dan mendorong
keberdayaan masyarakat secara keseluruhan. Kedua, pelibatan
masyarakat dalam setiap langkah dalam tanggap bencana. Kegiatan-
kegiatan penyiapan makanan, hunian darurat dan hunian antara,
kebersihan dan keamanan lingkungan hunian darurat, hiburan, dan
bahkan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah dan pra-sekolah.
Kedua prinsip di atas menempatkan masyarakat yang tertimpa
bencana tetap sebagai subjek, bukan objek program tanggap bencana.
Dengan demikian rasa keberdayaan dan kebersamaan dalam
masyarakat tetap dijaga, bahkan ditumbuhkembangkan.
Sebagai bangsa yang religius, peristiwa bencana sering pula
15

diikuti dengan refleksi atas kesalahan dan kekurangan yang telah


dilakukan sebelum kejadian bencana baik secara perorangan maupun
kolektif. Refleksi tersebut hendaknya menjadi modal untuk melakukan
perbaikan dalam segala bidang baik dalam ranah teknis seperti
penataan kawasan dan lingkungan yang lebih baik, pembangunan
rumah yang lebih tahan bencana, penyempurnaan perencanaan
tanggap darurat dan mitigasi bencana, hingga perbaikan perilaku
sosial di dalam masyarakat. Bencana alam hendaknya menjadi
momentum untuk mawas diri dan melakukan perbaikan dan
memperkokoh modal sosial yang merekatkan kebersamaan bangsa.
Sebagai contoh, bencana tsunami Aceh telah dimanfaatkan menjadi
momentum perekat perdamaian dan menghentikan konflik sosial di
dalam masyarakat.

Revitalisasi Ketangguhan Ekonomi


Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati,
Setiap kejadian bencana selalu meninggalkan tantangan berat
bagi pemerintah dan masyarakat. Hilangnya tempat tinggal,
terputusnya suplai air bersih, terputusnya aliran listrik, terganggunya
layanan telekomunikasi, rusaknya jalan dan jembatan, dan berbagai
prasarana lain mengganggu bahkan menghentikan aktifitas sosial-
ekonomi masyarakat. Bencana alam juga bisa menghapus kemajuan
ekonomi yang telah terjadi selama puluhan tahun sebelumnya. Mereka
yang selamat dari bencana alam mengalami kesulitan karena
meningkatnya pengeluaran dan menurunnya penghasilan karena
hilangnya asset dan sumber mata pencaharian. Ironisnya, bencana
alam selalu memberi pukulan ekonomi terbesar bagi masyarakat
miskin. Hilangnya rumah tinggal yang merupakan asset utama bagi
sebagian besar masyarakat miskin menjadi pekerjaan rumah bagi
pemerintah untuk mengatasinya.
Pemulihan kembali ekonomi, kehidupan dan penghidupan
masyarakat (economic recovery) merupakan tantangan yang tidak
mudah diatasi dan memerlukan waktu yang lebih lama dan proses
yang lebih berat dari pada pemulihan sarana-prasarana. Sebagai
contoh, meskipun revitalisasi kota Kobe pasca gempa 17 Januari 1995
telah melahirkan kota dan prasarana yang sama bahkan lebih baik dari
16

sebelum gempa, namun aktivitas perdagangan di pelabuhan terbesar


ke dua di Jepang tersebut tetap saja tidak bisa pulih ke kondisi
sebelum bencana (Edgington, 2010). Diperlukan unsur lain dari
sekedar pemulihan prasarana fisik, yakni ketangguhan yang lebih
dalam dalam diri manusia secara kolektif, dalam diri masyarakat,
dalam diri bangsa.
Di sini kita lihat bahwa yang dibutuhkan bukan hanya sekedar
economic recovery semata, lebih dari itu, diperlukan revitalisasi
kapasitas sistem ekonomi untuk ‘melawan’ kerentanan ekonomi
(economic fragility). Mengingat hampir seluruh wilayah Indonesia
rawan bencana alam, maka sangat mendesak bagi negara untuk
mengembangkan sistem penjaminan penyediaan layanan dan
pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban bencana. Sistem tersebut
bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi sistem penjaminan layanan
dan pemenuhan kebutuhan dasar bagi seluruh warga negara. Hal ini
merupakan tantangan bagi para ekonom kita untuk memikirkan sistem
kesejahteraan yang lebih utuh bagi seluruh warga negara Indonesia.
Selama ini korban harta benda terbesar dirasakan oleh masyarakat
(sektor privat) karena belum meluasnya sistem serta tingginya biaya
asuransi. Perlu dikembangkan sistem asuransi bencana secara
nasional. Di Amerika Serikat misalnya, pada tahun 1968 telah
dikembangkan National Flood Insurance Program (NFIP) berdasar
Undang-undang untuk melindungi masyarakat yang tinggal di daerah
rawan banjir (FEMA, 1986). Program semacam itu tentunya bisa juga
dikembangkan untuk para petani agar terlindung dari bencana gagal
panen karena bencana alam cuaca maupun hama.
Dana siaga bencana dalam bentuk dana abadi (endowment
fund) yang dapat segera dimanfaatkan saat terjadi bencana untuk
keperluan tanggap darurat dan pemulihan (recovery) hendaknya
disiapkan terutama bagi daerah-daerah dengan potensi bencana alam
tinggi. Perencanaan skema-skema keuangan untuk mengatasi kondisi
pasca bencana yang mendorong pulihnya aktifitas ekonomi, seperti
penghapusan bunga pinjaman bagi korban bencana dan kemudahan
akses pada modal kerja, hendaknya menjadi norma dan bagian dari
praktek baik (best practice) yang dilakukan.
Langkah-langkah pemulihan dini (early recovery) ekonomi
17

dan kehidupan sosial masyarakat dapat dilakukan segera setelah fase


tanggap darurat. Program cash for work misalnya, bisa menjadi
pilihan pemulihan segera perekonomian masyarakat korban bencana.
Pelibatan para korban bencana dalam aktifitas ekonomi yang produktif
hendaknya direncanakan dengan baik sebagai bagian dari disaster
management. Tanpa perencanaan yang baik, kondisi masyarakat
korban bencana yang berada dalam keterdesakan ekonomi dan rasa
belas kasihan penolong untuk memberi bantuan dan santunan justru
dapat menimbulkan situasi yang counter productive, merendahkan
harga diri, daya juang dan semangat untuk bangkit kembali dari para
korban. Diperlukan perencanaan yang baik dan kreativitas untuk bisa
memanfaatkan besarnya dana bantuan yang masuk ke kawasan
bencana agar segera menggerakkan perekonomian masyarakat, bukan
sebaliknya.

Revitalisasi Ketangguhan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi


Bapak Ibu para hadirin yang saya hormati,
Bencana alam juga memberi peluang untuk membangun
kembali lebih baik (building back better). Tahap rekonstruksi
merupakan saat kritis dan peluang emas bagi penataan ruang yang
lebih aman, lebih baik dan lebih tangguh untuk menghadapi bencana.
Hal ini merupakan tantangan bagi para ahli tata ruang, arsitek, dan
insinyur, maupun para ahli ilmu sosial, administrasi publik, dan
pemerintahan. Tata ruang baru hendaknya memberi harmoni yang
lebih baik antara keamanan, perlindungan lingkungan, pembangunan
ekonomi, kesetaraan sosial, dan inklusifitas pembangunan.
Rekonstruksi tidak terjadi dalam kevakuman tetapi merupakan
kelanjutan dari alur pembangunan pra-bencana yang telah membentuk
pranata politik, sosial, ekonomi, bahkan budaya masyarakat. Harus
disadari fakta bahwa proses pra-bencana tersebut secara langsung
maupun tidak langsung berkontribusi pada besarnya bencana dan
kerugian yang terjadi. Boleh jadi proses pembangunan pra-bencana
yang membentuk masyarakat, kehidupan dan penghidupannya,
pemukiman, pemerintahan, juga telah melahirkan kemiskinan,
kerentanan, dan peminggiran kelompok masyarakat tertentu sehingga
rawan terkena bencana. Oleh karenanya, sangat penting untuk
18

menganalisa dan memahami hal tersebut sehingga dapat dihasilkan


model rekonstruksi yang paling tepat yang dapat mengurangi
kerentanan dan meningkatkan ketangguhan. Namun karena desakan
waktu, seringkali hal tersebut tidak dilakukan atau hanya dilakukan
secara superfisial. Masyarakat yang selamat dari bencana tidak
diposisikan sebagai subyek, pelaku, melainkan sekedar obyek dalam
rekonstruksi (Theo Schilderman, Putting people at the center of
reconstruction).
Sudah seharusnya apabila Indonesia sebagai supermarket
bencana alam menjadi pusat dari kajian bencana alam di dunia. Kita
dikaruniai dengan laboratorium alam skala 1:1 untuk riset kebencana
alaman baik yang bersifat pemahaman akan kejadian alam tersebut
(disaster science), aspek manajemen bencana, aspek kesehatan
bencana, psikologi bencana, aspek teknologi dan rekayasa untuk
mitigasi bencana, aspek sosio-ekonomi bencana, aspek humaniora,
maupun aspek antropologi dan sejarah kebencanaan. Perguruan tinggi
besar di seluruh Indonesia sangat potensial menjadi pusat kajian
kebencana alaman dunia dengan ciri khas di masing-masing daerah.
Bila untuk mengarus utamakan pelestarian lingkungan telah
dikembangkan pusat-pusat studi lingkungan hidup di banyak
perguruan tinggi di Indonesia, maka kebutuhan untuk
mengembangkan pusat-pusat kajian kebencanaan di perguruan tinggi
sangat mendesak. Riset kebencanaan sangat diperlukan untuk
membangun kapasitas ketangguhan nasional dalam menghadapi
bencana.
Universitas Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi Nasional
yang berada di kota bersejarah dan kaya dengan berbagai kearifan
lokal dan ragam bencana alam hendaknya mengembangkan kajian-
kajian kebencanaan tersebut baik yang berbasis keilmuan parsial
maupun lebih penting lagi yang berbasis lintas disiplin ilmu untuk
mengembangkan pengetahuan kebencanaan yang holistik. UGM juga
perlu mengembangkan pendidikan interprofesi untuk menyiapkan para
profesional tanggap darurat dan manajer pengelolaan bencana alam.
Kajian-kajian tersebut hendaknya menjadikan Yogyakarta sebagai
contoh kota yang tangguh menghadapi bencana bagi daerah-daerah
lain di Indonesia dan bahkan bagi dunia.
19

Belajar dari bencana, momentum ini seharusnya juga menjadi


pembelajaran bagi kita untuk membangun ketangguhan menghadapi
arus globalisasi, liberalisasi dan persaingan dunia yang semakin ganas
serta berbagai krisis yang bisa muncul setiap saat. Meskipun
manifestasinya berbeda, namun banyak analogi yang bisa diambil.
Perubahan drastis dalam sistem sosial, politik dan ekonomi di suatu
negara bisa dengan cepat melanda Indonesia. Krisis moneter dan
ekonomi di belahan dunia lain, bisa mengakibatkan krisis yang serupa
di Indonesia. Seperti halnya bencana alam, krisis semacam ini bisa
menghancurkan kapasitas masyarakat kita jika kita tidak mempunyai
ketangguhan sosial, politik dan ekonomi yang handal. Oleh karena itu,
kapasitas mengelola bencana alam dengan membangun ketangguhan
kita di segala bidang akan menjadi pondasi bagi kapasitas kita untuk
menghadapi krisis. Loncatan kemajuan pasca bencana untuk mampu
mengelola berbagai macam krisis inilah yang perlu untuk kita bangun.

Penutup
Bapak Ibu para hadirin yang berbahagia,
Bencana alam akan selalu ada, oleh karenanya satu-satunya
pilihan adalah menyiapkan diri dan menjadikan diri tangguh
menghadapinya. Peristiwa bencana seharusnya menjadi pembelajaran
bagi kita untuk lebih tanggap dan tangguh terhadap bencana alam
serupa dan membuka peluang untuk membangun masa depan yang
lebih baik. Merespon bencana bukanlah sekedar upaya recovery, atau
mengembalikan keadaan seperti semula, tetapi membangun
masyarakat yang lebih tangguh, jauh melebihi situasi sebelum
bencana.
Momentum yang dihasilkan oleh energi bencana hendaknya
menjadi modal untuk menyatukan energi kehidupan masyarakat untuk
merubah kehidupannya menjadi lebih baik melalui pembangunan
yang lebih harmoni dan lestari dengan alam dan lingkungannya.
Ketangguhan tersebut hendaknya juga mencakup ketangguhan kita
menghadapi berbagai krisis dunia bahkan bisa turut serta membangun
harmoni dunia. Ungkapan filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche dalam
Twilight of the Idols (1888) berikut merangkum hal tersebut.
20

What does not destroy me, makes me stronger

Akhirnya, saya ingin mengingatkan satu amnesia sejarah


bangsa, termasuk sejarah UGM yang berkaitan juga dengan satu
bentuk bencana. Yaitu “bencana” serangan kolonial Belanda pada 19
Desember 1948 yang mampu mempersatukan bangsa Indonesia dan
sahabat Indonesia di PBB serta mengokohkan kemerdekaan kita.
Untuk mengabadikan hal tersebut, meskipun Keputusan Pendirian
UGM tertanggal 16 Desember 1949, tetapi Dies UGM diperingati
pada tanggal 19 Desember. Hal ini dikarenakan momentum 19
Desember setahun sebelumnya (1948) menjadi momentum penting
untuk merevitalisasi persatuan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita
tidak hanya sedang memperingati kelahiran Universitas Gadjah Mada,
tetapi juga menegaskan dan memperkokoh ketangguhan bangsa
Indonesia.
Dirgahayu Universitas Gadjah Mada, semoga semangat
kerakyatan yang merdeka dalam kebhinekaan yang merupakan fondasi
kebangsaan kita terus menjadi nafas kehidupan akademik di kampus
ini. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan hidayahNya
bagi kita semua dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menuju
kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia serta tangguh
menghadapi segala tantangan zaman. Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


21

Daftar Pustaka
Beck, Ulrich, (2000, Reprinted), Risk Society: Towards a New
Modernity. Sage Publications: Thousands Oaks, California.
Blaikie, Peter, T Cannon, I Davis, and B Wisner, 2004, At Risk:
Natural Hazards, People’s Vulnerability, and Disasters,
Routledge, New York, 2004, 464 pp.
Comfort, Louise K., 2005, Risk, Security, and Disaster Management,
Ann. Rev. Polit. Sci., 2005, 8:335-56.
Copolla, Daniel P., 2007, Introduction to International Disaster
Management, Elsevier, Amsterdam.
Edgington, D.E., 2010, Reconstructing Kobe, The Geography of Crisis
and Opportunity, UBC Press, Vancouver
EM-DAT, http://www.em-dat.be/database.
FEMA, 1986, A Unified National Program for Floodplain
Management. 1 Mar. 1986.
Hood, Christopher, Morrow, Betty Hearn, 1999, Identifying and
Mapping Community Vulnerability, Disasters, 1999, 23(1):1-
18.
Ikaputra, 2009, Social Capital and House Reconstruction Post
Earthquake: The Case of Yogyakarta 2006-2008. Report of
Research Fellow at Institute of Architecture, Technical
University of Vienna-Austria, 2007-2008.
McKee, Maggie, 2005, Power of tsunami earthquake heavily
underestimated, New Scientist, February 9, 2005.
Nizam, 2010, Bencana alam dan pembangunan berkelanjutan –
tantangan dan peran Teknik Sipil dan Lingkungan di masa
depan, Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM.
Pinkowski, Jack, 2008, Disaster Management Handbook (Public
Administration and Public Policy), CRC Press, California.
Purwanto, Bambang, 2010, Komunikasi pribadi.
Salter, John, 1997, Risk Management in a Disaster Management
Context, Journal of Contingencies and Crisis Management,
Vol. 5 (1), March, 1997.
Samawi, Idham, 2008, Urgensi Rekonsiliasi Komunitas. Kedaulatan
Rakyat. Yogyakarta, KR Online, 14 Februari 2008.
Schilderman, Theo, 2010, Putting people at the center of
22

reconstruction, in Lyons, M. & Theo Schilderman (ed.),


Building Back Better, Delivering people-centered housing
reconstruction at scale, Practical Action Publ., London.
Smith, Wally & John Dowell, 2000, A Case Study of Coordinative
Decision-making in Disaster Management, ERGONOMICS,
2000, Vol. 43 (8), 1153-1166.
Witt, James Lee, 2005, Building Back Better and Safer, Private Sector
Summit on Post-Tsunami Reconstruction.
Yudhoyono, Susilo B. (2006). Pidato Kenegaraan Presiden Republik
Indonesia Serta Keterangan Pemerintah Atas Rancangan
Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara Tahun Anggaran 2007, Sekretariat Negara.

Anda mungkin juga menyukai