Anda di halaman 1dari 27

TUTORIAL

TUBERKULOSIS PARU
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas II
Puskesmas Pondok Ranji

Disusun oleh :
Afifah Qonita
Doni Ananda K.
Mundri Nur Afsari
Rezky Putri
Sri Jayanti
Suci Susanti

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

PUSKESMAS PONDOK RANJI

TANGGERANG SELATAN

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberkulosa (dan
kadang-kadang oleh M. Bovis dan africanum) yang penularannya terjadi melalui udara (airborne
spreading) dari droplet infeksi (Hasan, 2010).

Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan kesembilan terbanyak di dunia setelah


India dan Cina. Pada tahun 2014 terdapat 324.539 kasus TB paru dengan kematian sekitar 122.000.
Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2014 adalah 647 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada
lebih dari 70% usia produktif (WHO, 2015)

Meskipun jumlah kasusTB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang
sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian
TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah
menunjukkan penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012 (Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014).

DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) merupakan strategi yang terbukti


sebagai penanggulangan yang paling efisien secara ekonomis yang dikembangkan dari berbagai
studi, clinical trials, best practices, dan hasil implementasi program penanggulangan TB selama
lebih dari dua decade (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Strategi DOTS adalah
pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) selama jangka waktu 6-8 bulan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat
juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai
oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang
diperantai sel (cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi kronis
dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif (Amin et al, 2010).

Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ yang diserang kuman Mycobacterium


tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura. Sedangkan tuberkulosis ekstra
paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura, selaput
otak, pericardium, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, kolon, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin, dan lain-lain (Infodatin, 2015).

Kuman tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 µm
(Brooks,et al 2004). Mycobacterium tuberculosis dapat dilihat dengan pewarnaan tahan asam dan
berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan
arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasite intraseluler yakni


dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob, sehingga bagian apikal merupakan
tempat predileksi penyakit tuberkulosis.
2.2 Epidemiologi

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8 juta (antara 8,5-
9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan
pula sebanyak 1,1 juta kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada
penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang
terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati adalah penurunan
jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan
angka estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009 menjadi
yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.

Gambar 1. Perkiraan jumlah insiden, Berdasarkan negara, tahun 2010


2.3 (dikutip dari kepustakaan nomor 5)

Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara dengan 65% angka
prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan kontribusi 40% total penderita baru TB dan
Afrika menyumbang 24% pasien baru. Secara global angka keberhasilan terapi pada penderita
baru TB dengan sputum BTA positif adalah 87% di tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai
46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka estimasi yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih
menjadi tantangan besar hingga saat ini.
Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada tahun 1983-1993
menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut
laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, angka insiden
TB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir
dengan kematian. Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari Universitas
Queensland berdasarkan data epidemiologi tahun 2007-2008 menunjukkan bahwa angka kematian
akibat tuberculosis di Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi Papua.
Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai 1.200.000 kasus
atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas mencapai 91.000 kasus atau 38 orang
per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus per 100.000 populasi
dengan 29.000 kasus TB HIV positif.
Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB (MDR-TB) pada
tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-TB tertinggi adalah China
(100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia (38.000 kasus), dan Afrika Selatan (13.000
kasus). Dan pada Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah melaporkan setidaknya terdapat satu
kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-TB).
2.4 Etiologi
TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan batang aerobik
tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV Bakteri yang jarang
sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium (Amin, 2010)

Cara Penularan
Pasien dengan TB BTA positif merupakan sumber penularan baik pada waktu dahak
ataupun bersin, batuk, bicara dengan orang lain, dan kegiatan lainnya seperti menyanyi, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk (droplet nuclei/ bersin). Sekali batuk dapat
menghasilkan 3000 percikan (David Schlossberg, 2006).
Biasanya droplet nuklei yang berada di udara bebas yang terbawa oleh tiupan angin akan
memasuki saluran pernapasan atas, baik yang ukurannya antara 1-10 mikrometer, sebagian besar
akan terperangkap, namun ada juga yang dipaksa keluar dari faring oleh mekanisme mukosiliaris
di daerah traktus respiratorius bawah, serta ada yang ikut tertelan dan masuk dalam sistem
pencernaan (David Schlossberg, 2006).Percikan dahak yang bertahan lama, bisa meningkatkan
kejadian infeksi, bila dalam ruangan, namun dalam ruangan yang berventilasi, penyebaran
percikan akan cepat hilang, di dukung dengan adanya sinar matahari bisa membunuh kuman
tersebut. Sebaliknya dalam keadaan lembab dan gelap kuman akan bertahan hidup lebih lama
(Pedoman Nasional Tuberkulosis, 2014).

2.5 Klasifikasi Tuberculosis Paru


A. Berdasarkan hasil pemeriksaan BTA
- Tuberkulosis paru BTA positif
Tuberkulosis paru BTA positif sekurang-kurangnya 2 dari 3 Spesimen dahak SPS hasilnya
BTA Positif atau spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menujukkan
gambar tuberkulosis aktif (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
- Tuberkulosis paru BTA negatif
Tuberkulosis paru BTA negatif jika pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambar tuberkulosis aktif. TBC paru BTA Negatif
Rontgen Positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakit nya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambar foto rontgen dada memperlihatkan gambar kerusakan paru yang luas
(misalnya proses “ faradvanced “ atau millier) dan/atau keadaan umum penderita buruk
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

B. Tipe penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe
penderita yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) :
1. Kasus Baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT Kurang dari satu bulan (30 Dosis Harian).
2. Kambuh ( Relaps )
Relaps adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan ( Transfer in )
Pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan /pindahan (Form TB 09 ).
4. Setelah lalai ( Pengobatan setelah default / drop-out )
Drop out adalah penderita yang sudah berobat paling kurang I bulan dan berhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Lain- lain
(a) Gagal
Ada penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih). Gagal adalah penderita
dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2
pengobatan.
(b) Kasus Kronis
Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2.
2.6 Patogenesis
a. Tuberkulosis Post-Primer
Timbul setelah terjadinya TB primer dan basil mengalami reaktivasi. Hal ini terjadi karena
basil telah berhenti mengalami masa dorman dan mulai multiplikasi selanjutnya dan terjadi
beberapa bulan/tahun setelah TB primer. Hal ini akan timbul bila orang dengan daya tahan tubuh
yang lemah. Istilah reinfeksi merupakan infeksi ulang yang menyerang penderita yang sudah
pernah mengalami TB primer, umumnya menyerang paru pada orang usia dewasa. Seseorang
dengan karakteristik TB post-primer, terlihat dari pemeriksaan BTA yang hasilnya positif,
kerusakan paru yang membentuk kavitas, dan pada lobus atas umumnya tidak ada limfadenopati
intratoraks.
TB post-primer dimulai dari sarang dini pada bagian apical lobus superior ataupun inferior,
dan merupakan suatu bentukan sarang yang kecil. Namun sarang kecil ini akan mengalami salah
satu keadaan sebagai berikut :
1. Sarang diresorpsi, dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang meluas, dan menetap mengalami penyembuhan dengan membentuk jaringan fibrotik
serta perkapuran. Bila aktif akan membentuk jaringan kaseosa dan jika dibatukkan akan
menimbulkan kaviti.
3. Sarang ini meluas (sarang pneumonik) membentuk jaringan kaseosa dan jika dibatukkan akan
menimbulkan kaviti, yang awalnya berdinding tipis, lama- kelamaan akan menebal (kaviti
sklerotik). Kaviti akan mengalami :
a Perluasan dan membentuk sarang pneumonik yang baru.
b Sarang akan memadat dan membungkus diri, disebut tuberkuloma dan dapat mengapur
dan sembuh sendiri, namun dapat aktif kembali bila mencair akan menghasilkan kaviti
yang baru.
c Terjadi open healed cavity, artinya sembuh sendiri dan dalam keadaan terbungkus yang
dapat menciut membentuk stellate shape (bentukan bintang).
Bentukan TB post-primer ini antara lain TB paru (kavitas, fibrosis, upperlobe infiltrate,
endobronkial, dan lain- lainnya), dan TB ekstra paru (limfadenopati, efusi pleura, menigitis,
perikarditis, ke tulang, sendi, dan lain- lainnya) (Hood Alsagaff, 2004).
b. Perjalanan Infeksi TB Melalui 5 Stage
Patogenesis dan manifestasi patologinya merupakan hasil respons imun seluler (Cell
Mediated Immunity) dan reaksi hipersensitivitas lambat (DTH) terhadap antigen kuman TB.
 Stage 1: Kuman/basil yang terinhalasi akan memasuki alveoli dan difagositosis oleh makrofag
alveolar. Bila daya tubuh lemah (hal ini tergantung kemampuan mikrobisidal dari makrofag
alveolar dan virulensi dari kuman itu sendiri yang tergantung genetiknya), akan menyebabkan
kuman dapat berkembang/berproliferasi dalam sitoplasma makrofag, sehingga makrofag akan
lisis. Umumnya stage ini tidak terjadi pertumbuhan kuman dan berlangsung selama 7 hari
(David Schlossberg, 2006).
 Stage 2: Merupakan stage simbiosis, kuman dapat tumbuh dalam non-activated macrophage,
dan mengalami lisis, dan bilamana makrofag alveolar yang teraktivasi juga gagal
menghancurkan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kuman tersebut. Kuman
akan keluar, dan difagositosis kembali oleh makrofag lainnya (makrofag alveolar dan “non-
activated blood-borne monocyte/ macrophage”) yang bergerak ke tempat radang karena
adanya faktor kemotaksis komponen C5a dan Monocyte Chemotractant Protein 1 (MPC-1),
serta Cell Mediated Immunity dan faktor- faktor yang dilepaskan oleh kuman- kuman tersebut,
antara lain f-met-leu-phe (David Schlossberg, 2006). Sel-sel radang (makrofag) dan kuman-
kuman TB akan banyak berkumpul ditempat lesi. Simbiosis yang terjadi setelah itu non-
activated macrophage yang belum memiliki kemampuan mikrobisidal serta kemampuan
kuman yang masih minimal karena serangan makrofag alveolar sebelumnya akan tidak
mampu untuk menyerang non- activated macrophage. Sehingga semakin banyak non-
activated macrophage yang keluar dari pembuluh darah semakin banyak pula akumulasi
kuman TB di alveolus (David Schlossberg, 2006).
 Stage 3 : Terjadi kerusakan kaseosa pada tempat lesi dan pertumbuhan kuman dihambat
karena adanya pembatasan oleh respon imun tubuh terhadap Tuberculin like-antigen. Respon
utama ialah respon hipersensitivits lambat (DTH), yang akan menghancurkan makrofag berisi
kuman. Respon ini akan timbul setelah 4- 6 minggu terjadinya infeksi hingga timbul respon
imun spesifik. Dalam solid caseous center kuman TB ekstraseluler tidak dapat tumbuh karena
dikelilingi oleh partly activated macrophage dan non-activated macrophage. Respon imun
dari DTH akan menyebabkan perluasan solid caseous center dan terjadi progresifitas
penyakit, walaupun pertumbuhan kuman secara logaritmik tadi telah berhenti/terhambat.
Kuman TB masih dapat hidup dalam solid caseous center, namun tidak dapat berkembang
biak, karena keadaan yang anoksia (kekurangan/ tidak adanya oksigen dalam jaringan),
penurunan pH, dan adanya inhibitory fatty acid. Kerusakan kaseosa ini disebabkan karena
kuman-kuman mati melepaskan berbagai macam produk, yang merangsang respon imun
DTH, dari limfosit, khususnya Tc, clotting factor, sitokin TNF-α, antigen reaktif, nitrogen
intermediate, kompleks antigen antibody, komplemen dan lain-lainnya. Pada reaksi inflamasi
endotel menjadi aktif dan melepaskan molekul- molekul adhesi (ICAM- 1, VCAM- 1, ELAM-
1), MHC kelas I dan II. Endotel yang aktif dapat mempresentasikan antigen Tuberkulin pada
Tc, sehingga endotel ini akan mengalami jejas dan kaskade koagulasi. Trombosis lokal akan
menyebabkan iskemia dan kerusakan dekat jaringan.
 Stage 4 : Respon tubuh yang berupa cell mediating immunity (CMI), akan berperan dalam
mengaktifkan makrofag. Activated macrophage fagositosis kuman, akan menyelimuti tepi
bagian kerusakan kaseosa untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada keadaan respon CMI
yang lemah, makrofag tidak mampu memfagositosis kuman TB dan menyebabkan kuman
dapat berkembang dalam sitoplasma, hal ini akan dihancurkan oleh respon DTH, namun
kerusakan kaseosa akan semakin meluas. Kuman TB yang terlepas akan masuk kedalam aliran
limfe menuju trakeobronkhial dan menuju organ- organ lainnya.
 Stage 5 : Terjadi likuifikasi kerusakan kaseosa, peningkatan multiplikasi untuk pertama
kalinya pada kuman TB ekstraseluler, dan menghasilkan jumlah banyak. Respon CMI sering
tidak mampu menangani hal ini. Dengan progresifitas penyakit, terjadi perlunakan kerusakan
kaseosa, tebentuk kavitas, dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini terjadi karena enzim
hidrolisis dan respon imun DTH terhadap Tuberkuloprotein, sehingga makrofag tidak dapat
hidup dan menjadi tempat pertumbuhan kuman yang baik. Kuman TB masuk ke dalam
cabang- cabang bronkus dan menyebar ke bagian paru lainnya dan jaringan sekitarnya (Hood
Alsagaff, 2004).
2.7 Diagnosa TB Paru
1. Diagnosa TB paru:
 Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada
orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan dan tes cepat.
 Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.
 Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotikaspekrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak
memberikan perbaikan klinis.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
 Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberculin
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung:
 Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu – Pagi –
Sewaktu);
 Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif.

2. Diagnosis TB ekstra paru:


 Gejala dan keluhan tergantung pada organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB serta deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondylitis TB dan lain-lainnya.
 Diagnosis pasti pada pasien TB ekstra paru ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dana tau histopatologis dari contoh uji yang diambil dari organ tubuh
yang terkena.
 Dilakukan pemeriksaan bakteriologis apabila juga ditemukan keluhan dan gejala
yang sesuai, untuk menemukan kemungkinan adanya TB paru.

Gambar 1.
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes
HIV(+) atau terduga TB Resistan Obat)
Keterangan:
1. Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar
kondisi pasien dalam rekam medis.
Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis
langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV
maupun resistensi OAT.
2. Hasil pemeriksaan BTA negative pada semua contoh uji dahak (SPS)
tidak menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepa
dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4. Pemberian AB (antibiotika) Non OAT yang tidak memberikan efek
pengobatan TB termasuk golongan Kuinolon.
5. Untuk memastikan diagnosis TB
6. Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan
dan Konseling)
7. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan
assessment lanjutan oleh dokter untuk factor-faktor yang bisa mengarah
ke TB.

Diagnosis TB Anak

Kendala utama dalam tatalaksana TB pada anak adalah penegakan diagnosis. Kesulitan
menemukan kuman penyebab pada TB anak menyebabkan penegakan diagnosis TB pada anak
memerlukan kombinasi dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Diagnosis
pada Anak tidak boleh hanya berdasarkan pada Foto Rontgen Dada

Pendekatan diagnosis TB pada Anak menggunakan Sistem Skoring yang disusun Kementerian
Kesehatan bersama dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Sistem Skoring TB Anak
merupakan pembobotan terhadap gejala, tanda klinis dan pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan di Sarana Pelayanan Terbatas. Masing-masing gejala pada sistem skoring harus
dilakukan analisis untuk menentukan apakah termasuk dalam parameter sistem skoring.
Sistem skoring untuk mendiagnosis TB Anak di Indonesia adalah sebagai berikut:
Keterangan :

(*) Gejala TB anak sesuai dengan parameter sistem skoring

(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila ditemukan
skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada fasyankes
yang tidak tersedia uji tuberkulin.

 Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan
perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada
awal diagnosis.
 Anak dengan pembesaran kelenjar leher tidak selalu menderita TB Anak. Pertimbangkan
kemungkinan diagnosis yang lain misalnya infeksi leher, amandel, dan keganasan.
Pembesaran kelenjar leher yang mendukung gejala TB Anak bersifat tidak nyeri, multiple,
diameter lebih dari 1 cm.
 Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan fasilitas terbatas (misalnya tidak terdapat Uji
Tuberkulin, Rontgen Dada) diperbolehkan untuk mendiagnosis menggunakan Sistem
Skoring, apabila terdapat keraguan maka dokter agar merujuk pasien ke fasyankes
sekunder (RS, BKPM, BBKPM).
 Pemeriksaan tuberkulin dilakukan pada anak dengan gejala TB untuk melihat adanya
infeksi TB pada anak.
 Pemeriksaan tuberkulin menggunakan larutan Tuberkulin PPD RT 23 2TU
 Pemeriksaan tuberkulin dapat dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit, BKPM dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
 Hasil pemeriksaan tuberkulin dapat diketahui setelah 48-72 jam sejak penyuntikan.
 Larutan Tuberkulin yang sudah dibuka dapat digunakan sampai 1 bulan dengan
memperhatikan cara penyimpanan, masa kadaluarsa, tindakan aseptik dan antiseptik saat
pengambilan. Catat tanggal penggunaan larutan tuberkulin untuk pertama kalinya.
o Anak dengan hasil uji tuberkulin yang positif berarti anak tersebut terbukti
terinfeksi TB. Untuk membuktikan apakah anak sakit TB, dokter menggunakan
pendekatan sistem skoring.
o Pemeriksaan serologis tidak diperbolehkan untuk diagnosis TB Paru maupun TB
Ekstra Paru.
 Penyuntikan Tuberkulin disusun dalam jejaring Fasyankes dan Fasyankes Rujukan
Tuberkulin. Fasyankes Rujukan Tuberkulin dapat berupa Puskesmas, Rumah Sakit,
BKPM/BBKPM. Fasyankes Rujukan Tuberkulin menerima Rujukan dari Fasyankes untuk
menyuntik tuberkulin.

2.8 Pengobatan Tuberculosis


Tujuan dan prinsip pengobatan tuberkulosis
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap
Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut (Kementerian
Kesehatan RI, 2011):
1. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup
dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan
2. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOTS
= Directly Observed Treatment Short-course) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO)
3. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tahap awal (intensif): pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu
2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan
(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Tahap lanjutan: pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Panduan pengobatan OAT yang digunakan di Indonesia


Obat TB utama yang digunakan sebagai lini pertama (first line) saat ini adalah rifampisin
(R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid
merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin
(Sudoyo et al., 2009).
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011), OAT yang lazim digunakan
dalam pengobatan tuberkulosis menurut jenis, sifat dan dosis tercantum dalam tabel berikut:
Tabel 1. Jenis, sifat dan dosis OAT
Jenis OAT Sifat Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampisin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pirazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomisin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
Berdasarkan Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia tahun 2011,
pengobatan tuberkulosis terdiri dari pengobatan kategori I, kategori II, kategori anak dan sisipan.
Pengobatan OAT kategori I dan II disediakan dalam bentuk paket berbentuk kombinasi dosis tetap
(KDT), sedangkan kategori anak disediakan dalam bentuk kombipak. Tablet OAT-KDT ini terdiri
dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Kombinasi 2 KDT terdiri dari rifampisin dan
isoniazid, sedangkan kombinasi 4 KDT terdiri dari rifampisin, isoniazid, pirazinamid dan
etambutol. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien (Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2.9 Hasil Pengobatan
Hasil pengobatan seorang penderita dapat dikategorikan sebagai (Yuanasari, 2009) :
(1) Sembuh : penderita dinyatakan sembuh bila telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dan pemeriksaan dahak 3 kali berturut-turut hasilnya negatif.
(2) Pengobatan lengkap : penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara
lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak paling sedikit 2 kali berturut-
turut hasilnya negatif.
(3) Meninggal : penderita yang dalam masa pengobatan dikarenakan meninggal karena
sebab apapun.
(4) Pindah : penderita yang pindah berobat ke kabupaten lain.
(5) Drop out / DO : penderita yang tidak mengambil obat 2 kali berturut-turut atau sebelum
masa pengobatan selesai
(6) Gagal dengan criteria, penderita BTA positif hasil pemeriksaan dahaknya tetap
positif/kembali positif pada 1 bulan sebelum akhir pengobatan atau penderita BTA
negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke-2 menjadi positif.
2.10 Diagnosa Banding
Banyak diagnosa banding yang dapat dikemukakan karena tuberculosis dapat
menimbulkan infeksi yang sistemik yang menyerupai penyakit lainnya . Beberapa
diagnosa banding Tuberculosis Paru yang mungkin dapat dipertimbangkan antara lain
Actinomycosis, Aspergillosis, Bronchiectasis, Histoplasmosis, Abses paru, Keganasan,
Nocardiosis, dan pneumonia.

2.11 Pemeriksaan Foto Polos Dada Pada Pasien TB Paru


a. Definisi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan penyinaran radiasi sinar-X pada regio toraks
atau dada, biasanya dibuat dengan arah postero-anterior (PA) dan lateral bila perlu,
kemudian untuk dicetak pada film khusus yang sensitif (Sjahriar Rasad, 2005).
b. Cara-Cara Pemeriksaan
Biasanya foto polos dada (roentgen) dibuat dengan arah postero-anterior (PA), dan
lateral bila perlu. Agar distorsi dan magnifikasi yang diperoleh menjadi sekecil mungkin,
maka jarak antara tabung dan film harus 1.80 meter dan foto dibuat sewaktu penderita
sedang bernapas dalam (inspirasi). Tekanan listrik yang biasanya dipergunakan antara 60-
90 KV, semakin tinggi semakin baik, karena ini mengurangi kontras antara hitam dan
putih, yang juga akan menambah daya tembus sinar, sehingga bagian-bagian mediastinal
dan retrokardial bisa semakin jelas (Sjahriar Rasad, 2005).
Beberapa proyeksi-proyeksi istimewa diperlukan untuk melihat sarang-sarang yang
agak tersembunyi pada proyeksi yang biasa dan proyeksi itu antara lain ialah proyeksi
oblique (miring), dibuat dengan sudut 45o dan diberi nama menurut bagian dada yang
terletak dekat dengan film dan terjauh dari tabung Roentgen, misalnya miring anterior
kanan (MAK), berarti penderita berdiri dengan bagian kanan dada depan bersentuhan
dengan kaset film pada sudut 45o dan bagian kiri atau punggung kiri terletak dekat pada
punggung. Proyeksi istimewa lainnya ialah proyeksi lordotik puncak paru dengan arah
sinar antero-posterior (AP). Hal ini dilakukan untuk menyelidiki sarang- sarang yang
terletak di apeks (puncak) paru, yang pada proyeksi postero-anterior (PA) biasanya
tersembunyi yang pada umumnya pada klavikula dan kosta I. Pembuatan foto juga penting
untuk dokumentasi dan pemeriksaan berkala untuk meneliti perkembangan (follow up)
penyakit apakah mengalami perbaikan atau perburukan (Sjahriar Rasad, 2005).

c. Klasifikasi Tuberkulosis Sekunder berdasarkan gambaran foto Roentgen


Menurut American Tuberculosis Association (ATA) klasifikasi tuberkulosis
sekunder sebagai berikut:
1. Tuberkulosis minimal, yaitu luas sarang- sarang yang kelihatan tidak melebihi
daerah yang dibatasi oleh garis median, apeks, dan iga/costa dua depan, sarang-sarang
soliter dapat berada di mana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas. Pada
lesi ini tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).
2. Tuberkulosis lanjut sedang (moderately advanced tuberculosis), yaitu luas sarang-
sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu paru, sedangkan bila ada
lubang, diameternya tidak melebihi 4cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang tersebut
berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya
tidak boleh melebihi luas satu lobus.
3. Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis), yaitu luas daerah yang
dihinggapi oleh sarang-sarang lebih daripada klasifikasi kedua diatas, atau bila lubang-
lubang, maka diameter keseluruhan semua lubang melebihi 4 cm (Sjahriar Rasad,
2005).

2.12 Prognosis
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang baik.
Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1 tahun
setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah.
Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis
biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh
penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
2.13 Kumpulan Gambaran Radiologis dengan Tuberkulosis

Keterangan : Awan-awan dan bercak-bercak; tingkat Minimal

Keterangan : Awan-awan dan lubang-lubang besar (diameter total 4 cm). Tingkat sangat Lanjut
ATA.
Keterangan : Garis-garis Fibrotik (proses lama dan tenang)

Keterangan : Tuberkulosis Miliaris


Keterangan : Sputumculture–positive TB in an 82-year-old Asian woman. Close-up radiographic
view of right upper lobe shows an ill-defined area of increased opacity (arrow) associated with
calcification in the retroclavicular region

Keterangan : Chest radiograph obtained in a 3-year-old Hispanic boy shows mediastinal and right
hilar lymphadenopathy. Atelectasis of the right lower lobe is present with depression of the major
fissure
Keterangan : Chest radiograph obtained in a 19-year-old woman shows a large right-sided pleural
effusion (curved arrows) associated with right hilar lymphadenopathy (straight arrows).

Keterangan : Postprimary pattern of TB in a 54-year-old Hispanic man. (a) Radiograph obtained


at presentation shows focal areas of confluent consolidation (large arrows) in the bilateral upper
lobes. In the right lung, multiple ill-defined, 5–8-mm nodules (small arrows) can be identified; in
the more severely affected left lung, a bronchopneumonia pattern is present predominating in the
lower lobe. (b) Radiograph obtained 3 months after initiation of treatment shows that improvement
has occurred, with resolution of right lung nodules. Reticulonodular opacities persist in bilateral
upper and left lower lung zones.
Keterangan : Complications of childhood TB causing recurrent hemoptysis in a young black man.
(a) Detailed radiographic view obtained when the patient was 28 years old shows a cavity (arrows)
in the left upper lobe. (b) Eleven years later, detailed radiographic view shows development of a
nodule (arrows) in the cavity.
BAB III

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK UNAIR
Amin Zulkiflim Bahar Asril. Tuberkulosis Paru. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 5.
Jakarta: Penerbit FK UI; 2010. 2230-39.

Brooks, G.F., Butel, J. S., Morse, S. A. 2004. Jawetz, Melnick & Adelbergh’s: Mikrobiologi
Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed IV. Jakarta
: BPFKUI: 988-994.

Helmia Hasan. Tuberkulosis Paru. In: Wibisono Jusuf et al. Buku Ajar Ilmu penyakit Paru.
Surabaya: Penerbit FK Unair; 2010. 9-26.

Kedokteran. Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.

Kementerian Kesehatan. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014.


Available at : www.pppl.depkes.go.id/_asset/_regulasi/STRANAS_TB.pdf (cited: April, 2nd 2016)
Infodatin. 2015. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.

Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. ISBN
978-602-235-733-9. Available at : http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-tbnasional2014.pdf
(cited: April, 2nd 2016)

Rasjad, Sjahriar,(2005),Radiologi Diagnostik.Ed. 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Schlossberg, David,(2006),Tuberculosis & Nontuberculous Mycobacterial Infections.Ed.


5.United States of America: McGraw- Hill
Sudoyo, A.W., et al. (2009),Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta; Pusat Penerbitan
Departeman Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia.
WHO. 2015. Country Profiles for 22 High-Burden Countries. Available at :
http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr15_annex02.pdf?ua=1 (cited: April, 2nd
2016)

Anda mungkin juga menyukai