TUBERKULOSIS PARU
Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Kedokteran Komunitas II
Puskesmas Pondok Ranji
Disusun oleh :
Afifah Qonita
Doni Ananda K.
Mundri Nur Afsari
Rezky Putri
Sri Jayanti
Suci Susanti
TANGGERANG SELATAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri mikobakterium tuberkulosa (dan
kadang-kadang oleh M. Bovis dan africanum) yang penularannya terjadi melalui udara (airborne
spreading) dari droplet infeksi (Hasan, 2010).
Meskipun jumlah kasusTB dan jumlah kematian TB tetap tinggi untuk penyakit yang
sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan tetap menunjukkan keberhasilan dalam pengendalian
TB. Peningkatan angka insidensi TB secara global telah berhasil dihentikan dan telah
menunjukkan penurunan (turun 2% per tahun pada tahun 2012 (Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis, 2014).
Kuman tuberkulosis
Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 µm
(Brooks,et al 2004). Mycobacterium tuberculosis dapat dilihat dengan pewarnaan tahan asam dan
berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan
arabinoman. Lipid inilah yang menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap
asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA)
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 (berdasarkan data tahun 2010) sekitar 8,8 juta (antara 8,5-
9,2 juta) kasus baru terjadi di seluruh dunia. Masih berdasarkan data pada tahun 2010, diperkirakan
pula sebanyak 1,1 juta kematian (rentang antara 0,9-1,2 juta) terjadi akibat tubeculosis pada
penderita TB dengan HIV negatif dan sebanyak 0,35 juta kematian (rentang 0.32-0.39 juta ) yang
terjadi akibat TB pada penderita dengan HIV positif. Hal yang perlu dicermati adalah penurunan
jumlah absolut kasus TB sejak tahun 2006, diikuti dengan penurunan insidensi kejadian dengan
angka estimasi kematian sejak tahun 2002. Dan sekitar 10 juta anak-anak di tahun 2009 menjadi
yatim piatu karena orang tua yang mengidap TB.
Berdasarkan laporan WHO tahun 2011 terdapat 5.7 kasus TB paru baru setara dengan 65% angka
prediksi di tahun 2011. India dan China memberikan kontribusi 40% total penderita baru TB dan
Afrika menyumbang 24% pasien baru. Secara global angka keberhasilan terapi pada penderita
baru TB dengan sputum BTA positif adalah 87% di tahun 2009 MDR-TB dideteksi mencapai
46.000 kasus. Walaupun jauh dibawah angka estimasi yakni 290.000 kasus, MDR-TB masih
menjadi tantangan besar hingga saat ini.
Survei prevalensi TB yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada tahun 1983-1993
menunjukkan bahwa prevalensi TB di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut
laporan Penanggulangan TB Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2010, angka insiden
TB di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 430.000 kasus, dan dengan 62.000 kasus berakhir
dengan kematian. Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh Rao et al dari Universitas
Queensland berdasarkan data epidemiologi tahun 2007-2008 menunjukkan bahwa angka kematian
akibat tuberculosis di Indonesia sangat tinggi terutama di propinsi Papua.
Berdasarkan data WHO tahun 2011 prevalensi TB di Indonesia mencapai 1.200.000 kasus
atau 484 kasus per 100.000 populasi dengan angka mortalitas mencapai 91.000 kasus atau 38 orang
per 100.000 populasi. Insidensi TB mencapai 540.000 kasus atau 226 kasus per 100.000 populasi
dengan 29.000 kasus TB HIV positif.
Diperkirakan telah terdapat 440.000 kasus dari multi-drug resistant TB (MDR-TB) pada
tahun 2008. Keempat negara yang memiliki jumlah kasus MDR-TB tertinggi adalah China
(100.000 kasus), India (99.000 kasus), Federasi Rusia (38.000 kasus), dan Afrika Selatan (13.000
kasus). Dan pada Oktober 2011, 77 negara dan wilayah telah melaporkan setidaknya terdapat satu
kasus dari extensively drug-resistant TB (XDR-TB).
2.4 Etiologi
TB paru disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang merupakan batang aerobik
tahan asam yang tumbuh lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar UV Bakteri yang jarang
sebagai penyebab, tetapi pernah terjadi adalah M. Bovis dan M. Avium (Amin, 2010)
Cara Penularan
Pasien dengan TB BTA positif merupakan sumber penularan baik pada waktu dahak
ataupun bersin, batuk, bicara dengan orang lain, dan kegiatan lainnya seperti menyanyi, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk (droplet nuclei/ bersin). Sekali batuk dapat
menghasilkan 3000 percikan (David Schlossberg, 2006).
Biasanya droplet nuklei yang berada di udara bebas yang terbawa oleh tiupan angin akan
memasuki saluran pernapasan atas, baik yang ukurannya antara 1-10 mikrometer, sebagian besar
akan terperangkap, namun ada juga yang dipaksa keluar dari faring oleh mekanisme mukosiliaris
di daerah traktus respiratorius bawah, serta ada yang ikut tertelan dan masuk dalam sistem
pencernaan (David Schlossberg, 2006).Percikan dahak yang bertahan lama, bisa meningkatkan
kejadian infeksi, bila dalam ruangan, namun dalam ruangan yang berventilasi, penyebaran
percikan akan cepat hilang, di dukung dengan adanya sinar matahari bisa membunuh kuman
tersebut. Sebaliknya dalam keadaan lembab dan gelap kuman akan bertahan hidup lebih lama
(Pedoman Nasional Tuberkulosis, 2014).
B. Tipe penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya ada beberapa tipe
penderita yaitu (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011) :
1. Kasus Baru
Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT Kurang dari satu bulan (30 Dosis Harian).
2. Kambuh ( Relaps )
Relaps adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan ( Transfer in )
Pindahan adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu Kabupaten lain dan
kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan /pindahan (Form TB 09 ).
4. Setelah lalai ( Pengobatan setelah default / drop-out )
Drop out adalah penderita yang sudah berobat paling kurang I bulan dan berhenti 2 bulan atau
lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Lain- lain
(a) Gagal
Ada penderita BTA Positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan atau lebih). Gagal adalah penderita
dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2
pengobatan.
(b) Kasus Kronis
Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2.
2.6 Patogenesis
a. Tuberkulosis Post-Primer
Timbul setelah terjadinya TB primer dan basil mengalami reaktivasi. Hal ini terjadi karena
basil telah berhenti mengalami masa dorman dan mulai multiplikasi selanjutnya dan terjadi
beberapa bulan/tahun setelah TB primer. Hal ini akan timbul bila orang dengan daya tahan tubuh
yang lemah. Istilah reinfeksi merupakan infeksi ulang yang menyerang penderita yang sudah
pernah mengalami TB primer, umumnya menyerang paru pada orang usia dewasa. Seseorang
dengan karakteristik TB post-primer, terlihat dari pemeriksaan BTA yang hasilnya positif,
kerusakan paru yang membentuk kavitas, dan pada lobus atas umumnya tidak ada limfadenopati
intratoraks.
TB post-primer dimulai dari sarang dini pada bagian apical lobus superior ataupun inferior,
dan merupakan suatu bentukan sarang yang kecil. Namun sarang kecil ini akan mengalami salah
satu keadaan sebagai berikut :
1. Sarang diresorpsi, dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.
2. Sarang meluas, dan menetap mengalami penyembuhan dengan membentuk jaringan fibrotik
serta perkapuran. Bila aktif akan membentuk jaringan kaseosa dan jika dibatukkan akan
menimbulkan kaviti.
3. Sarang ini meluas (sarang pneumonik) membentuk jaringan kaseosa dan jika dibatukkan akan
menimbulkan kaviti, yang awalnya berdinding tipis, lama- kelamaan akan menebal (kaviti
sklerotik). Kaviti akan mengalami :
a Perluasan dan membentuk sarang pneumonik yang baru.
b Sarang akan memadat dan membungkus diri, disebut tuberkuloma dan dapat mengapur
dan sembuh sendiri, namun dapat aktif kembali bila mencair akan menghasilkan kaviti
yang baru.
c Terjadi open healed cavity, artinya sembuh sendiri dan dalam keadaan terbungkus yang
dapat menciut membentuk stellate shape (bentukan bintang).
Bentukan TB post-primer ini antara lain TB paru (kavitas, fibrosis, upperlobe infiltrate,
endobronkial, dan lain- lainnya), dan TB ekstra paru (limfadenopati, efusi pleura, menigitis,
perikarditis, ke tulang, sendi, dan lain- lainnya) (Hood Alsagaff, 2004).
b. Perjalanan Infeksi TB Melalui 5 Stage
Patogenesis dan manifestasi patologinya merupakan hasil respons imun seluler (Cell
Mediated Immunity) dan reaksi hipersensitivitas lambat (DTH) terhadap antigen kuman TB.
Stage 1: Kuman/basil yang terinhalasi akan memasuki alveoli dan difagositosis oleh makrofag
alveolar. Bila daya tubuh lemah (hal ini tergantung kemampuan mikrobisidal dari makrofag
alveolar dan virulensi dari kuman itu sendiri yang tergantung genetiknya), akan menyebabkan
kuman dapat berkembang/berproliferasi dalam sitoplasma makrofag, sehingga makrofag akan
lisis. Umumnya stage ini tidak terjadi pertumbuhan kuman dan berlangsung selama 7 hari
(David Schlossberg, 2006).
Stage 2: Merupakan stage simbiosis, kuman dapat tumbuh dalam non-activated macrophage,
dan mengalami lisis, dan bilamana makrofag alveolar yang teraktivasi juga gagal
menghancurkan dan menghambat pertumbuhan dan perkembangan kuman tersebut. Kuman
akan keluar, dan difagositosis kembali oleh makrofag lainnya (makrofag alveolar dan “non-
activated blood-borne monocyte/ macrophage”) yang bergerak ke tempat radang karena
adanya faktor kemotaksis komponen C5a dan Monocyte Chemotractant Protein 1 (MPC-1),
serta Cell Mediated Immunity dan faktor- faktor yang dilepaskan oleh kuman- kuman tersebut,
antara lain f-met-leu-phe (David Schlossberg, 2006). Sel-sel radang (makrofag) dan kuman-
kuman TB akan banyak berkumpul ditempat lesi. Simbiosis yang terjadi setelah itu non-
activated macrophage yang belum memiliki kemampuan mikrobisidal serta kemampuan
kuman yang masih minimal karena serangan makrofag alveolar sebelumnya akan tidak
mampu untuk menyerang non- activated macrophage. Sehingga semakin banyak non-
activated macrophage yang keluar dari pembuluh darah semakin banyak pula akumulasi
kuman TB di alveolus (David Schlossberg, 2006).
Stage 3 : Terjadi kerusakan kaseosa pada tempat lesi dan pertumbuhan kuman dihambat
karena adanya pembatasan oleh respon imun tubuh terhadap Tuberculin like-antigen. Respon
utama ialah respon hipersensitivits lambat (DTH), yang akan menghancurkan makrofag berisi
kuman. Respon ini akan timbul setelah 4- 6 minggu terjadinya infeksi hingga timbul respon
imun spesifik. Dalam solid caseous center kuman TB ekstraseluler tidak dapat tumbuh karena
dikelilingi oleh partly activated macrophage dan non-activated macrophage. Respon imun
dari DTH akan menyebabkan perluasan solid caseous center dan terjadi progresifitas
penyakit, walaupun pertumbuhan kuman secara logaritmik tadi telah berhenti/terhambat.
Kuman TB masih dapat hidup dalam solid caseous center, namun tidak dapat berkembang
biak, karena keadaan yang anoksia (kekurangan/ tidak adanya oksigen dalam jaringan),
penurunan pH, dan adanya inhibitory fatty acid. Kerusakan kaseosa ini disebabkan karena
kuman-kuman mati melepaskan berbagai macam produk, yang merangsang respon imun
DTH, dari limfosit, khususnya Tc, clotting factor, sitokin TNF-α, antigen reaktif, nitrogen
intermediate, kompleks antigen antibody, komplemen dan lain-lainnya. Pada reaksi inflamasi
endotel menjadi aktif dan melepaskan molekul- molekul adhesi (ICAM- 1, VCAM- 1, ELAM-
1), MHC kelas I dan II. Endotel yang aktif dapat mempresentasikan antigen Tuberkulin pada
Tc, sehingga endotel ini akan mengalami jejas dan kaskade koagulasi. Trombosis lokal akan
menyebabkan iskemia dan kerusakan dekat jaringan.
Stage 4 : Respon tubuh yang berupa cell mediating immunity (CMI), akan berperan dalam
mengaktifkan makrofag. Activated macrophage fagositosis kuman, akan menyelimuti tepi
bagian kerusakan kaseosa untuk mencegah terlepasnya kuman. Pada keadaan respon CMI
yang lemah, makrofag tidak mampu memfagositosis kuman TB dan menyebabkan kuman
dapat berkembang dalam sitoplasma, hal ini akan dihancurkan oleh respon DTH, namun
kerusakan kaseosa akan semakin meluas. Kuman TB yang terlepas akan masuk kedalam aliran
limfe menuju trakeobronkhial dan menuju organ- organ lainnya.
Stage 5 : Terjadi likuifikasi kerusakan kaseosa, peningkatan multiplikasi untuk pertama
kalinya pada kuman TB ekstraseluler, dan menghasilkan jumlah banyak. Respon CMI sering
tidak mampu menangani hal ini. Dengan progresifitas penyakit, terjadi perlunakan kerusakan
kaseosa, tebentuk kavitas, dan erosi dinding bronkus. Perlunakan ini terjadi karena enzim
hidrolisis dan respon imun DTH terhadap Tuberkuloprotein, sehingga makrofag tidak dapat
hidup dan menjadi tempat pertumbuhan kuman yang baik. Kuman TB masuk ke dalam
cabang- cabang bronkus dan menyebar ke bagian paru lainnya dan jaringan sekitarnya (Hood
Alsagaff, 2004).
2.7 Diagnosa TB Paru
1. Diagnosa TB paru:
Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB Paru pada
orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan pemeriksaan bakteriologis.
Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan dan tes cepat.
Apabila pemeriksaan secara bakteriologis hasilnya negatif, maka penegakan
diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinis
dan penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai dan
ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB.
Pada sarana terbatas penegakan diagnosis secara klinis dilakukan setelah
pemberian terapi antibiotikaspekrum luas (Non OAT dan Non kuinolon) yang tidak
memberikan perbaikan klinis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks
saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru,
sehingga dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun underdiagnosis.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberculin
Pemeriksaan Dahak Mikroskopis Langsung:
Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopis
langsung, terduga pasien TB diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu – Pagi –
Sewaktu);
Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu) dari pemeriksaan contoh uji
dahak SPS hasilnya BTA positif.
Gambar 1.
Alur diagnosis dan tindak lanjut TB Paru pada pasien dewasa (tanpa kecurigaan/bukti: hasil tes
HIV(+) atau terduga TB Resistan Obat)
Keterangan:
1. Pemeriksaan klinis secara cermat dan hasilnya dicatat sebagai data dasar
kondisi pasien dalam rekam medis.
Untuk faskes yang memiliki alat tes cepat, pemeriksaan mikroskopis
langsung tetap dilakukan untuk terduga TB tanpa kecurigaan/bukti HIV
maupun resistensi OAT.
2. Hasil pemeriksaan BTA negative pada semua contoh uji dahak (SPS)
tidak menyingkirkan diagnosis TB. Apabila akses memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan tes cepat dan biakan. Untuk pemeriksaan tes cepa
dapat dilakukan hanya dengan mengirimkan contoh uji.
3. Sebaiknya pembacaan hasil foto toraks oleh seorang ahli radiologi.
4. Pemberian AB (antibiotika) Non OAT yang tidak memberikan efek
pengobatan TB termasuk golongan Kuinolon.
5. Untuk memastikan diagnosis TB
6. Dilakukan TIPK (Test HIV atas Inisiatif Pemberi Pelayanan Kesehatan
dan Konseling)
7. Bila hasil pemeriksaan ulang tetap BTA negatif, lakukan observasi dan
assessment lanjutan oleh dokter untuk factor-faktor yang bisa mengarah
ke TB.
Diagnosis TB Anak
Kendala utama dalam tatalaksana TB pada anak adalah penegakan diagnosis. Kesulitan
menemukan kuman penyebab pada TB anak menyebabkan penegakan diagnosis TB pada anak
memerlukan kombinasi dari gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang yang relevan. Diagnosis
pada Anak tidak boleh hanya berdasarkan pada Foto Rontgen Dada
Pendekatan diagnosis TB pada Anak menggunakan Sistem Skoring yang disusun Kementerian
Kesehatan bersama dengan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia). Sistem Skoring TB Anak
merupakan pembobotan terhadap gejala, tanda klinis dan pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan di Sarana Pelayanan Terbatas. Masing-masing gejala pada sistem skoring harus
dilakukan analisis untuk menentukan apakah termasuk dalam parameter sistem skoring.
Sistem skoring untuk mendiagnosis TB Anak di Indonesia adalah sebagai berikut:
Keterangan :
(**) Pertimbangan dokter untuk mendapatkan terapi TB anak pada skor < 6 bila ditemukan
skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif disertai dengan 2 gejala klinis lainnya pada fasyankes
yang tidak tersedia uji tuberkulin.
Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya
diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan
diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun kepatuhan berobat dari
pasien. Apabila fasilitas memungkinkan, pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan
perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada
awal diagnosis.
Anak dengan pembesaran kelenjar leher tidak selalu menderita TB Anak. Pertimbangkan
kemungkinan diagnosis yang lain misalnya infeksi leher, amandel, dan keganasan.
Pembesaran kelenjar leher yang mendukung gejala TB Anak bersifat tidak nyeri, multiple,
diameter lebih dari 1 cm.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan fasilitas terbatas (misalnya tidak terdapat Uji
Tuberkulin, Rontgen Dada) diperbolehkan untuk mendiagnosis menggunakan Sistem
Skoring, apabila terdapat keraguan maka dokter agar merujuk pasien ke fasyankes
sekunder (RS, BKPM, BBKPM).
Pemeriksaan tuberkulin dilakukan pada anak dengan gejala TB untuk melihat adanya
infeksi TB pada anak.
Pemeriksaan tuberkulin menggunakan larutan Tuberkulin PPD RT 23 2TU
Pemeriksaan tuberkulin dapat dilakukan di Puskesmas, Rumah Sakit, BKPM dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya.
Hasil pemeriksaan tuberkulin dapat diketahui setelah 48-72 jam sejak penyuntikan.
Larutan Tuberkulin yang sudah dibuka dapat digunakan sampai 1 bulan dengan
memperhatikan cara penyimpanan, masa kadaluarsa, tindakan aseptik dan antiseptik saat
pengambilan. Catat tanggal penggunaan larutan tuberkulin untuk pertama kalinya.
o Anak dengan hasil uji tuberkulin yang positif berarti anak tersebut terbukti
terinfeksi TB. Untuk membuktikan apakah anak sakit TB, dokter menggunakan
pendekatan sistem skoring.
o Pemeriksaan serologis tidak diperbolehkan untuk diagnosis TB Paru maupun TB
Ekstra Paru.
Penyuntikan Tuberkulin disusun dalam jejaring Fasyankes dan Fasyankes Rujukan
Tuberkulin. Fasyankes Rujukan Tuberkulin dapat berupa Puskesmas, Rumah Sakit,
BKPM/BBKPM. Fasyankes Rujukan Tuberkulin menerima Rujukan dari Fasyankes untuk
menyuntik tuberkulin.
2.12 Prognosis
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang baik.
Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1 tahun
setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah.
Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis
biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh
penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
2.13 Kumpulan Gambaran Radiologis dengan Tuberkulosis
Keterangan : Awan-awan dan lubang-lubang besar (diameter total 4 cm). Tingkat sangat Lanjut
ATA.
Keterangan : Garis-garis Fibrotik (proses lama dan tenang)
Keterangan : Chest radiograph obtained in a 3-year-old Hispanic boy shows mediastinal and right
hilar lymphadenopathy. Atelectasis of the right lower lobe is present with depression of the major
fissure
Keterangan : Chest radiograph obtained in a 19-year-old woman shows a large right-sided pleural
effusion (curved arrows) associated with right hilar lymphadenopathy (straight arrows).
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: FK UNAIR
Amin Zulkiflim Bahar Asril. Tuberkulosis Paru. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed. 5.
Jakarta: Penerbit FK UI; 2010. 2230-39.
Brooks, G.F., Butel, J. S., Morse, S. A. 2004. Jawetz, Melnick & Adelbergh’s: Mikrobiologi
Bahar, A. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Ed IV. Jakarta
: BPFKUI: 988-994.
Helmia Hasan. Tuberkulosis Paru. In: Wibisono Jusuf et al. Buku Ajar Ilmu penyakit Paru.
Surabaya: Penerbit FK Unair; 2010. 9-26.
Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. ISBN
978-602-235-733-9. Available at : http://spiritia.or.id/dokumen/pedoman-tbnasional2014.pdf
(cited: April, 2nd 2016)