Anda di halaman 1dari 19

Mata Kuliah Manajemen Perpajakan

Institut Stiami

Tahun Akademik 2018/2019


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam era globalisasi seperti saat ini, dunia seolah-olah tanpa batas. Pengaruh
globalisasi juga terjadi dalam bidang ekonomi dan bisnis. Perusahaan-perusahaan tidak hanya
melakukan kegiatan bisnisnya hanya satu negara saja. Banyak perusahaan yang melaksanakan
kegiatan lintas negara, baik melalui cabang maupun anak perusahaannya. Perusahaan-
perusahaan semacam ini dinamakan perusahaan multinasional (multinational corporation atau
multinational company/MNC).

Salah satu perusahaan multinasional terbesar di dunia adalah Toyota. Toyota adalah
perusahaan otomotif yang berpusat di Jepang. Toyota memiliki banyak cabang, anak
perusahaan, dan perusahaan terafiliasi di berbagai negara di seluruh dunia. Salah satu anak
perusahaan Toyota di adalah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang berkedudukan
di Indonesia.

Pengelolaan perusahaan multinasional tentunya berbeda dengan pengelolaan yang


hanya berbasis di satu negara. Pengelolaan keuangan perusahaan multinasional menggunakan
suatu skema yang lebih kompleks guna memaksimalkan keuntungannya. Salah satu skema
pengelolaan keuangan yang digunakan oleh perusahaan multinasional adalah transfer pricing,
terutama untuk perencanaan pajaknya.

Transfer pricing adalah suatu mekanisme yang umum digunakan oleh perusahaan
multinasional untuk perencanaan pajaknya. Transfer pricing untuk tujuan perencanaan pajak
tidak sepenuh nya ilegal, asalkan memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh
pemerintah suatu negara. Idealnya, transfer pricing suatu perusahaan multinasional dapat
mengurangi beban pajak perusahaan dari sudut pandang konsolidasi, sementara di sisi lain tetap
memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Akan tetapi, hal yang terjadi untuk kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
tidaklah demikian. Berdasarkan hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2005 sampai dengan Tahun Pajak 2008, PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia dianggap telah melakukan transfer pricing yang ilegal
1
sehingga mengecilkan pajak yang harus dibayarnya di Indonesia. Atas hasil pemeriksaan DJP
ini PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia telah melakukan upaya hukum sampai dengan
tingkat banding ke Pengadilan Pajak. Namun, sampai saat ini putusan banding atas kasus ini
belum terbit.

Kasus pajak terkait praktik transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
menarik untuk dibahas. DJP, selaku otoritas pajak Indonesia, dapat mengambil pelajaran
berharga dari kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Pada makalah
ini, penulis akan melakukan analisis tentang kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia, kendala yang dihadapi DJP dalam kasus ini, serta alternatif
pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus transfer pricing di masa
mendatang.

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kasus pajak terkait transfer pricing yang terjadi pada PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia?
2. Kendala apakah yang dihadapi oleh DJP dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia?
3. Bagaimanakah alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus
transfer pricing di masa mendatang?

1.3. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana kasus pajak terkait transfer pricing yang terjadi pada PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia
2. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh DJP dalam kasus transfer pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia
3. Memberikan alternatif pemecahan masalah bagi DJP untuk menghadapi kasus-kasus
transfer pricing di masa mendatang.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Transfer Pricing

Transfer pricing adalah suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran antar
divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya divisi
pembeli (buying divison).Transfer pricing sering juga disebut dengan intracompany pricing,
intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang
diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar
anggota (grup perusahaan).

Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk-produk antara (intermediate


product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang dipasok okeh divisi penjual
kepada divisi pembeli. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang
secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering
dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk mengurangi
laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.

Jadi, dalam konteks satu perusahaan, transfer pricing adalah suatu kebijakan penentuan
harga untuk penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan.

Jika dilihat dari sudut pandang perusahaan multinasional, transfer pricing menurut
Madura (2014, 708) adalah “policy for pricing goods sent by either the parent or a subsidiary
to a subsidiary of an MNC”. Definisi ini tidaklah jauh berbeda dari definisi yang diberikan oleh
Hansen dan Mowen, Bhimani, Horngren, Datar, dan Foster, serta Garrison, Noreen, dan
Brewer di atas. Pada intinya, transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk
penjualan barang/jasa yang terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok
perusahaan. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja divisi dan
penentuan beban pajak yang optimal.

Pada umumnya, terdapat tiga pendekatan untuk penentuan kebijakan transfer price
yang digunakan, yaitu market price, cost-based transfer price, dan negotiated transfer price.
Namun, Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012, 485) menambahkan satu pendekatan
penentuan transfer price, yaitu administered transfer price.

3
1. Market-Based Transfer Price
Jika barang/jasa yang akan ditransfer memiliki pasar ekternal yang kompetitif, maka
harga yang digunakan sebagai transfer price adalah harga pasar. Pendekatan harga pasar ini
adalah pendekatan yang paling baik digunakan untuk penentuan transfer price. Akan tetapi,
pendekatan harga pasar ini sulit untuk diterapkan karena jarang sekali terdapat suatu pasar
eksternal yang kompetitif untuk semua jenis barang/jasa.

2. Cost-Based Transfer Price


Karena jarang sekali terdapat suatu pasar eksternal yang kompetitif untuk semua jenis
barang/jasa, maka perusahaan dapat menggunakan pendekatan biaya untuk penentuan transfer
price. Transfer price ditentukan berdasarkan biaya untuk memproduksi barang/jasa.
Perusahaan dapat menggunakan biaya berdasarkan variable costing atau full (absorption)
costing. Namun, penentuan transfer price berdasarkan biaya memiliki tiga kelemahan, yaitu:
a. penggunaan biaya, terutama full cost, dapat menyebabkan pengambilan keputusan yang
salah
b. jika biaya digunakan sebagai transfer price, maka divisi penjual tidak akan pernah
memperoleh laba (profit) dari transfer internal, sehingga pengukuran kinerja divisi penjual
sulit untuk dilakukan
c. pendekatan biaya untuk penentuan transfer tidak memberikan insentif untuk mengontrol
biaya.

3. Negotiated Transfer Price


Pendekatan ketiga yang dapat digunakan untuk penentuan transfer price adalah
negosiasi antara manajer divisi penjual dan manajer divisi pembeli. Divisi penjual dan divisi
pembeli akan menyetujui terjadinya penjualan internal barang/jasa apabila kedua divisi sama-
sama memperoleh laba dari penjualan internal tersebut. Oleh karena itu, transfer price yang
disepakati berada dalam range of acceptable transfer prices, yaitu harga yang menyebabkan
divisi penjual dan divisi pembeli sama-sama memperoleh laba dari penjualan internal. Menurut
Atkinson, Kaplan, Matsumura, dan Young (2012, 485), pendekatan negotiated transfer price
memiliki kelemahan, yaitu “can lead to decisions that do not provide the greatest economic
benefits”.

4. Administered Transfer Price


Berdasarkan pendekatan ini, transfer price ditentukan oleh suatu pembuat kebijakan
(arbitrator), yang umumnya adalah manajemen puncak. Administered transfer price biasanya
digunakan saat terjadi transaksi yang sifatnya sering terjadi dalam organisasi. Pendekatan ini

4
mudah diterapkan dan dapat menghindari terjadinya konflik divisi penjual dan pembeli dalam
penentuan transfer price. Akan tetapi, pendekatan administered transfer price umumnya
mengorbankan semangat pengukuran kinerja dari konsep transfer pricing karena transfer price
ditentukan berdasarkan pertimbangan perencanaan keuangan perusahaan, bukan pertimbangan
ekonomi dan akuntabilitas.

2.2. Aspek Perpajakan Transfer Pricing


Hansen dan Mowen (2007, 834) menyatakan bahwa “if all countries had the same tax
structure, then transfer prices would be set independently of taxes”. Namun, karena negara-
negara di dunia ini memiliki struktur dan peraturan perpajakan yang berbeda-beda, kebijakan
transfer pricing juga dipengaruhi oleh aspek perpajakan. Malahan, transfer pricing
kebanyakan digunakan oleh perusahaan multinasional untuk tujuan perencanaan pajak
daripada untuk tujuan pengukuran kinerja. Penggunaan transfer pricing untuk tujuan
perencanaan pajak sebenarnya sah-sah saja. Menurut Madura (2014, 468), “multinational
corporations are subject to certain guidelines on transfer pricing, but they usually have some
flexibility and tend to use a transfer pricing policy that will minimize taxes while satisfying the
guidelines”. Secara umum, skema perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan
multinasional dengan transfer pricing adalah memindahkan laba dari negara dengan tarif pajak
tinggi ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah (lihat Gambar 1).

INDONESIA

Pendapatan
Beban

Negara dengan Tarif Pajak Lebih Rendah

Gambar 1

5
Skema Umum Perencanaan Pajak dengan Transfer Pricing

Belakangan ini, isu transfer pricing menjadi fokus utama bagi perusahaan-perusahaan
multinasional. Berdasarkan 2010 Global Transfer Pricing Survey (Ernst & Young, 2011),
transfer pricing adalah isu perpajakan terpenting bagi perusahaan induk (parent company),
sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Bahkan, sebanyak 32% dan 42% dari responden
menyatakan bahwa isu transfer pricing adalah isu yang sangat kritis dan sangat penting yang
akan dihadapi perusahaan dalam dua tahun ke depan, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.

Gambar 2
Isu-Isu Perpajakan Terpenting bagi Perusahaan Induk
Sumber: Ernst & Young (2011, 7)

Di Indonesia, menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010


sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011
tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara Wajib
Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa, Wajib Pajak dalam melakukan
transaksi dengan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa wajib menerapkan prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length
principle/ALP) merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan istimewa sama atau sebanding dengan
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama dengan atau berada dalam
rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa yang menjadi pembanding. Jadi, menurut peraturan perpajakan Indonesia,
transfer pricing diperbolehkan, asalkan penentuan transfer price dilaksanakan dengan
menggunakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
6
Tabel 1
Pentingnya Transfer Pricing dalam Dua Tahun ke Depan

Sumber: Ernst & Young (2011, 7)

Apabila transfer pricing dilaksanakan di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha,
maka sesuai Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan
serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa
dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga
penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Dalam Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-32/PJ/2011, metode yang digunakan untuk penentuan transfer price yang
sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha adalah Metode Perbandingan Harga
antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP), Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM), Metode Biaya-
Plus (Cost Plus Method), Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM), atau Metode
Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM).

7
2.3 Analisis Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun 2003.
Pada tahun 2003, Toyota Indonesia melakukan restrukturisasi mendasar pada bisnisnya.
Sebelumnya, semua lini bisnis produksi dan distribusi mereka dilakukan di bawah satu
bendera, yaitu PT Toyota Astra Motor. Pemilik saham PT Toyota Astra Motor terdiri atas dua
pihak, yaitu PT Astra International, Tbk (sebesar 51%) dan Toyota Motor Corporation Jepang
(sebesar 49%). Pada pertengahan 2003, PT Astra International, Tbk menjual sebagian besar
sahamnya di PT Toyota Astra Motor kepada Toyota Motor Corporation Jepang. PT Astra
International, Tbk menjual sahamnya di PT Toyota Astra Motor karena mereka mempunyai
utang jatuh tempo yang tak bisa ditangguhkan lagi. Setelah penjualan saham tersebut, Toyota
Motor Corporation Jepang menjadi pemegang saham mayoritas PT Toyota Astra Motor dengan
kepemilikan saham sebesar 95%. Akibat dari perubahan kepemilikan tersebut, nama
perusahaan berubah dari PT Toyota Astra Motor menjadi PT Toyota Motor Manufacturing
Indonesia (TMMIN). PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjalankan fungsi produksi
Toyota Indonesia.

Sementara itu, untuk menjalankan fungsi distribusi di pasar domestik, Astra dan Toyota
Motor Corporation Jepang kemudian mendirikan perusahaan agen tunggal pemegang merek
(ATPM). Perusahaan ini agen tunggal pemegang merek ini menggunakan nama lama, yaitu PT
Toyota Astra Motor (TAM). Pada perusahaan ini, Astra menjadi pemegang saham mayoritas
dengan menguasai 51% saham, sementara sisanya sebesar 46% menjadi milik Toyota Motor
Corporation Jepang.

Kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia mulai tercium karena Wajib Pajak
melakukan permohonan pengembalian pajak (restitusi) untuk Tahun Pajak 2005, 2007, dan
2008. Atas permohonan restitusi tersebut, DJP melakukan pemeriksaan pajak terhadap PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Dari pemeriksaan pajak terhadap SPT Toyota pada
Tahun Pajak 2005, petugas pajak menemukan sejumlah kejanggalan. Pada 2004 misalnya, laba
bruto Toyota turun lebih dari 30%, dari Rp 1,5 triliun (2003) menjadi Rp 950 miliar. Selain itu,
rasio gross margin (perbandingan antara laba kotor dengan tingkat penjualan) juga mengalami
penurunan, dari sebelumnya 14,59% pada tahun 2003 menjadi hanya 6,58% pada tahun 2004.

Sebelum restrukturisasi, gross margin PT Toyota Astra Motor mengalami peningkatan


11% hingga 14% per tahun. Namun setelah dilakukan restrukturisasi, gross margin PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia hanya sekitar 1,8% hingga 3% per tahun. Sementara di PT

8
Toyota Astra Motor (perusahaan agen tunggal pemegang merek yang didirikan setelah
restrukturisasi), gross margin mencapai 3,8% hingga 5%. Jika gross margin PT Toyota Astra
Motor digabung dengan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, persentasenya masih
sebesar 7%. Hal ini berarti margin laba sebelum pajak setelah restrukturisasi lebih rendah 7%
dibandingkan dengan margin laba kotor sebelum restrukturisasi yang mencapai 14%.

Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak SPT Toyota, petugas pajak menyimpulkan


penyebab turunnya gross margin adalah adanya transfer pricing dengan harga di luar prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha serta pembayaran royalti yang dinilai tak wajar. Pada
pembahasan kali ini penulis hanya akan membahas mengenai transfer pricing PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia.

Untuk penjualan ekspornya, Toyota memiliki kebijakan bahwa PT Toyota Motor


Manufacturing Indonesia harus melakukan penjualan kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte.,
Ltd, unit bisnis Toyota yang berkedudukan di Singapura. Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd
inilah yang nantinya akan menyalurkan penjualan PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
ke negara-negara lainnya seperti Filipinan dan Thailand. Skema jual-beli melalui negara
perantara semacam itu sebenarnya lazim saja dalam perdagangan internasional, apalagi penjual
dan pembelinya adalah bagian dari kelompok perusahaan multinasional yang sama. Namun,
hal ini akan menjadi permasalahan di bidang perpajakan jika transfer price yang digunakan
tidak berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha serta digunakan untuk
melakukan penghindaran pajak.

PT Toyota Toyota Motor


Motor Asia Pacific negara tujuan
Manufacturing Pte., Ltd ekspor
Indonesia (Singapura)

Gambar 4
Skema Penjualan Ekspor PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia

Kebijakan Toyota dengan memilih Singapura sebagai negara perantara penjualan


ekspornya menarik untuk diperhatikan. Singapura adalah negara yang mempunyai tarif Pajak
Penghasilan korporasi yang paling rendah di Asia Tenggara, yaitu sebesar 15% sampai dengan
17%. Tarif Pajak Penghasilan korporasi Singapura jauh berada di bawah Indonesia, di mana
untuk tahun pajak sebelum 2009 (tahun pajak untuk kasus transfer pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia), tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan Indonesia adalah

9
progresif sebesar 10%, 15%, dan 30%. Hal ini tentunya memberikan insentif kepada
perusahaan-perusahaan multinasional, seperti Toyota, untuk memindahkan pendapatannya dari
Indonesia ke Singapura guna meringankan beban pajaknya secara keseluruhan.

Petugas pajak menganggap PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan


transfer pricing di luar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang ditujukan untuk
mengecilkan pembayaran pajaknya di Indonesia. Temuan DJP dari pemeriksaan pajak SPT PT
Toyota Motor Manufacturing Indonesia Tahun Pajak 2007 menunjukkan bahwa sepanjang
tahun 2007, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia tercatat mengekspor 17.181 unit
Fortuner ke Singapura. Dari pemeriksaan atas laporan keuangan Toyota, petugas pajak
menemukan bahwa harga pokok penjualan atau cost of goods sold (COGS) Fortuner itu adalah
Rp 161 juta per unit. Anehnya, dokumen internal Toyota menunjukkan bahwa semua Fortuner
itu dijual 3,49% lebih murah dibandingkan nilai tersebut. Dengan demikian, Toyota Indonesia
menanggung kerugian dari penjualan mobil-mobil itu ke Singapura.

Petugas pajak juga mendapatkan temuan pemeriksaan yang sama pada penjualan mobil
Innova diesel dan Innova bensin. PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjual Innova
diesel dan Innova bensin kepada Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd masing-masing dengan
harga 1,73% dan 5,14% lebih murah dari biaya produksinya per unit. Sementara itu, pada
ekspor Rush dan Terios, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia hanya memperoleh
keuntungan yang tipis, yaitu hanya 1,15% dan 2,69% dari biaya produksinya per unit.

Temuan petugas pajak atas penjualan ekspor PT Toyota Motor Manufacturing


Indonesia menjadi semakin menarik apabila disandingkan dengan penjualan domestiknya.
Toyota Indonesia menjual produk-produk serupa kepada pembeli lokal di Indonesia dengan
harga yang berbeda. Ketika dijual di dalam negeri, mobil-mobil tersebut dijual dengan gross
margin sebesar 3,43% sampai dengan 7,67%.

Akan tetapi, temuan pemeriksaan pajak tersebut belum cukup untuk menyimpulkan
bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan penghindaran pajak melalui
transfer pricing. Kebijakan diskriminasi harga antara penjualan ekspor dan domestik adalah
hal yang wajar apabila penentuan harganya berdasarkan pada prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha. Selain itu, mungkin saja proses produksi yang dilakukan PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia atas produk-produk yang menjadi temuan petugas pajak tersebut
tidak efisien sehingga PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia terpaksa melakukan
penjualan ekspor dengan harga jual di bawah biaya produksinya. Untuk membuktikan
terjadinya penghindaran pajak melalui transfer pricing, petugas pajak harus memeriksa nilai

10
kewajaran dari semua transaksi dari PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota
Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura.

Adapun cara yang digunakan oleh DJP untuk menilai kewajaran transfer price dari
transaksi PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di
Singapura adalah dengan cara membandingkan harga itu dengan traksaksi perusahaan sejenis
di luar negeri. Metode ini disebut dengan Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP). Cara ini merujuk
pada Transfer Pricing Guideline yang disusun Organization for Economic Cooperation and
Development (OECD). Petugas pajak kemudian menggunakan lima perusahaan otomotif yang
dianggap memiliki karakteristik serupa sebagai pembanding untuk Toyota. Kelima perusahaan
itu adalah Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India),
Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). Dari penelaahan atas transaksi afiliasi kelima
perusahaan tersebut, pemeriksa pajak menetapkan bahwa kisaran gross margin yang dapat
dinilai wajar (arm’s length range) untuk perusahaan otomotif yang melakukan ekspor adalah
3,22% sampai dengan 13,58%. Karena kisaran gross margin dari transaksi PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia ke Toyota Motor Asia Pacific Pte., Ltd di Singapura berada di bawah
kisaran tersebut, DJP menyimpulkan bawah PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak.

2.4 Kendala yang Dihadapi oleh DJP dalam Kasus Transfer Pricing PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia
Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga
antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data pembanding
yang sesuai. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan petugas pajak lainnya, ketersediaan
data pembanding ini adalah persoalan utama dalam kasus transfer pricing yang dihadapi oleh
DJP. Dalam kasus transfer pricing PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, petugas pajak
menggunakan Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), Force Motor Limited (India),
Shenyang Jinbei, dan Dongan Heibao (Cina). DJP menganggap bahwa kelima perusahaan
tersebut memiliki karakteristik serupa dengan Toyota sehingga layak dijadikan pembanding.

Akan tetapi, simpulan DJP bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia


melakukan transfer pricing guna penghindaran pajak dibantah oleh pihak PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia. Dalam sidang di Pengadilan Pajak, pihak PT Toyota Motor
11
Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan yang digunakan sebagai
perbandingan oleh petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan
Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia pada tahun 2008 masih untung. Dengan demikian, pihak PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak
layak dijadikan sebagai pembanding dalam kasus tersebut.

Penentuan besarnya transfer price yang wajar memang sangat susah untuk
dilaksanakan. Permasalahan yang dihadapi oleh DJP terutama adalah ketersediaan data
pembanding untuk menentukan besarnya transfer price yang wajar. Terhadap beberapa
komoditas, seperti minyak mentah dan crude palm oil (CPO), memang lebih mudah
menentukan besarnya transfer price yang wajar karena datanya tersedia dan mudah diakses.
Namun, sebagian besar produk perusahaan-perusahaan multinasional susah dicari
pembandingnya karena setiap produk mempunyai spesifikasi, fungsi, dan brand yang berbeda.
Permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar tidak hanya dialami oleh DJP,
tetapi juga oleh otoritas-otoritas pajak negara lainnya di dunia.

Untuk mengatasi permasalahan penentuan besarnya transfer price yang wajar, otoritas
pajak di dunia, terutama negara anggota OECD, banyak yang menggunakan Advance Pricing
Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP). Advance Pricing Agreement dan
Mutual Agreement Procedure terbukti cukup sukses untuk menangani kasus transfer pricing.
Oleh karena itu, terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata
Cara Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement) patut diapresiasi.

2.5 Advance Pricing Agreement (APA) dan Mutual Agreement Procedure (MAP)
Menurut OECD, APA adalah “an administrative approach that attempts to prevent
transfer pricing disputes from arising by determining criteria for applying the arm's length
principle to transactions in advance of those transactions taking place”. APA menurut
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 adalah adalah perjanjian tertulis antara
Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dengan Otoritas Pajak
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak, untuk menyepakati
kriteria-kriteria dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka. Sementara itu, MAP
adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang
timbul dalam penerapan P3B. Jadi, pembentukan APA dilakukan melalui MAP dalam hal APA
dimaksud melibatkan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B.
12
Gambar 5
Negara-Negara yang Menggunakan APA sampai dengan Tahun 2011
Sumber: http://www.ey.com/Media/vwLUExtFile/guide_to_advance_pricing_agreements/
$FILE/map_large.jpg

APA sudah banyak digunakan oleh otoritas pajak di dunia. Daftar negara yang telah
menggunakan APA sampai dengan tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 5 di atas. Secara
formal, Indonesia telah menggunakan APA sejak 2010, dengan diterbitkannya Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010. Akan tetapi, Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 belum mengatur secara jelas prosedur pembentukan dan
pelaksanaan APA. Tata cara pembentukan dan pelaksanaan APA baru diatur dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015.

APA memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi Wajib Pajak maupun DJP
selaku otoritas pajak. Dengan membuat kontrak harga transfer (APA) dengan otoritas pajak,
Wajib Pajak akan memperoleh dua keuntungan utama, yaitu kepastian dalam transfer pricing
dan penghematan biaya dan waktu. APA akan membuat Wajib Pajak lebih nyaman dalam
menjalankan kegiatan usahanya karena sudah ada batasan yang telah disepakati dengan otoritas

13
pajak mengenai besarnya transfer price yang dianggap wajar. Hal ini akan mengurangi potensi
terjadinya sengketa pajak. Pemeriksaan pajak dan upaya hukum untuk menyelesaikan sengketa
pajak terkait transfer pricing seringkali memakan biaya yang besar dan waktu yang lama.
Karena potensi terjadinya sengketa pajak dapat dikurangi dengan adanya APA, maka Wajib
Pajak dapat menghemat biaya dan waktu.

Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih
kuat dalam penentuan transfer price yang wajar. Jika Wajib Pajak melakukan transfer pricing
dengan harga di bawah APA, maka DJP sudah dapat menyimpulkan bahwa Wajib Pajak
melakukan transfer pricing untuk penghindaran pajak. Di sisi lain, APA juga dapat
meningkatkan basis data perpajakan DJP karena APA paling sedikit memuat tentang para pihak
yang memiliki hubungan istimewa, transaksi yang termasuk dalam ruang lingkup APA, metode
transfer pricing, pembanding (comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal
(critical assumptions), dan penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).
Sementara itu, dengan melakukan APA yang melibatkan otoritas pajak negara mitra atau
yurisdiksi mitra P3B, DJP dapat menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda terhadap
Wajib Pajak.

Meskipun memberikan keuntungan, DJP tetap harus berhati-hati dalam membuat APA.
Jangan sampai APA yang dibuat DJP dengan Wajib Pajak berpotensi menurunkan penerimaan
negara. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi
perbedaan penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak. Analisis yang mendalam dan hati-hati perlu
dilakukan DJP sebelum menandatangani APA dengan Wajib Pajak, terutama terkait transaksi
yang termasuk dalam ruang lingkup APA, metode transfer pricing, pembanding
(comparables), jangka waktu berlakunya APA, asumsi kritikal (critical assumptions), dan
penyesuaian transfer pricing (transfer pricing adjustment).

14
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Adapun hal-hal yang dapat disimpulkan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Transfer pricing adalah kebijakan penentuan harga untuk penjualan barang/jasa yang
terjadi dalam internal satu perusahaan atau satu kelompok perusahaan.
2. Transfer pricing memiliki dua tujuan utama, yaitu pengukuran kinerja dan penentuan beban
pajak yang optimal. Namun, belakangan ini transfer pricing lebih banyak digunakan untuk
tujuan perencanaan pajak daripada untuk pengukuran kinerja divisi.
3. DJP menganggap bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan transfer
pricing guna penghindaran pajak. Adapun modus yang dilakukan oleh PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia adalah melakukan penjualan dengan transfer price di luar prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha kepada perusahaan afiliasinya yang berada di Singapura.
4. Untuk membuktikan bahwa PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia melakukan
transfer pricing guna penghindaran pajak, DJP menggunakan Metode Perbandingan Harga
antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa (Comparable Uncontrolled
Price/CUP). Adapun kendala dalam penggunaan metode ini adalah mencari data
pembanding yang sesuai.
5. Metode yang digunakan DJP untuk penentuan transfer price yang wajar disanggah oleh
pihak PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia karena perusahaan yang menjadi
perbandingan petugas pajak, yaitu Hindustan Motors (India), Yulon Motor (Taiwan), dan
Force Motor Limited (India), berstatus merugi. Sementara itu, PT Toyota Motor
Manufacturing Indonesia pada 2008 masih untung sehingga tidak bisa dibandingkan
dengan perusahaan-perusahaan tersebut.
6. Terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara
Pembentukan dan Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing
Agreement/APA) patut diapresiasi.
7. Dengan melakukan APA dengan Wajib Pajak, DJP akan mempunyai dasar yang lebih kuat
dalam penentuan transfer price yang wajar. Selain itu, APA juga dapat meningkatkan basis
data perpajakan DJP.

15
3.2. Saran
Adapun alternatif saran yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalah terkait
kasus transfer pricing yang mirip dengan kasus PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia
antara lain:
1. DJP agar mensosialisasikan APA sehingga menarik Wajib Pajak untuk melaksanakan
program APA.
2. DJP perlu melakukan analisis yang mendalam dan hati-hati sebelum menandatangani APA
dengan Wajib Pajak.
3. Ketentuan dalam APA harus dibuat dengan sejelas mungkin agar tidak terjadi perbedaan
penafsiran antara DJP dan Wajib Pajak.

16
DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Anthony A, Robert S. Kaplan, Ella Mae Matsumura, dan S. Mark Young. 2012.
Management Accounting, Information for Decision-Making and Strategy Execution.
Edisi ke-6. Upper Saddle River: Pearson Education, Inc.

Bhimani, Alnoor, Charles T. Horngren, Srikant M. Datar, dan George Foster. 2008.
Management and Cost Accounting. Edisi ke-4. Essex: Pearson Education Limited.

Garrison, Ray H., Eric W. Noreen, dan Peter C. Brewer. 2010. Managerial Accounting. Edisi
ke-8. New York: McGraw-Hil/Irwin.

Ernst & Young. 2011. 2010 Global Transfer Pricing Survey, Adressing The Challenges of
Globalization. http://www.ey.com/Publication/vwLUAssets/Global_transfer_pricing_
survey_-_2010/$FILE/2010-Globaltransferpricingsurvey_17Jan.pdf (diakses tanggal 6
Agustus 2016).

Ernst & Young. Guide to Advance Pricing Agreements (APAs), Managing Global Transfer
Pricing Issues with APAs. http://www.ey.com/GL/en/Services/Tax/International-
Tax/Guide-to-advance-pricing-agreements--APA----Managing-Global-Transfer-
Pricing-Issues-with-APA (diakses tanggal 7 Agustus 2016).

Guidelines for APA. OECD.org. http://www.oecd.org/tax/transfer-pricing/


guidelinesforapa.htm (diakses tanggal 7 Agustus 2016).

Hansen, Don R. dan Maryanne M. Mowen. 2007. Managerial Accounting. Edisi ke-8. Mason:
Thomson South-Western.

Madura, Jeff. 2014. International Financial Management. Edisi ke-12. Stamford: Cengage
Learning.

Mangoting, Yenni. 2000. Aspek Perpajakan dalam Praktek Transfer Pricing. Jurnal Akuntansi
& Keuangan Vol. 2, No. 1, Mei 2000: 69 – 82. Universitas Kristen Petra.
http://puslit2.petra.ac.id/gudangpaper/files/1747.pdf (diakses tanggal 6 Agustus 2016).

Setiawan, Hadi. 2014. Transfer Pricing dan Risikonya terhadap Penerimaan Negara.
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/2014_kajian_pprf_Transfer%20Pricing%
20dan%20Risikonya%20Terhadap%20Penerimaan%20Negara.pdf (diakses tanggal 7
Agustus 2016).
17
Suryana, Anandita Budi. 2012. Menangkal Kecurangan Transfer Pricing.
http://www.pajak.go.id/content/article/menangkal-kecurangan-transfer-pricing (diakses
tanggal 6 Agustus 2016).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pembentukan dan
Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang Penerapan Prinsip
Kewajaran dan Kelaziman Usaha dalam Transaksi antara
Wajib Pajak dengan Pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa.

18

Anda mungkin juga menyukai