Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH FARMAKOTERAPI GANGGUAN

NEUROPSIKITRI DAN KEGAWATDARURATAN

“Gangguan Kecemasan (Anxiety Disorder)”

Oleh Kelompok:

Aulia Rahima Nazif (2015.01.00.02.008)

Rahmat Hidayat (2015.01.00.02.030)

Hanifah Rifnola Fantari (2016.01.00.02.001)

Virgo Eri Sendi (2016.01.00.02.004)

Intania Pertiwi (2016.01.00.02.011)

Fia Rizka Auliana (2016.01.00.02.023)

Indri Sustia Rahmi (2016.01.00.02.027)

PRODI STUDI FARMASI

UNIVERSITAS MOHAMMAD NATSIR

BUKITTINGGI

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah, karena
berkat kemurahan-Nya, makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan dan
dengan tepat waktu. Dalam makalah ini kami membahas tentang Gangguan Kecemasan.
Makalah ini dibuat dalam rangka menyelesaikan tugas Farmakoterapi Gangguan Indra
dan Muskuloskeletal serta sebagai bahan pembelajaran untuk mata kuliah ini.
Tiada gading yang tak retak. Dalam makalah ini, tentunya kami menyadari banyak
kekurangan yang terjadi dalam penulisannya. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun sehingga dikemudian hari kami bisa memperbaiki makalah ini
menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Demikian makalah ini kami buat, semoga bermanfaat.

Bukittinggi, Oktober 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang unik dan utuh yang terdiri dari bio-psiko-sosial-
spiritual. Dalam keadaan sehat individu berada dalam keadaan seimbang. Dalam kehidupan,
sepanjang periode tumbuh kembang individu akan menghadapi kejadian yang menegangkan,
untuk hal ini individu akan merespons. Respons individu tersebut dapat dipelajari dalam
konsep stres dan adaptasi. Konse tersebut dalam rentang respons adaptif dan maladaptif.
Aoabila individu tidak sanggup menghadapi kejadian yang menegangkan disebabkan
persepsi individu terhadap kejadian yang menyimpang, dukungan situasi yang kurang,
mekanisme koping individu yang tidak sehat, menyebabkan keadaan yang tidak seimbang.
Dalam kondisi seperti ini individu dapat dikatakan mengalami kecemasan.
Gangguan kecemasan merupakan hal yang normal terjadi pada setiap individu, reaksi
umum terhadp stres kadang disertai dengan kemunculan kecemasan. Namun kecemasan itu
dikatakan menyimpang jika individu tidak dapat meredam rasa cemas tersebut dalam situasi
dimana kebanyakan orang mampu menanganinya tanpa ada kesulitan berarti. Stres diawali
dengan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki individu,
semakin tinggi kesenjangan terjadi semakin tinggi pula tingkat stres yang dialami individu,
dan akan merasa terancam kondisi terancam inilah yang menimbulkan kecemasan.
Kecemasan dapat muncul pada situasi tertentu seperti berbicara didepan umum,
tekanan pekerjaan yang tinggi, menghadapi ujian, dan sebagainya. Situasi tersebut dapat
memicu terjadinya kecemasan bahkan rasa takut. Namun, gangguan kecemasan muncul bila
rasa cemas tersebut berlangsung lama, terjadi perubahan perilaku, atau terjadinya perubahan
metabolisme tubuh.
Gangguan kecemasan diperkirakan diidap 1 dari 10 orang. Menurut data National
Institut of Mental Health (2005) di Amerika Serikat terdapat 40 juta orang mengalami
kecemasan pada usia 18 tahun sampai pada usia lanjut. Ahli psiokoanalisa beranggapan
bahwa kecemasan neurotik dengan memasukan persepsi diri sendiri, dimana individu
beranggapan bahwa dirinya dalam ketidakberdayaan, tidak mampu mengatasi masalah, rasa
takut akan pepisahan, terabikan, dan dalam bentuk penolakan dari orang yang dicintainya.
Perasaan-perasaan tersebut terletak dalam pikiran bawah sadaryang tidak disadari oleh
individu.
Pendekatan-pendekatan psikologis berbeda satu sama lain dalam teknik dan tujuan
penanganan kecemasan. Akan tetapi pada dasarnya berbagai teknik tersebut sama-sama
mendorong klien untuk menghadapi dan tidak menghindari sumber kecemasan mereka.
B. Tujuan Penulisan
Pada dasarnya tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah
satu tugas materi Farmasi di Universitas Mohammad Natsir Bukittinggi. Adapun tujuan yang
lebih khsusus dalam pembuatan makalah ini diantaranya :
1. Dapat memahami lebih dalam mengenai General Anxiety Disorder
2. Dapat memahami lebih dalam mengenai Social Anxiety Disorder
3. Dapat memahami lebih dalam mengenai Panic Attack
4. Dapat memahami lebih dalam mengenai Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

BAB II
PEMBAHASAN

A. General Anxiety Disorder


1. Definisi
Generalized Anxiety Disorder (GAD) adalah kekhawatiran yang berlebihan dan
bersifat pervasif, disertai dengan berbagai simtom somatik, yang menyebabkan gangguan
signifikan dalam kehidupan sosial atau pekerjaan pada penderita, atau menimbulkan stres
yang nyata.

Gangguan kecemasan tergeneralisasi adalah gangguan kecemasan yang terdiri atas


kecemasan yang bertahan untuk setidaknya 6 bulan.Individu dengan gangguan ini tidak dapat
menunjukkan kecemasannya.Generalized anxiety disorders berbeda dari perasaan atau
kecemasan sehari-hari karena para penderitanya mengalami kecemasan yang bertahan terus
menerus untuk setidaknya 6 bulan, dan individu dengan gangguan kecemasan tergeneralisasi
tidak mampu untuk menunjukkan alasan jelas untuk kecemasan tersebut (Laura, 2010: 301).

Orang dengan gangguan kecemasan tergeneralisasi merasa cemas hampir setiap


saat.Mereka mungkin menghawatirkan pekerjaan mereka, hubungan mereka atau kesehatan
mereka.Mereka juga mencemaskan hal-hal kecil, seperti terlambat untuk sebuah perjanjian
atau apakah pakaian mereka cocok dengan diri mereka. Kecemasan mereka sering bergeser
dari satu aspek kehidupan ke aspek yang lain. (Laura, 2010: 301-302).

Kecemasan digeneralisasi dalam setiap kejadian dalam tiap harinya, penderita


Generalized Anxiety Disorder menganggap kekhawatiran mereka sebagai sesuatu yang tidak
dapat dikendalikan (Ruscio, Borkovek, 2001).

2. Etiologi

Penyebab gangguan cemas menyeluruh ini belum diketahui secara pasti.Hanya saja
disebutkan bahwa faktor biologi dan psikologi memiliki peran terhadap terjadinya gangguan
cemas menyeluruh.

a. Faktor Biologi
Efikasi terapi obat benzodiazepin dan azaspiron (buspiron) terfokus pada sistem
neurotransmitter GABA dan serotonin.Benzodiazepin diketahui dapat mengurangi
kecemasan, sebaliknya flumazenil (reseptor antagonis benzodiazepin) dapat memicu
kecemasan.Walaupun tidak ada data yang membuktikan bahwa reseptor benzodiazepin
pada pasien gangguan cemas menyeluruh adalah abnormal, beberapa peneliti
mengatakan bahwa konsentrasi reseptor benzodiazepin tertinggi terdapat pada lobus
occipitalis. Area otak lain yang dicurigai berperan dalam terjadinya gangguan cemas
menyeluruh adalah basal ganglia, sistem limbik, dan korteks lobus frontalis.
Dikarenakan buspiron merupakan agonis terhadap reseptor serotonin, sehingga ada
hipotesis yang menyebutkan bahwa terjadi gangguan regulasi dari sistem serotonergik
pada pasien dengan gangguan cemas menyeluruh. Neurotransmitter lain yang masih
menjadi subjek penelitian pada gangguan cemas menyeluruh adalah norepinephrine,
glutamat, dan sistem kolesistokinin. Suatu studi dengan pemeriksaan Positron Emission
Tomography melaporkan bahwa laju metabolik pada basal ganglia dan white matter
padapasien gangguan cemas menyeluruh lebih rendah dibanding pada orang normal.
(Sadock and Sadock, 2007)
b. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yang mengarah pada perkembangan gangguan cemas
menyeluruh adalah cognitive-behaviour dan psikoanalitik.Berdasarkan pada cognitive-
behaviour, pasien dengan gangguan cemas menyeluruh merespon suatu ancaman secara
kurang tepat dan benar. Ketidaktepatan ini dihasilkan dari perhatian yang selektif
terhadap suatu hal negatif di lingkungannya dengan cara mendistorsi pemrosesan
informasi dan dengan cara memandang terlalu negatif terhadap kemampuan dirinya
dalam hal mengatasi suatu masalah.(Sadock and Sadock, 2007)
3. Epidemiologi
Prevalensi Gangguan Cemas Menyeluruh untuk kanak-kanak dan dewasa pada
kisaran 2.9-4.6%. Menurut DSM-5, prevalensi 12 bulan untuk gangguan kecemasan umum
adalah 0,9% di kalangan remaja dan 2,9% orang dewasa di masyarakat umum negara-di
Amerika Serikat. Prevalensi 12 bulan darigangguan di negara lain berkisar antara 0,4%
sampai 3,6% manakala resiko morbiditas sekitar 9,0% (Jr, 2014).

4. Patofisiologi

Neurotransmitter memegang peran penting dalam patofisiologi gangguan cemas


menyeluruh.Pada sistem saraf pusat, neurotransmitter seperti norepinefrin, serotonin,
dopamine, dan GABA memegang peran penting. Neurotransmitter dan peptida lain seperti
corticotropin-releasing factor, mungkin ikut terlibat dalam patofisiologi penyakit ini
walaupun belum jelas pengaruhnya. Sistem saraf pusat simpatik memegang peran penting
dalam terjadinya manifestasi klinis penyakit ini. Dengan modalitas pencitraan PET ditemukan
bahwa terjadi peningkatan aliran neurotransmitter pada regio parahipokampus dan penurunan
ikatan serotonin tipe 1A dengan reseptornya pada region anterior dan posterior korpus
singulata pasien (Bhatt NV, 2017)

Bagian dari otak yang terlibat dalam patofisiologi gangguan cemas menyeluruh
adalah amigdala yang memegang peran penting dalam memodulasi ketakutan dan
kecemasan.Pada pemeriksaan pencitraan otak pasien gangguan cemas menyeluruh ditemukan
bahwa terjadi peningkatan respons pada stimulus kecemasan.Peningkatan respons ini terjadi
karena penurunan ambang batas ketika merespon pada peristiwa sosial biasan.Amigdala dan
sistem limbik berhubungan erat dengan korteks prefrontal.Pada pasien cgm juga dapat
ditemukan aktivasi abnormal sistem limbik dan korteks prefrontal yang berhubungan dengan
respons klinis pada terapi farmakologis dan non farmakologis pada pasien.Pada pemeriksaan
MRI ditemukan bahwa pasien dengan gangguan cemas menyeluruh memiliki volume lobus
temporal yang lebih kecil (Nutter DA, 2017).

5. Contoh Kasus

Kasus ini diambil pada tanggal 12 april2015 pukul 11.00 WIB di Poliklinik Rumah
Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung. Ny. W, perempuan, 56 tahun, suku Jawa, agama Islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, pendidikan terakhir SD, tinggal di Dusun Puji Rahayu,
Kecamatan Merbabu, Tanjung Bintang, datang ke poliklinik tanggal 12 April 2016. Pasien
terlihat sesuai umurnya, memakai baju berwarna coklat, penampilan terkesan agak lusuh,
perawakan pendek dengan berat badan cukup, kulit coklat, mengenakan hijab, kuku pendek
namun kurang bersih.

Pasien datang ke Poliklinik RS Jiwa Daerah Lampung diantar oleh anaknya.Pasien


sering mengeluhkan cemas.Perasaan cemas ini dirasakan sejak 1 tahun yang lalu, pasien
mengeluh sering merasa cemas secara mendadak, yang diikuti rasa pusing, telapak tangan
berkeringat, dan jantung berdebardebar. Pasien juga mengaku jika serangan cemas itu ada,
maka akan menggangu kemampuannya untuk berkonsentrasi dalam mengerjakan sesuatu,
apabila perasaan cemas itu datang pasien juga sulit untuk tidur. Perasaan tersebut ditemukan
pada sebagianwaktu selama 1 tahun lalu.Pasien sendiri mengaku tidak mengetahui secara
pasti mengapa dia sering mengalami ketakutan, tetapi pasien sudah mulai merasakan keluhan
tersebut sejak suami pasien menjadi kepala desa.Pasien mengatakan bahwa dirinya menjadi
sedikit terbebani akibat kini dirinya menjadi ibu kepala desa, pasien mengaku tidak dapat
mengurus kegiatan-kegiatan yang dibebankan kepadanya sebagai ibu kepala desa.
Pasien mengaku apabila perasaan ini muncul, ia tidak dapat bekerja. Ia cenderung
memilih diam di rumah. dan meninggalkan pekerjaannya. Pasien mengaku kesulitan dalam
melakukan beberapa kegiatan sehariharinya ketika terjadinya peningkatan kecemasan,
keadaan ini cukup mengganggu kontak sosialnya dengan orang-orang sekitarnya tetapi
menurutnya dia tetap berfungsi penuh secara sosial dan dapat melakukan pekerjaan dengan
baik ketika kecemasan itu tidak ada.Pasien mengaku saat ini tidak ada masalah di dalam
keluarganya, tidak ada masalah yang membuatnya cemas, pasien adalah tipe orang yang
terbuka terhadap suaminya dalam berumah tangga, pasien selalu bercerita tentang
masalahnya terhadap suaminya.

Selama wawancara, pasien dapat duduk tenang.Kontak mata dengan pemeriksa cukup
baik.Pembicaraan spontan, artikulasi jelas, lancar, intonasi sedang, volume cukup, kualitas
cukup, dan kuantitas banyak.Mood biasa, afek luas, dan keserasian afek sesuai.Pasien
memiliki kemampuan abstraksi yang baik.Tilikan pasien adalah derajat 4 yaitu menyadari
bahwa dirinya sakit dan butuh bantuan namun tidak memahami penyebab penyakitnya.Pada
pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital, pemeriksaan sistem organ, dan status
neurologis dalam batas normal.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosa yang didapat
pada pasien adalah Gangguan Cemas Menyeluruh. Pasien diterapi dengan psikofarmakologi
berupa golongan Benzodiazepine (alprazolam 2 x 0,25 mg) dan dilakukan intervensi
psikososial kepada keluarga dan pasiennya. Pasien dianjurkan untuk kontrol ke poliklinik
Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung seminggu kemudian.

6. Kriteria Diagnosis
a. DSM IV-TR
 Kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan
 Kekhawatiran tersebut sulit untuk dikendalikan
 Pasien mengalami tiga atau lebh diantara hal-hal berikut: ketidaksabaran, sangat
mudah lelah, sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, ketegangan otot, gangguan
tidur.

b. PPDGJ III
 Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti diujung tanduk, sulit
konsentrasi, dsb),
 Ketegangan motorik (gelisah, saki tkepala, gemetaran, tidak dapat santai, dan
 Overaktivitas otonomik (kepala ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak
napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dsb)
7. Penatalaksanaan
Penanganan pasien GAM yang efektif adalah kombinasi antara psikoterapi dan
farmakoterapi.
Psikoterapi :
- kognitif perilaku
- suportif
- Berorientasi insight
Dengan pasien, didiskusikan, problemnya → anxietas ↓↓ dengan penuh perhatian & empati.
Situasi stresful, kalau ada harus dihilangkan.
Farmakoterapi : Pengobatan dengan obat perlu 6-12 bln atau lebih lama. 25% pasien
relaps setelah 1 bln obat dihentikan, 60%-80% penderita relaps dlm
waktu 1 thn.
Benzodiazepine Drugs of choice : Xanax 0,25-0,5 mg
Ativan = RenaquilBuspiron (Buspar) : efektif 60%-80% perlu waktu : 2-3 minggu
baruterlihat hasilnya
Antidepressan trisiklik : Amitriptilin, Imimpramin, SSRI
Betabloker : Propranolol

8. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dan gejala GAD termasuk sifat lekas marah; ketidakmampuan untuk
bersantai, kesulitan berkonsentrasi, nyeri otot dan sakit kepala; kesulitan jatuh tertidur atau
tetap; ketidaknyamanan pencernaan atau diare; gemetar atau bergetar, berkeringat, pusing
atau sesak napas.

B. Social Anxiety Disorder


1. Definisi
Istilah social phobia pertama kali diciptakan oleh Janet pada tahun 1903
(dalamHeimberg dkk, 1995) untuk menggambarkan pasiennya yang cemas ketika diamati
olehorang lain saat sedang berbicara, atau melakukan aktivitas seperti bermain piano
danmenulis. Sindrom pemalu, social anxiety dan social avoidance sendiri telah diketahuisejak
masa Hippocrates (dalam Heimberg dkk, 1995).
Berdasarkan Diagnostic andStatistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition
Text Revised (DSM-IV-TR;APA, 2004) social phobia atau juga sering diistilahkan dengan
social anxiety disorderadalah ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus
terhadap satu atau lebihsituasi sosial atau muncul ketika ia harus tampil di hadapan orang
yang belum dikenaldengan baik atau pada situasi ketika dirinya diamati oleh orang lain.
Karakteristik utamadari social phobia adalah ketakutan yang berlebihan bahwa dirinya akan
dilihat dandiamati oleh orang lain. Individu dengan social phobia merasa sangat terganggu
denganadanya kemungkinan bahwa ia akan melakukan kesalahan atau menunjukkan
tandatandakecemasan yang akhirnya membuat ia dipermalukan di depan orang lain.

2. Etiologi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya social phobia yaituinteraksi
antara faktor kerentanan psikologis dan biologis, peristiwa traumatis atautekanan hidup, serta
adanya siklus yang berulang dari pikiran negatif, perasaan danperilaku menghindar yang
menyebabkan kecemasan bertahan (Barlow dalam Kashdandan Herbert, 2001).
a. Kerentanan Genetik
Beberapa hasil penelitian membuktikan peran faktor genetik terhadap socialphobia.
Salah satunya adalah sebuah penelitian yang dilakukan terhadap saudara kembar,
berdasarkan hasil ditemukan kecocokan sebesar 24.4% untuk kembarmonozigot
perempuan dan 15.3% untuk kembar monozigot laki-laki. Penelitian lainnya dilakukan
untuk mengetahuifaktor resiko social phobia dalam sebuah keluarga dengan cara
membandingkan antaraindividu yang memiliki kerabat pasien social phobia dengan
individu yang tidakmemiliki kerabat pasien social phobia. Hasil penelitian menyatakan
bahwa adanyapeningkatan rata-rata social phobia pada individu yang memiliki kerabat
pasien socialphobia.Meskipun demikian, ternyata banyak juga individu yang
memilikikerabat pasien social phobia dan saudara kembar dari pasien social phobia
tidakmengalami gangguan ini.
Dengan demikian faktor lain mungkin turut berperan dalamterjadinya social phobia.
Dilaporkan juga dari hasil pencitraan otak dan teknikgenotyping bahwa serotonin
pengangkut protein dan kepadatan reseptor dopamineberpengaruh pada patogenesis
social phobia dan generalized anxiety disorder.
b. Temperamen Behavioral Inhibition
Beberapa studi menemukan bahwa tipe temperamen dengan karakteristikpemalu,
cenderung menahan diri dan menghindar merupakan faktor resiko bagiberkembangnya
social phobia di kemudian hari. Meskipun usia munculnya social phobia rata-rata
15tahun, namun karakteristik pemalu sudah muncul sejak usia 21 bulan. Kagan
menggunakan istilah behavioral inhibition (BI)untuk menggambarkan kecenderungan
bada bayi dan anak-anak untuk menarik diri darisituasi, orang maupun objek yang baru
baginya. Anak dengan temperamen ini semasa bayinya digambarkan sebagai bayi yang
mudah terganggu dan kurang tidur, mudahcemas di masa balita, dan menarik diri sejak
masa anak-anak hingga dewasa. Fakta menyebutkan adanya hubungan antaraBI dengan
berkembangnya gangguan kecemasan meneliti 2.242mahasiswa dalam kurun waktu 4
tahun, dan ia menemukan bahwa mahasiswa denganriwayat BI di masa kanak-kanaknya
beresiko empat kali lebih besar dibandingkanmahasiswa lainnya untuk mengalami social
phobia.
BI juga dikatakan berhubungan dengan tingginya negative affect (NA) danrendahnya
positive affect (PA) yang merupakan ciri dari individu dengan social phobia.Anak
dengantemperamen ini memiliki ambang batas reaksi fisiologis yang rendah, NA yang
tinggidikarakteristikkan menunjukkan reaksi fisiologis yang berlebihan, mudah takut
terhadapsituasi maupun orang yang baru baginya.PA yang rendah bersumber
darikecenderungan menghindari situasi maupun orang baru. Sesuatu hal yang
barudikatakan tidak hanya menimbulkan kecemasan dan penolakan, akan tetapi juga
dapatmemunculkan emosi positif seperti minat, ketertarikan dan kesenangan. Anak
dengantemperamen BI cenderung mudah curiga dan sangat berhati-hati sehingga
saatmenghadapi situasi yang baru mereka kurang bereksplorasi dengan lingkungan.
Namundemikian tidak semua anak dengan temperamen BI akan mengalami social
phobia.Schwartz dalam penelitiannya menemukan hanya34% remaja yang semasa anak-
anaknya tergolong dalam temperamen BI yangmenunjukkan simptom social phobia pada
usia 13 tahun. Hal ini berarti terdapat factor lainnya yang dapat mempengaruhi
berkembangnya social phobia termasuk diantaranyapengalaman hidup.
c. Pengalaman dari lingkungan
Pengalaman hidup yang sering dikatakan berpengaruh dalam
berkembangnyasimptom-simptom social phobia diantaranya adalah lingkungan keluarga
yangmaladaptif, tingginya kritikan dan kontrol dari orang tua, penolakan dari teman
sebaya danpengalaman menjadi bulan-bulanan), serta trauma akibat pengalaman panik
pada suatu situasisosial.Setiap pengalamantersebut berpotensi untuk menciptakan umpan
balik negatif terkait dengan kecemasan,perilaku menghindar dan hambatan dalam
kemampuan social.
Orang tua berpengaruh terhadap resiko berkembangnya simptom-simptomsocial
phobia pada anak melalui beberapa cara seperti dengan menurunkankecenderungan
negative affect kepada anak, menunjukkan sikap penolakan terhadapanak, tidak memiliki
kedekatan emosional dengan anak atau sikap yang terlampaumelindungi dan posesif.
Selain itu orang tua juga dapat mencontohkan keyakinannegatif mengenai ancaman yang
ada di lingkungan, sikap terlalu mementingkanpenilaian dari orang lain kepada anak.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengansocial phobia cenderung
mempersepsikan orang tuanya sebagai sosok denganpergaulan yang terbatas dan kerap
menghindar dari situasi sosial serta jarangberkumpul bersama teman ataupun keluarga.
Lebih lanjut dikatakan bahwa pengasuhan yang menekankan pentingnya penilaian dari
orang lain atau kurangnya komunikasi dan ekspresiemosional dapat mengembangkan
sifat pemalu dan rendahnya kemampuanbersosialisasi pada anak.
Pada penelitian lainnya, Vernberg dkk menemukan bahwa saat anak dengan social
phobia masuk ke sekolah baru ia lebihmengalami kesulitan untuk berteman dibandingkan
dengan anak yang tidakmengalami social phobia. Kecemasan sosial yang tinggi secara
signifikanmenyebabkan kurangnya interaksi dan kedekatan yang merupakan faktor
pentinguntuk mengembangkan hubungan pertemanan. Sebuah fakta yang menarik
ditemukanyaitu bahwa kecemasan pada anak dengan social phobia juga muncul terhadap
temantemanyang sudah dikenalnya dengan baik bukan semata-mata terhadap situasi
atauorang yang baru dikenalnya.
Peristiwa traumatis pada situasi sosial yang dialami oleh anak-anak dan remajaseperti
presentasi yang kacau di depan kelas, menjadi bulan-bulanan oleh temansebaya juga
dapat memicu simptom-simptom social phobia. Meskipun belum banyak penelitian yang
dilakukanmengenai masalah ini namun fakta yang ada menunjukkan bahwa cemoohan
dariteman sebaya berhubungan positif dengan kecemasan sosial dan perilaku
menghindarpada anak laki-laki maupun perempuan.Pada sebuah penelitian terhadap
orang dewasa dengan karakterpemalu, dilaporkan bahwa pengalaman dicemooh dan
dipermalukan oleh temansebaya dianggap sebagai peristiwa di masa kanak-kanak yang
memunculkan ketakutandan perilaku menghindar.

3. Epidemilogi
Fobia sosial terdapat pada 3 sampai 5 persen populasi.Pria dan wanita memiliki angka
kejadian yang seimbang.Onset penyakit biasanya dimulai awal umur belasan tahun, walaupun
tidak menutup kemungkinan terjasi pada tiap tahap kehidupan.Menurut survey yang
dilakukan di Amerika sejak tahun 1994, fobia sosial adalah gangguan jiwa nomer 3 terbesar
di Amerika Serikat.Prevalensi fobia sosial terlihat meningkat pada ras kulit putih, orang yang
menikah, dan individu dengan taraf pendidikan yang baik.Fobia sosial umumnya
bermanifestasi pada orang dewasa tapi biasa terdapat pada anak-anak atau remaja.

4. Patofisiologi
Berhubungan dengan beberapa neurotransmitter yaitu Norepinefrin(NE) , γ-
aminobutyric acid/GABA, dan serotonin (5-HT).
a. Model Noradrenergik
 sistem saraf autonom penderita ansietas bersifat hipersensitif dan mempunyai reaksi
yang berlebihan terhadap berbagai jenis stimulus/rangsangan.
 LC (locus ceruleus) sebagai pusat alarm, akan mengaktivasi pelepasan NE dan
menstimulasi sistem saraf simpatik dan parasimpatik.
b. Model Reseptor Benzodiazepin
 GABA = major inhibitory neurotransmitter di CNS
 Benzodiazepin = meningkatkan efek inhibisi dari GABA
 Secara fungsional dan structural, reseptor benzodiazepin berhubungan dengan
reseptor GABA tipe A (GABAA) dan chanel ion yang dikenal sebagai GABA-BZ
reseptor complex.
 Pada pasien dengan GAD, ikatan BZ pada lobus temporal bagian kiri itu menurun
c. Model Serotonin
 Ansietas berhubungan dengan transmisi 5HT yang berlebihan atau overaktivitas dari
simulasi jalur 5HT
 Mekanisme kerja 5HT terhadap anxietas belum jelas.

5. Menifestasi Social Anxiety Disorder


Rasa cemas dan gugup umum dialami oleh sejumlah orang hingga batas tertentu,
banyak orang yang merasa malu atau sadar diri di beberapa kesempatan, tetapi hal tersebut
tidak akan menghalangi — atau bahkan melumpuhkan — fungsi sehari-hari mereka. Akan
tetapi, individu yang memiliki fobia sosial akan mengalami kecemasan dan kekhawatiran
berlebihan tentang situasi tersebut sebelum, selama, dan sesudahnya — mencari-cari alasan
untuk tidak hadir, mengulur waktu, atau gemetar hebat saat hendak berbicara hingga Anda
kesulitan berbicara — hingga mengganggu rutinitas hariannya dan menyebabkan penderitaan
yang luar biasa.

Gejala emosional dari fobia sosial, termasuk:

1) Merasa sangat sadar diri dan gugup berlebihan di situasi sosial sehari-hari (yang orang
lain anggap remeh)
2) Rasa cemas yang intens selama berhari-hari, minggu, atau bahkan bulanan sebelum
situasi sosial yang akan datang
3) Ketakutan yang amat sangat akan rasa diamati atau dinilai oleh orang lain, terutama
orang-orang yang tidak Anda kenal

4) Ketakutan amat sangat bahwa Anda akan memalukan diri sendiri

5) Ketakutan amat sangat bahwa orang lain akan menyadari bahwa Anda gugup

Gejala fisik dari fobia sosial, termasuk:

1) Wajah memerah, blushing


2) Napas pendek-pendek

3) Sakit perut, mual

4) Gemetar, termasuk suara yang gemetar

5) Jantung deg-degan atau dada terasa sesak

6) Berkeringat atau hot flashes

7) Merasa pusing atau ingin pingsan

Gejala perilaku dari fobia sosial, termasuk:

1) Menghindari situasi sosial hingga tingkat tertentu sehingga membatasi aktivitas Anda
atau mengganggu rutinitas Anda
2) Menghindari tatap mata

3) Berdiam diri atau bersembunyi di belakang untuk menghindari orang lain menyadari
kehadiran Anda

4) Kebutuhan untuk selalu membawa teman kemanapun Anda pergi

5) Minum (alkohol) sebelum menghadapi situasi sosial apapun untuk upaya menenangkan
diri

6) Seringkali, anak-anak dengan fobia sosial bahkan menolak untuk pergi ke sekolah
karena gejala yang mereka alami.

6. Diagnosis
Berikut adalah kriteria diagnostik social phobia berdasarkan DSM-IV TR :
1) Ketakutan yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebihsituasi
sosial atau situasi saat harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal A. Ketakutan
yang menetap dan berlangsung terus menerus terhadap satu atau lebihsituasi sosial atau
situasi saat harus tampil di hadapan orang yang belum dikenal dengan baik atau situasi
ketika dirinya diamati oleh orang lain. Individu merasa takutdirinya akan melakukan
sesuatu yang memalukan atau menunjukkan gejala-gejalakecemasannya di hadapan
orang lain.Diagnosis social phobia dapat ditegakkan pada anak jika anak tersebut
terbuktimemiliki kapasitas yang sesuai dengan usianya untuk membina hubungan
sosialdengan orang yang telah dikenalnya dengan baik, kecemasan juga harus muncul
padasaat interaksi dengan teman sebaya, bukan hanya saat berinteraksi dengan
orangdewasa.
2) Saat dihadapkan pada situasi sosial yang ditakuti, kecemasan akan muncul dalambentuk
serangan panik. Pada anak-anak, kecemasan muncul dalam bentuk perilakuseperti
menangis, tantrum, diam membisu, atau bersembunyi dari situasi sosial yangterdiri dari
orang-orang yang belum dikenalnya.
3) Individu menyadari bahwa ketakutan yang ia rasakan adalah berlebihan dan tidakmasuk
akal. Pada anak-anak, kriteria ini tidak termasuk.
4) Individu menghindar dari situasi sosial yang ditakuti atau apabila tetap berada
padasituasi tersebut, ia akan mengalami kecemasan yang hebat.
5) Perilaku menghindar, antisipasi kecemasan atau kesulitan yang dialami dalam
situasisosial yang ditakuti menimbulkan gangguan secara signifikan dalam rutinitas
normalindividu, fungsi pekerjaan atau akademis, hubungan sosial atau individu
terlihattertekan dengan fobia yang dialaminya.
6) Jika individu berusia di bawah 18 tahun, maka gejala-gejala tersebut
berlangsungselama sekurang-kurangnya 6 bulan.
7) Ketakutan atau perilaku menghindar bukan disebabkan oleh efek fisiologis dari
suatuzat tertentu (misalnya narkotika atau obat-obatan) atau kondisi medis dan kondisi
initidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lainnya.
8) Apabila disertai oleh kondisi medis atau gangguan mental lainnya maka ketakutanyang
tertera pada kriteria A tidak berhubungan dengan kondisi tersebut.

7. Penatalaksanaan
Fobia social dapat ditangani dengan bantuan profesional. Sebagian besar pasien
merasa lebih baik setelah mendapat penanganan yang tepat. Penderita dengan
komplikasi kelainan psikiatris lain memerlukan terapi yang lebih rumit dalam jangka waktu
yang lebih lama. Karena kecemasan yang dialami tiap orang berasal dari seperangkat
faktor yang berbeda, menentukan terapi yang tepat bisa menjadi sangat sulit.
C. Panic Attack
1. Definisi
Istilah “panik” berasal dari kata Pan, dewa Yunani yang setengah hantu, tinggal di
pegunungan dan hutan, dan perilakunya sangat sulit diduga. Tahun 1895 deskripsi gangguan
panik pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud dalam kasus agorafobia. Serangan
panik merupakan ketakutan akan timbulnya serangan serta diyakini akan segera terjadi.
Individu yang mengalami serangan panik berusaha untuk melarikan diri dari keadaan yang
tidak pernah diprediksi.
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan
tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau ketakutan yang kuat dan
relatif singkat, yang disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnea.
Gangguan panik disebabkan oleh respon terhadap bahaya yang mengancam berasal dari
dalam dirinya sendiri yang merupakan dorongan yang tidak terkontrol. Gangguan panik
menurut Kolb dan Brodie merupakan kelainan medis berupa serangan panik berulang dan
tidak disebabkan oleh penggunaan zat atau obat atau bahkan gangguan jiwa lain dengan
puncaknya adalah perasaan takut, perasaan tidak nyaman dan khawatir berlebihan.
Menurut DSM-IV, gangguan panik adalah gangguan yang sekurang - kurangnya
terdapat 3 serangan panik dalam waktu 3 minggu dan tidak dalam kondisi berat atau dalam
situasi yang mengancam kehidupan. Gangguan panik bersifat rekuren (kambuh) dan akan
mengakibatkan terjadinya serangan panik yang tidak diduga-duga dan mencapai puncaknya
kurang dari 10 menit.
Terdapat 3 model fenomenologi gangguan panik yaitu :
a. Serangan panik akut
Ditandai oleh timbulnya peningkatan aktifitas sistem saraf otonom secara
mendadak dan spontan disertai perasaan ketakutan. Serangan ini berakhir 10-30 menit
dan dapat kembali normal.
b. Antisipasi kecemasan
Ditandai dengan perasaan takut bahwa serangan akan timbul kembali.
Keadaan ini jarang kembali normal karena sesudah serangan biasanya penderita sudah
dalam kondisi kronis dan selalu mengantisipasi terhadap onset serangan.
c. Menghindari fobia
Adalah kondisi panik yang berkembang menjadi perilaku menghindar atau
fobia. Penderita menjadi ketakutan akan timbulnya serangan panik sehingga penderita
menghindari situasi tersebut.
2. Etiologi dan Patogenesis
a. Faktor Biologis
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah menghasilkan
berbagai temuan; satu interpretasi adalah bahwa gejala gangguan panik dapat
disebabkan oleh berbagai kelainan biologis di dalam struktur otak dan fungsi otak.
penelitian tersebut dan penelitian lainnya telah menghasilkan hipotesis yang melibatkan
disregulasi sistem saraf perifer dan pusat di dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem
saraf otonomik pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan menunjukkan
peningkatan tonus simpatik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang berulang,
dan berespon secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang. Sistem neurotransmiter
utama yang terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid
(GABA).
b. Faktor Genetika
Bahwa gangguan ini memiliki komponen genetika yang jelas. Angka prevalensi
tinggi pada anak dengan orang tua yang menderita gangguan panik. Berbagai penelitian
telah menemukan adanya peningkatan resiko gangguan panik sebesar 4-8 kali lipat
pada sanak saudara derajat pertama pasien dengan gangguan panik dibandingkan
dengan sanak saudara derajat pertama dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya.
Demikian juga pada kembar monozigot.
c. Faktor Psikososial
Baik teori kognitif perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk
menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agoraphobia. Teori kognitif perilaku
menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dipelajari baik dari perilaku
modeling orang tua atau melalui proses pembiasan klasik. Teori psikoanalitik
memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan yang tidak berhasil dalam
melawan impuls yang menyebabkan kecemasan. Apa yang sebelumnya merupakan
suatu sinyal kecemasan ringan menjadi suatu perasaan ketakutan yang melanda,
lengkap dengan gejala somatik. Peneliti menyatakan bahwa penyebab serangan panik
kemungkinan melibatkan arti bawah sadar peristiwa yang menegangkan dan bahwa
patogenesis serangan panik mungkin berhubungan dengan faktor neurofisiologis yang
dipicu oleh reaksi psikologis.

3. Gambaran Klinis
Serangan panik pertama seringkali spontan, tanpa tanda akan terjadi serangan panik,
walaupun serangan panik kadang-kadang terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan fisik,
aktivitas seksual atau trauma emosional. Serangan sering dimulai dengan periode gejala yang
meningkat dengan cepat selama 10 menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat,
suatu perasaan ancaman kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu menyebutkan
sumber ketakutannya. Pasien mungkin merasa kebingungan dan mengalami kesulitan dalam
memusatkan perhatian. Tanda fisik adalah takikardia, palpitasi, sesak nafas dan berkeringat.
Pasien seringkali mencoba untuk mencari bantuan. Serangan biasanya berlangsung 20 sampai
30 menit dan jarang lebih lama dari 1 jam.
 Gejala penyerta
Gejala depresi seringkali ditemukan pada serangan panik dan agorafobia, pada
beberapa pasien suatu gangguan depresi ditemukan bersama-sama dengan gangguan
panik. Penelitian telah menemukan bahwa resiko bunuh diri selama hidup pada orang
dengan gangguan panik adalah lebih tinggi dibandingkan pada orang tanpa gangguan
mental. Disamping agorapobia, fobia lain dan gangguan obsesi kompulsif dapat
terjadi bersama dengan gangguan panik. Akibat psikologis dari gangguan panik dan
agorafobia selain pertengkaran perkawinan, dapat berupa waktu terbuang ditempat
kerja, kesulitan finansian yang berhbungan dengan hilangnya pekerjaan dan
penyalahgunaan alkohol dan zat lain.
4. Diagnosis
Menurut DSM-IV, kriteria diagnosis gangguan panik harus dibuktikan denganadanya
serangan panik yang berkaitan dengan kecemasan persisten berdurasi lebih dari 1 bulan
terhadap: (1)serangan panik baru (2) konsekuensi serangan, atau (3) terjadi perubahan
perilaku yang signifikan berhubungan dengan serangan. Selain itu untuk mendiagnosis
serangan panik, kita harus menemukan minimal 4 gejala dari 13 gejala berikut ini:
 Merasa pusing, tidak stabil berdiri, hingga pingsan
 Merasa kehilangan kontrol, seperti mau gila
 Takut mati
 Leher serasa dicekik
 Palpitasi, berdebar-debar, denyut jantung bertambah cepat
 Nyeri dada, rasa tidak nyaman di dada
 Merasa sesak, bernapas pendek
 Mual atau distress abdominal
 Gemetaran
 Berkeringat
 Rasa panas dikulit, menggigil
 Mati rasa, kesemutan
 Derealisasi, depersonalisasi (merasa seperti terlepas dari diri sendiri)
Selama serangan panik pasien senantiasa berkeinginan untuk kabur dan merasa
ajalnya hampir menjelang akibat perasaan terkecekik dan berdebar-debar. Gejala lain yang
dapat timbul pada serangan panik adalah sakit kepala, tangan terasa dingin, timbulnya
pemikiran-pemikiran yang mengganggu, dan merenung. Menurut PPDGJ-III gangguan panik
baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan adanya gangguan panik fobik.
Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan panik berat dalam
masa kira-kira satu bulan :
1) Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya.
2) Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya
(unpredictable situation)
3) Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala panik pada periode diantara serangan-
serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi juga “panik antipsikotik”
yaitu panik yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang mengkhawatirkan akan
terjadi.

5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan panik adalah sejumlah
gangguan medis dan juga gangguan mental.
Etiologi Contoh :
Penyakit kardiovaskuler Anemia, angina, gagal jantung kongesif, keadaan adrenergik beta
hiperaktif, hiertensi, prolapsus katup mitral, infark miokardium, takikardi atrium paradoksal.
Penyakit pulmonal Asma, hiperventilasi, embolus paru-paru Penyakit neuroloigs Penyakit
serebrovaskuler, epilepsy, penyakit Huntington, infeksi, penyakit eniere, mifran, sklerosis
multiple, serangan iskemik transien, tumor, penyakit Wilson. Penyakit endokrin Penyakit
Addison, sindrom karsinoid, sindrom chusing, diabetes, hipertiroidisme, hipoglikemia,
hipopaatiroidismer, ganguan menopause, feokromasitoma, sindrom prementruasi. Intoksikasi
obat Amfetamin, amyl ntrite, antikolinergik, kokain Halusinogen Marijuana, nikotin,
theophyline. Putus obat Alcohol, antihipertensi, opiate dan opioid, sedative-ipnotik, Kondisi
lain Anafilaksis, defisiensi B12, gangguan elektrolit, keracunan logam berat, infeksi sistemik,
Lupus, eritemtous sistemik, arteritis temporalis, uremia.
Diagnosis banding psikiatrik untuk gangguan panik adalah pura-pura, gangguan
buatan, hiponkondriasis, gangguan depersonalisasi, fobia sosial dan spesifik, gangguan stress
pasca traumatik, gangguan depresif, dan skizofrenia.

6. Komplikasi
 Masalah sosial  depresi
 Isolasi  pencandu alcohol
 Agoraphobia  Penyalahgunaan narkotika.
 Masalah dalam bekerja

7. Terapi
a. Psikoterapi
Cognitive-behavioral therapy (CBT)
CBT, dengan atau tanpa farmakoterapi, merupakan terapi pilihan untuk gangguan panik,
dan terapi ini harus diberikan pada semua pasien. CBT memiliki efikasi yang lebih tinggi
dalam mengatasi gangguan panik dan biayanya lebih murah. Selain itu tingkat drop out
dan relaps juga lebih rendah jika dibandingkan dengan terapi farmakologi. Meskipun
begitu, hasil yang lebih superior dapat dihasilkan darikombinasi CBT dan famakoterapi.
b. Beberapa Metode CBT
Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode restrukturisasi,
terapi relaksasi, terapi bernapas, dan terapi interocepative. Inti dari terapi CBT adalah
membantu pasien dalam memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang
salah dapat menimbulkan respon emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan
panik. Terapi restrukturisasi,melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi
pikirannya dengan cara mengganti semua pikiran – pikiran negatif yang dapat
mengakibatkan perasaan tidak menyenangkan yang dapat memicu serangan panik
dengan pemikiran-pemikiran positif. Terapi relaksasi dan bernapas dapat digunakan
untuk membantu pasien mengontrol kadar kecemasan dan mencegah hypocania ketika
serangan panik terjadi. Semua jenis CBT seperti di atas dapat dilakukan pasien dengan
atau tanpa melibatkan dokter.
Namun salah satu metode CBT seperti interoceptive therapy yang terbukti berhasil pada
87% pasien harus dilakukan dengan bantuan dokter di suatu lingkungan yang terkontrol.
Karena terapi ini dilakukan dengan memberikan paparan yang dapat menstimulus
serangan panik pasien dengan cara meningkatkannya sedikit demi sedikit hingga pasien
mengalami desensitasi terhadap stimulus tersebut. Adapun beberapa teknik yang dapat
dilakukan untuk mendesensitasi gangguan panik antara lain:
Hiperventilasi disengaja – ini dapat mengakibatkan kepala pusing, derealisasi, dan
pandangan menjadi kabur. Melakukan putaran pada kursi ergonomis – ini dapat
mengakibatkan rasa pusing dan disorientasi. Bernapas melalui pipet – ini dapat
mengakibatkan sesak napas dan konstriksi saluran napas. Menahan napas - ini dapat
menciptakan sensasi seperti pengalaman menjelang ajal. Menegangkan badan – untuk
menciptakan perasaan tegang dan waspada.Semua tindakan di atas dilakukan tidak boleh
lebih dari 1 menit. Kuncinya dari teknik di atas adalah menciptakan sejumlah stimulus
yang menyerupai serangan panik. Latihan-latihan tersebut diulangi 3-5 kali sehari hingga
pasien tidak lagi merasakan kepanikan terhadap stimulus seperti itu. Biasanya butuh
waktu hingga beberapa minggu untuk dapat mencapai hal itu.
Pemaparan terhadap stimulus tersebut dilakukan agar pasien dapat belajar melalui
pengalaman bahwa semua sensasi internal yang dia rasakan seperti sesak napas, pusing
dan pandangan yang kabur bukanlah hal yang harus ditakuti. Ketika pasien mulai
menyadari hal tersebut maka secara otomatis, hippocampus dan amygdala, yang
merupakan pusat emosi, akan ikut mempelajarinya sebagai hal yang tidak perlu ditakuti,
sehingga respon sistem simpatik akan ikut berkurang.
8. Penatalaksanaan
Respon yang berlebih baik terhadap pengobatan akan terjadi jika penderita memahami
bahwa penyakit panik melibatkan proses biologis dan psikis. Obat obatan dan terapi perilaku
biasanya bias mengendalikan gejala gejalanya. Selain itu, Psikoterapi bias membantu
menyelesaikan berbagai pertentangan psikis yang mungkin melatarbelakangi perasaan dan
perilaku cemas.

9. Farmakoterapi
Terdapat 3 golongan besar obat yang dianjurkan untuk mengatasi gangguan panik,
yakni golongan SSRI, trisiklik, dan MAOI (Monoamine oxidase inhibitor). Sedangkan
golongan benzodiazepin hingga saat ini masih dianggap kontoversial dalam terapi gangguan
panik.
a. Golongan SSRI (Serotonin-selective reuptake inhibitors)
a) Fluoxetine (Prozac)
Fluoxetine secara selektif menghambat reuptake seotonin presinaptik, dengan
efek minimal atau tanpa efek sama sekali terhadap reuptake norepinephrine atau
dopamine.
b) Paroxetine (Paxil, Paxil CR)
Ini merupakan SSRI alternatif yang bersifat sedasi karena cara kerjanya
berupakan inhibitor selektif yang poten terhadap serotonin neuronal dan memiliki
efek yang lemah terhadap reuptake norepinephrine dan dopamine.
c) Sertraline (Zoloft)
Cara kerjanya mirip fluoxetine namun memiliki efek inhibisi yang lemah
padareuptake norephinephrine dan dopamine neuronal.
d) Fluvoxamine (Luvox, Luvox CR)
Fluoxamine merupakan inhibitor selektif yang juga poten pada reuptake
serotoninneuronal serta secara signifikan tidak berikatan pada alfa-adrenergik,
histamine ataureseptor kolinergik sehingga efek sampingnya lebih sedikit dibanding
obat-obatan jenistrisiklik.
e) Citalopram (Celexa)
Citalopram meningkatkan aktivitas serotonin melalui inhibisi selektif
reuptakeserotonin pada membran neuronal. Efek samping antikolinergik obat ini
lebih sedikit
f) Escitalopram (Lexapro)
Escitalopram merupakan enantiomer citalopram. Mekanisme kerjanya mirip
dengancitalopram.
Efek Samping SSRI
Efek samping SSRI biasanya timbul selama 1-4 minggu pertama ketikatubuh
mulai mencoba beradaptasi dengan obat (kecuali efek samping seksual yangtimbul pada
fase akhir pengobatan). Biasanya penggunaan SSRI mencapai 6-8minggu ketika obat
mulai mendekat potensi terapi yang menyeluruh. Adapunbeberapa efek samping SSRI
antara lain: anhedonia, insomnia, nyeri kepala, tinitus,apati, retensi urin, perubahan pada
perilaku seksual, penurunan berat badan, mual,muntah dan yang ditakutkan adalah efek
sampinng keinginan bunuh diri danmeningkatkan perasaan depresi pada awal
pengobatan.
b. Golongan Tricyclic/Trisiklik
Golongan trisiklik zat kimia heterosiklik yang awalnya digunakan
untukmengatasi depersi. Pada awal penemuannya, golongan trisiklik merupakan
pilihanpertama untuk terapi depresi. Meskipun masih dianggap memiliki efektifitas yang
tingginamun saat ini penggunaannya mulai digantikan oleh golongan SSRI dan
antidepresanlain yang terbaru.Golongan trisiklik beberapa memiliki kelebihan di
antaranya, dosisnya cukup1x/hari, rendah resiko ketergantungan, dan tidak perlu ada
pantangan makanan. Namun 35% penggunanya langsung menghentikan pengobatan
karena efeksamping yang tidak menyenangkan. Golongan trisiklik harus dimulai dengan
dosis keciluntuk menghindari amphetamine like stimulation. Biasanya pengobatan
denganmenggunakan trisiklik membtuhkan waktu sekitar 8-12 minggu untuk mencapai
responterapi.
Trisiklik masih tetap digunakan dalam terapi terutama untuk depresi atau
panikyang resisten terhadap obat antipanik terbaru. Selain itu golongan trisiklik
tidakmenyebabkan ketergantungan sehingga dapat digunakan dalam jangka waktu yang
lama.Hanya saja kelemahan golongan ini adalah, efek sampingnya biasanya mendahului
efekterapi sehingga banyak pasien yang justru segera menghentikan pengobatan
meskipunefek terapinya belum tercapai.
Mekanisme Kerja Trisiklik
Mekanisme kerja kebanyakan trisiklik menyerupai cara kerja SNRI (serotonin-
norepinephrine reuptake inhibitor) dengan cara memblok transporter serotonin
dannorepinephrine, sehingga terjadi peningkatan neurotransmiter ekstraseluler yang
dapatbereaksi dalam proses neurotransmisi. TCA sama sekali tidak bereaksi
terhadaptransporter dopamin sehingga efek samping akibat peningkatan dopamin
sepertihalusinasi dapat berkurang. Selain bereaksi pada reseptor norepinephrine dan
serotonin, trisiklik juga bereaksi sebagai antagonis pada neurotransmiter 5-HT.Kebanyak
trisiklik juga dapat menghambat kanal natrium dan kalsium, sehinggadapat bekerja
seperti obat-obatan natrium channel blocker dan calcium channel blocker.Karena itu
penggunanaan berlebih trisiklik dapat menyebabkan kardiotoksik.
Contoh Obat Trisiklik
a) Imipramine (Tofranil, Tofranil-PM)
Imipramine menghambat reuptake norepinephrine dan srotonin pada
neuronpresinaptikin.
b) Desipramine (Norpramin)
Desipramine dapat meningkatkan konsentrasi norepinephrine pada celah
sinaptik SSPdengan ara menghambat reuptakenya di membran presinaptik. Hal ini
dapatmenyebabkan efek desensitasi pada adenyl cyclase, menurunkan regulasi
reseptorbeta-adrenergik, dan regulasi reseptor serotonin.
c) Clomipramine (Anafranil)
Obat ini berefek langsung pada uptake serotonin sedangakan pada efeknya
uptakenorepinephrine terjadi ketika obat ini diubah menjadi
metabolitnya,desmethylclomipramine.
Efek Samping Trisiklik
Ada banyak efek samping yang dapat disebabkan oleh trisiklik yangberkaitan
dengan antimuskarinik-nya. Beberapa di antaranya adalah mulut kering,hidung kering,
pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, gangguan memori danpeningkatan temperatur
tubuh.Efek samping lainnya adalah pusing, cemas, anhedonia, bingung, sulit
tidur,akathisia, hipersensitivitas, hipotensi, aritmia serta kadang-kadang rhabdomiolisis.
c. MAO Inhibitor
Monoamine oxidase inhibitors (MAOIs) merupakan salah satu jenisantidepresi
yang dapat digunakan untuk mengatasi gangguan panik. Pada masa lalugolongan ini
digunakan untuk mengatasi gangguan panik dan depresi yang sudahresisten terhadap
golongan trisiklik.MAO paling efektif digunakan pada gangguan panik yang
disertaiagoraphobia. Selain itu MAO juga dapat digunakan untuk mengatasi migraine
danpenyakit parkinson karena target dari obat ini adalah MAO-B yang berperan
dalamtimbulnya nyeri kepala dan gejala parkinson.
Kelebihan MAO adalah tingkat ketergantungan terhadap obat ini rendah danefek
antikolinergiknya lebih sedikit dibanding obat golongan trisiklik. MAOI lebih efektif
dibandingkan obat trisiklik, dan laporan anecdotalmenyatakan bahwa pasien yang tidak
berespon terhadap trisiklik kemungkinanberespon terhadap MAOI.
Cara Kerja MAOI
MAOI bekerja dengan cara menghambat aktivitas monoamine oxidase,sehingga
ini dapat mencegah pemecahan monoamine neurotransmitters danmeningkatkan
avaibilitasnya. Terdapat 2 jenis monoamine oxidase, MAO-A danMAO-B. MAO-A
berkaitan dengan deaminasi serotonin, melatonin, epinephrine dannorepinephrine.
Sedangkan MAO-B mendeaminasi phenylethylamine and traceamines. Dopamine
dideaminasi oleh keduanya.
Contoh Obat MAOI
a) Phenelzine (Nardil)
Nardil merupakan obat golongan MAOI yang paling sering digunakan
dalammengatasi gangguan panik. Hal ini telah dibuktikan merlalui superioritas yang
jelasterhadap placebo dalam percobaan double-blind untuk mengatas gangguan
panik.Obat ini biasanya digunakan untuk pasien yang tidak respon terhadap obat
golongantrisiklik atau obat antidepresi golongan kedua.
b) Tranylcypromine (Parnate)
Obat ini juga efektif terhadap gangguan panik karena berikatan secara
ireversibelpada MAO sehingga dapat mengurangi pemecahan monoamin dan
meningkatkanavaibilitas sinaptik.
Efek Samping MAOI
Ketika dikonsumsi peroral, MAOI menghambat katabolisme amine.Sehingga
ketika makanan yang mengandung tiramin dikonsumsi, seseorang dapatmenderita krisis
hipertensi. Jika makanan yang mengandung tiptofan dimakan juga,maka hal ini dapat
menyebabkan hiperserotonemia. Jumlah makanan yang dibutuhkanhingga menimbulkan
reaksi berbeda-beda pada tiap individu.Mekanisme pasti mengapa konsumsi tiramin
dapat menyebabkan krisishipertensi pada pengguna obat MAOI belum diketahui, tapi
diperkirakan tiraminmenggantikan norepinefrin pada penyimpanannya di vesikel, dalam
hal ininorepinefrin terdepak oleh tiramin. Hal ini dapat memicu aliran
pengeluarannorepinefrin sehingga dapat menyebabkan krisis hipertensi. Teori lain
menyatakanbahwa proliferasi dan akumulasi katekolamin yang menyebabkan krisis
hipertensi.Beberapa makanan yang mengandung tiramin antara lain hati, makanan
yangdifermentasi dan zat-zat lain yang mengandung levodopa seperti kacang-
kacangan.Makanan-makanan itu harus dihindarkan dari pengguna MAOI.
d. Golongan Benzodiazepin
Pemakaian benzodizepin untuk gangguan panik adalah terbatas
Karenapermasalahan tentang ketergantungan, gangguan kognitif dan penyalahgunaan.
Tetapibenzodizepin efektif dalam gangguan panik dan mungkin memiliki onset yang
lebihcepat (onset mencapai satu sampai dua minggu, mencapai puncak setelah empat
sampaidelapan minggu) dibandingkan farmakoterapi lainnya.
Cara Kerja Benzodiazepin
Benzodiazepin bekerja dengan cara meningkatkan efek neurotransmiter
GABA(gamma-butyric acid), yang berakibat pada inhibisi fungsi eksitasi sehingga
dapatmenimbulkan kantuk, menekan kecemasan, anti-kejang, melemaskan otot dan
dapatmengakibatkan amnesia.
Ada 3 jenis benzodiazepin yakni yang short acting, intermediate acting dan
longacting. Benzodiazepin short- dan intermediate acting digunakan untuk
mengatasiinsomnia sedangkan yang golongan long-acting digunakan untuk mengatasi
gangguanpanik.
Contoh Obat Benzodiazepin
a) Lorazepam (Ativan)
Lorazepam merupakan suatu hipnotik-sedatif yang memiliki efek onset
singkat danparuh waktunya tergolong intermediate. Dengan meningkatkan aksi
GABA, yangmerupakan inhibitor utama di otak, lorazepam dapat menekan semua
kerja SSP,termasuk sistem limbik dan formasi retikuler.
b) Clonazepam (Klonopin)
Clonazepam menfasilitasi inhibisi GABA dan transmiter inhibitorik lainnya.
Selainitu, obat ini memiliki waktu paru yang relatif panjang sekitar 36 jam.
c) Alprazolam (Xanax, Xanax XR)
Alprazolam merupakan terapi pilihan untuk manajemen serangan panik. Obat
inidapat terikat pada reseptor-reseptor pada beberapa bagian otak, termauk sistem
limbikdan RES. Meskipun begitu banyak ahli yang tidak menyarankan
penggunaanalprazolam dalam waktu lama karena tingkat ketergantungannya sangat
tinggi.
d) Diazepam (Valium, Diastat, Diazepam Intensol)
Diazepam meruapakan salah satu jenis benzodiazepin yang potensinya
rendah.Namun dapat digunakan untuk mengatasi serangan panik.
Efek Samping Benzodiazepin
Efek samping yang paling sering ditemukan pada benzodiazepin
biasanyaberkaitan dengan efek sedasi dan relaksan ototnya. Beberapa di antaranya
adalahmengantuk, pusing, dan penurunan konsentrasi dan kewaspadaan.
Kurangnyakoordinasi bisa mengakibatkan jatuh dan kecelakaan, terutama pada orang
tua. Akibatlain dari benzodiazepin adalah penurunan kemampuan menyetir sehingga
dapatberakibat pada tingginya angka kecelakaan.Efek samping lainnya adalah hipotensi
dan penekanan pusat pernapasanterutama pada penggunaan intravena. Beberapa efek
samping lain yang dapat timbulpada penggunaan benzodiazepin adalah mual, muntah,
perubahan selera makan,pandangan kabur, bingung, euforia, depersonalisasi dan mimpi
buruk. Beberapa kasusjuga menunjukkan bahwa benzodiazepin bersifat liver toksik.
e. Serotonin Reuptake Inhibitor/Antagonist
Mekanisme kerja obat ini belum terlalu dipahami. Namun diketahui obat inidapat
mengatasi gangguan panik dengan cara kerja yang berbeda dari MAOI, sertatidak seperti
obat jenis amphetamine, obat ini tidak menstimulasi CNS.
Contoh Obat
 Trazodone
Trazodone sangat berguna dalam terapi gangguan panik yang disertai
agorafobia.Pada hewan, obat ini secara selektif mampu menghambat uptake
serotonin melaluisinaptosom otak dan mepotensiasi perubahan perilaku melalui
induksi precursorserotonin.
f. Serotonin Norepinephrine Reuptake Inhibitors
Ini merupakan salah golongan antipanik terbaru. Cara kerja obat ini
adalahmencegah reuptake inhibitor serotonin-norepinefrin sehingga dapat
mengatasikepanikan.
Contoh Obat
 Venlafaxine (Effexor, Effexor XR)
Venlafaxine merupakan salah satu contoh obat inhibitor
reuptakeserotonin/norepinephrine selain itu cara kerja obat ini adalah menurunkan
regulasireseptor beta.

10. Prognosis
Gangguan panik biasanya memiliki onsetnya selama masa remaja akhir ataumasa
dewasa awal, walaupun onset selama masa anak-anak, remaja awal, dan usiapertengahan
dapat terjadi. Biasanya kronik dan bervariasi tiap individu. Frekuensi dankepasrahan
serangan panik mungkin berfluktuasi. Serangan panik dapat terjadibeberapa kali sehari atau
kurang dari satu kali dalam sebulan.
Penelitian follow up jangka panjang gangguan panik sulit diinterpretasikan. Namun
demikian kira-kira 30-40% pasien tampaknya bebas dari gejala follow up jangka panjang,
kira-kira 50%memiliki gejala yang cukup ringan yang tidak mempengaruhi kehidupannya
secarabermakna dan kira-kira 10-21 % terus memiliki gejala yang bermakna. Depresi dapat
mempersulit gambaran gejala pada kira-kira 40-80 % darisemua pasien. Pasien dengan fungsi
premorbid yang baik dan lama gejala singkatcenderung memiliki prognosis yang baik

D. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)


1. Definisi
Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk
dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan atau membuat sesorang merasa tidak
berdaya (Smith & Segal, 2008). National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan
gangguan stress pasca trauma (PTSD) sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul
setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya
dimana peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa
manusia, kecelakaan ataupun perang.
Post Traumatic Stress Disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari
sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan,sulit dan tidak
menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (American
Psychological Association, 2004).
Menurut Departemen Kesehatan RI (Depkes RI) gangguan stress pasca trauma
merupakan reaksi dari individu terhadap kejadian yang luar biasa akibat dari pengalaman
seseorang pada suatu peristiwa yang bersifat amat hebat dan luar biasa, jauh dari pengalaman
yang normal bagi seseorang.

2. Etiologi
Stresor atau kejadian trauma merupakan penyebab utama dalam perkembangan
gangguan stres pasca trauma.Ketika kita dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita
mengaktifkan respon fight or flight.
Dalam reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan
peningkatan tekanan darah,denyut jantung, dan glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu
mulai hilang maka tubuh akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini
menyebabkan pelepasan hormon kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup
untuk menginaktivasi reaksi stress maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress
dari adrenalin.
Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon
stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal.Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masihada.Setelah sebulan dalam
kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan fisik.Stresor dapat berasal dari bencana alam, bencana yang diakibatkan oleh ulah
manusia, ataupun akibat kecelakaan. Akan tetapi tidak semua orang akan mengalami
gangguan stres pasca trauma setelah suatu peristiwa traumatik

3. Epidemiologi

Statistik pada anak-anak dan remaja menunjukkan bahwa hampir 40%muncul paling
tidak satu peristiwa traumatik, yang berkembang menjadi PTSD pada hampir 15% anak
perempuan dan 6% pada anak laki-laki. Hampir 100% darianak-anak yang menyaksikan
orangtuanya dibunuh atau mengalami kekerasanseksual atau kekerasan rumah tangga
mengarah untuk berkembang menjadi PTSD,dan lebih dari sepertiga anak muda yang
terpapar pada kekerasan akan mengalamigangguan ini.

4. Patofisiologi

Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari
PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut
untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yangmungkin
menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur
lainnya seperti hipotalamus, bagian abu-abu otak dan nucleus,mengaktifkan neurotransmitter
dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala
PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi
rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitianterhadap orang-orang yang mengalami PTSD,
bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala.

Amigdala menerima informasi berupa rangsangan eksternal. Hal ini kemudian


memicu respon emosional termasuk “fight, flight, or freezing" dan perubahan dalam hormon
stress dan katekolamin. Hipokampus dan korteks prefrontal medial (gambar 1)
mempengaruhi respon amigdala dalam menentukan respon ketakutan akhir. Ketika kita
dalam keadaan takut dan terancam, tubuh kita mengaktifkan respon fight or flight . Dalam
reaksi ini tubuh mengeluarkan adrenalin yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah,denyut jantung, glikogenolisis. Setelah ancaman bahaya itu mulai hilang makatubuh
akan memulai proses inaktivasi respon stress dan proses ini menyebabkan pelepasan hormon
kortisol. Jika tubuh tidak melepaskan kortisol yang cukup untuk menginaktivasi reaksi stress
maka kemungkinan kita masih akan merasakan efek stress dari adrenalin.

Pada korban trauma yang berkembang menjadi PTSD seringkali memiliki hormon
stimulasi (katekolamin) yang lebih tinggi bahkan pada saat kondisi normal.Hal ini
mengakibatkan tubuh terus berespon seakan bahaya itu masih ada.Setelah sebulan dalam
kondisi ini, di mana hormon stres meningkat pada akhirnya menyebabkan terjadinya
perubahan fisik.Beberapa studi telah menemukan konsentrasi kortisol rendah orang dengan
post-traumatic stress disorder dan berlawanan menanggapi penindasan deksametason tes
daripada yang terlihat dengan depresi berat.

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis utama pada gangguan stress pascatrauma adalah kembalinya


pengalaman menyakitkan yang terus menerus dalam pikiran korban, pola penghindaran
terutama terhadap hal-hal yang mengingatkan korban pada pengalaman traumatisnya, dan
tumpulnya emosi. Keadaan-keadaan di atas mungkin segera setelah trauma, namun gejala
lengkapnya baru timbul setelah beberapa waktu.Perasaan bersalah, penghindaran, dan rasa
dipermalukan kadang-kadang dapat ditemukan dalam anamnesis psikiatri.Adanya
penghindaran dan tumpulnya emosi merupakan hal yang penting dalam diagnosis menurut
DSM-IV.

Gejala kecemasan patologis antara lain rasa was-was yang berlebihan, ketakutan,
penarikan diri dari masyarakat dan lingkungan, kesukaran konsentrasi dan berfikir, gejala-
gejala somatik seperti tremor, panas dingin, berkeringat, sesak napas, jantung berdebar, serta
dapat pula ditemui gejala gangguan persepsi seperti depersonalisasi, derealisasi dan mungkin
terdapat gejala yang lain.

6. Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV untuk gangguan stress pascatraumatik ditulis untuk
memperjelas beberapa kriteria dalam DSM-III-R. Pertama DSM-IV-R menggambarkan
stressor diluar rentang pengalaman manusia pada umumnya.Karena kriteria adalah tidak jelas
dan tidak dapat dipercaya, DSM-IV memperjelas artinya (Kriteria A).

Dalam DSM-IV, criteria B menyebutkan, seperti dalam DSM-III-R, bahwa pasien


secara menetap mengalami kembali peristiwa traumatik. Kriteria C dan D pada DSM IV tetap
sama dengan DSM-III-R, mereka menyebutkan penghindaran persisten terhadap situasi
tertentu dan peningkatan kesadaran pada pasien. DSM-IV menyebutkan bahwa gejala
pengalaman, menghindar dan kesadaran yang berlebihan harus berlangsung lebih dari 1
bulan.

Kriteria diagnostik untuk gangguan stress pascatraumatik

a. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
terdapat :
 Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri
atau orang lain.
 Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
b. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara
berikut :
 Rekoleksi yang menderitakan, rekuren, dan mengganggu tentang kejadian,
termasuk angan pikiran atau persepsi.
 Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian.
 Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali.
 Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau
eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
 Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang
menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik.
c. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku
karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang
ditunjukkan oleh tiga (atau lebih) berikut ini :
 Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan atau percakapan yang berhubungan
dengan trauma.
 Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma
 Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna.
 Perasaan terlepas atau asing dari orang lain
 Rentang afek yang terbatas
 Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek.
d. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih)
berikut:
 Kesulitan untuk tidur atau tetap tidur
 Iritabilitas atau ledakan kemarahan
 Sulit berkonsentrasi
 Kewaspadaan berlebihan
 Respon kejut yang berlebihan
e. Lama gangguan (gejala dalam kriteria b, c, d) adalah lebih dari satu bulan
f. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain.

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Stress Akut

a. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini
ditemukan:
 Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau
kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang
sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau
orang lain.
 Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
b. Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan,
individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :
 Perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi
 Penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan
tidak sadar)
 Derelisasi
 Depersonalisasi
 Amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari
trauma)
c. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut:
bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan
hidupnya kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat
kejadian traumatic
d. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya,
pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).
e. Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur,
iritabilias, konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan,
dan kegelisahan motorik).
f. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan
dalam fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan
individu untuk mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang
diperlukan atau menggerakan kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada
anggota keluarga tentang pengalaman traumatic.
g. Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi
dalam 4 minggu setelah traumatic.
h. Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan psikotik singkat dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan
Aksis I atau Aksis II dan telah ada sebelumnya.

Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,
kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien
gangguan stress pascatraumatik.Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima,
istilah gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga
mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.

7. Penatalaksanaan
a. Farmakologi
a) Selective seotonin reuptak inhibitors (SSRIs)
SSRIs merupakan obat line pertama dan satu-satunya obat yang
direkomendasikan Food and Drug Administration (FDA) dalam mengatasi gejala
cemas, depresi, perilaku menghindar, dan pikiran yang intrusif (mengganggu) pada
penderita PTSD. Obat ini secara primer mempengaruhi neurotransmitter serotonin
yang penting untuk regulasi mood, anxietas, appetite, tidur, dan fungsi tubuh lainnya.
Obat ini meningkatkan jumah serotonin dengan cara menginhibisi reuptake serotonin
diotak. Penelitian menunjukkan bahwa manfaat maksimal dari SSRI’s tergantug pada
dosis yang cukup dan durasi pengobatan.
Obat golongan SSRIs antara lain:
 Fluoxetine (Prozac) à 20mg-60mg sehari.
 Sertraline (Zoloft) à 50 mg-200mg sehari
 Citalopram (Celexa) à 20mg-60 mg sehari
 Paroxetine (Paxil) à 20mg-60mg sehari
Diantara obat-obat diatas yang direkomendasikan FDA untuk first line medikasi
PTSD hanya sertraline dan paroxetine.
b) Mood stabilizers à Golongan ini dapat membantu mengatasi gejala arousal yang
meninggi dangejala impulsif.
 Dosis Carbamazepine (Tegretol):6-12 tahun: 100mg/hari peroral untuk initial lalu
dapat dinaikkan hingga100mg/hari, untuk dosis maintenance; 20-30
mg/kg/hari>12 tahun: samapai kadar di plasma 8-12mcg/ml
 Dosis valporic acid (Depakene, depakote): 10-15 mg/kg/hari untuk dosisinitial
dan kemudian dapat ditingkatkan 5-10mg/kg/hari
c) Beta adrenergic blocking agents à Obat yang digunakan golongan ini yakni,
Propanolol (Inderal). Obat inidapat mengatasi gejala hiperarousal. Dosis untuk anak-
anak: 2,5 mg/kgBB/hari.
d) Antidepresan
Bekerja melui komninasi neurotransmitter lain atau melaui mekanisme berbeda untuk
mengubah neurotransmisi serotonin.
e) Atipikal Antipsikotik
f) Bertindak sebagai dopaninergik dan serotoninergik. Obat ini digunakan pada pasien
dengan psikotik sebagai komorbidnya. Atipikal Antipsikotik tidak dianjurkan untuk
monoterapi pada PTSD.
g) Benzodiazepin
Bekerja langsung pada system GABA yang menghasilkan efek menenangkan pada
system saraf.
b. Non Farmakologi
a) Terapi perilaku kognitif atau CBT.
Ada beberapa bagian untuk CBT, termasuk:
1) Exposure therapy. Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan
ketakutan mereka. Karena menghadapkan mereka ke trauma yang mereka alami
dengan cara yang aman. Menggunakan mental imagery, menulis, atau
kunjungan ke tempat di mana peristiwa itu terjadi.Terapis menggunakan alat ini
untuk membantu orang dengan PTSD mengatasi perasaan mereka. Terapi ini
dapat dilakukan dengan 2 cara:
• Exposure in the imagination
Terapis bertanya kepada penderita untuk mengulang-ulang cerita secara
detail kenangan-kenangan traumatis sampai mereka tidak mengalami
hambatan untuk menceritakannya.
• Exposure in reality
Terapis membantu untuk menghadapi situasi yang sekarang aman, tetapi
ingin dihindarkan karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat.
Pengulangan situasi yang disertai penyadaran yang berulang-ulang akan
membantu kita menyadari bahwa situasi lampau yang menakutkan tidak
lagi berbahaya dan kita dapat mengatasinya
2) Kognitif restrukturisasi. Terapi ini membantu orang memahami kenangan
buruk.Kadang-kadang orang mengingat kejadian berbeda dari bagaimana hal itu
terjadi. Mereka mungkin merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan
kesalahan mereka. Terapis membantu orang dengan PTSD melihat apa yang
terjadi dengan cara yang realistis.
3) Stress inoculation training. Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD
dengan mengajar orang bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti
restrukturisasi kognitif, pengobatan ini membantu orang melihat kenangan
mereka dengan cara yang sehat.
b) Cognitive therapy
terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu
emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban kejahatan
mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati.Tujuan kognitif terapi
adalah mengidentifikasi pikiran-pikiran yang tidak rasional, mengumpulkan bukti
bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang kemudian
mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang (Anonim, 2005b).
c) EMDR (Eye Movement Desensitization and Reprocessing)
EMDR adalah sebuah pendekatan psikoterapi yang bertumpu pada model
pemrosesan informasi di dalam otak. Jaringan memori dilihat sebagailandasan yang
mendasari patologi sekaligus kesehatan mental, karena jaringan-jaringan memori
adalah dasar dari persepsi, sikap dan perilakukita.Untuk memproses kembali
informasi di dalam otak/jaringan memori
d) Anxiety management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk
membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui:
1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara
sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan,
santai dan menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan
perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung
berdebar dan sakit kepala,
3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilangkan pikiran
negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal-hal yang
membuat stress (stresor),
4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini
dan emosi tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita
sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
e) Terapi bermain (play therapy) mungkin berguna pada penyembuhan anak dengan
PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak dengan PTSD.Terapis memakai
permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung.Hal ini
dapat membantu anak lebih merasa nyaman dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya (Anonim, 2005b).
f) Terapi debriefing juga dapat digunakan untuk mengobati traumatik. Meskipun ada
banyak kontroversi tentang debriefing baik dalam literatur PTSD umum dan di dalam
debriefing yang dipimpin oleh bidan.Cochrane didalam systematic reviews-nya
merekomendasi-kan perlu untuk melakukan debriefing pada kasus korban -korban
trauma (Rose et al, 2002).Mengenai debriefing oleh bidan, Small gagal menunjukkan
secara jelas manfaatnya (Small et al., 2000).Meski begitu, Boyce dan Condon
merekomendasikan bidan untuk melakukan debriefing pada semua wanita yang
berpotensi mengalami kejadian traumatik ketika melahirkan (Boyce & Condon,
2000).
g) Support group therapy dan terapi bicara. Dalam support group therapy seluruh
peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai pengalaman serupa (misalnya
korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam proses terapi mereka
saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemdian mereka saling
memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi bicara
memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa
terapi saling berbagi cerita mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa
penderita.Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang
dipendam. Bertukar cerita membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih
baik dari orang lain. Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang
diderita dan melawan kecemasan (Anonim, 2005b).
h) Terapi psikodinamik berfokus pada membantu orang tersebut memeriksa nilai-nilai
pribadi dan konflik emosional yang disebabkan oleh peristiwa traumatis.
i) Terapi keluarga mungkin berguna karena perilaku orang dengan PTSD dapat
memiliki mempengaruhi anggota keluarga lainnya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah respon
seseorang terhadap suatu stressor dan merupakan hal yang normal, namun jika responnya
berlebihan maka hal tersebut dikatakan abnormal.
Respon seseorang terhadap stressor dikatakan tidak normal jika mengganggu aktifitas
dan kemampuan orang tersebut untuk berhubungan dengan orang lain.
Penyebab adanya abnormalitas dari kecemasan tersebut diantaranya adalah
lingkungan, oleh karena itu penting kiranya menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
seseorang tumbuh dan berkembang menghadapi berbagai stressor kehidupan.
Berbagai teori dikembangkan untuk mengatasi gangguan kecemasan yang berlebih
namun pada prinsipnya adalah koping yang tepat yang harus dilakukan oleh individu untuk
mengatasi kecemasan tersebut.

B. Saran
1. Penulis menyarankan pembaca, setelah membaca makalah ini hendaknya dapat
mengidentifikasi tanda-tanda kecemasan dalam diri masing masing sehingga dapat
mengembangkan pola koping yang tepat untuk mengatasi kecemasan tersebut.
2. Kepada teman - teman hendaknya dapat mengidentifikasi kecemasan yang dirasakan
oleh pasien agar dampak negatif dari kecemasan tersebut tidak terjadi sehingga
kesembuhan pasien dapat optimal.
3. Kembangkanlah lingkungan yang baik untuk keluarga dan lingkungan terdekat agar
dapat menjadi alat untuk mengatasi stressor.

DAFTAR PUSTAKA

A. King, Laura. 2010. Psikologi Umum. Jakarta : Salemba Humanika.

Anonym. 2011. Gangguan panik. Diakses dari


www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311037/bab%20II.pdf pada 12
Oktomber 2018, pukul 19.16
Anonym.2013. Complication of Panik Disorder
.http://www.rightdiagnosis.com/p/panik_disorder/complic.htm#complication.
Diaksespada tanggal 12 Oktober 2018, pukul 13.00.
Bhatt NV. Anxiety Disorders. Medscape. 2017.

Carpenito, L.J., 1998. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahasa : Yasmin

Asih. Editor Monica Aster, Jakarta : EGC.

Causes of Phobias and causes of panic attacks

Chakraburtty A. Panik Disorder. WebMD; 2009 [updated 09/02/2009; cited onJanuary 2012];
Available from: http://www.webmd.com.
Cloos JM. Treatment of panik disorder. Updated on January 2005. [Cited on June2011].
Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/497207_1
Husnul, Mubarak. 2008. Gangguan Panik.

Kaplan I.H., Social Phobia, in sinopsys of psikiatry, fifth ed., Williams and Wilkins, london ,

322-4

Kaplan, Sadock. Synopsis psikiatri, Ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Edisi ketujuh.
Jakarta: Binarupa Aksara;2008. Bab 16, Gangguan kecemasan; H. 16-20
Keliat, Budi Anna. 1998. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Editor Yasmin Asih, Jakarta :

EGC

Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. In: Elvira SD, Hadisukanto G, editors.Buku Ajar
Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2010. p. 235-41.
Maramis,WF. Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Jakarta:Pusat Penerbitan dan Pencentakan
(AUP); 2007. Bab 11, Gangguan neurotic; H.311
Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: Bagian Ilmu KedokteranJiwa FK-
Unika Atma Jaya; 2001.14. Maslim R. Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. 3rd ed.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya; 2007
Maslim R. Buku saku. Diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-III.Jakarta:
PT.Nuh Jaya, 2001.H.74
Maslim, R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Edisi ke tiga. Jakarta: PT
Nuh Jaya, 2007. H.23
Memon MA. Panik Disorder. Medscape Reference; 2011 [updated 29/03/2011; cited on
January 2012]; Available from: http://emedicine.medscape.com
Memon MA. Panik disorder. Updated on March 2011. [Cited on June 2011].Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/287913-overview
Nutter DA. Pediatric Generalized Anxiety Disorders. Medscape. 2017.

Rasmun, 2001, Kepwrawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan

Keluarga. Edisi Pertama, Jakarta : CV, Sagung Seto.

Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry. Behavior

Sciences/Clinical Psychiatry. 10th 2. Wagner KD, Brent DA. Depressive Disorders


and Suicide. In : Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry. 9 ed. Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
Struart, G.W., S undeen, S.J., 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3, Jakarta

Townsend, M. C., 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri.

Edisi 3. Alih Bahas Novi Helena. Rditor Monica Ester, Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai