Anda di halaman 1dari 17

REVITALISASI KURIKULUM PENDIDIKAN TINGGI INDONESIA DALAM

RANGKA PENINGKATAN RELEVANSI AKADEMIK OUTPUT BERBASIS


ENTREPRENEURSHIP
Disusun oleh: Purwito, Pemerhati ilmu pendidikan

Abstrak
Revitalisasi kurikulum merupakan upaya mendasar pemberdayaan pendidikan tinggi dalam
rangka menyiapkan output/lulusan yang betul-betul siap kerja. Pendidikan tinggi jangan sampai
menjadi institusi pendidikan yang menciptakan pengangguran intelektual akademis, untuk itu reviu
kurikulum sebagai salah satu sarana peningkatan aspek ”relevansi akademik” institusi pendidikan
menjadi kunci utama. Di antaranya, kurikulum pendidikan tinggi harus ada 3 mata kuliah penting,
yaitu: Pendidikan Kewirausahaan, Amplikasi Komputer, dan Kerja profesi sebagai penopang
kompetensi lulusan dalam memasuki dunia kerja, di samping mata kuliah pokok lainnya.
Pendekatan yang digunakan dalam revitalisasi ini adalah menggunakan pendekatan
manajemen strategik dengan menempatkan Total Quality Management sebagai strategi utama serta
Analisis SWOT sebagai langkah operasionalnya.
Kata Kunci: revitalisasi, kurikulum, dan kewirausahaan.

A. Pendahuluan
Menyimak dan mencermati perihal entrepreneurship atau dalam bahasa
Indonesia lebih dikenal dengan istilah ”kewirausahaan”, maka pikiran kita sejenak
mengarah pada kondisi Indonesia dewasa ini yang sangat problematik dihadapkan
dengan pengangguran. Memang, masalah pengangguran menjadi masalah yang
sangat manusiawi dan substansial yang dihadapi oleh semua negara manapun di dunia
ini, masing-masing negara memiliki prinsip dan metode yang berbeda dalam
pemecahannya sesuai dengan konteks dan karakternya.
Berkait dengan tema pada kali ini maka penulis akan mengajukan sebuah
gagasan yang diharapkan dapat memberikan entry point positif terhadap alternatif
pemecahan masalah dimaksud melalui pendekatan sistem, yaitu malalui jalur
pendidikan. Terutama sekali pikiran penulis akan mencoba menampilkan gagasan
kontributif tentang usaha mencermati kurikulum yang diterapkan, terutama sekali
kurikulum pendidikan tinggi, khususnya untuk beberapa program studi di luar
program studi khusus yang menangani kewirausahaan, misalnya program studi di
bawah lingkungan fakultas ekonomi dan bisnis atau sejenisnya.

1
Pertimbangan ini dilakukan mengingat beberapa lulusan/output program studi,
teruma program studi jalur teori seperti ilmu budaya, filsafat, sosial politik, dan lain-
lain sudah barang tentu bahwa praktek-praktek kewirausahaan menjadi sangat penting
untuk membekali para lulusan menjadi siap kerja sesuai dengan
stakeholder/kebutuhan masyarakat pengguna secara luas. Namun demikian sering
kali terdapat perbedaan substansial antara das sein dan das solen, antara keinginan
dan kenyataan. Untuk itu, mudah-mudahan gagasan ini menjadi berguna.
Didasari kesadaran penuh atas adanya kesenjangan antara teori yang diperoleh
mahasiswa dengan realita kebutuhan masyarakat, serta munculnya tuntutan
masyarakat atas lulusan perguruan tinggi yang bermutu, mandiri dan siap
mengantisipasi arah pengembangan bangsa, maka pada tahun 1997 melalui DP2M
(Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) merealisasikan sebuah
Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan di Perguruan Tinggi (PBKPT).
Salah satu komponen kunci di dalamnya adalah Program Karya Alternatif Mahasiswa
yang lebih populer dengan nama KAM. Inilah satu-satunya program yang dapat
diakses dan dilaksanakan oleh mahasiswa (Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 2009: i)

Lulusan sebuah perguruan tinggi dituntut untuk memiliki academic


knowledge, skill of thinking, management skill dan communication skill. Kekurangan
atas salah satu dari ke empat keterampilan/kemahiran tersebut dapat menyebabkan
berkurangnya mutu lulusan. Sinergisme dari ke empatnya akan tercermin melalui
kemampuan lulusan dalam kecepatan menemukan solusi atas persoalan-persoalan
atau tantangan-tantangan yang dihadapinya. Perilaku dan pemikiran yang ditunjukkan
akan bersifat konstruktif realistik, artinya kreatif (unik dan bermanfaat) serta dapat
diwujudkan. Kemampuan berpikir dan bertindak kreatif pada hakekatnya dapat
dilakukan setiap manusia, apalagi yang menikmati pendidikan tinggi. Oleh karena itu,
kreativitas merupakan jelmaan integratif dari 3 (tiga) faktor utama dalam diri
manusia, yaitu: pikiran, perasaan dan keterampilan. Dalam faktor pikiran terdapat
imajinasi, presepsi dan nalar. Faktor perasaan terdiri dari emosi, estetika dan

2
harmonisasi. Sedangkan faktor keterampilan mengandung bakat, faal tubuh dan
pengalaman. Dengan demikian, agar mahasiswa dapat mencapai level kreatif, ketiga
faktor termaksud diupayakan agar optimal dalam sebuah kegiatan yang diberi nama
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) (Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat , Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi, Departemen pendidikan nasional Jakarta, 2009: i).

Pada tahun 2000, penulis pernah memiliki sebuah gagasan untuk mengadakan
kegiatan sebagai pilot project, yaitu Pendidikan Kewirausahaan di sebuah perguruan
tinggi negeri di Yogyakarta, yaitu di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dengan pusat
kegiatan di Fakultas Seni Rupa. Gagasan ini dapat diikuti oleh mahasiswa lintas
program studi dan lintas fakultas. Meski kegiatan dirancang tidak berada dalam
kurikulum, namun pada akhirnya tetap mahasiswa yang mengikutinya akan dihargai
dalam bentuk SKS lengkap dengan nilainya dan dicantumkan dalam KHS (Kartu
Hasil Studi). Namun sayang, gagasan itu gagal terkendala oleh berbagai hal, sehingga
pada akhirnya gagasan itu dimunculkan dalam bentuk lain ketika institut melakukan
reviu kurikulum pada tahun 2004, yaitu mengusulkan dan memasukkannya sebuah
nama mata kuliah baru ”kewirausahaan”, dan itu berlaku hingga sekarang. Yang
menjadi persoalan adalah cukupkah hanya berhenti sampai itu saja. Jawabnya pastilah
tidak.

Selanjutnya, pengaruh pendidikan kewirausahaan selama ini telah


dipertimbangkan sebagai salah satu faktor penting untuk menumbuhkan dan
mengembangkan hasrat, jiwa dan perilaku berwirausaha di kalangan generasi muda.
Terkait dengan pengaruh pendidikan kewirausahaan tersebut, diperlukan adanya
pemahaman tentang bagaimana mengembangkan dan mendorong lahirnya wirausaha-
wirausaha muda yang potensial sementara mereka berada di bangku sekolah atau
perguruan tinggi. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa keinginan
berwirausaha para mahasiswa merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha
masa depan. Sikap, perilaku, dan pengetahuan mereka tentang kewirausahaan akan
membentuk kecenderungan mereka untuk membuka usaha-usaha baru di masa

3
mendatang (Nurul Indarti, http://nurulindarti.files.wordpress.com/2009/03/indarti-
rostiani-jebi-2008.pdf, diakses 29 Mei 2011 pukul 17.44)
Dengan demikian, melalui paparan ini, terdapat dua tokoh dunia pendidikan
yang dapat dikaitkan dengan slogan sekolah kerja-nya, yaitu Mohammad Syafei
dengan Pendidikan INS-nya dari Kayutanam yang menekankan pada pelajaran
praktek dan John Dewey yang terkenal dengan Learning by Doing-nya.
John Dewey (1859-1952) adalah seorang filsuf Amerika dan pendidik yang
tulisan dan ajaran memiliki pengaruh besar terhadap pendidikan di Amerika Serikat.
Konsep filosofis pendidikan Dewey adalah instrumentalism (disebut juga
pragmatisme) dengan memfokuskan pada slogan learning by doing daripada belajar
hafalan dan instruksi dogmatik yang lebih bersifat teoritik.

B. Pengertian Kewirausahaan
Kewirausahaan berasal dari kata Wirausaha. Wirausaha berasal dari kata wira
artinya berani, utama, mulia. Usaha berarti kegiatan bisnis komersial maupun
nonkomersial. Jadi, kewirausahaan diartikan secara harfiah sebagai hal-hal yang
menyangkut keberanian seseorang untuk melakukan kegiatan bisnis maupun
nonbisnis secara mandiri. Kewirausahaan berasal dari istilah entrepeneurship yang
sebenarnya berasal dari kata entrepreneur yang artinya suatu kemampuan (ability)
dalam berpikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar, sumber daya,
tenaga penggerak tujuan, siasat kiat dan proses dalam menghadapi tantangan hidup.
Dalam pengertian ini entrepreneur adalah seorang yang memiliki kombinasi unsur
(elemen-elemen) internal yang meliputi kombinasi inovasi, visi, komunikasi,
optimisme, dorongan semangat dan kemampuan untuk memanfaatkan peluang usaha
(Iwan Sukma, http://www.scribd.com/doc/14846885/Kewirausahaan-Oleh-Iwan-
Sukma, diakses 18 Mei, pukul 05.32).

C. Substansi Permasalahan Pendidikan Tinggi


Secara fungsional, pendidikan dapat dianalogikan dengan sebuah lembaga
jaminan (assurance), tepatnya adalah jaminan yang bersifat prospektif. Untuk itu.

4
Pendidikan haruslah dapat menjadi sebuah lembaga yang dapat memberikan jaminan
hidup masa depan bagi peserta didik yang amat menjanjikan. Dengan demikian
manajemen strategik operasionalnya pun harus disusun secara seksama, hati-hati dan
diimplementasikan secara tepat, akurat, sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan.
Untuk kepentingan itu semua, maka manajemen strategik menjadi jawaban yang
paling tepat agar pendidikan dapat menjadi lebih bermutu, baik dilihat dari mutu
perencanaan, penyusunan program, maupun proses penyelenggaraan, sedangkan
kualitas produknya dengan sendirinya akan mengikuti.
Lebih lanjut, pendidikan pada dasarnya adalah bagian sistemik dari kehidupan
suatu bangsa, dan hal ini adalah sebuah hakekat yang tidak terbantahkan dalam
konteks apapun dan di manapun, baik dalam konteks rasial, spasial, maupun
temporal, baik dalam dimensi kabangsaan, ruang, maupun waktu. Esensi seperti ini
memiliki karakteristik yang bersifat universal, atau bersifat memiliki kesemestaan
hakiki. Namun, yang membedakannya adalah bagaimana setiap bangsa itu mampu
menerjemahkannya ke dalam pola-pola operasionalnya, sehingga implementasi dari
pola kebijakan pendidikan nasional sebagai suatu sistem atau pola sistemik
kehidupannya menjadi berbeda antara institusi yang satu dengan institusi lainnya atau
bahkan antara negara yang satu dengan negara lainnya.
Keberbedaan ini sudah barang tentu sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap
dan pola budaya suatu bangsa, derajad hiterogenitas etnis atau pluralitas rasial, serta
tingkat peradaban masing-masing. Sekadar contoh, Amerika misalnya, sebagai suatu
etnis atau bangsa yang memiliki tingkat peradaban tingi sudah barang tentu memiliki
pola kebijakan pendidikan nasional mereka sendiri, yang dalam hal ini sudah pasti
dapat diduga akan memiliki perbedaan konseptual dengan negara Inggris di belahan
benua Eropa. Kendatipun secara historis etnografisnya, Amerika dengan Inggris
memiliki dimensi sejarah rasial yang sama. Bagaimana pula hal itu berkait dengan
kondisi di Indonesia.
Dewasa ini, ada sinyalemen bahwa mutu pendidikan mengalami kemerosotan
yang signifikan, khususnya pendidikan di Indonesia, baik kemerosotan itu dilihat dari
segi kualitas maupun kuantitas. Dapat diambil sebuah paparan contoh di sini adalah

5
tentang kondisi kualitas pendidikan Indonesia. 1). Hasil surve Human Development
Index (HDI), Indonesia menduduki peringkat ke-102 dari 106 negara, 2). Surve The
Political Economic Risk Consultation (PERC) melaporkan bahwa Indonesia berada
pada peringkat ke-12 dari 12 negara. Fakta-fakta ini mengindikasikan bahwa Kualitas
pendidikan di Indonesia berada dalam kutub ”paling bawah”. Sedangkan kondisi
kuantitas yang berkaitan dengan animo dan kesempatan studi lanjut pun demikian.
Dapat dicermati sejak awal abad ke-21 juga mengalami kemerosotan secara
signifikan, baik dari jenjang pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi, meski ada
beberapa perguruan tinggi yang masih cukup stabil, atau bahkan mengalami kanaikan
animo. Namun secara garis besar dapat digeneralisasikan/dirampatkan mengalami
penurunan, baik penurunan dari segi kuantitas maupun kualitasnya, khususnya
kondisi pasca gempa Yogyakarta 2006.
Berkait dengan kondisi penurunan baik secara kuantitas maupun kualitas
sebagaimana disebut oleh dua hasil riset di atas, maka revitalisasi ”kurikulum”
sebagai langkah operasionalisasi efektivitasi pencapaian visi-misi dan tujuan institusi
pendidikan tinggi menjadi permasalan substansial yang harus memerlukan
pencermatan dan pemikiran serius, sehingga pada akhirnya sebuah institusi
pendidikan tinggi dapat bergayut secara serasi dengan stakeholdernya.
Kurikulum merupakan unsur penting dalam setiap bentuk dan model
pendidikan. Tanpa kurikulum para perencana pendidikan akan mengalami kesulitan
dalam mengukur dan mencapai tujuan pendidikan yang diselenggarakan. Mengingat
pentingnya kurikulum terhadap keberhasilan pendidikan, diperlukan pemahaman
yang tepat oleh semua pelaksanaan pendidikan.
Selama ini ada pihak yang memahami bahwa kurikulum sebatas sebagai
rencana pelajaran yang harus ditempuh atau diselesaikan oleh peserta didik guna
mencapai tingkatan tertentu. Apabila kurikulum hanya dipahami secara sempit, maka
dinamika proses pembelajaran dan kreativitas guru dan siswa akan terhenti. Guru dan
murid hanya terhenti pada sasaran materi yang dipancangkan pada buku kurikulum
itu saja tanpa memperhatikan faktor lain yang telah berkembang begitu pesat di
masyarakat (Suyanto, 2000: 59).

6
Beane (1986: 29) membagi konsep kurikulum menjadi empat, yaitu (1)
Kurikulum sebagai produk, (2) Kurikulum sebagai Program (3) Kurikulum sebagai
hasil belajar yang diinginkan, dan (4) Kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi
peserta didik. Pemahaman yang benar tentang kurikulum sangat penting karena ikut
menentukan arah pembelajaran yang terkait dengan proses maupun substansinya. Jika
kurikulum hanya dipandang dalam arti sempit, maka jangan diharapkan kalau
pendidikan dan pengajaran yang akan dilaksanakan akan mendapatkan hasil yang
sesuai dengan apa yang diharapkan. Pendidikan yang kita selenggarakan tidak akan
mampu melahirkan generasi yang pintar, tangguh, dan cerdas.
Banyak sekali aspek yang terkait dengan kurikulum, baik dari segi
perencanaan, pelaksanaan di lapangan, kesiapan guru, maupun proses pembelajaran
di kelas. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengembangan kurikulum terkait
dengan strategi pembelajaran. Hubungan antara kedua hal tersebut sangat erat, karena
kurikulum menyediakan standar isi yang pencapaiannya melalui strategi
pembelajaran yang efektif.

D. Pengembangan Kurikulum
Dalam konteks pandangan tradisional, kurikulum didefinisikan sebagai
sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik untuk memperoleh
ijazah. Ijazah pada hakekatnya merupakan indikator mengenai penguasaan ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh siswa di kelas (Omar Hamalik, 1992). Selanjutnya,
Taylor, Stanley, dan Alexander mendefinisikan kurikulum sebagai “the total effort of
the school to bring about desired outcomes in scholl situation” sedangkan Smith,
Stanley, dan Shores berpendapat bahwa kurikulum adalah “A sequence of potential
experience set up in school for the purpose of disciplining children and youth in
group ways of thinking and acting”.
Bila rumusan pertama hanya melihat kurikulum sebagai sejumlah mata
pelajaran, maka rumusan kedua lebih menekankan pada usaha sekolah, dan rumusan
ketiga menekankan pada pengalaman belajar yang bertalian dengan pembentukan
cara berpikir dan berbuat. Dalam konteks ini, perlu kiranya dilihat kembali apa yang

7
dikemukan Beane (Suyanto, 2006: 21-23) bahwa kurikulum dapat dilihat dari empat
pengertian.
Pertama, kurikulum sebagai produk merupakan suatu kegiatan perencanaan,
pengembangan atau perekayasaan yang kemudian menghasilkan dokumen yang
kemudian disebut dengan kurikulum. Keuntungan dari pengertian ini berupa
kemungkinan yang dapat dilakukan berkaitan dengan arah dan tujuan pendidikan
secara lebih konkret dalam sebuah dokumen kurikulum. Kurikulum hanya dipandang
sebagai dokumen yang berisi daftar pokok bahasan atau mata pelajaran. Kelemahan
kedua adalah munculnya asumsi bahwa perencana kurikulum di anggap mampu
mendeskripsikan semua kegiatan belajar mengajar yang akan terjadi di institusi
pendidikan.
Kedua, kurikulum sebagai program pada hakekatnya merupakan kurikulum
yang berbentuk program-program pengajaran secara nyata dan dapat dipahami bahwa
kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam seting yang berbeda-beda. Kelemahan dari
cara pandang demikian ini adalah adanya asumsi bahwa apa yang Nampak dalam
daftar pokok bahasan, itulah yang dipelajari oleh peserta didik.
Ketiga, pengertian kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai
(intended learning) oleh peserta didik, mendeskripsikan kurikulum sebagai
pengetahuan, keterampilan, perilaku, sikap, dan berbagai bentuk pemahaman
terhadap suatu bidang studi. Keuntungan dari cara pandang ini adalah kurikulum
sebagai konsep yang kemudian dapat dikembangkan dan dielaborasikan oleh sekolah,
guru, peserta didik, dan masyarakat, bukan sekedar sebagai produk yang secara
“ritual” harus diajarkan seperti apa adnya tanpa mempertimbangkan konteks social
dan cultural di sekolah dan di masyarakat. Di samping itu, pengertian ini membuat
kurikulum menjadi lebih manageable. Sedangkan kelemahan utamnya adalah sulitnya
bagi guru dan sekolah untuk menangani secara terpisah antara apa yang harus
dipelajari peserta didik dan bagaimana cara mempelajarinya.
Pengertian terakhir, kurikulum sebagai pengalaman belajar pada hakekatnya
merupakan pemisahan yang amat nyata dari tiga pengertian terdahulu. Di sini
kurikulum dipandang sebagai akumulasi pengalaman pendidikan yang diperoleh

8
peserta didik sebagai hasil dari aktivitas belajar dan atau pengaruh dari situasi belajar
yang direncanakan. Konsekuensinya apa yang telah direncanakan dalam kurikulum
belum tentu berhasil seperti apa yang diharapkan, karena banyak factor yang
mempengaruhi antara lain yang terpenting adalah kemampuan guru dalam
menerapkan dan mengembangkan kurikulum untuk kepenting proses belajar
mengajar. Keuntungan cara pandang ini adalah guru atau sekolah lebih dapat
memusatkan perhatiannya pada peserta didik dalam proses pembelajaran dan guru
akan lebih melibatkan semua pengalaman peserta didik baik yang terncana maupun
yang tidak terencana. Sedangkan kelemahannya kurikulum menjadi lebih abstrak dan
kompleks serta menjadi sangat komprehensif.
Mengacu pada pemahaman tentang kurikulum di atas, maka pemerintah telah
mengkaji bagaimana keterkaitan kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan
tuntuan zaman, utamanya globalisasi. Untuk itulah setiap 10 tahun sekali dilakukan
supervisi kurikulum yang disesuaikan dengan perubahan tantangan kehidupan dan
kebutuhan masyarakat.
Perkembangan kurikulum secara menyeluruh tidak mungkin dilepaskan dari
perkembangan sistem pendidikan. Perkembangan kurikulum juga tidak bisa dapat
dipisahkan dari perkembangan komponen-komponen yang mendasari perencanaan
dan pengembangan kurikulum, yaitu: (1) Perkembangan tujuan pendidikan, (2)
Perkembangan teori belajar, (3) Perkembangan peserta didik, dan (4) Perkembangan
bentuk kurikulum yang digunakan.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menggantikan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989
terjadi perubahan tujuan Pendidikan Nasional yang berarti juga menuntut perubahan
kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Demikian pula halnya dengan
pola pendidikan yang diselenggarakan mengalami perubahan dari sentralistik menjadi
desentralistik yang memberi keleluasaan kepada Pemerintah Daerah dan Sekolah
dalam hal penyelenggaraan pendidikan.
Pandangan tentang peserta didik juga berpengaruh terhadap pengembangan
kurikulum. Pandangan yang melihat siswa sebagai subjek tentu akan berbeda cara

9
mencapainya bila siswa hanya dianggap sebagai objek dari kurikulum. Sebelumnya
orientasi kurikulum lebih berorientasi pada materi (subject matter) bukannya pada
peserta didik.
Teori yang menekankan pada pencapaian kognitif mulai ditinggalkan dan
digantikan pada orientasi pencapaian ketiga ranah secara seimbang. Teori-teori baru
tentang hakekat belajar sebagai pengembangan potensi peserta didik dan usaha
mengembangkan kecerdasan emosional (EQ) juga memberikan pengaruh pada
pengembangan kurikulum.
Salah satu aspek yang menonjol dari perubahan kurikulum juga menyangkut
perubahan budaya yang terjadi di masyarakat. Bergulirnya demokratisasi yang
mengiringi proses reformasi bahwa perubahan budaya ke arah lebih terbuka dan
demokratis. Keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan menjadi sebuah
keharusan melalui program pemeberdayaan dan partisipasi. Kenyataan ini tentunya
membawa konsekuensi pada perubahan kurikulum yang mampu melibatkan
masyarakat dalam pencapaian tujuan pendidikan.
Faktor yang terakhir adalah bentuk kurikulum yang digunakan. Sejalan
dengan perubahan kebutuhan dan situasi, maka kurikulum mengalami berbagai
perubahan bentuk yang semakin luwes, fleksibel, dan mengarah pada upaya
peningkatan kompetensi.
Balitbang Depdiknas telah melakukan kajian tentang Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) yang merupakan hasil pengembangan dari kurikulum 1994.
kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan konsep kurikulum yang
menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi) tugas-tugas
dengan standar performansi tertentu, sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta
didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. Kurikulum
Berbasis Kompetensi ini diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan,
pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat peserta didik agar dapat melakukan
sesuatu dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh
tanggungjawab (Mulyasa, 2003: 39).

10
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ini memiliki karakteristik sebagai
berikut:
1. Menekankan pada pencapaian kompetensi siswa baik secara individual
maupun klasikal.
2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan
metode yang bervariasi.
4. Sumber belajar bukan hanya pada guru, tetapi juga sumber belajar
lainnya yang memenuhi standar unsur edukatif.
5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya
penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Dalam perkembangnnya, sebelum kurikulum ini diberlakukan, lebih dahulu
terbit Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Salah satu yang menjadi inti standar nasional pendidikan adalah standar
isi yang mencakup kurikulum yang tertuang dalam Permendiknas Nomor 22, 23, dan
24 tahun 2006. Selanjutnya ditetapkan bahwa Pemerintah (Depdiknas) hanya akan
mengembangkan pokok-pokok standar isi yang harus dicapai, sedangkan
pengembangan kurikulum di tingkat satuan pendidikan diserahkan sepenuhnya
kepada para guru sebagai tenaga profesional pendidikan. Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) ini disarankan pada filosofi bahwa hakekatnya nguru adalah titik
sentral kurikulum dan para guru inilah yang paling mengetahui kebutuhan dan
kondisi peserta didik di lapangan.

E. Dasar-dasar Pendekatan Reviu Kurikulum


Metode pendekatan yang diterapkan dalam review ini adalah dengan
menerapkan konsep kajian Total Quality Management in Education (TQME). Pada
era Information and Communication Technology (ICT), sistem pengelolaan
pendidikan mulai mengalami pergeseran. Model pengelolaan pendidikan berbasis
industri mulai diperkenalkan, dimana model pengelolaan pendidikan ini
menganalogikan adanya sebuah upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk

11
meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan ”manajemen perusahaan”, yang
kemudian model ini dikenal dengan TQE (Total Quality Education). Dasar model
pengelolaan ini didasarkan pada TQM (Total Quality Management) yang kemudian
disinergikan menjadi TQME atau Total Quality Management in Education (Edward
Sallis, 2006: 5).
Secara filosofis, TQME menekankan pada cara pencarian secara konsisten
terhadap segala upaya perbaikan secara berkelanjutan dalam rangka mencapai
kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Adapun strategi yang digunakan dalam TQME
adalah bahwa pendidikan harus memposisikan dirinya sebagai institusi industri yang
bergerak dalam bidang jasa, dengan kata lain menjadi sebuah ”industri jasa”. Yakni
sebuah institusi yang harus memberikan pelayanan sesuai dengan apa ”yang
diinginkan oleh pelanggan atau stakeholder yang dalam kontek manajemen umum
disebut dengan customer”. Sudah barang tentu bahwa jasa yang diinginkan oleh
pelanggan atau stakeholder adalah sesuatu produk yang bermutu (Edward Sallis,
2006: 5-6). Oleh karena itu, konsep TQME ini dalam operasionalisasinya harus
membutuhkan sistem manajemen yang mampu memberdayakan suatu institusi
pendidikan melalui optimalisasi semua unsur/sektor secara sinergis agar lembaga
pendidikan itu menjadi lebih bermutu. Yang pada gilirannya akan diperoleh tindak
balik—semacam out comes—bagi citra lembaga/institusi serta input yang lebih besar
lagi, sehingga pada akhirnya akan memperoleh kelebihan status dan keuntungan yang
dapat dinikmati oleh lembaga itu sendiri.
Semua itu tidak dapat dilepaskankan dari sebuah sistem atau model
manajemen yang dipilih oleh tim manajemen sebuah institusi. Berkaitan dengan hal
ini, Freddy Rangkuti (2005: 1-32) mengatakan bahwa tim manajerial pimpinan suatu
suatu lembaga setiap hari kerjanya harus melakukan pengamatan terhadap berbagai
konsep atau literatur, teknik analisis, temuan-temuan empiris, serta paradigma yang
dapat dipakai sebagai landasan untuk menyusun suatu perencanaan strategis.
Perencanaan-perencanaan strategis lebih lanjut harus didasarkan pada kekuatan-
kekuatan internal lembaga sekaligus kekuatan-kekuatan eksternalnya yang dapat
berupa peluang dan ancaman atau tantangan. Kegiatannya meliputi antara lain

12
pengamatan secara hati-hati terhadap kompetitor, peraturan, siklus, keinginan dan
harapan pengguna (stakeholder), serta faktor-faktor yang dapat mengidentifikasi
peluang dan ancaman tersebut. Untuk itu paling tidak terdapat dua konsep strategis
perencanaan lembaga pendidikan, yaitu: a) Distinctive competence, yaitu tindakan
yang dilakukan oleh sebuah lembaga agar dapat menyusun dan melakukan kegiatan
yang labih baik dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh para pesaing
(kompetitor)nya. Aspek ini dapat diidentifikasi melalui dua aspek pokok yaitu
keahlian staf dan kemampuan sumberdaya. b) Competitive Advantage, yaitu suatu
kegiatan spesifik yang dikembangkan lembaga agar lebih unggul dibandingkan
dengan pesaingnya. Terdapat tiga komponen strategi yang dapat dilakukan untuk
memperoleh keunggulan dalam bersaing, yaitu: 1) Cost leadership, 2) Diferensiasi,
dan 3) adalah Fokus.

F. Substansi Gagasan Revitalisasi Kurikulum


Dalam rangka menjawab tantangan pendidikan tinggi di masa depan,
khususnya dalam andil memberantas pengangguan di Indonesia sebagai
permasalahan yang paling unik dan pelik ini, maka terdapat beberapa gagasan inti
dalam program reviu kurikulum ini, di antaranya adalah mengusulkan dan
memasukkan beberapa mata kuliah baru, yaitu Pendidikan Kewirausahaan, Aplikasi
Komputer/Teknik Informatika (khusus untuk nonprogram studi informatika), dan
Kerja Profesi (KP).
Mata kuliah Pendidikan Kewirausahaan dimaksudkan agar dapat menyiapkan
mahasiswa dan lulusan menjadi manusia terampil siap kerja dengan bekal kompetensi
cukup yang siap berkompetisi di dunia kerja sebagaimana dibutuhkan oleh
stakeholder. Bukan hanya kemampuan teoritik saja melainkan kemampuan pragmatik
amat diperlukan, sehingga diharapkan para lulusan tidak hanya menggantungkan
lapangan kerja tetapi dengan bekal cukup tadi dapat menciptakan lapangan kerja,
sehingga pendidikan tinggi mampu menciptakan wirausaha-wirausaha baru.
Selanjutnya, seorang wirausaha adalah inovator. Hanya seseorang yang dapat
melakukan inovasi yang dapat disebut sebagai wirausaha. Mereka yang tidak lagi

13
melakukan inovasi, tidak dapat dianggap sebagai wirausaha. Wirausaha bukanlah
jabatan, melainkan suatu peran. Melalui revitalisasi kurikulum diharapkan pendidikan
tinggi mampu menciptakan wirausaha baru, sehingga kesenjangan antara keinginan
dan kenyataan sebagaimana disebut di atas dapat dicari solusinya dengan tepat.
Namun demikian, mata kuliah Pendidikan kewirausahaan akan menjadi sangat
efektif jika didampingi mata kuliah Kerja profesi. Mata kuliah ini diposisikan
sebagai medan praktek sekaligus medan ujicoba bekal kewirausahaan mahasiswa di
dunia kerja. Mahasiswa sekaligus dapat melakukan perencanaan, operasionalisasi,
dan evaluasi sebagai bekal ke depan setelah lulus, yaitu menciptakan lapangan kerja,
bukan mencari lowongan kerja.
Di samping itu semua, terdapat satu lagi mata kuliah yang diusulkan sebagai
pasangan serasi Pendidikan Kewirausahaan dan Kerja Profesi, yaitu mata kuliah
Teknik Informatika atau Aplikasi Komputer. Mata kuliah ini diposisikan untuk
memberi bekal cukup dalam kompetensinya bersaing dalam dunia bisnis, apalagi
memasuki pasar bebas yang notabene persaingan menjadi mengglobal dan amat
terbuka, yaitu kemampuan mengaplikasi teknologi informatikan dalam efektivitasi
program usaha, minimal berkait dengan manajemen promosi dan manajemen
pemasarannya. Teknik promosi dan market secara tradisional sudah jelas pasti akan
digilas oleh program yang serba canggih. Untuk itu, mata kuliah Aplikasi Komputer
akan mendampingi mata kuliah pendidikan Kewirausahaan menjadi lebih serasi lagi.
Secara sederhana, paling tidak mahasiswa dibekali bagaimana cara efektif tentang
manajemen promosi dan pemasaran melalui web. Dengan demikian, web design
paling tidak menjadi salah satu menu yang tepat dalam program sajian Aplikasi
Komputer, di samping menu-menu atau satuan-satuan acara perkuliahan (SAP)
lainnya yang relevan dengan pendidikan Kewirausahaan.

G. Simpulan
Pada kesempatan ini dapat dipaparkan beberapa simpulan penting tentang
gagasan strategis revitalisasi kurikulum berbasis kewirausahaan. Gagasan ini
ditumpukan pada sebuah langkah manajemen strategik yang dipandang sebagai upaya

14
dalam rangka mencapai perbaikan dan peningkatan, baik perbaikan itu bertumpu pada
proses perencanaan pendidikan maupun berkait langsung dengan proses
penyelenggaraannya, di mana upaya itu harus dijabarkan secara sistematis dan
dikoordinasikan secara berkelanjutan. Oleh karena itu dengan sistematisasi dan
koordinasi secara baik, maka pola manajemen strategik harus difokuskan pada
kebutuhan ”pelanggan”, dalam hal ini adalah peserta didik, orang tua peserta didik,
pemakai lulusan, para guru, karyawan, pemerintah, dan masyarakat luas, yang semua
itu sering disebut dengan istilah stakeholder, bagaimana pelanggan itu dapat menjadi
puas.
Adapun beberapa konsep dasar tentang manajemen strategik dalam rangka
revitalisasi dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Manajemen strategis berupa serangkaian keputusan dan tindakan
manajerial untuk menentukan kinerja institusi pendidikan dalam jangka
panjang.
2. Manajemen strategi memfokuskan pada pengamatan dan evaluasi
terhadap internal environment dan external environment, kemudian dianalisis
dengan SWOT.
3. Keputusan strategis berhubungan dengan masa depan dalam jangka
panjang harus digunakan untuk kepentingan institusi secara keseluruhan dan
memiliki tiga karakteristik, yaitu rare, consequential, dan directive.
4. Manajemen strategik dikembangkan dalam empat tahapan, yaitu
perencanaan, implementasi, evaluasi, dan pengendalian.
5. Apabila manajemen strategis diterapkan secara kontinu dan konsisten
akan diperoleh sebuah institusi pendidikan yang berkinerja baik dalam
menyiapkan output/lulusan yang siap kerja dan siap menciptakan lapangan
kerja (sebagai wira usaha baru) yang tidak terlalu menggantungkan
pemerintah/negara saja.
Sedangkan dalam implentasinya, penyusunan manajemen strategik dapat
dilakukan melalui tiga tahapan utama, yaitu: 1) diagnosis, 2) perencanaan, dan 3)
penyusunan dokumen rencana. Tahap diagnosis adalah tahapan paling awal dalam

15
bentuk identifikasi yang dilakukan dengan pengumpulan berbagai informasi yang
berkaitan dengan perencanaan. Tahap perencanaan sebagai tahapan kedua dimulai
terlebih dahulu dengan merumuskan dan menetapkan visi serta misi dari sebuah
institusi, dan tahap terakhir, yaitu tahap ketiga adalah tahap penyusunan dokumen
rencara strategis.
Kesimpulan penting yang diajukan sesuai dengan permasalahan utama adalah
dengan memperbaiki relevansi akademik dengan cara revitalisasi dan perbaikan
kurikulum dan perbaikan proses penyelenggaraan pendidikan dengan bertumpu pada
perbaikan atmosfir akademik. Jadi, perbaikannya adalah ”Relevansi Akademik”
dengan memasukkannya tiga serangkai mata kulaih baru, yaitu Pendidikan
Kewirausahaan, Aplikasi Komputer/Teknik Informatika, dan Kerja Profesi.

DAFTAR PUSTAKA

Beane, Toepler dan C.F. Alessi, 1986, Curriculum Planning and Development,
Boston: Allyn and Bacon, Inc.

Gunawan. A. H., 2000, Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang


Berbagai Problem Pendidikan. (Alih Bahasa Hadikusumo H., Jakarta: PT.
Aso Mahasatya.

Indarti, Nurul dan Rokhima Rostiani,”Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi


Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia”, dalam Jurnal
Ekonomika dan Bisnis Indonesia, Vol. 23, No. 4, Oktober 2008, dalam
http://nurulindarti.files.wordpress.com/2009/03/indarti-rostiani-jebi-2008.pdf,
diakses 29 Mei 2011 pukul 17.44.

Karsidi R., 2005, Sosiologi Pendidikan, Surakarta: LPPM UNS.

Mulyasa, 2002, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Konsep, Karakteristik dan


Implementasi, Bandung: Rosda.

Oemar Hamalik, 1992, Administrasi dan Supervisi Pengembangan Kurikulum,


Bandung: Mandarmaju.

16
Rangkuti, Freddy, 2005, Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis: Reorientasi
Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama

Sallis, Edward, 2006, Total Quality Management in Education: Manajemen Mutu


Pendidikan, Penterj. Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, Yogyakarta: IRCiSoD.

Sanjaya, Wina, 2005, Strategi Pembelajaran Berorientasi Stándar Proses


Pendidikan, Yakarta: Kencana Prenada Media.

Sa’ud, Udin Syaefudin dan Abin Syamsudin Makmun, 2006, Perencanaan


Pendidikan: Suatu Pendekatan Komprehensif, Bandung: Kerjasama Program
Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dengan PT Remaja
Rosdakarya.

Sukma, Iwan dalam http://www.scribd.com/doc/14846885/Kewirausahaan-Oleh-


Iwan-Sukma, diakses 18 Mei 2011, pukul 0 5.32.

Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia
Memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita.

Suyanto, 2006, Dinamika Pendidikan Nasional, dalam Percaturan Dunia Global,


Jakarta: PSAP Muhammadiyah.

Tilaar, H.A.R., 2006, Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa


Depan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Tim DP3M, 2009, “Pedoman Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)”, Direktorat


Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Jakarta.

Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana, 2003, Total Quality Management, Edisi Revisi,
Yogyakarta: Andi.

17

Anda mungkin juga menyukai