PENDAHULUAN
Jalan raya merupakan suatu jalur yang dapat dilalui oleh lalu lintas
(kendaraan) dari suatu tempat ke tempat yang lain, dengan memberikan rasa yang
aman dan nyaman bagi pemakai jalan selama umur rencana dengan memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan.
Salah satu bagian yang sangat penting dari perencanaan jalan adalah
perencanaan geometrik jalan yang meliputi perencanaan alinyemen horizontal,
lebar jalan, tikungan, jarak pandang serta hubungan satu dengan yang lainnya.
Bentuk geometrik yang harus dibuat sedemikian rupa sehingga jalan yang
direncanakan dapat memberikan pelayanan yang optimal pada lalu lintas sesuai
dengan fungsinya.
1
raya baru maupun peningkatan yang diperlukan sehubungan dengan penambahan
kapasitas jalan raya, tentu akan memerlukan metoda efektif dalam perancangan
maupun perencanaan agar diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, tetapi
memenuhi unsur keselamatan pengguna jalan dan tidak mengganggu ekosistem.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh jalan raya terutama adalah untuk
memperoleh :
a. Permukaan yang rata dengan maksud agar lalu lintas dapat berjalan dengan
lancar.
b. Mampu memikul berat kendaraan beserta beban yang ada diatasnya.
c. Dapat dilalui dengan aman dan nyaman sesuai dengan rencana.
2
perkerasan yang digunakan tidak sama untuk semua jenis jalan dan pada
lokasi yang tidak sama.
c. Perencanaan Pembangunan dan Administrasi Jalan Raya, pelaksanaan
pembangunan jalan sangat memerlukan ketrampilan tersendiri sesuai
dengan jenis jalan dan kemudahan yang ada, baik dari segi material,
tenaga (ahli), peralatan dan waktu. Sehingga dalam semua proses tersebut
diperlukan suatu administrasi tersendiri.
3
3. segala aktivitas menjadi lebih efektif dan efisien
4. ekonomis
5. mempercepat laju kendaraan
4
BAB II
LANDASAN TEORI
5
diberikan oleh jalan tersebut. Parameter-parameter ini merupakan penentu tingkat
kenyamanan dan keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.
2.2.1 Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan Rencana
dikelompokkan ke dalam 3 kategori:
1. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang;
2. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as;
3. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana
ditunjukkan dalam Tabel 2.3. Gambar 2.1 s.d. Gambar 2.3 menampilkan sketsa
dimensi kendaraan rencana tersebut.
6
Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Sedang
7
Gambar 2.5 Dimensi Kendaraan Sedang
8
Gambar 2.6 Dimensi Kendaraan Besar
9
2.2.2 Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca
yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak
berarti. VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.2.
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Tabel 2.2 : Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan kiasifikasi
medan jalan.
Kecepatan Rencana, VR ,Km/jam
Fungsi
Datar Bukit Penggunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.1)
VJR VLHRx
F
di mana : K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan F
(disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas
perseperempat jam dalam satu jam.
10
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu
lintas lainnya yang diperlukan. Tabel 2.3 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang
sesuai dengan VLHR-nya
Tabel 2.3 : Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-rata.
FAKTOR – K FAKTOR – F
VLHR
(%) (%)
Lebar suatu keadaan volume lalu lintas yang rendah, pengemudi akan
merasa lebih nyaman mengendarai kendaraan dibandingkan jika dia berada pada
daerah tersebut dengan volume lalu lintas yang lebih besar. Kenyamanan akan
berkurang sebanding dengan bertambahnya volume lalu lintas. Dengan perkataan
lain rasa nyaman dan volume arus lalu lintas tersebut berbanding terbalik. Tetapi
11
kenyamanan dari kondisi arus lalu lintas yang ada tak cukup hanya digambarkan
dengan volume lalu lintas tanpa disertai data kapasitas jalan, dan kecepatan pada
jalan tersebut.
Sebagai contoh I, jalan dengan kapasitas jalan 2000 kendaraan/jam
mempunyai volume 1000 kendaraan/jam. Pengemudi akan merasakan lebih
nyaman mengendarai kendaraan pada jalan pertama dibandingkan dengan jalan
kedua dengan kapasitas jalan 1700 kendaraan/jam. Atau, tingkat pelayanan jalan
pertama lebih baik dari jalan kedua.
12
Highway Capasity Manual membagi tingkat kenyamanan/pelayanan jalan
atas 6 keadaan sebagai berikut:
1. Tingkat pelayanan A, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas bebas tanpa hambatan
- Volume dan kepadatan lalu lintas rendah
- kecepatan kendaraan merupakan pilihan pengemudi
2. Tingkat pelayanan B, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas stabil
- Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tatapi tetap dapat
dipilih sesuai kehendak pengemudi
3. Tingkat pelayanan C, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas masih stabil
- Kecepatan perjalanan dan kebebasan bergerak sudah dipengaruhi oleh
beasarnya volume lalu lintas sehingga pengemudi tidak dapat lagi
memilih kecepatan yang diinginkannya.
4. Tingkat pelayanan D, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas sudah mulai tidak stabil
- Perubahan volume lalu lintas sangat mempengaruhi besarnya kecepatan
perjalanan.
5. Tingkat pelayanan E, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas sudah tidak stabil
- Volume kira-kira sama dengan kapasitas
- Sering terjadi kemacetan
6. Tingkat pelayanan F, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas tertahan pada kecepatan rendah
- Sering kali terjadii kemacetan
- Lalu lintas rendah.
13
memberikan ruang bebas bergerak selama umur rencana jalan tersebut. Jalan
kolektor sekunder yang berada di dalam kota dapat saja direncanakan untuk
tingkat pelayanan E pada akhir umur rencana dan dengan kecepatan yang lebih
rendah daripada jalan antar kota.
V2
d2 = ..................................................................... …….(2.3)
254. fm
Maka jarak pandangan henti dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
V2
d = 0,278 . V . t + ……………………………….…(2.4)
254. fm L
Dimana :
d (JPH)= Jarak pandangan henti (m)
d1 = jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak rem(m)
d2 = Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (m)
V = Kecepatan (Km/Jam)
t = Waktu reaksi, diambil 2,5 detik dari AASTHO (1990)
14
fm = Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah
memanjang
+ = Untuk pendakian
- = Untuk Penurunan
L = Kelandaian jalan
15
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan
dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t2 =
6,56 + 0,018 V
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang
disiap = 1,5 Km/jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama
dengan kecepatan rencana (Km/jam)
Dimana :
Tc = Jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct ( m )
Rc = Jari- jari rencana (m)
Ec = Jarak PI lengkung peralihan (m)
= Sudut tangen ( 0 )
Lc = Panjang bagian tikungan (m
16
Tabel 2.5 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m
120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)
17
Tabel 2.6 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)
Batasan rencana V Jari-jari lengkung minimum (Rc)
( km/j ) ( meter )
120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15
Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.8
berikut :
18
Ls.90
s = …………………………………………….......................…...….(2.12)
.R
c = - 2.s …………………………………..............……..….……...(2.13)
c ( 2. .R )
Lc = . …………………………..…………………....………(2.14)
360
Kontrol : Lc > 20 ………………. ................................................... .Ok! S-C-S
Lt = Lc + 2.Ls ……………………………………………..……………(2.15)
Ls 2
P = R (1 - cos s) …………………………………….……...…(2.16)
6.R
Ls 3
k = Ls – ( ) - R . sin s…………………….………...……...(2.17)
40 . R 2
Es = ( R + P ) sec /2 - R……………………………………….………(2.18)
Ts = (R + P) tg /2 +k………….………………………….…..…….…(2.19)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari titik Ts dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
k = Jarak antara Ts dan Cs pada garis lurus (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang lengkung circle (m)
= Sudut perpotongan kedua bagian tangen ()
Lt = Panjang lengkung circle (m)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
s = Sudut Spiral (o)
c = Sudut busur lingkaran (o)
19
2.3.3 Bentuk Lengkung Spiral-Spiral (SS)
Lengkung Spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan
ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada daerah
yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini hanya terdiri
dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R lengkung
peralihan dan Ls < dari Tabel.
Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah lengkung
tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Untuk
menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunak persamaan berikut ini :
s = ½ …………………………………………………………… .. (2.20)
Ls = s . . R / 90 ….………………………………….……………. . (2.21)
p = (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos s) …………………………………….. . (2.22)
k = Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin s…………………………………… ... (2.23)
Ts = (Rc +P) tan s + k…………………………………………….. ... (2.24)
Es = (Rc +P) Sec s – Rc.………………………………………….. ... (2.25)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………………... .. (2.26)
Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
= Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
= Sudut Spiral (o)
Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar 2.9 di
bawah ini
20
Gambar 2.9 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral
AS 2
L ..........................................................................(2.27)
405
21
2 jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:
405 ..........................................................................(2.28)
L 2S
A
3 Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus:
L AY ..........................................................................(2.29)
S2 ..........................................................................(2.36)
L
405
dimana :
L = Panjang lengkung vertikal (m),
A = Perbedaan grade (m),
Jh = Jarak pandangan henti (m),
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm dan
tinggi mata 120 cm.
Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.8 yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk jelasnya
lihat Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.
22
Tabel 2.8 : Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkungan
(km/jam) Memanjang (%) (m)
< 40 1 20 – 30
40 – 60 0,6 40 – 80
> 60 0,4 80 – 150
23
arah berlawanan. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang
mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif
padat. Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:
Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar 2.12). Jarak minimum antara 2 lajur pendakian
adalah 1,5 km (lihat Gambar 2.13).
24
2.4.3 Koordinasi Alinyemen
Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman.
Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat
memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan
dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.
25
Gambar 2.14 Koordinasi yang ideal antara alinemen horizontal dan
alinyemen vertical yang berimpit.
Gambar 2.16 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada bagian yang lurus
pandangan pengemudi terhalang oleh puncak alinemen vertical sehingga
pengemudi sulit memperkirakan arah alinemen di balik puncak tersebut.
26
2.5 Stasioning Dan Galian Timbunan
2.5.1 Stasioning
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang
diperoleh, maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994),
stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-interval
tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan tersebut akan
memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.
Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat Sta
titik TC dan Sta titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia Sukirman
(1994), metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai berikut :
27
Dimana :
A = Luas (m2)
a = Panjang alas atas (m)
b = panjang alas bawah (m)
t = Tinggi (m)
b b
t t t
a t
28
Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan :
29
Tabel 2.9 : Klasifikasi menurut kelas jalan
Muatan Sumbu Terberat
Fungsi Kelas
MST (Ton)
I >10
Arteri II 10
III A 8
III A
Kolektor 8
III B
Klasifikasi Menurut Medan Jalan :
30
Tabel 2.11 : Penggolongan kelas jalan
LHR (smp)
Fungsi Medan
6.000 – 20.000 1.500 – 8.000 < 2.000
JALAN D Kelas II A Kelas II B Kelas II C
SEKUNDER B
G Kelas II A Kelas II B Kelas II C
Sumber : Spesifikasi standard untuk perencanaan geometrik jalan luar kota
( Rancangan akhir ), 1990
2.6.2 Penentuan Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca
yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak
berarti. VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.12.
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.
Tabel 2.12 : Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan kiasifikasi
medan jalan.
Kecepatan Rencana, VR ,Km/jam
Fungsi
Datar Bukit Penggunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30
31
2.7 Perhitungan Tebal Terkerasan
Konstruksi perkerasan jalan umumnya terbagi atas dua jenis yaitu perkerasan
lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid Pavement). Kinerja dari
kedua perkerasan tersebut ditentukan berdasarkan keamanan dan kenyamanan
mengemudi (riding quality) terhadap fungsi jalan.
32
Berdasarkan peraturan dari Bina Marga pengunaan material untuk lapis
pondasi atas harus memiliki nilai CBR ≥ 50% dan PI < 4%.
33
1. Koefisien Distribusi Arah Kendaraan (c)
Prosentase jenis kendaraan pada jalur rencana adalah jumlah kendaraan yang
melintasi jalur jalan yang sesuai dengan karakteristik jalan itu sendiri. Jumlah
kendaraan yang melewati lajur rencana masing-masing beratnya diperhitungkan
dengan nilai koefisien distribusi arah kendaraan.
34
Tabel 2.14 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712
3. Lintas Ekuivalen
Lintas ekuivalen adalah repetisi beban yang dinyatakan dalam lintas sumbu
standar yang diterima oleh konstruksi jalan terhadap jumlah lalulintas harian rata-
rata (LHR). Lintas ekivalen terdiri dari :
a. Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP) : besarnya lintas ekuivalen pada saat
jalan tersebut dibuka atau pada awal umur rencana. Persamaan LEP :
LEP = ∑𝑛
𝑗=1 LHRj x Cj x Ej
b. Lintas Ekuivalen Akhir (LEA) : besarnya lintas ekuivalen pada saat jalan
tersebut membutuhkan perbaikan (akhir umur rencana). Persamaan LEA :
35
LEA = ∑𝑛
𝑗=1 LHRj (1+i)ᵁᴿ x Cj x Ej
Dimana :
i = tingkat pertumbuhan lalu lintas
UR = umur rencana
c. Lintas Ekuivalen Tengah (LET), dihitung dengan persamaan :
1
LET = [ LEP + LEA ]
2
d. Lintas Ekuivalen Rencana (LER) Lintas ekuivalen selama umur rencana
(AE18KSAL/N) adalah jumlah lintasan ekuivalen yang akan melintasi
jalan selama masa pelayanan, dari saat dibuka sampai akhir umur rencana.
Persamaan LER :
LER = LET x FP
Dimana :
FP = faktor penyesuaian
𝑈𝑅
FP =
10
36
5. Faktor Regional (FR)
Faktor regional/faktor lingkungan adalah faktor yang menunjukkan keadaan
lingkungan setempat dimana tiap-tiap negara adalah berbeda-beda. Beberapa hal
yang mempengaruhi nilai FR adalah air tanah dan hujan, perubahan temperatur
(iklim) dan kemiringan medan.
37
Tabel 2.15. Faktor Regional (FR)
Kelandaian I (<6%) Kelandaian II (6- Kelandaian III
Curah 10%) (>10%)
Hujan % Kend. Berat % Kend. berat % Kend. Berat
< 30% >30 % < 30% >30 % < 30% >30 %
Iklim I < 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5
900 mm/th
IklimII > 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5
900 mm/th
38
Tabel 2.16 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP)
LER ( Lintas
Klasifikasi Jalan
Ekivalen
Rencana Lokal Kolektor Arteri Tol
<10 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0 -
10-100 1,5 1,5-2,0 2,0 -
100-1000 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 -
>1000 - 2,0-2,5 2,5 2,5
39
7. Indek Tebal Perkerasan (ITP)
Nilai ITP ditentukan dengan nomogram ITP yang dikorelasikan dengan nilai
daya dukung tanah, lintas ekivalen rencana, faktor regional dan indek permukaan.
Persamaan nilai ITP adalah sebagai berikut :
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3
Dimana :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan.
D1, D2, D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)
Angka 1,2,3, masing-masing lapis permukaan, lapisan pondasi dan lapisan
pondasi bawah.
40
Tabel 2.18 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan Jenis Bahan
a1 a2 a3 MS Kt CBR
(kg) (kg/cm) (%)
0,40 - - 744
0,35 - - 590
0,35 - - 454 Laston
0,30 - - 340
0,35 - - 744
0,31 - - 590
0,28 - - 454 Lasbutag
0,26 - - 340
0,30 - - 340 HRA
0,26 - - 340 Aspal macadam
0,25 - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590
- 0,26 - 454 Laston atas
- 0,24 - 340
- 0,23 - - Lapen (mekanis)
- 0.19 - - Lapen (manual)
- 0,15 - - 22 Stab. Tanah dengan semen
- 0,13 - - 18
- 0,15 - - 22 Stab. Tanah dengan kapur
- 0,13 - - 18
- 0,14 - - 100 Batu pecah (kelas A)
- 0,13 - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - 60 Batu pecah (kelas C )
- - 0,13 - 70 Sirtu/pitrun (kelas A)
- - 0,12 - 50 Sirtu/pitrun (kelas B)
- - 0,11 - 30 Sirtu/pitrun (kelas C)
- - 0,10 - 20 Tanah/lempung kepasiran
41
42
43
44
45
46