Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN

Jalan raya merupakan suatu jalur yang dapat dilalui oleh lalu lintas
(kendaraan) dari suatu tempat ke tempat yang lain, dengan memberikan rasa yang
aman dan nyaman bagi pemakai jalan selama umur rencana dengan memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan.
Salah satu bagian yang sangat penting dari perencanaan jalan adalah
perencanaan geometrik jalan yang meliputi perencanaan alinyemen horizontal,
lebar jalan, tikungan, jarak pandang serta hubungan satu dengan yang lainnya.
Bentuk geometrik yang harus dibuat sedemikian rupa sehingga jalan yang
direncanakan dapat memberikan pelayanan yang optimal pada lalu lintas sesuai
dengan fungsinya.

1.1 Latar Belakang


Jalan raya merupakan prasarana transportasi darat memegang peranan
yang sangat penting dalam sektor perhubungan terutama untuk kesinambungan
distribusi barang dan jasa. Keberadaan jalan raya sangat diperlukan untuk
menunjang laju pertumbuhan ekonomi seiring dengan meningkatnya kebutuhan
sarana transportasi yang dapat menjangkau daerah-daerah terpencil yang
merupakan sentral produksi pertanian. Jadi jalan raya adalah prasarana
transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan
pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada
pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan
jalan kabel.
Perkembangan kapasitas maupun kuantitas kendaraan yang
menghubungkan kota-kota antar propinsi dan terbatasnya sumber dana untuk
pembangunan jalan raya serta belum optimalnya pengoperasian prasarana lalu-
lintas yang ada, merupakan persoalan utama di Indonesia dan di banyak negara,
terutama negara-negara yang sedang berkembang. Untuk membangun ruas jalan

1
raya baru maupun peningkatan yang diperlukan sehubungan dengan penambahan
kapasitas jalan raya, tentu akan memerlukan metoda efektif dalam perancangan
maupun perencanaan agar diperoleh hasil yang terbaik dan ekonomis, tetapi
memenuhi unsur keselamatan pengguna jalan dan tidak mengganggu ekosistem.
Syarat-syarat yang diperlukan oleh jalan raya terutama adalah untuk
memperoleh :
a. Permukaan yang rata dengan maksud agar lalu lintas dapat berjalan dengan
lancar.
b. Mampu memikul berat kendaraan beserta beban yang ada diatasnya.
c. Dapat dilalui dengan aman dan nyaman sesuai dengan rencana.

Pada dasarnya, perencanaan konstruksi jalan raya terdiri dari beberapa


bagian besar. Bagian-bagian tersebut adalah Perencanaan Geometrik Jalan,
Perencanaan Perkerasan Material Jalan dan Perencanaan dalam Pembangunan
serta administrasinya.
a. Perencanaan Geometrik Jalan terdiri dari ukuran–ukuran jalan serta
bentuk-bentuk lintasan yang diperlukan. Ukuran-ukuran tersebut
mencakup lebar bagian-bagian jalan dan fasilitasnya yang dikaitkan
dengan kendaraan dan kelincahan geraknya, tinggi mata pengemudi,
rintangan dan sebagainya. Bentuk permukaan dan lintasan dikaitkan
dengan keamanan jalan dan lalu lintas. Oleh karena jalan tidak mungkin
dibangun lurus dan horizontal, maka akan ada perubahan-perubahan
mendatar (tikungan) maupun vertikal (tanjakan). Dan bagi keamanan
konstruksi jalan, maka pada dasarnya permukaan jalan dibuat sedemikian
rupa air tak mudah meresap ke badan jalan.
b. Perencanaan Perkerasan / Material Jalan, perkerasan adalah lapisan jalan
yang diperlukan untuk memenuhi syarat-syarat utama jalan yaitu
permukaan jalan harus mampu memikul berat kendaraan dan dapat dilalui
dengan aman dan nyaman. Perkerasan ini dibuat dari material-material
alam. Pada dasarnya peranan material yang digunakan tersebut juga
merupakan pengetahuan tersendiri, kadang kala jenis/susunan material

2
perkerasan yang digunakan tidak sama untuk semua jenis jalan dan pada
lokasi yang tidak sama.
c. Perencanaan Pembangunan dan Administrasi Jalan Raya, pelaksanaan
pembangunan jalan sangat memerlukan ketrampilan tersendiri sesuai
dengan jenis jalan dan kemudahan yang ada, baik dari segi material,
tenaga (ahli), peralatan dan waktu. Sehingga dalam semua proses tersebut
diperlukan suatu administrasi tersendiri.

Akhirnya sebagai sarana transportasi jalan raya juga merupakan sarana


pembangunan dan membantu pengembangan wilayah yang penting, maka lalu
lintas di atas jalan raya harus bergerak dengan lancar dan aman sehingga
pengangkutan berjalan dengan cepat, aman, nyaman, tepat, efisien dan ekonomis.

1.2 Manfaat Jalan Raya

Dunia yang kian hari kian moderen mempengaruhi perkembangan sosial


masyarakat yang semakin menuntut manusia untuk lebih maju dalam banyak hal.
Perkembangan masyarakat yang demikian menyebabkan meningkatnya kebutuhan
masyarakat, Sehingga masyarakat secara sadar / tidak selalu dituntut untuk
memenuhi kebutuhan itu.
Aktifitas berjangkauan luas mengharuskan pemindahan barang maupun
manusia. Apabila keadaan yang demikian telah tercipta, mutlak diperlukan alat
angkut sebagai sarana lalu lintas dan lahan sebagai prasarana lalu lintas.
Tuntutan diharapkan adalah tercapainya suatu keadaan yang aman,
nyaman dan ekonomis. Hal ini selain ditentukan dari perencanaan Geometriknya
juga ditentukan oleh konstruksi lapis perkerasan ” Pavement”, juga oleh
pengaturan lalu lintas yang ada. Akan tetapi disini hanya ditinjau dari segi
perancangan geometris saja.
Adapun manfaat jalan raya itu sendiri adalah sebagai :
1. Sebagai alat penghubung antara jalan dengan satu dengan jalan yang lain
2. untuk mempermudah Segala hal yang berkaitan dengan jalan raya

3
3. segala aktivitas menjadi lebih efektif dan efisien
4. ekonomis
5. mempercepat laju kendaraan

1.3 Pokok Permasalahan


Perencanaan pembangunan jalan raya, meliputi pokok permasalahan
antara lain:
1. Penentuan titik koordinat.
2. Perhitungan jarak PI.
3. Penentuan sudut putar PI.
4. Perencanaan alinyemen horizontal.
 Menentukan jarak pandang;
 Pelebaran perkerasan pada tikungan;
 Kebebasan samping pada tikungan;
 Diagram superelevasi;
 Stasioning.
5. Perencanaan alinyemen vertical
 Kelandaian jalan
6. Perencanaan tebal perkerasan
7. Kubikasi (galian dan timbunan)

4
BAB II
LANDASAN TEORI

Perencanaan geometrik jalan raya adalah suatu bagian dari perencanaan


jalan, dimana geometrik atau dimensi yang nyata dari suatu jalan bagian –
bagiannya disesuaikan dengan tuntutan serta sifat – sifat lalu lintas.

Dalam perencanaan dan untuk menyelesaikan masalah yang timbul pada


tinjauan perencanaan geometrik jalan raya ini, mengggunakan beberapa metode
dan rumus yang disesuaikan dengan batasan – batasan yang telah diisyaratkan
pada spesifikasi untuk perencanaan geometrik jalan luar kota.

2.1 Pengertian Jalan Raya


Jalan raya adalah transportasi yang dipergunakan untuk lalu lintas
kendaraan dari beberapa jalur kendaraan. Sedangkan jalur kendaraan adalah
bagian dari jalur lalu lintas untuk kendaraan roda dua, tiga, empat atau lebih
dalam satu arah. Jumlah minimal untuk jalan dua arah adalah dua jalur dan pada
umumnya disebut sebagai dua jalur dua arah.

Dalam merencanakan suatu jalan raya diinginkan pekerjaan yang relatif


mudah dengan menghindari pekerjaan galian dan timbunan (fill) yang besar.
Dilain pihak kendaraan yang beroperasi di jalan raya menginginkan jalan yang
relatif lurus, tidak ada tanjakan atau turunan. Keinginan ini sangat sulit kita
jumpai, karena keadaan permukaan bumi yang relatif tidak datar, yang banyak
kita jumpai adalah bukit, lembah, sungai dan kesukaran-kesukaran medan lainya.

2.2 Parameter Perencanaan


Dalam perencanaan geometrik jalan terdapat beberapa parameter
perencanaan yang akan dibicarakan dalam bab ini, seperti kendaraan rencana,
kecepatan rencana, volume & kapasitas jalan, dan tingkat pelayanan yang

5
diberikan oleh jalan tersebut. Parameter-parameter ini merupakan penentu tingkat
kenyamanan dan keamanan yang dihasilkan oleh suatu bentuk geometrik jalan.
2.2.1 Kendaraan Rencana
Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya
dipakai sebagai acuan dalam perencanaan geometrik. Kendaraan Rencana
dikelompokkan ke dalam 3 kategori:
1. Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang;
2. Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as;
3. Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.
Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana
ditunjukkan dalam Tabel 2.3. Gambar 2.1 s.d. Gambar 2.3 menampilkan sketsa
dimensi kendaraan rencana tersebut.

Tabel 2.1 : Dimensi Kendaraan Rencana


Radius
Kategori Dimensi Kendaraan Tonjolan Radius Putar Tonjolan
Kendaraan (cm) (cm) (cm)
Rencana Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum

Kendaraan 130 210 580 90 150 420 730 780


Kecil
Kendaraan 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Sedang
Kendaraan 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
Besar

Gambar 2.1 Dimensi Kendaraan Kecil

6
Gambar 2.2 Dimensi Kendaraan Sedang

Gambar 2.3 Dimensi Kendaraan Besar

Gambar 2.4 Jari-Jari Manuver Kendaraan Kecil

7
Gambar 2.5 Dimensi Kendaraan Sedang

8
Gambar 2.6 Dimensi Kendaraan Besar

9
2.2.2 Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca
yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak
berarti. VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.2.

Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

Tabel 2.2 : Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan kiasifikasi
medan jalan.
Kecepatan Rencana, VR ,Km/jam
Fungsi
Datar Bukit Penggunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30

2.2.3 Volume Lalu Lintas


Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume
lalu lintas harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari.
Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk
tahun rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:

K . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (2.1)
VJR  VLHRx
F
di mana : K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan F
(disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas
perseperempat jam dalam satu jam.

10
VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu
lintas lainnya yang diperlukan. Tabel 2.3 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang
sesuai dengan VLHR-nya

Tabel 2.3 : Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas
Harian Rata-rata.

FAKTOR – K FAKTOR – F
VLHR
(%) (%)

> 50.000 4–6 0,9 – 1


30.000 – 50.000 6–8 0,8 – 1
10.000 – 30.000 6–8 0,8 – 1
5.000 – 10.000 8 – 10 0,6 – 0,8
1.000 – 5.000 10 -12 0,6 – 0,8
< 1.000 12 - 16 < 0,6

2.2.4 Tingkat Pelayanan Jalan


Lebar dan jumlah lajur yang dibutuhkan tidak dapat direncanakan dengan
baik walaupun VJP/LHR telah ditentukan. Hal ini disebabkan oleh karena tingkat
kenyaman dan keamanan yang akan diberikan oleh jalan rencana belum
ditentukan . Lebar lajur yang dibutuhkan akan lebih lebar jika pelayanan dari jalan
yang diharapkan lebih tinggi. Kebebasan bergerak yang dirasakan oleh pengemudi
akan lebih baik pada jalan-jalan dengan kebebasan samping yang memadai, tetapi
hal tersebut tentu saja menutut daerah manfaat jalan yang lebih lebar pula.

Lebar suatu keadaan volume lalu lintas yang rendah, pengemudi akan
merasa lebih nyaman mengendarai kendaraan dibandingkan jika dia berada pada
daerah tersebut dengan volume lalu lintas yang lebih besar. Kenyamanan akan
berkurang sebanding dengan bertambahnya volume lalu lintas. Dengan perkataan
lain rasa nyaman dan volume arus lalu lintas tersebut berbanding terbalik. Tetapi

11
kenyamanan dari kondisi arus lalu lintas yang ada tak cukup hanya digambarkan
dengan volume lalu lintas tanpa disertai data kapasitas jalan, dan kecepatan pada
jalan tersebut.
Sebagai contoh I, jalan dengan kapasitas jalan 2000 kendaraan/jam
mempunyai volume 1000 kendaraan/jam. Pengemudi akan merasakan lebih
nyaman mengendarai kendaraan pada jalan pertama dibandingkan dengan jalan
kedua dengan kapasitas jalan 1700 kendaraan/jam. Atau, tingkat pelayanan jalan
pertama lebih baik dari jalan kedua.

Jika V/C jalan I = 1000/2000 = 0,5


V/C jalan II = 1000/1200 = 0,83
V/C jalan I < V/C j alan II

Berarti tingkat pelayanan jalan I lebih baik dari jalan II.

Tabel 2.4 : Standarnisasi Tingkat Pelayanan (VCR)


Berdasarkan IHCM (Indonesian Highway Capacity Model)

Nilai VCR Klasifikasi Tingkat Pelayanan


0,01-0,7 Kondisi Pelayanan sangat Baik, dimana kendaraan dapat
berjalan dengan lancar.
0,7-0,8 Kondisi pelayanan baik, dimanakendaraan berjalan lancar
dengan sedikit hambatan.
0,8-0,9 Kondisi pelayanan cukup baik, dimana kendaraan berjalan
lancar tapi adanya hambatan lalu lintas sudah lebih
mengganggu.
0,9-1,0 Kondisi pelayanan kurang baik, dimana kendaraan berjalan
dengan banyak hambatan.
1,0 Keatas Kondisi pelayanan buruk, dimana kendaraan berjalan sangat
lamban dan cenderung macet, banyak kendaraan akan
berjalan pada bahu jalan.

12
Highway Capasity Manual membagi tingkat kenyamanan/pelayanan jalan
atas 6 keadaan sebagai berikut:
1. Tingkat pelayanan A, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas bebas tanpa hambatan
- Volume dan kepadatan lalu lintas rendah
- kecepatan kendaraan merupakan pilihan pengemudi
2. Tingkat pelayanan B, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas stabil
- Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tatapi tetap dapat
dipilih sesuai kehendak pengemudi
3. Tingkat pelayanan C, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas masih stabil
- Kecepatan perjalanan dan kebebasan bergerak sudah dipengaruhi oleh
beasarnya volume lalu lintas sehingga pengemudi tidak dapat lagi
memilih kecepatan yang diinginkannya.
4. Tingkat pelayanan D, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas sudah mulai tidak stabil
- Perubahan volume lalu lintas sangat mempengaruhi besarnya kecepatan
perjalanan.
5. Tingkat pelayanan E, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas sudah tidak stabil
- Volume kira-kira sama dengan kapasitas
- Sering terjadi kemacetan
6. Tingkat pelayanan F, dengan ciri-ciri.
- Arus lalu lintas tertahan pada kecepatan rendah
- Sering kali terjadii kemacetan
- Lalu lintas rendah.

Batasan–batasan nilai dari setiap tingkat pelayanan jalan dipengaruhi oleh


fungsi jalan dan dimana jalan tersebut berada. Jalan tol yang berada diluar kota
tentu saja dikehendaki dapat melayani kendaraan dengan kecepatan tinggi dan

13
memberikan ruang bebas bergerak selama umur rencana jalan tersebut. Jalan
kolektor sekunder yang berada di dalam kota dapat saja direncanakan untuk
tingkat pelayanan E pada akhir umur rencana dan dengan kecepatan yang lebih
rendah daripada jalan antar kota.

2.2.5 Menentukan Jarak Pandang


Menurut Silvia Sukirman (1994) jarak pandang adalah panjang jalan di
depan kendaraan yang masih dapat dilihat dengan jelas diukur dari titik
kedudukan pengemudi. Jarak pandangan pada jalan raya dibedakan atas dua, yaitu
jarak pandangan henti dan jarak pandangan menyiap.

2.2.5.1 Jarak pandang henti


Jarak pandang henti adalah jarak yang ditempuh pengemudi untuk dapat
menghentikan kendaraannya, guna untuk memberikan keamanan pada pengemudi
kendaraan. Jarak pandang henti menurut Silvia Sukirman (1994) terdiri dari dua
elemen yaitu jarak yang ditempuh sesudah pengemudi menginjak rem dan jarak
yang ditempuh sementara pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti,
dihitung dengan menggunakan rumus:
d1 = 0,278 . V . t …………………………………………….…..(2.2)
jarak pengereman dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

V2
d2 = ..................................................................... …….(2.3)
254. fm
Maka jarak pandangan henti dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
V2
d = 0,278 . V . t + ……………………………….…(2.4)
254. fm  L
Dimana :
d (JPH)= Jarak pandangan henti (m)
d1 = jarak dari saat melihat rintangan sampai menginjak rem(m)
d2 = Jarak yang diperlukan untuk berhenti setelah menginjak rem (m)
V = Kecepatan (Km/Jam)
t = Waktu reaksi, diambil 2,5 detik dari AASTHO (1990)

14
fm = Koefisien gesekan antara ban dan muka jalan dalam arah
memanjang
+ = Untuk pendakian
- = Untuk Penurunan
L = Kelandaian jalan

2.2.5.2 Jarak pandangan menyiap


Jarak pandangan menyiap adalah jarak yang dibutuhkan pengemudi
sehingga dapat melakukan gerakan menyiap dengan aman dan dapat melihat
kendaraan lain dari depan dengan bebas.
Menurut Silva Sukirman (1994), jarak pandangan menyiap dapat dihitung
dengan persamaan berikut :
d = d1 + d2 + d3 + d4 …………… ……………………….…..(2.5)
dimana :
a . t1
d1 = 0,278 . V . t2 ( V – m + ) …………………………...(2.6)
2
d2 = 0,278 . d2 ……………………………………………..…...(2.7)
d3 = diambil antara 30 m sampai dengan 100 m
d4 = 2/3 . d2 ...................................................................... .…….(2.8)
dimana :
d = Jarak pandangan menyiap (m)
d1 = Jarak yang ditempuh selama waktu reaksi oleh kendaraan yang
hendak menyiap dan membawa kendaraannya yang hendak
membelok ke lajur kanan (m)
d2 = Jarak yang ditempuh kendaraan yang menyiap selama berada
pada lajur sebelah kanan (m)
d3 = Jarak bebas yang harus ada antara kendaraan yang mnyiap
dengan kendaraan yang berlawanan arah setelah gerakan
menyiap dilakukan (m)
d4 = Jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah
selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kendaraan yang
menyiap berada pada lajur sebelah kanan (m)

15
t1 = Waktu reaksi, tergantung pada kecepatan dapat ditentukan
dengan korelasi t1 = 2,12 + 0,026 V
t2 = Waktu dimana kendaraan menyiap berada pada lajur kanan, t2 =
6,56 + 0,018 V
m = perbedaan kecepatan antara kendaraan yang menyiap dan yang
disiap = 1,5 Km/jam
V = Kecepatan rata-rata kendaraan yang menyiap, dianggap sama
dengan kecepatan rencana (Km/jam)

2.3 Perencanaan Alinyemen Horizontal


Menentukan alinyemen horizontal pada suatu jalan, direncanakan agar
didapatkan kenyamanan dan keamanan bagi pengemudi ketika berubah arah,
menurut Silvia Sukirman (1994), bentuk lengkung Horizontal yang digunakan
dalam perencanaan perencanaan geometrik jalan raya. Ada tiga bentuk, antara lain
yaitu :
1. Lengkung Full Circle
2. Lengkung Spiral Circle Spiral, dan
3. Lengkung Spiral Spiral

2.3.1 Bentuk Lengkung Full Circle (FC)


Lengkung Full Circle terdiri dari bagian lingkaran tanpa adanya peralihan.
Untuk menghitung lengkung Full Circle dipergunakan persamaan sebagai berikut
Tc = R . Tg.  / 2………………………………………………………….(2.9)
Ec = Tc . Tg  / 4…….……………………………………….………....(2.10)
Lc =  ( 2.R ) / 360………………………………………..……….….(2.11)

Dimana :
Tc = Jarak antara Tc ke PI dan PI ke Ct ( m )
Rc = Jari- jari rencana (m)
Ec = Jarak PI lengkung peralihan (m)
 = Sudut tangen ( 0 )
Lc = Panjang bagian tikungan (m

16
Tabel 2.5 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Full Circle (FC)
Kecepatan Rencana Jari-jari lengkung minimum (Rc) m
120 2.500
100 1.500
80 900
60 500
50 350
40 250
30 130
20 60
Sumber : Shirley.L Hendarsin (2000)

Adapun lengkung Full Circle seperti pada gambar 2.7 berikut :

Gambar 2.7 : Bentuk Lengkung Full Circle


Sumber : Silvia Sukirman (1994)

2.3.2 Bentuk Lengkung Spiral Circle Spiral (S-C-S)


Lengkung Spiral Circle Spiral merupakan bentuk tikungan yang memiliki
peralihan dari bagian lurus ke bagian Circle, yang mengalami gaya sentrifugal
terjadi secara berangsur-angsur. Batasan kecepatan rencana yang digunakan pada
lengkung Spiral adalah seperti diperlihatkan pada tabel 2.7 di bawah ini :

17
Tabel 2.6 : Batas kecepatan rencana pada lengkung Spiral Circle Spiral (SCS)
Batasan rencana V Jari-jari lengkung minimum (Rc)
( km/j ) ( meter )
120 600
100 370
90 280
80 210
60 115
50 80
40 50
30 30
20 15

Sumber : Shirley.L Hendarsin ( 2000 )

Adapun lengkung Spiral Circle Spiral seperti diperlihatkan pada gambar 2.8
berikut :

Gambar 2.8 : Bentuk Lengkung Spiral Circle Spiral


Lengkung Ts-Ts adalah lengkung peralihan berbentuk spiral yang
menghubungkan bagian lurus di kiri Ts, titik ts adalah titik peralihan bagian lurus
ke bagian spiral ke bagian lingkaran. Untuk menghitung lengkung Spiral-Circle-
Spiral pada tikungan digunakan persamaan berikut :

18
Ls.90
s = …………………………………………….......................…...….(2.12)
 .R
c =  - 2.s …………………………………..............……..….……...(2.13)
c ( 2. .R )
Lc = . …………………………..…………………....………(2.14)
360
Kontrol : Lc > 20 ………………. ................................................... .Ok! S-C-S
Lt = Lc + 2.Ls ……………………………………………..……………(2.15)

Ls 2
P =  R (1 - cos s) …………………………………….……...…(2.16)
6.R

Ls 3
k = Ls – ( ) - R . sin  s…………………….………...……...(2.17)
40 . R 2
Es = ( R + P ) sec /2 - R……………………………………….………(2.18)
Ts = (R + P) tg /2 +k………….………………………….…..…….…(2.19)

Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari titik Ts dan PI (m)
p = Jarak antara tangen dan busur lingkaran (m)
k = Jarak antara Ts dan Cs pada garis lurus (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
Lc = Panjang lengkung circle (m)
 = Sudut perpotongan kedua bagian tangen ()
Lt = Panjang lengkung circle (m)
Ls = Panjang lengkung spiral (m)
s = Sudut Spiral (o)
c = Sudut busur lingkaran (o)

19
2.3.3 Bentuk Lengkung Spiral-Spiral (SS)
Lengkung Spiral-spiral merupakan lengkung yang tajam, untuk tikungan
ini dianjurkan dalam perencanaan agar tidak digunakan, terkecuali pada daerah
yang keadaan medan memaksa pada medan yang sulit. Lengkung ini hanya terdiri
dari bagian Spiral saja hal ini terjadi bila R minimum < R Rencana < R lengkung
peralihan dan Ls < dari Tabel.
Menurut Silvia Sukirman (1994), lengkung Spiral-Spiral adalah lengkung
tanpa busur lingkaran, sehingga titik SC berimpit dengan titik CS. Untuk
menghitung lengkung Spiral-Spiral ini, digunak persamaan berikut ini :

s = ½  …………………………………………………………… .. (2.20)
Ls = s . . R / 90 ….………………………………….……………. . (2.21)
p = (Ls2 / 6 . Rc) . (1- Cos s) …………………………………….. . (2.22)
k = Ls – (Ls/40.Rc2)-Rc.Sin s…………………………………… ... (2.23)
Ts = (Rc +P) tan s + k…………………………………………….. ... (2.24)
Es = (Rc +P) Sec s – Rc.………………………………………….. ... (2.25)
Lt = 2 . Ls…………………………………………………………... .. (2.26)

Dimana :
Ts = Jarak antara titik Ts ke PI (m)
R = Jari jari lengkung (m)
Es = Jarak PI ke lengkung peralihan (m)
 = Sudut perpotongan kedua bagian tangen (o)
L = Panjang lengkung spiral (m)
 = Sudut Spiral (o)
Bentuk dari lengkung Spiral-Spiral ialah seperti diperlihatkan pada gambar 2.9 di
bawah ini

20
Gambar 2.9 : Bentuk Lengkung Spiral-Spiral

2.4 Perencanaan Alinyemen Vertikal


Menurut Silva Sukirman (1994), bahwa alinyemen vertikal adalah
perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan jalan melalui
sumbu jalan melalui tepi dalam masing-masing perkerasan untuk jalan dengan
median. Sering disebut juga sebagai penampang memanjang jalan.
Alinemen vertikal terdiri atas bagian landai vertikal dan bagian lengkung
vertikal. Ditinjau dari titik awal perencanaan, bagian landai vertikal dapat berupa
landai positif (tanjakan), atau landai negatif (turunan), atau landai nol (datar)
Bagian lengkung vertikal dapat berupa lengkung cekung atau lengkung cembung.

2.4.1 Lengkungan Vertikal


Lengkung vertikal harus disediakan pada setiap lokasi yang mengalami
perubahan kelandaian dengan tujuan :
 mengurangi goncangan akibat perubahan kelandaian; dan
 menyediakan jarak pandang henti.
Lengkung vertikal dalam tata cara ini ditetapkan berbentuk parabola sederhana,
1 jika jarak pandang henti lebih kecil dari panjang lengkung vertikal
cembung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:

AS 2
L ..........................................................................(2.27)
405

21
2 jika jarak pandang henti lebih besar dari panjang lengkung vertikal
cekung, panjangnya ditetapkan dengan rumus:

405 ..........................................................................(2.28)
L  2S 
A
3 Panjang minimum lengkung vertikal ditentukan dengan rumus:
L  AY ..........................................................................(2.29)

S2 ..........................................................................(2.36)
L
405

dimana :
L = Panjang lengkung vertikal (m),
A = Perbedaan grade (m),
Jh = Jarak pandangan henti (m),
Y = Faktor penampilan kenyamanan, didasarkan pada tinggi obyek 10 cm dan
tinggi mata 120 cm.

Y dipengaruhi oleh jarak pandang di malam hari, kenyamanan, dan


penampilan. Y ditentukan sesuai Tabel 2.7.

Tabel 2.7 : Penentuan Faktor penampilan kenyamanan, Y


Kecepatan Rencana (km/jam) Faktor Penampilan Kenyamanan, Y
< 40 1,5
40 – 60 3
> 60 8

Panjang lengkung vertikal bisa ditentukan langsung sesuai Tabel 2.8 yang
didasarkan pada penampilan, kenyamanan, dan jarak pandang. Untuk jelasnya
lihat Gambar 2.10 dan Gambar 2.11.

22
Tabel 2.8 : Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana Perbedaan Kelandaian Panjang Lengkungan
(km/jam) Memanjang (%) (m)
< 40 1 20 – 30
40 – 60 0,6 40 – 80
> 60 0,4 80 – 150

Gambar 2.10 : Lengkung Vertikal Cembung

Gambar 2.11 : Lengkung Vertikal Cembung

2.4.2 Lajur Pendaki


Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk - truk yang
bermuatan berat atau kendaraan lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan
kendaraan lain pada umumnya, agar kendaraan kendaraan lain dapat mendahului
kendaraan lambat tersebut tanpa harus berpindah lajur atau menggunakan lajur

23
arah berlawanan. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang
mempunyai kelandaian yang besar, menerus, dan volume lalu lintasnya relatif
padat. Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai
berikut:

a. disediakan pada jalan arteri atau kolektor,


b. apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000
SMP/hari, dan persentase truk > 15 %.

Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana. Lajur pendakian
dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan sepanjang 45
meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter (lihat Gambar 2.12). Jarak minimum antara 2 lajur pendakian
adalah 1,5 km (lihat Gambar 2.13).

Gambar 2.12 : Lajur Pendakian Tipikal

Gambar 2.13 : Jarak Antara Dua Lajur Pendakian

24
2.4.3 Koordinasi Alinyemen
Alinyemen vertikal, alinyemen horizontal, dan potongan melintang jalan
adalah elemen elemen jalan sebagai keluaran perencanaan harus dikoordinasikan
sedemikian sehingga menghasilkan suatu bentuk jalan yang baik dalam arti
memudahkan pengemudi mengemudikan kendaraannya dengan aman dan
nyaman.
Bentuk kesatuan ketiga elemen jalan tersebut diharapkan dapat
memberikan kesan atau petunjuk kepada pengemudi akan bentuk jalan yang akan
dilalui di depannya sehingga pengemudi dapat melakukan antisipasi lebih awal.

Koordinasi alinyemen vertikal dan alinyemen horizontal harus memenuhi


ketentuan sebagai berikut:

a. alinyemen horizontal sebaiknya berimpit dengan alinyemen vertikal, dan


secara ideal alinyemen horizontal lebih panjang sedikit melingkupi
alinyemen vertikal;
b. tikungan yang tajam pada bagian bawah lengkung vertikal cekung atau
pada bagian atas lengkung vertikal cembung harus dihindarkan;
c. lengkung vertikal cekung pada kelandaian jalan yang lurus dan panjang
harus dihindarkan;
d. dua atau lebih lengkung vertikal dalam satu lengkung horizontal harus
dihindarkan;
e. tikungan yang tajam di antara 2 bagian jalan yang lurus dan panjang harus
dihindarkan.

Sebagai ilustrasi, Gambar 2.14 s.d. Gambar 2.16 menampilkan contoh-contoh


koordinasi alinyemen yang ideal dan yang harus dihindarkan.

25
Gambar 2.14 Koordinasi yang ideal antara alinemen horizontal dan
alinyemen vertical yang berimpit.

Gambar 2.15 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana alinyemen vertical


menghalangi pandangan pengemudi pada saat mulai memasuki tikungan pertama.

Gambar 2.16 Koordinasi yang harus dihindarkan, dimana pada bagian yang lurus
pandangan pengemudi terhalang oleh puncak alinemen vertical sehingga
pengemudi sulit memperkirakan arah alinemen di balik puncak tersebut.

26
2.5 Stasioning Dan Galian Timbunan
2.5.1 Stasioning
Berdasarkan jarak trase jalan dan elemen-elemen lengkungan yang
diperoleh, maka dapat ditentukan stationing. Menurut Silvia Sukirman (1994),
stationing dalam tahap perencanaan adalah memberi nomor pada interval-interval
tertentu dari awal pekerjaan. Disamping itu, pemberian nomor jalan tersebut akan
memberikan informasi tentang panjang jalan secara keseluruhan.

Tujuan dari stationing itu sendiri adalah untuk memudahkan pada saat
penentuan trase jalan yang telah direncanakan tersebut di lapangan. Pada
tikungan, pemberian nomor dilakukan pada setiap titik penting. Jadi terdapat Sta
titik TC dan Sta titik CT pada tikungan Full Circle. Menurut Silvia Sukirman
(1994), metode penomorannya dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Setiap jarak 100 m untuk daerah datar


b. Setiap jarak 50 m untuk daerah bukit
c. Setiap jarak 25 m untuk daerah gunung

2.5.2 Galian dan Timbunan


Dalam perencanaan jalan raya terdapat penimbunan dan penggalian yang
kesemuanya ini harus diperhitungkan sedemikian rupa sehingga efesien dan
ekonomis. Untuk itu, besarnya galian harus lebih banyak dari pada timbunan,
karena hasil dari pada timbunan, karena hasil dari penggalian dapat digunakan
sebagai timbunan.
Untuk menghitung luas sebuah potongan melintang dengan metoda
geometrik (sering juga disebut dengan metoda trapesium), maka masing-masing
bagian dibagi-bagi luasnya sehingga menjadi bentuk-bentuk geometrik sederhana.
Untuk perhitungan luas timbunan dan luas galian seperti diperlihatkan pada
gambar 2.17 serta persamaan yang dipergunakan di bawah ini :
ab
a. Luas Trapesium : A= . t .............................................. (2.30).
2
b. Luas Segitiga : A = ½ . a . t ........................................... (2.31).
c. Luas segi empat : A = b . t .................................................. (2.32).

27
Dimana :
A = Luas (m2)
a = Panjang alas atas (m)
b = panjang alas bawah (m)
t = Tinggi (m)

b b
t t t
a t

Gambar 2.17 : Bentuk-Bentuk Luas Penampang Galian Dan Timbunan

Sumber : Ir. Sunggono K.H (1979)

2.6 Parameter Perencanaan


2.6.1 Klasifikasi Jalan
Menentukan klasifikasi jalan merupakan hal yang paling utama dan dapat
memberikan pengambaran pada perencanaan bentuk pelayanan yang harus
disediakan pada sebuah jalan.
Menurut peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, jalan dibagi atas
beberapa kelas yang telah ditetapkan berdasarkan fungsi dan volumenya, serta
sifat-sifat lalu lintas berdasarkan ketentuan Dirjen Bina Marga. Adapun
penggolongan tersebut sebagai syarat batas dalam perencanaan suatu jalan yang
Sesuai dengan fungsinya. Klasifikasi jalan menjadi beberapa bagian yaitu :

28
Klasifikasi Menurut Fungsi Jalan :

Klasifikasi menurut fungsi jalan terbagi atas:


1) Jalan Arteri
2) Jalan Kolektor
3) Jalan Lokal
Jalan Arteri : Jalan yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan masuk dibatasi
secara efisien.
Jalan Kolektor: Jalan yang melayani angkutan pengumpul/pembagi
dengan ciri-ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang dan jumlah
jalan masuk dibatasi.
Jalan Lokal: Jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri
perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan masuk tidak
dibatasi.
Klasifikasi Menurut Kelas Jalan :
1) Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk
menerima beban lalu lintas, dinyatakan dalam muatan sumbu terberat (MST)
dalam satuan ton.

2) Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan


kasifikasi menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam Tabel 2.9 (Pasal 11, PP.
No.43/1993)

29
Tabel 2.9 : Klasifikasi menurut kelas jalan
Muatan Sumbu Terberat
Fungsi Kelas
MST (Ton)
I >10
Arteri II 10
III A 8
III A
Kolektor 8
III B
Klasifikasi Menurut Medan Jalan :

1) Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan


medan yang diukur tegak lurus garis kontur.
2) Klasifikasi menurut medan jalan untuk perencanaan geometrik dapat dilihat
dalam Tabel 2.10

Tabel 2.10 : Klasifikasi menurut Medan jalan


Kemiringan Medan
No. Jenis Medan Notasi
(%)
1. Datar D <3
2. Perbukitan B 3 – 25
3. Pegunungan G > 25

3) Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan


keseragaman kondisi medan menurut rencana trase jalan dengan mengabaikan
perubahan-perubahan pada bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
Menurut peraturan perencanaan geometrik jalan raya No. 13/1970, jalan
dibagi atas beberapa kelas yang telah ditetapkan berdasarkan fungsi dan
volumenya, serta sifat – sifat lalu lintas berdasarkan ketentuan direktorat Jenderal
Bina Marga. Adapun penggolongan tersebut sebagai syarat batasan dalam
perencanaan suatu jalan yang sesuai dengan fungsinya. Penggolongan kelas jalan
tersebut diperlihatkan pada tabel 2.11 berikut :

30
Tabel 2.11 : Penggolongan kelas jalan
LHR (smp)
Fungsi Medan
6.000 – 20.000 1.500 – 8.000 < 2.000
JALAN D Kelas II A Kelas II B Kelas II C
SEKUNDER B
G Kelas II A Kelas II B Kelas II C
Sumber : Spesifikasi standard untuk perencanaan geometrik jalan luar kota
( Rancangan akhir ), 1990
2.6.2 Penentuan Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang
dipilih sebagai dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan
kendaraan-kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman dalam kondisi cuaca
yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak
berarti. VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel 2.12.
Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan
dengan syarat bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

Tabel 2.12 : Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan kiasifikasi
medan jalan.
Kecepatan Rencana, VR ,Km/jam
Fungsi
Datar Bukit Penggunungan
Arteri 70 – 120 60 – 80 40 – 70
Kolektor 60 – 90 50 – 60 30 – 50
Lokal 40 – 70 30 – 50 20 – 30

31
2.7 Perhitungan Tebal Terkerasan
Konstruksi perkerasan jalan umumnya terbagi atas dua jenis yaitu perkerasan
lentur (flexible pavement) dan perkerasan kaku (rigid Pavement). Kinerja dari
kedua perkerasan tersebut ditentukan berdasarkan keamanan dan kenyamanan
mengemudi (riding quality) terhadap fungsi jalan.

2.7.1 Perkerasan Lentur Jalan Raya


Perkerasan lentur (flexible pavement) menurut Departemen Pekerjaan
Umum (1987) adalah perkerasan yang umumnya menggunakan bahan campuran
beraspal sebagai lapis permukaan serta bahan berbutir sebagai lapisan
dibawahnya. Perkerasan lentur jalan terdiri dari beberapa lapis yaitu lapis
permukaan (surface course), lapis pondasi (base course), lapis pondasi bawah
(subbase course) dan lapisan tanah dasar (subgrade).

1. Lapis Permukaan (surface course)


Fungsi utama lapis permukaan perkerasan jalan adalah berfungsi sebagai:
1. Struktural yaitu bagian yang secara langsung mendukung beban lalulintas
di atasnya (Bina Marga, 1990 dan Sukirman, 1992).
2. Non struktural, yaitu bagian yang memberikan bentuk permukaan yang
halus, rata, dan nyaman bagi para pemakai jalan (Witczak, 1975).

2. Lapis Pondasi Atas (Base Course)


Lapis pondasi atas (base course) pada perkerasan lentur difungsikan
sebagai lapisan penambah kapasitas daya dukung beban-beban yang terjadi
dengan tingkat kekakuannya, kekuatan serta ketahanan bahan yang cukup baik.
Fungsi utama dari lapis pondasi atas adalah :
1. Mendukung kerja lapis permukaan sebagai penahan gaya geser dari beban
roda, dan menyebarkannya ke lapisan di bawahnya,
2. Memperkuat konstruksi perkerasan, sebagai bantalan terhadap lapisan
permukaan,
3. Sebagai lapis peresapan untuk lapisan pondasi bawah.

32
Berdasarkan peraturan dari Bina Marga pengunaan material untuk lapis
pondasi atas harus memiliki nilai CBR ≥ 50% dan PI < 4%.

3. Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course)


Lapis Pondasi Bawah (Subbase Course), merupakan bagian dari perkerasan
yang terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi atas. Fungsi utama dari lapis
pondasi bawah adalah :
1. Untuk menyebarkan beban roda ke lapisan yang ada dibawahnya.
2. Sebagai lapisan awal (lantai kerja) untuk melaksanakan pekejaan
perkerasan jalan misalnya pada penghamparan bahan lapis pondasi.
3. Sebagai lapis peresapan air, nilai kepadatannya mencegah masuknya air
dari tanah dasar ke lapisan pondasi.
4. Untuk mencegah masuknya tanah dasar yang berkualitas rendah ke lapis
pondasi atas.

4. Tanah Dasar (Subgrade)


Tanah Dasar (Subgrade), adalah lapisan tanah dasar dibawah perkerasan
jalan, fungsinya untuk mendukung perkerasan jalan. Subgrade dapat berupa tanah
asli setempat yang dipadatkan, tanah urugan badan jalan yang dipadatkan, tanah
timbunan atau galian setempat. Fungsi tanah dasar sebagai bahan perkerasan
adalah sebagai bahan yang mampu menahan beban lalulintas dan untuk
menghindari meresapnya air ke dalam lapisan perkerasan yang ada diatasnya

2.7.2. Perencanaan Tebal Lapis Perkerasan dengan Metode Bina Marga


Beberapa faktor yang mempengaruhi perhitungan tebal lapis perkerasan
lentur jalan menurut pedoman perencanaan lapis perkerasan baik untuk jalan baru
maupun jalan lama dengan metode analisa komponen no. 01/PD/B/1987, Dirjen
Bina Marga adalah koefisien distribusi arah kendaraan.

33
1. Koefisien Distribusi Arah Kendaraan (c)
Prosentase jenis kendaraan pada jalur rencana adalah jumlah kendaraan yang
melintasi jalur jalan yang sesuai dengan karakteristik jalan itu sendiri. Jumlah
kendaraan yang melewati lajur rencana masing-masing beratnya diperhitungkan
dengan nilai koefisien distribusi arah kendaraan.

Tabel 2.13 Koefisien Distribusi Kendaraan (C)


Jumlah Lajur Kendaraan Ringan *) Kendaraan Berat **)
1 arah 2 arah 1 arah 2 arah
1 Lajur 1,00 1,00 1,00 1,000
2 Lajur 0,60 0,50 0,70 0,500
3 Lajur 0,40 0,40 0,50 0,475
4 Lajur - 0,30 - 0,450
5 Lajur - 0,25 - 0,425
6 Lajur - 0,20 - 0,400

2. Angka Ekuivalen (E)


Angka ekivalen (E) dihitung berdasarkan beban sumbu kendaraan dihitung
dari letak titik berat kendaraan dalam memberikan prosentase beban pada roda
depan (as tunggal) dan roda belakang (as tunggal/ganda). Persamaan angka
ekivalen adalah sebagai berikut :
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑢𝑛𝑔𝑔𝑎𝑙 (𝑘𝑔)
a. Untuk sumbu tunggal : 1[ ]⁴
8160

𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑔𝑎𝑛𝑑𝑎 (𝑘𝑔)


b. Untuk sumbu ganda : 0,086 [ ]
8160

(𝑏𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑡𝑢 𝑠𝑢𝑚𝑏𝑢 𝑡𝑟𝑖𝑝𝑙𝑒 (𝑘𝑔))⁴


c. Untuk sumbu Triple : 0,053
8160

34
Tabel 2.14 Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan
Beban Sumbu Angka Ekivalen
Kg Lb Sumbu tunggal Sumbu ganda
1000 2205 0,0002 -
2000 4409 0,0036 0,0003
3000 6614 0,0183 0,0016
4000 8818 0,0577 0,0050
5000 11023 0,1410 0,0121
6000 13228 0,2923 0,0251
7000 15432 0,5415 0,0466
8000 17637 0,9238 0,0794
8160 18000 1,0000 0,0860
9000 19841 1,4798 0,1273
10000 22046 2,2555 0,1940
11000 24251 3,3022 0,2840
12000 26455 4,6770 0,4022
13000 28660 6,4419 0,5540
14000 30864 8,6647 0,7452
15000 33069 11,4184 0,9820
16000 35276 14,7815 1,2712

3. Lintas Ekuivalen
Lintas ekuivalen adalah repetisi beban yang dinyatakan dalam lintas sumbu
standar yang diterima oleh konstruksi jalan terhadap jumlah lalulintas harian rata-
rata (LHR). Lintas ekivalen terdiri dari :
a. Lintas Ekuivalen Permulaan (LEP) : besarnya lintas ekuivalen pada saat
jalan tersebut dibuka atau pada awal umur rencana. Persamaan LEP :
LEP = ∑𝑛
𝑗=1 LHRj x Cj x Ej

b. Lintas Ekuivalen Akhir (LEA) : besarnya lintas ekuivalen pada saat jalan
tersebut membutuhkan perbaikan (akhir umur rencana). Persamaan LEA :

35
LEA = ∑𝑛
𝑗=1 LHRj (1+i)ᵁᴿ x Cj x Ej

Dimana :
i = tingkat pertumbuhan lalu lintas
UR = umur rencana
c. Lintas Ekuivalen Tengah (LET), dihitung dengan persamaan :
1
LET = [ LEP + LEA ]
2
d. Lintas Ekuivalen Rencana (LER) Lintas ekuivalen selama umur rencana
(AE18KSAL/N) adalah jumlah lintasan ekuivalen yang akan melintasi
jalan selama masa pelayanan, dari saat dibuka sampai akhir umur rencana.
Persamaan LER :
LER = LET x FP
Dimana :
FP = faktor penyesuaian
𝑈𝑅
FP =
10

4. Daya Dukung Tanah (DDT)


Daya dukung tanah/kekuatan tanah dasar (subgrade) adalah kemampuan
tanah untuk menerima beban yang bekerja padanya. DDT diukur dengan tes
California Bearing Ratio (CBR). Nilai CBR menyatakan kualitas tanah dasar
dibandingkan dengan beban standar berupa batu pecah yang mempunyai nilai
CBR sebesar 100% dalam memikul beban lalu lintas, atau perbandingan antara
beban penetrasi pada suatu bahan dengan beban standar pada penetrasi dan
kecepatan pembebanan yang sama.
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑏 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑡𝑒𝑙𝑎ℎ 𝑑𝑖𝑘𝑜𝑟𝑒𝑘𝑠𝑖
CBR= x 100%
𝐵𝑒𝑏𝑎𝑛 𝑠𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟

36
5. Faktor Regional (FR)
Faktor regional/faktor lingkungan adalah faktor yang menunjukkan keadaan
lingkungan setempat dimana tiap-tiap negara adalah berbeda-beda. Beberapa hal
yang mempengaruhi nilai FR adalah air tanah dan hujan, perubahan temperatur
(iklim) dan kemiringan medan.

37
Tabel 2.15. Faktor Regional (FR)
Kelandaian I (<6%) Kelandaian II (6- Kelandaian III
Curah 10%) (>10%)
Hujan % Kend. Berat % Kend. berat % Kend. Berat
< 30% >30 % < 30% >30 % < 30% >30 %
Iklim I < 0,5 1,0-1,5 1,0 1,5-2,0 1,5 2,0-2,5
900 mm/th
IklimII > 1,5 2,0-2,5 2,0 2,5-3,0 2,5 3,0-3,5
900 mm/th

Catatan : Pada bagian-bagian jalan tertentu, seperti persimpangan,


pemberhentian atau tikungan tajam (jari-jari 30 m) FR ditambah dengan 0,5.
Pada daerah rawa-rawa FR ditambah dengan 1,0.
6. Indek Permukaan (IP)
Adalah besaran yang dipakai untuk menyatakan kerataan/kehaluasan serta
kekokohan permukaaan jalan sehubungan dengan tingkat pelayanan jalan. Nilai
indeks permukaan jalan terdiri dari :
a. Indeks Permukaan Awal (IPo) : ditentukan berdasarkan jenis lapis permukaan
pada awal umur rencana (kerataan/kehalusan serta kekokohan).
b. Indeks Permukaan Akhir (IPt) : ditentukan berdasarkan faktor-faktor
klasifikasi fungsional jalan dan jumlah ekivalen rencana (LER).
Nilai IPt < 1,0 : kondisi jalan rusak berat
ITp = 1,5 : Tingkat pelayanan jalan terendah
IPt = 2,0 : permukaan jalan cukup baik
ITp = 2,5 : permukaan jalan baik dan cukup stabil

38
Tabel 2.16 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IP)
LER ( Lintas
Klasifikasi Jalan
Ekivalen
Rencana Lokal Kolektor Arteri Tol
<10 1,0-1,5 1,5 1,5-2,0 -
10-100 1,5 1,5-2,0 2,0 -
100-1000 1,5-2,0 2,0 2,0-2,5 -
>1000 - 2,0-2,5 2,5 2,5

Tabel 2.17 Indeks Permukaan pada awal rencana (IPo)


Roughness *)
Jenis Permukaan IPo (mm/km)
Laston ≥4 ≤1000
3,9-3,5
Lasbutag 3,9-3,5 >1000
3,4-3,0
HRA 3,9-3,5 ≤2000
3,4-3,0
Burda 3,9-3,5 >2000

Burtu 3,4-3,0 ≤2000


Lapen 3,4-3,0 >2000
2,9-2,5
Latasbum 2,9-2,5 >2000
Buras 2,9-2,5 <2000
Latasir 2,9-2,5 <2000
Jalan Tanah ≤2,4 ≤3000
Jalan Kerikil ≤2,4 >3000

39
7. Indek Tebal Perkerasan (ITP)
Nilai ITP ditentukan dengan nomogram ITP yang dikorelasikan dengan nilai
daya dukung tanah, lintas ekivalen rencana, faktor regional dan indek permukaan.
Persamaan nilai ITP adalah sebagai berikut :
ITP = a1D1 + a2D2 + a3D3
Dimana :
a1, a2, a3 = Koefisien kekuatan relatif bahan perkerasan.
D1, D2, D3 = tebal masing-masing lapis perkerasan (cm)
Angka 1,2,3, masing-masing lapis permukaan, lapisan pondasi dan lapisan
pondasi bawah.

8. Koefisien Kekuatan Relatif (a) dan Tebal Minimum Lapis Perkerasan


(D)
Nilai koefisien kekuatan relatif (a) dan tebal minimum lapis perkerasan (D)
dapat dihitung setelah nilai Indek Tebal Perkerasan (ITP) diketahui dari grafik
nomogram. Tebal minimum lapis pondasi bawah untuk setiap nilai ITP ditentukan
sebesar 10 cm (Bina Marga, 1987).

40
Tabel 2.18 Koefisien Kekuatan Relatif (a)
Koefisien Kekuatan Relatif Kekuatan Bahan Jenis Bahan

a1 a2 a3 MS Kt CBR
(kg) (kg/cm) (%)
0,40 - - 744
0,35 - - 590
0,35 - - 454 Laston
0,30 - - 340
0,35 - - 744
0,31 - - 590
0,28 - - 454 Lasbutag
0,26 - - 340
0,30 - - 340 HRA
0,26 - - 340 Aspal macadam
0,25 - - - Lapen (mekanis)
0,20 - - - Lapen (manual)
- 0,28 - 590
- 0,26 - 454 Laston atas
- 0,24 - 340
- 0,23 - - Lapen (mekanis)
- 0.19 - - Lapen (manual)
- 0,15 - - 22 Stab. Tanah dengan semen
- 0,13 - - 18
- 0,15 - - 22 Stab. Tanah dengan kapur
- 0,13 - - 18
- 0,14 - - 100 Batu pecah (kelas A)
- 0,13 - - 80 Batu pecah (kelas B)
- 0,12 - - 60 Batu pecah (kelas C )
- - 0,13 - 70 Sirtu/pitrun (kelas A)
- - 0,12 - 50 Sirtu/pitrun (kelas B)
- - 0,11 - 30 Sirtu/pitrun (kelas C)
- - 0,10 - 20 Tanah/lempung kepasiran

41
42
43
44
45
46

Anda mungkin juga menyukai