Anda di halaman 1dari 26

REFARAT

KATARAK TRAUMATIKA

Pembimbing :

dr. Yusuf Wijaya, Sp.M

Disusun oleh :

Clara Dwi Retno Kumororini 1361050202


Shani Qisthina 1361050261
Ainul Anisyah Damayanti 1361050268
Salma Yunita Rahanyamtel 1361050283

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


PERIODE 1 OKTOBER – 3 NOVEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
2018
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

DAFTAR ISI ........................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................

2.1 Anatomi Lensa ...........................................................................

2.2 Fisiologi Lensa ...........................................................................

2.3 Definisi Katarak .........................................................................

2.4 Klasifikasi Katarak.....................................................................

2.5 Definisi Katarak Traumatika......................................................

2.6 Epidemiologi Katarak Traumatika .............................................

2.7 Etiologi Katarak Traumatika......................................................

2.8 Patofisiologi Katarak Traumatika ..............................................

2.9 Manifestasi Klinis Katarak Traumatika .....................................

2.10 Diagnosis Katarak Traumatika ................................................

2.11 Diagnosis Banding Katarak Traumatika ..................................

2.12 Penatalaksanaan Katarak Traumatika ......................................

2.13 Komplikasi Katarak Traumatika ..............................................

2.14 Prognosis Katarak Traumatika .................................................

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi utama lensa adalah memfokuskan cahaya ke retina. Untuk


memfokuskan cahaya yang dating dari jauh, otot-otot siliaris relaksasi,
meregangkan serat zonula dan memperkecil diameter antero-posterior lensa
sampai ukurannya yang terkecil, dalam posisi ini, daya refraksi lensa diperkecil
sehingga berkas cahay parallel akan terfokus ke retina.

Gangguan lensa dapat berupa kekeruhan, distrosi, dislokasi, dan anomaly


geometric. Pasien yang mengalami gangguan-gangguan tersebut mengalami
kekaburan penglihatan tanpa nyeri. Kekeruhan lensa disebut juga dengan katarak.
Katarak merupakan penyebab kebutaan di dunia. Katarak dapat terjadi akibat
penuaan, trauma fisik, radiasi, pengaruh zat kimia, penyakit intraokuler, penyakit
sistemik ataupun kongenital.1,2

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi nasional kebutaan di


Indonesia yakni sebesar 0,4%. Prevalensi kebutaan tahun 2013 mengalami
penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007 yaitu 0,9%. Namun prevalensi
kasus katarak di Indonesia pada tahun 2013 masih sama dengan data Riset
Kesehatan Dasar tahun 2007, yaitu sebesar 1,8%.3,4

Meskipun didapatkan kejadian yang cukup banyak, katarak yang disebabkan


oleh trauma belum begitu banyak dijelaskan secara terperinci. Oleh karena itu,
referat ini dibuat dengan tujuan memberikan pemaparan yang lebih jelas
mengenai katarak traumatika.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Lensa

Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avascular, tak berwarna, dan hampir

transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. lensa tergantung

pada zonula di belakang iris; zonula menghubungkannya dengan corpus ciliare. Di

sebelah anterior lensa terdapat aqueous humor; di sebelah posteriornya, vitreus.

Kapsul lensa adalah suatu membran semipermeabel (sedikit lebih permeabel daripada

dinding kapiler) yang akan memperbolehkan air dan elektrolit masuk.5

Di sebelah depan terdapat selapis epitel subkapsular. Nucleus lensa lebih keras

daripada korteksnya. Seiring dengan bertambahnya usia, serat – serat lamellar

subepitel terus diproduksi sehingga lensa perlahan – lahan menjadi lebih besar dan

kurang elastik. Nucleus dan korteks terbentuk dari lamellae konsentris yang panjang.

Garis – garis persambungan (suture line) yang terbentuk dari penyambungan tepi –

tepi serat lamellar tampak seperti huruf Y dengan slitlamp. Huruf Y ini tampak tegak

di anterior dan terbaik di posterior.5

Masing – masing serat lamelar mengandung sebuah inti gepeng. Pada

pemeriksaan mikroskop, inti ini jelas di bagian perifer lensa di dekat ekuator dan

berbatasan dengan lapisan epitel subkapsular.5

Lensa ditahan di tempatnya oleh ligamentum suspensorium yang dikenal

sebagai zonula (Zonula Ziinii), yang tersusun atas banyak fibril; fibril – fibril ini

berasal dari permukaan corpus ciliare dan menyisip ke dalam ekuator lensa.6

Enam puluh lima persen lensa terdiri atas air, sekitar 35%-nya protein

(kandungan proteinnya tertinggi di antara jaringan – jaringan tubuh). Selain itu,


terdapat sedikit sekali mineral seperti yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya.

Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan jaringan lain. Asam

askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Tidak

terdapat serat nyeri, pembuluh darah, atau saraf di lensa.5

Gambar 1. Anatomi Lensa

2.2 Fisiologi Lensa

Lensa kristalin merupakan organ penglihatan yang berfungsi memfokuskan

cahaya yang masuk ke mata agar sampai ke makula. Setelah lahir, lensa kristalin

berubah menjadi struktur yang avaskular; nutrisi dan ekskresi hasil metabolisme lensa

berlangsung melalui humor akuos di sekitarnya. Lensa kristalin terletak di belakang

iris, digantung oleh zonula Zinn ke badan siliar. Lensa kristalin pada orang muda

memiliki indeks refraksi 1.4 di bagian sentral. Pada orang dewasa, diameter ekuatorial

adalah 9 mm dan ketebalan antero – posteriornya sekitar 5 mm.5

Sel hidup yang aktif hanya terdapat pada lapisan sel epitel lensa yang terletak

di bawah kapsul bagian anterior, dan meluas ke ekuator. Sel epitel ini bermitosis dan

pada bagian ekuator berelongasi memanjang menjadi serat lensa yang membentuk

korteks lensa. Hal ini terjadi terus menerus seumur hidup, tanpa ada serat yang
dikeluarkan dari lensa sehingga susunan lapisan serat tersebut semakin padat di

tengah, membentuk nukleus lensa. Proses mitosis dan elongasi sel ini terjadi terus

menerus seumur hidup setelah pubertas, tanpa ada serabut yang dikeluarkan dari

lensa. Oleh karena serabut – serabut ini tumbuh dengan arah konsentrik, susunan

lapisan serabut lensa akan semakin memadat ke tengah, membentuk nukleus lensa.

Nukleus menjadi bagian dengan serabut – serabut yang lebih tua dan terdiri dari zona

– zona yang bersesuaian dengan periode perkembangan zona embrionik (terletak

paling yang lebih tua dan terdiri dari zona – zona yang bersesuaian dengan periode

perkembangan: zona embrionik (terletak paling tengah dan mempresentasikan periode

gestasi 1 – 3 bulan), fetal (3 bulan gestasi sampai lahir), infantil (lahir sampai

pubertas), dan dewasa.5

Sejalan dengan pertambahan usia, komposisi protein di dalam lensa akan

berubah sehingga indeks refraksi dan kejernihannya pun berubah. Sebagian lensa

menjadi lebih miopik dan sebagian lainnya menjadi hipermetropik akibat perubahan

komponen protein tersebut.5

Lensa kristalina adalah sebuah struktur yang pada kondisi normalnya

berfungsi memfokuskan gambar pada retina. Posisinya tepat di sebelah posterior iris

dan disangga oleh serat – serat zonula yang berasal dari korpus ciliare. Serat – serat

ini menyisip pada bagian ekuator lensa membelah sepanjang hidup dan terus

berdiferensiasi membentuk serat – serat lensa baru sehingga serat – serat lensa yang

lebih tua dipampatkan ke nukleus sentral; serat – serat muda, yang kurang padat, di

sekeliling nukleus menyusun korteks lensa. Karena lensa bersifat avascular dan tidak

mempunyai persarafan, nutrisi lensa didapat dari aqueous humor. Metabolisme lensa

terutama bersifat anaerob akibat rendahnya kadar pksigen terlarut di dalam aqueous.5

Mata dapat mengubah fokusnya dari objek jarak jauh ke jarak dekat karena
kemampuan lensa untuk mengubah bentuknya, suatu fenomena yang dikenal sebagai

akomodasi. Elastisitasnya yang alami memungkinkan lensa untuk menjadi lebih atau

kurang bulat (sferis), tergantung besarnya tegangan serat-serat zonula pada kapsul

lensa. Tegangan zonula dikendalikan oleh aktivitas muskulus siliaris, yang bila

berkontraksi akan mengendurkan tegangan zonula. Dengan demikian, lensa menjadi

lebih bulat dan dihasilkan daya dioptri yang lebih kuat untuk memfokuskan objek-

objek yang lebih dekat. Relaksasi muskulus siliaris akan menghasilkan kebalikan

rentetan peristiwa-peristiwa tersebut, membuat lensa mendatar dan memungkinkan

objek-objek jauh terfokus. Daya akomodasi mata adalah kemampuan mata untuk

memfokuskan cahaya dari objek pada berbagai jarak, jauh maupun dekat, untuk

membentuk bayangan yang jelas pada retina. Perubahan bentuk lensa atau akomodasi

dimungkinkan oleh sifat elastisitas lensa, karena lensa sendiri merupakan protein –

protein terlarut yang dibungkus kapsul tipis elastis. Struktur mata yang telibat saat

mata berakomodasi adalah otot siliaris yang berkontraksi, zonula Ziinii yang

berelaksasi, serta lensa yang mencembung.

Kemampuan lensa untuk menjadi bentuk yang lebih cembung atau pipih

ditentukan oleh tarikan dari serat – serat zonula Ziinii. Serat – serat zonula Ziinii

berinsersi ke ekuator lensa dan menghubungkan lensa ke badan siliar. Zonula Ziinii

menstabilkan posisi lensa ke badan tarikan otot siliar yang mengurangi diameter

badan siliar dan tegangan serat – serat zonula Ziinii sehingga lensa dapat berelaksasi

menjadi lebih cembung. Lensa yang lebih konveks (cembung) akan membiaskan

cahaya dengan lebih kuat sehingga dapat memfokuskan cahaya yang datang tepat di

retina. Jarak objek paling dekat yang masih dapat difokuskan mata pada retina disebut

titik dekat penglihatan. Besarnya titik dekat penglihatan bergantung pada elastisitas

lensa. Lensa menjadi lebih kaku seiring bertambahnya usia karena penumpukan
protein – protein dengan berat molekul besar yang tidak larut. Dengan bertambahnya

usia, daya akomodasi lensa akan berkurang secara perlahan-lahan seiring dengan

penurunan elastisitasnya.5

2.3 Definisi Katarak

Katarak adalah setiap kekeruhan pada lensa. Penuaan merupakan penyebab

katarak yang terbanyak, tetapi banyak juga faktor lain yang mungkin terlibat, antara

lain: trauma, toksin, penyakit sistemik (mis., diabetes), merokok, dan herediter.

Katarak akibat penuaan merupakan penyebab umum gangguan penglihatan.3

Katarak adalah kekeruhan lesa akibat sebab apapun, dimana kondisi ini akan

menimbulkan gejala penurunan kualitas fungsi penglihatan berupa penurunan

sensitivitas kontras serta tajam penglihatan. Penurunan kemampuan tajam penglihatan

ini terjadi karena lensa merupakan sebuah organ transparan yang memiliki fungsi

optik untuk memfokuskan sinar masuk ke dalam mata agar jatuh tepat pada retina,

baik dari jarak jauh ataupun dekat. Meskipun memliki penyebab multifaktoral, proses

penuaan merupakan penyebab utama. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus serta

pemakaian obat – obatn khususnya yang mengandung steroid, juga banyak

berhubungan dengan percepatan timbulnya katarak.1

2.4 Klasifikasi Katarak

2.4.1 Katarak Berdasarkan Usia

a. Pediatrik

Katarak pediatrik dapat terjadi secara kongenital atau didapat.

Kekeruhan lensa yang signifikan secara visual, yang terjadi sebelum

perkembangan refleks fiksasi (sebelum usia 2 – 3 bulan), mempunyai


dampak lebih berat pada perkembangan visual anak dibandingkan

kekeruhan yang didapat belakangan.1

Angka kejadian katarak kongenital adalah sebesar 1 dari 250

kelahiran hidup, dengan 2/3 dari kasus – kasus tersebut bersifat bilateral.

Kira – kira 10% kebutaan pada anak diakibatkan oleh katarak.1

Katarak kongenital dapat disebabkan mutasi genetik (biasanya

dominan autosomal), kelainan kromosom (sindrom Down), infeksi

intrauterin, atau kelainan metabolik. Katarak kongenital bisa juga terjadi

sebagai bagian dari kelainan perkembangan mata yang kompleks seperti

disgenesis segmen anterior. Katarak yang bersifat didapat biasanya

disebabkan karena trauma, atau katarak yang diinduksi radiasi atau

steroid, inflamasi/uveitis.3

b. Katarak Senil

Katarak senil adalah semua kekeruhan lensa yang terdapat pada

usia lanjut, yaitu usia di atas 50 tahun kadang-kadang pada usia 40 tahun.

Perubahan yang tampak ialah bertambah tebalnya nukleus dengan

berkembangnya lapisan korteks lensa. Secara klinis, proses ketuaan lensa

sudah tampak sejak terjadi 
pengurangan kekuatan akomodasi lensa

akibat mulai terjadinya sklerosis lensa yang timbul pada usia dekade 4

dalam bentuk keluhan presbiopia.3

2.4.2 Katarak Menurut Derajat Kekeruhan

a. Katarak Inisipien

Kekeruhan berupa bercak – bercak seperti baji dengan

dasar di perifer dan daerah jernih di antaranya. Kekeruhan


biasanya terletak di korteks anterior atau posterior. Kekeruhan

ini mula – mula hanya dapat tampak bila pupil dilebaarkan

sedangkan pada stadium lanjut puncak baji tampak pada pupil

normal.4

b. Katarak Matur

Katarak matur adalah bentuk katarak yang seluruh

proteinnya telah mengalami kekeruhan. Kekeruhan yang telah

mengenai seluruh masa lensa. Kekeruhan ini bisa terjadi akibat

deposisi ion Ca yang menyeluruh.3

c. Katarak Imatur

Kekerhan yang belum mengenai seluruh apisan lensa, sehingga

masih ditemukan bagian – bagian jernih. Pada keadaan ini ddapat

terjadi hidrasi korteks hingga lensa akan mencembung dan daya

biasnya akan menyebabkan bilik depam mata menjadi dangkal dan

dapat memberikan penyulit glaucoma. Hal ini disebut katarak

intumesen.3

d. Katarak Hipermatur

Terjadi akibat korteks yang mencair sehingga masa

lensa ini dapat keluar melalui kapsul. Akibat pencairan korteks

ini maka nucleus tenggelam kearah bawah. Lensa akan

mengeriput. Akibat masa lensa yang keluar ke dalam bilik mata

depan maka dapat timbul penyulit berupa uveiis fakotoksik atau

glaukoma fakolitik.3

2.4.3 Katarak Menurut Lokasi Kekeruhan

a. Katarak kortikal adalah kekeruhan pada korteks lensa.


Perubahan hidrasi serat lensa menyebabkan terbentuknya celah-celah

dalam pola radial di sekeliling daerah ekuator. Katarak inicenderung

bilateral, tetapi sering asimetrik. De- rajat gangguan fungsi-

penglihatan bervariasi, tergantung seberapa dekat kekeruhan lensa

dengan sumbu penglihatan.3

b. Katarak subkapsular posterior terdapat pada korteks di dekat

kapsul posterior bagian sentral. Di awal perkem- bangannya, katarak

ini cenderung menimbulkan gang- guan penglihatan karena adanya

keterlibatan sumbu penglihatan. Gejala-gejala yang umum, antara

lain "glare" dan penurunan penglihatan pada kondisi pencahayaan

yang terang. Kekeruhan lensa di sini dapat timbul akibat trauma,

penggunaan kortikosteroid (topikal atau sistemik), peradangan, atau

pajanan radiasi pengion.3

2.5 Definisi Katarak Traumatik

Katarak traumatik merupakan katarak yang terjadi akibat cedera pada mata

dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari

ataupun beberapa tahun.6 Katarak traumatik ini dapat terjadi akut, subakut, ataupun

gejala sisa dari trauma mata.7

2.6 Epidemiologi Katarak Traumatik

Di Amerika Serikat terjadi kurang lebih sebanyak 2,5 juta trauma mata per

tahun. Diperkirakan sebanyak kurang lebih 4-5% dari jumlah tersebut akan menjadi

trauma mata sekunder.7 Perbandingan laki-laki dan perempuan yang mengalami

katarak traumatik adalah 4:1. Kelompok usia yang paling sering terkena adalah anak-
anak dan dewasa muda. Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Eye

Trauma System antara tahun 1985-1991, rerata usia penderita katarak traumatik

adalah usia 28 tahun dari 648 kasus yang berhubungan dengan trauma mata.7

2.7 Etiologi Katarak Traumatik

Katarak traumatik paling sering dikarenakan oleh benda asing dilensa atau

trauma tumpul terhadap bola mata.5 Penyebab katarak traumatik paling sering adalah

peluru senapan angin dan petasan sedangkan penyebab katarak traumatik yang jarang

adalah batu, anak panah, kontusio, overexposure panas (glassblower’s cataract), sinar

X dan bahan radioaktif.5,7

2.8 Patofisiologi Katarak Traumatik

2.8.1 Trauma tumpul

Apabila terjadi trauma akibat benda keras yang cukup kuat mengenai

mata dapat menyebabkan lensa menjadi opak. Salah satu contohnya trauma

yang disebabkan oleh benturan dengan bola keras. Bila ditemukan katarak

unilateral, maka harus dicurigai kemungkinan adanya riwayat trauma

sebelumnya, namun hubungan sebab dan akibat tersebut kadang cukup sulit

untuk dibuktikan dikarenakan tidak adanya tanda-tanda lain yang dapat

ditemukan mengenai adanya trauma sebelumnya.8

Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun

posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula

dalam bentuk katarak tercetak (imprinting) yang disebut cincin Vossius.6

Cincin Vossius merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat dibelakan

pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma yang merupakan deposit
pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah suatu trauma seperti suatu

stempel jari. Cincin hanya menunjukkan bahwa mata sudah mengalami suatu

trauma tumpul.

Gambar Katarak traumatik “bentuk- Gambar Katarak traumatik dengan


bintang” di bagian posterior lensa. Ini kapsul anterior yang mengeriput
biasanya terjadi karena kontusio okular
dan hanya bisa dideteksi melalui pupil
yang terdilatasi dengan baik.

8
Gambar Jejak pigmen iris pada Gambar 1. Cincin Vossius
permukaan anterior lensa

2.8.2 Trauma tembus

Trauma tembus akan menimbulkan katarak yang lebih cepat, perforasi

kecil akan menutup dengan cepat akibat proliferasi epitel sehingga bentuk

kekeruhan terbatas kecil. Trauma tembus besar pada lensa akan

mengakibatkan terbentuknya katarak dengan cepat disertai dengan terdapatnya


masa lensa di dalam bilik mata.6 Pada keadaan keadaan ini akan terlihat secara

histopatologik masa lensa yang akan difagosit makrofag dengan cepatnya,

yang dapat memberikan bentuk endoftalmitis fakoanalitik. Lensa dengan

kapsul anterior saja yang pecah akan menjerat korteks lensa sehingga akan

mengakibatkan terbentuknya cincin Soemering atau bila epitel lensa

berproliferasi aktif akan terliat mutiara Elschnig.6

Gambar 2. Cincin Soemring dan Mutiara Elschnig9

2.9 Manifestasi Klinis Katarak Traumatika

Gambaran klinis yang dapat ditemui antara lain adalah:10

1. Penurunan ketajaman visus

Katarak secara klinis relevan jika menyebabkan penurunan signifikan

pada ketajaman visual, baik itu dekat maupun jauh. Biasanya akan ditemui

penurunan tajam penglihatan dekat signifikan dibanding penglihatan jauh,

mungkin disebabkan oleh miosis akomodatif. Jenis katarak yang berbeda

memiliki tajam penglihatan yang berbeda pula. Pada katarak subkapsuler

posterior dapat sangat mengurangi ketajaman penglihatan dekat menurun

daripada penglihatan jauh. Sebaliknya katarak nuklear dikaitkan dengan tajam

penglihatan dekat yang tetap baik dan tajam penglihatan jauh yang buruk.
Penderita dengan katarak kortikal cenderung memperoleh tajam penglihatan

yang baik.

2. Silau

Seringkali penderita mengeluhkan silau ketika dihadapkan dengan

sinar langsung. Biasanya keluhan ini ditemukan pada katarak subkapsuler

posterior dan juga katarak kortikal. Jarang pada katarak nuklearis

3. Sensitivitas kontras

Sensitivitas kontras dapat memberikan petunjuk mengenai kehilangan

signifikan dari fungsi penglihatan lebih baik dibanding menggunakan

pemeriksaan Snellen. Pada pasien katarak akan sulit membedakan ketajaman

gambar, kecerahan, dan jarak ruang sehingga menunjukkan adanya gangguan

penglihatan.

4. Pergeseran miopia

Pasien katarak yang sebelumnya menggunakan kacamata jarak dekat

akan mengatakan bahwa ia sudah tidak mengalami gangguan refraksi lagi dan

tidak membutuhkan kacamatanya. Sebaliknya pada pasien yang tidak

menggunakan kacamata, ia akan mengeluhkan bahwa penglihatan jauhnya

kabur sehingga ia akan meminta dibuatkan kacamata. Fenomena ini disebut

pergeseran miopia atau penglihatan sekunder, namun keadaan ini bersifat

sementara dan terkait dengan stadium katarak yang sedang dialaminya.

5. Diplopia monokuler

Pada pasien akan dikeluhkan adanya perbedaan gambar objek yang ia

lihat, ini dikarenakan perubahan pada nukleus lensa yang memiliki indeks

refraksi berbeda akibat perubahan pada stadium katarak. Selain itu, dengan
menggunakan retinoskopi atau oftalmoskopi langsung, akan ditemui perbedaan

area refleks merah yang jelas terlihat dan tidak terlalu jelas.

2.10 Diagnosis Katarak Traumatika

2.10.1 Anamnesis

Keluhan utama pasien bervariasi tergantung dari mekanisme terjadinya

trauma. Pada trauma tumpul biasanya pasien mengeluh berkurangnya

penglihatan yang terjadi secara progresif sedangkan pada trauma tajam

penglihatan pasien berkurang secara tiba-tiba. Pada anamnesis penting untuk

menanyakan onset, durasi dan mekanisme trauma ataupun penyebab trauma.

Selain itu juga perlu menanyakan apakah ada penglihatan ganda atau diplopia,

riwayat operasi mata maupun penyakit glaukoma.10,11

2.10.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh perlu dilakukan termasuk

pemeriksaan saraf kranialis, khususnya pada kasus yang berhubungan dengan

onset akut diplopia. Penting juga untuk melakukan prosedur ABC (Airway,

Breathing, Circulation) pada kasus dengan trauma multipel.11

Pemeriksaan fisik pada mata yang dilakukan yaitu:11

a. Visus: visus yang bisa dikoreksi maupun tidak bisa membantu untuk

merencanakan terapi apa yang dibutuhkan terutama pada onset awal

terjadinya katarak. Penting juga untuk melihat proyeksi pantulan cahaya

pada retina karena dapat menilai ada atau tidaknya komplikasi pada segmen

posterior dari trauma tumpul seperti retinal detachment.


b. Bola mata: deviasi okular dan pergerakan uniocular maupun binokular

perlua diperiksa.

c. Palpebra: dapat ditemukan adanya laserasi ataupun jaringan parut atau scar,

pada bola mata perlu menilai pergerakan dan ada tidaknya deviasi.

d. Konjungtiva: menilai ada tidaknya subconjunctival hemorrhage, kemosis

ataupun scar.

e. Kornea: pada pemeriksaan menggunakan slit lamp penting untuk menilai

ada tidaknya cornea clouding/edema, perforasi, scar, sutura pada perforasi

yang sudah sembuh dan korpus alienum di daerah intrastromal.

f. Sklera: menilai ada tidaknya perforasi ataupun scar.

g. Kamera okuli anterior: menilai ada tidaknya flare maupun hifema dan

kelainan pada vitreous ataupun lensa.

h. Iris: menilai adanya iridonesis, iridodialisis, sinekia posterior ataupun atrofi

dari iris.

i. Pupil: menilai adanya robekan sfingter, pupil eccentric atau traumatic

mydriasis, bentuk bulat, oval atau irregular, reflex cahaya langsung maupun

tidak langsung juga perlu dinilai. Adanya pupil relative afferent pathway

defect (RAPD) mengindikasikan adanya komplikasi pada segmen posterior

seperti retinal detachment atau neuropati optik traumatika.

j. Lensa: dinilai tipe dan tingkat kekeruhan lensa, kapsul anterior intak atau

rupture. Pada pasien usia muda opasitas biasanya terlokaliksasi dan dimulai

di daerah subkapsular dan akhirnya terletak sangat dalam karena

pembentukan serat lensa yang baru. Pada pasien usia lanjut, biasanya

katarak lebih difus dan progresif karena proses degenerasi katarak senilis.
Klasifikasi katarak traumatik berdasarkan bentuknya yang disebabkan

oleh trauma tumpul:

a. Vossius Ring

Vossius ring adalah deposisi pigmen iris pada epikapsular lensa.

Cincin berwarna merah kecoklatan, terletak berhubungan dengan

lubang pupil lebarnya kurang lebih 1 mm, terbentuk karena miosis

yang ekstrim pada saat trauma. Cincin juga terkadang terbagi dalam

segmen karena kontriksi permukaan iris posterior. Pada beberapa

waktu, dapat ditemukan cincin ganda karena kontriksi pupil yang tiba-

tiba lalu didilanjutkan dengan dilatasi pupil.

Gambar 2.10 Vossius Ring11

b. Localized Subcapsular Opacities

- Disseminated subepithelial opacity: opasitas kecil, seperti serpihan

pada subkapsular anterior. Dapat juga tampak opasitas yang luas,

bulat, dan berlapis disebut juga Cataract Nodiformis.


- Cobweb opacity: tampak opasitas yang difus pada subkapsular, banyak

pada pasien usia muda.

- Zonular (Lamellar) opacity: muncul sebagai hasil opasitas yang

tersebar luas di atas lensa. Densitas berbeda-beda dengan batas

ireguler.

- Early Rosette cataract: terjadi dalam waktu singkat setelah trauma

(beberapa jam sampai beberapa minggu), terlihat droplet yang

terbentuk diantara serat lensa yang kemudian membentuk sinar pararel

yang memancar dari garis sutura yang gelap. Pada cedera yang ringan,

tampak translusen dan menghilang dalam beberapa hari.

- Late Rosette cataract: muncul beberapa tahun setelah trauma. Terletak

dalam di korteks atau nukleus yang disebabkan karena

kerusakanminimal pada serat subkapsular. Sutura tampak diantara

kelopak yang dibentuk oleh potongan cahaya dari dua sutura yang

berdampingan.

2.10.3 Pemeriksaan Penunjang Katarak Traumatika

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:

a. Funduskopi: Dialisis retinal, robekan retina raksasa dengan retinal

detachment dan lubang pada makula dapat terjadi akibat trauma.

Oftalmoskopi indirek dengan indentasi perifer harus dilakukan. Dapat pula

ditemukan commotio retinar, avulsi diksus optikus, atau nerupati optik

traumatika.

b. Tekanan Intra Okular: dapat meningkat karena reseksi atau subluksasi atau

kerusakan pada trabecular, tekanan intraocular juga dapat menurun pada


perforasi dari bola mata atau hilangnya vitreous humor. Pada kasus trauma

akut biasanya tekanan intraocular rendah karena syok silier.

c. Gonioskopi: reseksi sudut, pigmentasi, siklodialisis, dialisis zonular dan

trabekular dapat tampak.

d. Ultrasonografi: untuk menilai segmen posterior bila mata

e. X-ray orbita: untuk melihat cedara orbital ataupun fraktur tulang orbita.

2.11. Diagnosis Banding Katarak Traumatika

a. Katarak Uveitik

Katarak adalah salah satu komplikasi pada pasien dengan uveitis.

Pembentukan katarak pada uveitis biasanya disebabkan oleh inflamasi

yang tidak terkontrol dan penggunakan kortikosteroid baik topikal

maupun sistemik.12

b. Glaucomafleckens

Glaucomaflecken adalah epitel putih keabuan dan opasitas korteks lensa

anterior yang terjaid setelah episode meningkatnya TIO yang bermakna,

seperti pada glaukoma akut sudut tertutup. Secara histopatologi,

glaucomflecken terdiri dari sel epitelial lensa yang nekrosis dan korteks

subepiteliat yang mengalami degenerasi.13

2.12 Penatalaksanaan Katarak Traumatik

Penatalaksanaan katarak traumatik tergantung kepada saat terjadinya. Bila

terjadi pada anak sebaiknya dipertimbangkan akan kemungkinan terjadinya

amblyopia. Untuk mencegah amblyopia pada anak dapat dipasang lensa intra ocular
primer atau skunder. Apabila tidak terdapat penyulit maka dapat ditunggu sampai

mata menjadi tenang. Bila terjadi penyulit seperti seperti glaucoma, uveitis, dan lain

sebagainya maka segera dilakukan ekstraksi lensa. Penyulit uveitis dan glaucoma

sering dijumpaia pada orang usiaa tua. Pada beberapa pasien dapat terbentuk cincin

sommering pada pupil sehinggaa dapat mengurangi tajam penglihatan. Keaadaan

sepertidapat disertai dengan perdarahan, aablasi retina, uveitis, atau salah letak lensa.

Harus diberikan antibiotic sistemik dan topical serta kortikosteroid topical dalam

beberapa hari untuk memperkecil kemungkinan infeksi dan uveitis. Aatropin sulfat

1% 1 tetes 3 kali sehari, dianjurkan untuk menjaga pupil tetap berdilatasi dan untuk

mencegah pembentukan sinekia posterior.14

Katarak dapat dikelurkan pasa saat pengeluaran benda asing atau setelah

peradangan mereda. Apabila terjadi glaucoma selama periode menunggu, bedah

katarak jangan ditunda walaupun masih terdapat peradangan. Untuk mengeluarkan

katarak traumatic, biasanya digunakan teknik-teknik yang sama dengan yang

digunakan untuk mengeluarkan katarak kongenital, terutama pada pasien berusia

kurang dari 30 tahun.

Indikasi penatalaksanaan pembedahan pada kasus-kasus katarak traumatik

adalah sebagai berikut:

a. Penurunan visus yang berat

b. Hambatan penglihatan Karena proses patologis pada bagian posterior

c. Inflamasi yang diinduksi lensa atau terjadinya glaucoma

d. Ruptur kapsul dengan edema lensa

e. Keadaan patologis okular lain yang disebabkan trauma dan membutuhkan

tindakan bedah
Metode fakoemulsifikasi standar dapat dilakukan jika kapsul lensa intak dan

integritas dari zonular cukup. Ekstraksi katarak intrakapsular diperlukan pada kasus-

kasus dislokasi anterior atau instabilitas zonular yang ekstrem. Dislokasi anterior

lensa ke bilik anterior meupakan suatu keadaan emergensi yang harus segera

dilakukan tindakan (removal), karena dapat menyebabkan pupillary block glaucoma.

Lesentomi dan virektomi pars plana dapat menjadi pilihan terbaik pada kasus-kasus

rupture kapsul posterior. Dislokasi posterior, atau instabilitas zonular yang ekstrem.14

2.12.1 Teknik Operasi

Operasi dilakukan untuk 1 mata sekali operasi. Prosedur yang sama bisa

dilakukan jika setelah sekitar 1 minggu mata yang pertama kali di operasi telah

stabil.15

a. Intracapsular Cataract Extraction

Intracapsular cataract extraction digunakan hanya jika terjadi subluksasi lensa

atau dislokasi lensa. Seluruh lensa dibekukan dalam kapsul dengan cryophake dan di

buang dari mata melalui sayatan besar kornea superior.

b. Extracapsular Cataract Extraction


Extracapsular cataract extraction dengan implantasi dari intraocular lens

(IOL) di posterior chamber adalah sebagai metode operasi pilihan utama untuk

sekarang ini. Pengangkatan nucleus dan cortex dengan membuka kapsul anterior yang

lebar; 9-10mm, dan meninggalkan pembungkusnya atau dengan melakukan

pembukaan anterior kapsul (capsularrhexis), kemudian hanya korteks dan nukleus

yang dibuang (extracapsular extraction), kapsul posterior dan zonula dipertahankan

tetap utuh. Ini menyediakan dasar yang stabil untuk implantasi lensa intraocular di

chamber posterior atau dengan kata lain lensa di angkat dengan meninggalkan

kapsulnya.

c. Phacoemulsifikasi

Sekarang ini metode phacoemulsification adalah metode yang lebih disukai

untuk menghilangkan nukleus. Dimana nukleus sangat sulit sehingga seluruh nukleus

harus di express atau di aspirasi. Kemudian bagian lembut dari korteks dikeluarkan

oleh alat penghisap dengan aspirator ataupun irrigator. Kemudian kapsul posterior di
perhalus dan IOL di implantaasikan di kantong kapsul yang

kosong.Phacoemulsification dan implantasi IOL hanya membutuhkan insisi yang

panjangnya 3-6 mm. dimana teknik menembus yang digunakan untuk membuat

sayatan ini tidak memerlukan jahitan dikarenakan luka akan menutup dengan

sendirinya.

Keuntungan lebih dari intracapsular cataract extraction adalah dikarenakan

extracapsular cataract extraction biasanya tidak mencapai exposur yang luas dari

retina seperti intracapsular cataract extraction, terutama apabila ada katarak skunder.

Namun extraocular cataract extraction mempertahankan integritas anterior dan

posterior bilik mata, serta badan vitreous tidak bisa prolaps setelah ekstraksi katarak

intrakapsular.16,17

2.13 Komplikasi Katarak Traumatik

Bila katarak dibiarkan maka akan terjadi komplikasi berupa glaukoma dan

uveitis. Glaukoma adalah peningkatan abnormal tekanan intraokuler yang

menyebabkan atrofi saraf optik dan kebutaan bila tidak teratasi (Doenges, 2000).

Uveitis adalah inflamasi salah satu struktur traktus uvea (Smeltzer, 2002).

Dapat juga terjadi komplikasi antara lain:18

- Dislokasi lensa dan subluksasi sering ditemukan bersamaan dengan katarak

traumatic.

- Komplikasi lain yang dapat berhubungan, seperti phakolitik, phakomorpik, blok

pupil, glaucoma sudut tertutup, uveitis, retina dsetachment, ruptur koroid, hipema

perdarahan retobulbar, neurophati optik traumatik.

2.14 Prognosis Katarak Traumatik


Prognosis dari katarak traumatik bergantung dari besarnya cedera.18

DAFTAR PUSTAKA

1. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. 14th ed.
Jakarta: EGC; 2010.
2. Ilyas S. Penyakit Mata. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.

3. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
4. Riset Kesehatan Dasar 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.
5. Sitorus R, Sitopul R, Widyawati S, Banni A. Buku Ajar Oftalmologi
Universitas Indonesia. Edisi Pertama. 2017. Jakarta: Balai Penerbit
Universitas Indonesia.

6. Karla J, Feder R, Bowes M, Marianette J. Basic and Clinical Science Course


Lens and Cataract. Section 11. 2003. San Fransisco: American Academy of
Ophtalmology.

7. Wiordhan P, Whitcher J. Vaughan & Asbury Oftalmology Umum. Edisi 17.


2017. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8. Ilyas S, Tanzil M, Salamun, Azhar Z. Sari Ilmu Penyakit Mata. 2008. Jakarta:
Balai Penerbit Universitas Indonesia.

9. Augsburger J, Asbury T. Lensa. Dalam: Eva PR, Witcher JP. Vaughan &
Asbury Oftalmologi Umum, Edisi 17. Jakarta: EGC. 2009. Hal 169-174.
10. Ilyas S. Penyakit Mata. Edisi kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. 2014.

11. Graham RH. Traumatic cataract clinical presentation. 2012. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1211083-clinical (diakses pada tanggal
21 Oktober 2018).

12. Ezeddin HP. Katarak Traumatik, Fakultas Kedokteran Universitas Riau.


Pekanbaru. 2010

13. Edward SH. Digital Reference of Ophthalmology- Traumatic Cataract.


Available from http://dro.hs.columbia.edu/lc2/soemmeringb.jpg (diakses pada
tanggal 24 Oktober 2018).

14. Sitorus RS, et al. (Ed). Buku Ajar Oftalmologi. Jakarta: BP FKUI. 2018

15. Singha D, Falera R, Kaur M. “Traumatic Cataract” in Maharana PK, Sharma


N, Kumar A (Eds). Ophthalmology Clinics for Postgraduates. Medical
Publisher Jaypee Brothers: 2017

16. Garcia AR, et al. Uveitis Cataract. American Association of Ophthalmology.


December 16th, 2015.

17. American Academy of Ophthalmology. Glaukomflecken. AAO.2018

18. Bruce James, Chris Chew, Anthony Bron. (2003). Lecture Notes on
Ophthalmology, Ninth Edition. Hong Kong.
19. Seung-II Lee, Hyo-Cheol Song. A Case of IsolatedPosterior Capsule Ruptureand
Traumatic Cataract Caused by Blunt Ocular Trauma. Department of
Ophthalmology, Dongkang Hospital, Ulsan, Korea. Available from:
http://ekjo.org/Synapse/Data/PDFData/0065KJO/kjo-15-140.pdf
20. P. T. Khaw, P. Shah, A. R. Elkington. ABC of Eyes, Fourth Edition. London:
BMJ Books. 2004. P50-51
21. T. Schlote, J. Rohrbach, M. Grueb, J. Mieke. Pocket Atlas of Ophthalmology.
Thieme. 2006. P165-197
22. Robert H Graham, Hampton Roy Sr. Traumatic Cataract. Update: sep 2, 2014.
Medscape. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1211083-
overview#a0101

Anda mungkin juga menyukai