Anda di halaman 1dari 11

ATHROSCOPY SHOULDER

Kode ICD : 80.21

A. Pengertian

Athroscopy shoulder merupakan prosedur oprasi yang digunakan dokter


tanpa membuat incisi yang besar pada kulit dan jaringan jaringan lunak untuk
memeriksa, mendiagnosis, dan memperbaiki masalah dalam di shoulder joint.
Kemudian dokter akan menggunakan kamera atau athroscope kedalam shoulder
joint, kamera menampilkan gambar di layar televisi dan dokter bedah
menggunakannya sebagai panduan. Incisi yang kecil berfungsi untuk menurunkan
tingkat nyeri dan kekakuan sendi pada pasien, dan tidak membutuhkan waktu
lama dalam penyembuhan.

Gambar 1. (kanan) dokter sedang sedang melakukan atroscopy shoulder dengan melihat
monitor sebagai panduan. (kiri) dokter bedah memasukan arthroscope dan alat bedah dengan incisi
kecil disebut “Portals”.

B. Epidemiologi

Suatu penelitian di salah satu Rumah Sakit di Irlandia melaporkan bahwa


ada sekitar 830 pasien yang menjalani pemeriksaan arthroscopic shoulder mereka
pada tahun 2012. Pada tahun 2012, prosedur yang paling umum adalah
'dekompresi artroskopi dari ruang subakromial' (38,0%), 'rekonstruksi
arthroscopic bahu' (30,0%), artroskopi (11,8%) dan 'stabilisasi artroskopik bahu'
(11,5%). Pada 2012, diagnosis utama - pada saat artroskopi bahu - dikodekan
sebagai 'lesi bahu' pada 57,6%; diagnosis yang paling sering dikodekan berikutnya
adalah ‘gangguan sendi lain, tidak dirinci di tempat lain’ (21,3%), ‘gangguan
sendi lain’ (14,4%), ‘arthrosis lain’ (3,0%) dan lain-lain (3,8%).
C. Etiologi

Athroscopy shoulder dianjurkan pada kondisi nyeri yang tidak menanggapi


pengobatan non-bedah. Perawatan non-bedah meliputi seluruh, terapi fisik, dan
obat-obatan atau jenis suntikan yang dapat mengurangi peradangan. Athroscopy
shoulder dapat mengurangi gejala nyeri dari banyak masalah yang merusak
tendon rotator manset, labrum, tulang rawan artikular, dan jaringan lunak lainnya
di sekitar sendi. Prosedur athroscopy yang umum meliputi :

 Repair rotator cuff


 Removal bone spur
 Removal atau repair labrum
 Repair ligament
 Removal jaringan yang inflamasi dan kartilago yang melonggar
 Repair dislokasi shoulder

Gambar 2. (kiri) menunjukan shoulder joint dalam keadaan normal. Sementara yang (kiri)
menunjukan adanya inflamasi akibat frozen shoulder.

D. Anamnesis

Pasien pria dengan usis 42 tahun datang dengan keluhan sakit pada bahu
bagian kanan, dan sering melakukan latihan tennis selama 4 bulan terakhir. Dan
mengeluh bahwa ada nyeri ketika melakukan gerakan tangan kebelakang dan
mengangkat tangan dan nyeri saat menggerakan bahunya kearah internal rotasi.

E. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
a. Oedema
b. Atrofi otot
c. Asimetris shoulder
d. Adanya bekas luka
e. Ecchymosis
2. Palpasi
a. Nyeri
b. Atrofi otot
c. Joint tenderness
3. Tes gerak

Gerakan fleksi 90 derajat terbatas abduksi dan terbatas internal rotasi


4. Pemeriksaan penunjang

Gambar 3. Menunjukan hasil dari X-Ray pada shoulder bagian kanan


F. Penegakan diagnosa
1. Activity limitation
a. Kesulitan dalam mengagkat tanagn
b. Kesulitan dalam dressing
c. Kesulitan dalam mengambil barang yang ada diatas
d. Kesulitan dalam menyisisir
2. Body function & structure impairment
a. Nyeri
b. Penurunan kekuatan otot
c. Keterbatasan lingkup gerak
3. Participation restriction
a. Keterbatasan dalam berolahraga mengenakan tanagn
b. Keterbatasan dalam bekerja
c. Keterbatasan dalam beribadah secara fungsional
4. Faktor internal dan eksternal
a. Faktor internal
Gangguan tendon, busra, kapsul sendi, rotator cuff, labrum.
b. Faktor eksternal
Kecelakaan lalu lintas, trauma jatuh dari ketinggian.
5. Diagnosis fisioterapi
Adanya keterbatasan gerak fungsional yang disebabkan athroscopy
shoulder dan karena adanya capsular pattern.
6. Prognosis
Prognosis post oprasi athroscopy shoulder bila tanpa komplikasi dengan
latihan fisioterapi secara dini dan tepat maka kapasitas fisik dan
kemampuan fungsional akan kembali normal.

G. Rencana penatalaksanaan

1. Tujuan
Mencegah kelemahan otot, menurunkan nyeri dan mengembalikan aktifitas
fungsional.
1. Prinsip
a. Menurunkan nyeri
b. Meningkatkan ROM
c. Meningkatkan kekuatan otot
d. Perbaikan posture
2. Edukasi
Menyarankan kepada pasien untuk melakukan pola latihan sendiri apabila
sudah di izinkan pulang ke rumah latihan Menggerakan flexi shoulder,
abduksi shoulder, dan internal rotasi shoulder maupun eksternal rotasi.
3. Penatalaksanaan fisioterapi
 Gunakan sling selama 1-2 minggu setelah operasi kecuali dinyatakan
lain.
 Pemeliharaan posisi postural yang baik ketika melakukan semua
exercise
 Pengondisian aerobik selama proses rehabilitasi
 Semua active exercise harus dipantau secara hati-hati untuk
meminimalkan substitusi atau kompensasi.
a. Pada minggu pertama post-op
i. Manual :
1. Mobilisasi jaringan lunak ke jaringan sekitarnya, effleurage untuk
oedema.
2. Passive ROM untuk semua bidang sebagai ditoleransi.
ii. Exercise :
1. Fleksi & ekstensi elbow, wrist dan penguatan lengan bawah.
2. Stretch cervical, scapular squeezes, dan lower trap squeezes
3. Penting untuk lepas dari sling untuk fleksi & ekstensi elbow selama
10-15 kali, setiap kali untuk meminimalkan adanya pembengkakan
pada tangan maupun lengan.
4. Latihan kardiovaskuler
b. Minggu 2-5
i. Manual :
1. Lanjutkan treatment jaringan lunak, pasive ROM, glide scapula, dan
mobilisasi ringan pada shoulder
2. Kontrol nyeri ( cryotherapy, massage, electrical stimulation )
ii. Exercise :
1. Latihan isometrik
2. Lakukan gerakan active ROM
3. Latihan kekuatan scapula dengan therabend
4. Lakukan gerakan trunk fleksi & ekstensi
c. Minggu 4-6
i. Manual :
1. Lanjutkan sesuai kebutuhan jaringan lunak fascia, dan mobilitas sendi
ii. Exercise :
1. Latihan strengthening dengan weight bearig, therabend,dan latihan
gym
d. Minggu 6-8
i. Manual :
1. Lanjutkan sesuai kebutuhan jaringan lunak fascia, dan mobilitas sendi
ii. Exercise :
1. Lakukan penguatan rotator cuff dalam berbagai bidang gerak ( wall
ball dribbling, step ups / downs in plank, prone scapula strengthening
with weight )
e. Minggu 8+
i. Mulailah pelatihan khusus olahraga yang ditoleransi tanpa
rasa sakit
ii. Lanjutkan strengthening, latihan endurance, dan kebugaran
secara keseluruhan.
4. Sarana & prasarana
a. Sarana
Bed, mitela
b. Prasarana
Ruang fisioterapi
5. REFERENSI
 https://verywellhealth.com/exercises-after-shoulder-arthroscopy
 https://orthoinfo.aaos.org/en/treatment/shoulder-arthroscopy/
 Health Information and Quality Authority An tUdaras Um
Fhaisneis agus Coiliocht Slainte, (2014). Assessment of
Scheduled Procedures Shoulder arthroscopy.
 Anita G. Rao, MDa, Atsushi Yokota, MD, PhD Edward G.
McFarland, MD, Department of Orthopedic Surgery, Northwest
Permanente PC, Physicians and Surgeons, PC, 500 NE
Multnomah, Suite 100, Portland, OR 97232, USA, Department of
Orthopedic Surgery, Oregon Health and Science University,
Portland, OR, USA, ivision of Sports Medicine and Shoulder
Surgery, Department of Orthopedic Surgery, The Johns Hopkins
University, 10753 Falls Road, Suite 215, Lutherville, MD 21093,
USA. Shoulder arthroscopy: principles and practice, Physical
medicine and rehabilitationclinics of North America.

Laminectomy
Kode ICD : 03.09
Kode ICF :
A. Pengertian
Laminectomy adalah prosedur pembedahan untuk menghilangkan tekanan
pada saraf tulang belakang. Laminektomi melibatkan menghapus suatu bagian dari
tulang mencakup lebih dari bagian belakang kanal tulang belakang, hal ini memerlukan
tekanan dari saraf tulan belakang. Laminektomi juga dapat dilakukan untuk menghapus
taji tulang pada tulang belakang Anda. Laminektomi membuka kanal tulang belakang
Anda sehingga saraf tulang belakang Anda memiliki lebih banyak ruang, ini dapat
dilakukan bersama dengan diskectomy, foraminotomy, dan fusi tulang belakang,
Laminektomi juga sering dilakukan untuk mengobati stenosis tulang belakang.
B. Epidemiologi
Aplikasi retrospektif dari kriteria untuk 196 pasien yang menjalani operasi
untuk herniasi lumbar menunjukkan bahwa hanya 48% yang memiliki indikasi
yang tepat dan bahwa dalam 29% pilihan adalah samar-samar. 23% dari pasien
dianggap memiliki operasi yang tidak sesuai bisa menjadi bukti penggunaan
laminektomi yang terlalu liberal, tetapi hasil kami berbeda dengan hasil yang
dipublikasikan sebelumnya belajar menggunakan kriteria yang dikembangkan
pada tahun 1987 di Amerika Serikat. Ketika kami menerapkan kriteria 1987 ini ke
196 kasus yang sama, menemukan bahwa perawatan bedah dianggap tepat hanya
pada 26% kasus, samar-samar pada 33% dan tidak sesuai pada 41%. Perbedaan
besar ini membuktikan kebutuhan untuk memperbarui kriteria secara periodik dan
berkelanjutan.

C. Etiologi

Berdasarkan etiologi canal stenosis dibagi menjadi stenosis primer dan


sekunder. Stenosis primer dibagi menjadi defek kongenital dan perkembangan.
Sedangkan stenosis sekunder menurut sifatnya dibagi menjadi degeneratif
(spondylolisthesis), iatrogenik yaitu post laminectomy, post artrodesis dan post
disectomy, akibat kumpulan penyakit yaitu acromegaly, paget disease, flurorosis
dan ankylosing spondylitis, post fraktur, penyakit tulang sistemik dan tumor baik
primer maupun sekunder. Presentasi klinis laminektomi :

 Kerusakan akar saraf atau inkontinensia kandung kemih/usus.


 Kelumpuhan tidak biasanya terjadi karena saraf tulang belakang
berhenti di tingkat T12 atau L1, dan biasanya operasi dilakukan di
bawah tingkat ini.
 Kebocoran cairan serebrospinal bisa terjadi saat kantong dural
ditembus. Ini tidak mengubah hasil dari operasi, dan umumnya pasien
harus berbaring selama 24 sampai 48 jam agar kebocoran tertutup..
 Infeksi bisa terjadi; tetapi, biasanya dapat diatur dan disembuhkan
dengan efektif.
 Herniasi ulang pada piringan yang sama

D. Anamnesis
Pasien bernama pungpung berusia 54 tahun, perempuan dengan pekerjaan
penjual nasi sayur. Mengeluh nyeri punggung bawah kanan dan kiri, terasa
kesemutan di kedua kaki dan menjalar dari punggung bawah ke paha
depan sampai jari-jari kaki, semakin kebawah terasa tebal.
E. Pemeriksaan fisisk
a. Inspeksi
 Atrofi otot
b. Palpasi
 Nyeri
 Atrofi otot
c. Tes gerak
Gerakan fleksi terbatas ekstensi lumbal
d. Pemeriksaan penunjang

Gambar 1. Menunjukan penampakan melalui MRI

F. Penegakan diagnosa
a. Activity limitation
 Kesulitan posisi duduk ke berdiri
 Kesulitan berjalan jauh
 Kesulitan dalam dressing ( khususnya memakai celana )
b. Body function & structure impairment
 Nyeri punggung bawah
 Spasme m. Quadratus lumborus & m. erector spine
 Atrofi otot
c. Participation restriction
 Keterbatasan dalam bekerja
 Keterbatasan dalam nerolahraga
 Keterbatasan dalam beribadah secara normal
d. Faktor internal & eksternal
 Faktor internal
e. Diagnosa fisioterapi
Adanya keterbatasan gerak fungsional berjalan, duduk ke berdiri
yang disebabkan karena adanya degenerasi dan laminektomi

G. Rencana penatalaksanaa
1. Tujuan
Tujuan nya adalah menjaga kapasitas fisik dan kondisi pasien dalam
menghadapi sebelum, saat dan setelah dilakukan operasi, mencegah
komplikasi tirah baring lama, menurunkan nyeri dan spasme otot,
menjaga dan meningkatkan kekuatan otot, menjaga dan meningkatkan
lingkup gerak sendi, serta menjaga dan meningkatkan kemampuan
fungsional.

2. Prinsip
 Menurunkan nyeri
 Meningkatkan kekuatan otot
 Meningkatkan lingkup gerak sendi
 Menurunkan spasme otot .

3. Edukasi
Menyarankan kepada pasien untuk melakukan pola latihan sendiri
apabila sudah di izinkan pulang ke rumah latihan duduk berdiri.

H. Penatalaksanaan fisioterapi
a. Deep breathing exercise
Merupakan tindakan yang disadari untuk mengatur pernapasan
secara dalam dan lambat yang dapat menimbulkan efek rileksasi.
Pada saat relaksasi terjadi perpanjangan serabut otot, menurunnya
pengiriman impuls ke saraf otak, menurunnya aktifitas otak, dan
fungsi tubuh yang lain.

b. Active ROM exercise &Manual resistence exercise


Merupakan latihan gerak aktif, maka sarcomer otot yang
memendek akibat spasme dapat teregang kembali dan otot menjadi
lebih rileks dan terpelihara fungsinya. Dengan sarcomer yang
teregang, maka otot akan lebih rileks dan ketegangan menurun
sehingga nyeri dapat berkurang
c. Mc.Kenzie exercise
Merupakan latihan yang menggunakan prinsip dasar penguluran
dan pengguatan otot di daerah punggung bawah, sesuai pernyataan
Susanti. 2010, bahwa ketika otot mendapatkan penguluran, maka
pemanjangan juga terjadi pada komponen yang lain. Setelah itu ada
kerusakan mekanik antara crossbridge filament (actin dan myosin)
seperti ada jarak antara filament-filament tersebut dan pemanjangan
sarcomer terjadi. Ketika penguluran dihilangkan sarcomer tetap
pada posisi memanjang. Kecenderungan otot untuk tetap
memanjang setelah diulur disebut elastisitas.

I. Sarana & prasarana


a. Sarana
Bed dan kursi
b. Prasarana
Ruang fisioterapi

J. Referensi
 Azzahro Qurratan Ayuni, progrm studi diploma III Fisioterapi
Fakultas ilmu kesehatan Universitas Muhamadiyah Surakarta,
2016. PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS
PRE OPERATIVE CANAL STENOSIS AKIBAT
SPONDYLOLISTHESIS VERTEBRA LUMBAL IV DAN V DI
RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA.
 https://bumrungrad.com/id/spine-institute-surgery-bangkok
thailand-best-jci/procedures/laminectomy
 https://www.terapisyarafkejepit.com/laminektomi.htm
 MayfieldClinic.com, Spinal decompression : Laminectomy &
Laminatomy. Mayfield Brain & spine

Anda mungkin juga menyukai