Anda di halaman 1dari 32

Nama Peserta: dr.

Riyan Budianor
Nama Wahana: RSUD Cengkareng
Topik: Tetanus
Tanggal (Kasus): 13 Desember 2016
Nama Pasien: Tn. A No RM: 55-65-51
Tanggal Presentasi: 13 Januari 2016 Nama Pendamping: dr. Hanny Dewajanti
Tempat Presentasi: RSUD Cengkareng
Obyektif Presentasi:
 Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka
 Diagnostik  Manajemen  Masalah  Istimewa
 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja Dewasa  Lansia  Bumil
Deskripsi:
Tn. A, 48 tahun, dibawa oleh keluarga dengan keluhan leher kaku sejak pagi. Tidak ada
pingsan, mual atau pun muntah. Sulit menelan air dan jadi mudah tersedak. Sesak tidak ada.
OS kecelakaan lalu lintas 1 minggu SMRS dengan luka robek pada kaki kanan dan patah
pada jari kaki namun menolak operasi.
 Tujuan: Menentukan diagnosis dan managemen tatalaksana kasus tetanus.
Bahan Bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset  Kasus  Audit
Cara Membahas:  Diskusi  Presentasi dan Diskusi  Email  Pos
Data Pasien Nama: Tn. A No Registrasi: 55-65-51
Terdaftar sejak: 13 Desember
Nama Klinik: IGD Telpon:
2016
Data Utama dan Bahan Diskusi
1. Diagnosis / Gambaran Klinis
Tetanus
2. Riwayat Pengobatan
Pasien belum berobat sebelumnya dan langsung dibawa ke IGD
3. Riwayat Kesehatan / Penyakit
Tn. A, 48 tahun, dibawa oleh keluarga dengan keluhan leher kaku sejak pagi. Tidak ada
pingsan, mual atau pun muntah. Sulit menelan air dan jadi mudah tersedak. Sesak tidak
ada. OS kecelakaan lalu lintas 1 minggu SMRS dengan luka robek pada kaki kanan dan
patah pada jari kaki. Lalu OS dibawa ke RS HERMINA Daan Mogot namun menolak
operasi. Saat di HERMINA OS diberikan vaksinasi tetanus kemudian pulang. Saat di

1
rumah luka tidak dirawat dengan baik. Menurut pasien dan keluarga hal tersebut dirasakan
pertama kalinya. Riwayat tidak sadarkan diri, kebas atau kesemutan pada anggota gerak,
kejang disangkal. Riwayat penyakit lainnya seperti diabetes, penyakit jantung, dan paru
disangkal. Riwayat merokok serta alergi obat-obatan dan makanan disangkal. Riwayat
operasi disangkal.
4. Riwayat Keluarga
• Riwayat penyakit paru, darah tinggi, riwayat diabetes, penyakit jantung, dan ginjal
pada keluarga disangkal

Daftar Pustaka
1. Dire DJ. Tetanus in Emergency Medicine. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/786414-overview. Diakses 4 Januari 2017.
2. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2007.
3. Ismanoe G. Tetanus. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, K MS, Setiati S,
(editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI;
2007.
4. Edlich RF, Hill LG, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Jed H. Horowitz M, et al.
Management and Prevention of Tetanus. Journal of Long-Term Effects of Medical
Implants. 2003;13(3):139-54.
5. Hinfey PB. Tetanus. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/229594-
overview, Diakses 4 Januari 2017.
6. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological
Aspects of Tropical Disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2000;69:292–301.
7. Ogunrin O. Tetanus - A Review of Current Concepts in Management. Journal of
Postgraduate Medicine. 2009;11(1):46-61.
8. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurology India. 2002;50:398-407.
9. Cook T, Protheroe R, Handel J. Tetanus: a review of the literature. British Journal
of Anaesthesia. 2001;87(3):477-87.
10. Sjamsuhidajat R, Jong Wd. Tetanus. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005.
11. Afshar M, Raju M, Ansell D, Bleck TP. Narrative Review: Tetanus—A Health
Threat After Natural Disasters in Developing Countries. Ann Intern Med.
2011;154:329-35.
12. Udwadia F, Sunavala J, Jain M, D'Costa R, Jain P, Lall A, et al. Haemodynamic
Studies During the Management of Severe Tetanus. Quarterly Journal of Medicine,
New Series. 1992;83(302):449-60.
13. Dittrich KC, Keilany B. Tetanus: lest we forget. Canadian Journal of Emergency
Medicine. 2001;3(1):47-50.
14. Taylor AM. Tetanus. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.
2006;6(3):101-4.

2
Hasil Pembelajaran
1. Penegakan diagnosis Tetanus
2. Penatalaksanaan Tetanus
1. Subyektif
Tn. A, 48 tahun, dibawa oleh keluarga dengan keluhan leher kaku sejak pagi (12 jam
SMRS). Tidak ada pingsan, mual atau pun muntah. Sulit menelan air dan jadi mudah
tersedak. Sesak tidak ada. OS kecelakaan lalu lintas 1 minggu SMRS dengan luka robek
pada kaki kanan dan patah pada jari kaki. Lalu OS dibawa ke RS HERMINA Daan Mogot
namun menolak operasi. Saat di HERMINA OS diberikan vaksinasi tetanus kemudian
pulang. Saat di rumah luka tidak dirawat dengan baik. Menurut pasien dan keluarga hal
tersebut dirasakan pertama kalinya. Riwayat tidak sadarakan diri, kebas atau kesemutan
pada anggota gerak, kejang disangkal. Riwayat penyakit lainnya seperti diabetes, penyakit
jantung, dan paru. Riwayat merokok serta alergi obat-obatan dan makanan disangkal.
Riwayat operasi disangkal. Riwayat imunisasi tetanus tidak ada dalam lebih dari 10 tahun.
2. Objektif
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan:
Tanda-tanda Vital :
Keadaan Umum : tampak sakit berat
Kesadaran : GCS : E4M6V5 = 15 compos mentis
Tekanan Darah : 139/77 mmHg
Nadi : 92 kali/menit, teraba kuat, isi cukup.
Pernapasan : 16 kali/menit
Suhu : 36.1 oC
Status Generalis :
Kepala : normocephali, sulit membuka mulut (trismus) terbatas hanya 2 jari
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil bulat, isokor
(3mm/3mm), refleks cahaya +/+
THT : deviasi lidah (-)
Leher : Tidak terdapat jejas, terdapat kaku pada leher dan tidak bisa
menoleh. (kuduk kaku)
Thorax : pergerakan dada simetris
Paru : sonor +/+, bunyi napas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

3
Abdomen : Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), defens muscular (+), massa (-).
Hepar tidak teraba
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-)

Status Neurologis
Status Neurologis
 Kesadaran : GCS : E4M6V5 = 15
Kualitatif : composmentis
 Tanda Rangsang Meningeal :
Kaku kuduk :+
Laseque : negatif
Kerniq : negatif
Brudzinky I : negatif
Brudzinsky II : negatif
 Pupil : bulat, isokor, Ø3mm, RCL +/+ RCTL +/+

Nervus Cranialis :
 N. I (Olfaktorius) : tidak dilakukan pemeriksaan
 N. II (Opticus) : pupil bulat, isokor, Ø3mm, RCL +/+ RCTL +/+. Visus dan
funduskopi tidak dilakukan pemeriksaan
 N. III, IV, dan VI (Occulomotor, Trochlearis dan abdusen) :
Kedudukan bola mata : orthophoria / orthophoria
Pergerakan bola mata
Nasal : dalam batas normal
Temporal : dalam batas normal
Nasal atas : dalam batas normal
Temporal atas : dalam batas normal
Nasal bawah : dalam batas normal
Nystagmus : tidak ditemukan
 N. V ( Trigeminus) : tidak dilakukan pemeriksaan
Cabang motorik :
Cabang sensorik N.VI Oftalmikus :
Cabang sensorik N.VII Maksilaris :

4
Cabang sensorik N.VIII Mandibularis :
 N. VII (facialis)
Motorik
Menutup mata : Simetris
Mengangkat alis : Simetris
Mengerutkan dahi : Simetris
Sudut Mulut : Simetris
Lipatan nasolabial : dalam batas normal
Sensorik
2/3 pengecapan lidah : tidak dilakukan pemeriksaan

 N. VIII (Vestibulo cochlearis)


Vestibular : tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo :-
Nystagmus :-
Koklearis : tidak dilakukan pemeriksaan
Tes Rinne :
Tes Weber : tidak dilakukan pemeriksaan
Scwabach :
 N. IX – X (Glosopharingeus dan Vagus) : tidak dilakukan pemeriksaan
Motorik :
Sensorik :
 N. XI (Aksesorius) : tidak dilakukan pemeriksaan
Mengangkat bahu :
Menoleh :
 N. XII (Hipoglosus) :
Pergerakan lidah : deviasi lidah (-)
Tremor : -/-
Atrofi : -/-
Fasikulasi : -/-
Sistem Motorik
o Tonus : Dextra : Normal | Sinistra : Normal
o Kekuatan : Dextra | Sinistra

5
Ekstremitas Atas (Proksimal-Distal) 5 5
Ekstremitas Bawah (Proksimal-Distal) 5 5

Sistem Sensorik : tidak dilakukan pemeriksaan


Refleks
Fisiologis :
Biceps : +/+
Triceps : +/+
Achilles : +/+
Patologis :
Babinsky : -/-
Chaddock : -/-
Oppenheim : -/-
Hoffman Tromner : -/-
Sistem Otonom :
Miksi : dalam batas normal
Defekasi : hari ini belum defekasi
Fungsi Luhur : tidak dilakukan pemeriksaan

Pemeriksaan Lab. : 13 Desember 2016 20.25 WIB


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi I
Hemoglobin 14,4 g/dL 12 – 14
Hematokrit 41 % 40 – 48
Leukosit 13,3 ribu/µL 5 – 10
Trombosit 385 ribu/µL 150 – 400
Elektrolit
Natrium 148 mmol/L 136 – 146
Kalium 4,2 mmol/L 3,5 – 5,0
Chlorida 109 mmol/L 94 – 111
Kimia Darah
Diabetes
Glukosa Sure Step 109 mg/dL <110

6
Fungsi Ginjal
Ureum 18 mg/dL 15-50
Kreatinin 0,8 mg/dL <1,4
Analisa Gas Darah
pH 7,39 7,35-7,45
pCO2 44 mmHg 35-48
pO2 103 mmHg 83-108
HCO3 26 mmol/L 21-28
SBC 26 22,5-26,9
SBE 2 -1,5 - 3,0
ABE 1 -2 – 3,0
sO2 99 % 95-99%
tCO2 61 Vol %

Radiologi :
- Thoraks

Dalam batas normal

7
- Pedis

Deskripsi : terdapat dislokas phalang distal digiti 3 pedis dextra, fraktur basis
phalang proximal digiti 4 pedis dextra

3. Assessment
Penegakan diagnosis Tetanus Umum dengan derajat sedang pada pasien ini, didasarkan
data yang didapatkan melalui beberapa tahapan pemeriksaan, yaitu anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

Dasar Diagnosis :
GEJALA KLINIS (ANAMNESIS)
Pada anamnesis, didapatkan gejala klinis leher kaku, sulit membuka mulut dan perut
terasa tegang sejak 12 jam SMRS. Luka pada kaki kanan sejak 1 minggu yang lalu.
Gejala dan riwayat ini mengarah kepada diagnosis tetanus umum. Dimana masa
inkubasi C. tetani pada tetanus umum sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari
jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda
pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan
menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar
75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Kemudian
jika dinilai dengan disertai riwayat imunisasi yang tidak ada dalam 10 tahun terakhir

8
serta tidak ada keadaan pemberat pada pasien maka digunakan skor Philips untuk
menilai derajat keparahan.
Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
>14 hari 1
Internal dan umbilical 5
Leher, kepala dan dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1
Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada neonates) 8
Status imunisasi > 10 tahun yang lalu 4
< 10 tahun yang lalu 2
Imunisasi lengkap 0
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 10
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 8
Factor Pemberat Keadaan yang tidak mengancam nyawa 4
Trauma atau penyakit ringan 2
ASA derajat I 1

System scoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan


didasarkan pada empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status
imunisasi, dan factor pemberat. Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan
dan interpretasikan sebagai berikut:
1. Skor < 9 : tetanus ringan
2. Skor 9-16 : tetanus sedang
3. Skor > 16 : tetanus berat
Jadi pasien ini derajata keparahannya adalah tetanus sedang dengan nilai skor Philips
11-14.

9
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan kesadaran compos mentis dengan GCS :
E4M6V5, tampak sakit berat. Tekanan darah 139/77 mmHg .Status generalis terdapat
kuduk kaku dan trismus pada kepala. Abdomen didapatkan defans muscular (+). Pupil
bulat, isokor, Ø 3mm/3mm, RCL +/+. RCTL +/+. Kaku kuduk (+) Pemeriksaan motorik
didapatkan kesan pergerakan normal, tonus masih normal, dengan kekuatan motorik sisi
kanan 5 dan kiri 5 pada ekstremitas superior dan dan motorik sisi kanan 5 dan kiri 5
pada ekstremitas inferior. Pemeriksaan refleks fisiologis dalam batas normal. Refleks
patologis tidak ditemukan. Tidak ditemukan kelainan pada nervus kranialis, meningeal
sign dan sistem otonom.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk menengakkan diagnosa tetanus berupa :
 Pemeriksaan biakan pada luka perlu dilakukan pada kasus tersangka tetanus.
Namun demikian, kuman C. tetani dapat ditemukan di luka orang yang tidak
mengalami tetanus, dan seringkali tidak dapat dikultur pada pasien tetanus. Biakan
kuman memerlukan prosedur khusus untuk kuman anaerobik. Selain mahal, hasil
biakan yang positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti. Hanya sekitar 30%
kasus C. tetani yang ditemukan pada luka dan dapat diisolasi dari pasien yang tidak
mengalami tetanus.

 Nilai hitung leukosit dapat tinggi.

 Pemeriksaan cairan serebrospinal dapat menunjukkan hasil yang normal.

 Kadar antitoksin di dalam darah 0,01 U/mL atau lebih, dianggap sebagai imunisasi
dan bukan tetanus.

 Kadar enzim otot (kreatin kinase, aldolase) di dalam darah dapat meningkat.

Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan hematologi rutin


didapatkan nilai leukosit yang meningkat yaitu 13300 /uL. Pada pemeriksaan elektrolit
darah, GDS, Fungsi Ginjal dan Analisa Gas Darah. Tidak terdapat kelainan yang
bermakna.
Pemeriksaan Radiologi Thorax PA tidak didapatkan kelainan. Terdapat dislokasi
pada digiti 3 phalanx distal dan fraktur pada digiti 4 basis phalanx proximal.

10
DIAGNOSIS
DIAGNOSIS KERJA :
- Tetanus Umum dengan derajat sedang
- Dislokasi phalanx distal digiti 3 pedis dextra
- Fraktur basis phalanx proximal digiti 4 pedis dextra
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis
bandingnya adalah sebagai berikut :
1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak
dijumpai trismus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor
serebrospinal.
2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme
karpopedal.
3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak).
4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis
terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi.
5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif
kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.
4. Plan
Observasi Tanda – tanda vital, keadaan umum, kesadaran
Oksigenasi 3 lpm dengan nasal kanul
IVFD RL / 8jam
Konsul Spesialis Bedah
Advice dr. Yopi Sp.B
- Rawat
- Diazepam bolus 1 ampul
- Diazepam 5 ampul dalam D5%/12 jam, tiap jam dikocok
- Metronidazole 3x500mg
- Ceftriaxone 1x2gr
- Tramadol 2x 1 ampul
- Hati-hati hipersalivasi
- Diet cair 6x150cc bila masih bisa pakai sedotan namun jika tidak pasang NGT

11
PENATALAKSANAAN
Pada pasien diberikan terapi non medikamentosa dan medikamentosa. Kombinasi
terapi ini diharapkan dapat memperbaiki keadaan pasien, dan tidak menimbulkan
kecacatan yang buruk.
1. Oksigenisasi dengan nasal kanul, 3 liter/menit untuk mensuplai dan memperlancar
oksigen ke otak. Oksigen dibutuhkan untuk mencegah hipoksia sel.
2. Infus RL sebagai larutan isotonis untuk mencukupi kebutuhan cairan pasien yang
mempunyai kendala sulit untuk menelan.

TINJAUAN PUSTAKA
TETANUS
Definisi
Penyakit klinis yang ditandai dengan onset akut hipertonia dan kontraksi otot yang nyeri
(biasanya otot rahang dan leher) dan spasme otot general tanpa penyebab medis lain yang
tampak dengan/tanpa bukti laboratoris C. tetani atau toksinnya dengan atau tanpa riwayat
trauma1.
Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya “meregang”. Penyakit ini telah
dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian
mendeskripsikan tetanus sebagai “penderitaan manusia yang tiada akhir”. Pada tahun 1884
Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus
skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil
menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato
berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa
organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga
melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh
tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada
tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama
Perang Dunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada
tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II 1,6.

Epidemiologi
Bakteri C. tetani dapat ditemukan di semua tempat di dunia tetapi tetanus terutama
ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang yang padat penduduk dengan

12
iklim hangat dan lembap dan tanah yang kaya dengan material organik. Tanah dan usus manusia
serta hewan merupakan reservoir spora C. tetani. Transmisi spora C. tetani terjadi melalui luka
yang kotor (terkontaminasi) atau cidera jaringan lain. Insiden puncak tetanus terutama terjadi
pada musim panas atau hujan. Tetanus tidak menular dari manusia ke manusia 7.
Faktor risiko utama terhadap tetanus yaitu status imunisasi tetanus yang tidak lengkap,
adanya cidera jaringan, serta praktik obstetrik dan injeksi obat yang tidak aseptik. Faktor risiko
lainnya meliputi tindakan bedah abdomen, akupunktur, tindik telinga, tusuk gigi, dan infeksi
telinga tengah.
Terdapat satu juta kasus tetanus di dunia per tahunnya yang terutama ditemukan di negara
kurang berkembang. Tetanus neonatorum berkontribusi terhadap 40-50% mortalitas akibat
tetanus di negara berkembang dan terutama disebabkan kondisi higiene persalinan yang buruk
dan praktik sosial atau tradisi seperti mengoleskan kotoran sapi atau ghee (semacam mentega)
pada tali pusat bayi di India 5.
Insiden tetanus di Amerika Serikat telah menurun dengan ditemukannya imunisasi aktif.
Laporan menyatakan bahwa pada tahun 1947 terjadi 560 kasus, tahun 1974 terjadi 101 kasus,
tahun 1980-an terjadi 60-80 kasus per tahunnya, dan tahun 1998-2000 terjadi rata-rata 43 kasus
per tahunnya. Hampir semua kasus terjadi pada orang yang tidak pernah diimunisasi atau status
imunisasinya tidak lengkap. Insiden tetanus pada orang dengan imunisasi lengkap sangat jarang
yaitu 4:100.000.000. Secara umum mortalitas akibat tetanus adalah 30%. Sekitar 75% kasus
terjadi antara bulan April - September. Insiden dan mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia
neonatus dan > 50 tahun dibandingkan kelompok umur lain. Sekuele neurologis residual jarang
ditemukan. Kematian biasanya diakibatkan oleh disfungsi autonomik, misalnya peningkatan
tekanan darah ekstrim, disritmia, atau henti jantung4.

Etiologi
Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk,
yaitu bentuk vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, Gram positif, tidak
berkapsul, motil, dan bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal
dari proses pemanasan, desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang
dapat menimbulkan tetanus1.
Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya
sehingga memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif resisten terhadap
desinfeksi kimiawi dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan

13
kimia lain yang efektif untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit
dapat membunuh hampir semua spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan
15 lbs selama 15-20 menit pada suhu 121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan.
Sterilisasi menggunakan panas kering lebih lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu
160°C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi menggunakan etilen oksida juga dapat
membunuh spora4.
Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran cerna, dan feses hewan. Tanah yang
mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah banyak. Spora dapat bertahan
beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia dewasa dapat menjadi
reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit dan heroin yang terkontaminasi
1
.
Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai
kondisi yang memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat
penurunan lokal kadar oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed
injury, dan (c) infeksi supuratif 1.

Gambar 1. Pewarnaan Gram C. tetani. Bakteri tersebut bersifat Gram positif tetapi memiliki
kecenderungan variabilitas dalam pewarnaan Gram. Bentuk vegetatifnya berupa basil.
Endospora dibentuk secara intraseluler pada ujung sporangium dan memberikan bentuk yang
khas yaitu menyerupai stik drum. 12
Germinasi spora dan produksi toksin terjadi pada kondisi anaerobik. Bentuk vegetatif C.
tetani menghasilkan dua macam toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin
merupakan enzim hemolisin yang menyebabkan potensiasi infeksi tetapi perannya dalam
patogenesis tetanus belum jelas. Tetanospasmin berperan penting dalam patogenesis tetanus.
Tetanospasmin atau toksin tetanus merupakan neurotoksin poten yang dilepaskan seiring

14
pertumbuhan C. tetani pada tempat infeksi. Tetanospasmin merupakan salah satu toksin yang
paling poten berdasarkan berat. Dosis letal minimum untuk manusia diperkirakan 2,5 ng/kg
berat badan 2 .

Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora
dengan manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya
dapat mengalami germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan
nekrosis jaringan dan benda asing. Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora
ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari
sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan salah satu faktor penentu prognosis 5.
C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di
jaringan sulit dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri
ini menimbulkan reaksi lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang
mengalami transformasi ke bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang
bertanggung jawab terhadap manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima
persen dari berat bakteri. Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan
berat molekul 150-kDa yang tidak aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit
oleh enzim protease jaringan yaitu rantai berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan
dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari
rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung amino menciptakan pori untuk
masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol produksi
tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri13.
Setelah rantai ringan memasuki motorneuron, senyawa tersebut ditranspor melalui akson
secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor
awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron sensorik dan autonom. Ketika
mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi neuron-neuron lain.
Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam sirkulasi dan
berikatan dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh. Ketika mencapai korda spinalis, rantai
ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah sinaptobrevin, senyawa yang
penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel. Tetanospasmin memiliki
efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah neuron yang
menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu lateralis

15
dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-
butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada
neuron motorik dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang
terus menerus (spasme) yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau
cahaya dan hiperaktivitas autonomik. Transpor intraneural retrograd yang lebih lanjut terjadi
13
dan toksin mencapai batang otak dan diensefalon . Efek fisiologis tetanospasmin serupa
dengan striknin5.
Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah
neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan
gejala paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron
melampaui penurunan fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah
akibat dari gangguan inhibisi. Efek pre-junctional pada sambungan neuromuskular dapat
menyebabkan terjadinya kelemahan diantara spasme dan dapat merupakan penyebab paralisis
nervus kranialis yang ditemukan pada tetanus sefalik dan miopati yang ditemukan setelah
penyembuhan13.
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada
medula spinalis dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat
menyerupai konvulsi. Refleks inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot
agonis dan antagonis berkontraksi secara bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat
menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot rahang, wajah, dan kepala merupakan yang
pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih pendek kemudian diikuti otot-otot
tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki sering tidak terpengaruh.
Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol autonomik dengan
overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah terikat
pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat
ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung saraf yang baru sehingga
perbaikan klinis baru terlihat 2-3 minggu setelah terapi dimulai3,11.

16
Gambar 2. Mekanisme kerja tetanospasmin.

Manifestasi klinis
Tetanus biasanya terjadi setelah luka dengan penetrasi yang dalam dimana pertumbuhan
bakteri anaerob dapat terjadi. Tempat infeksi yang paling umum adalah luka pada ekstremitas
bawah, infeksi uterus post-partum atau post-abortus, injeksi intramuskular nonsteril, dan fraktur
terbuka. Penting untuk menekankan bahwa trauma minor dapat menimbulkan tetanus. Pada
30% pasien tidak tampak adanya tempat masuk (portal of entry). Tetanus telah diidentifikasi
setelah berbagai cidera jaringan, termasuk injeksi intravena dan intramuskular, akupunktur,
tindik telinga, dan bahkan luka akibat tusuk gigi. Tetanus dapat juga terjadi pada infeksi kronis
seperti otitis media dan setelah ulkus dekubitus. Tetanus dapat dibedakan menjadi empat bentuk
berdasarkan manifestasi klinisnya 5,10
Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk yang jarang ditemukan. Pasien dengan tetanus lokal
mengalami spasme dan peningkatan tonus otot terbatas pada otot-otot di sekitar tempat infeksi
tanpa tanda-tanda sistemik. Kontraksi dapat bertahan selama beberapa minggu sebelum
perlahan-lahan menghilang. Tetanus lokal dapat berlanjut menjadi tetanus general tetapi gejala
yang timbul biasanya ringan dan jarang menimbulkan kematian. Mortalitas akibat tetanus lokal
hanya 1%2,5.
Tetanus Sefalik

17
Tetanus sefalik juga merupakan bentuk yang jarang ditemukan (insiden sekitar 6%) dan
merupakan bentuk khusus tetanus lokal yang mempengaruhi otot-otot nervus kranialis terutama
di daerah wajah. Tetanus sefalik dapat timbul setelah otitis media kronik maupun cidera kepala
(kulit kepala, mata dan konjungtiva, wajah, telinga, atau leher). Manifestasi klinis yang dapat
timbul dalam 1-2 hari setelah cidera antara lain fasial palsi akibat paralisis nervus VII (paling
sering), disfagia, dan paralisis otot-otot ekstraokuler serta ptosis akibat paralisis nervus III.
Tetanus sefalik dapat berlanjut menjadi tetanus general. Tingkat mortalitas yang dilaporkan
tinggi, yaitu 15-30% 2,11

Gambar 3. Paralisis nervus fasialis kiri dan tampak luka baru pada pasien dengan tetanus
sefalik.
Tetanus General
Sekitar 80% kasus tetanus merupakan tetanus general. Tanda khas dari tetanus general
adalah trismus (lockjaw) yaitu ketidakmampuan membuka mulut akibat spasme otot maseter.
Trismus dapat disertai gejala lain seperti kekakuan leher, kesulitan menelan, rigiditas otot
abdomen, dan peningkatan temperatur 2-4°C di atas suhu normal. Spasme otot-otot wajah
menyebabkan wajah penderita tampak menyeringai dan dikenal sebagai risus sardonicus
(sardonic smile). Spasme otot-otot somatik yang luas menyebabkan tubuh penderita
membentuk lengkungan seperti busur yang dikenal sebagai opistotonus dengan fleksi lengan
dan ekstensi tungkai serta rigiditas otot abdomen yang teraba seperti papan5.
Kejang otot yang akut, paroksismal, tidak terkoordinasi, dan menyeluruh merupakan
karakteristik dari tetanus general. Kejang tersebut terjadi secara intermiten, ireguler, tidak dapat
diprediksi, dan berlangsung selama beberapa detik sampai beberapa menit. Pada awalnya kejang
bersifat ringan dan terdapat periode relaksasi diantara kejang, lama kelamaan kejang
menimbulkan nyeri dan kelelahan (paroksismal). Kejang dapat terjadi secara spontan atau
dipicu berbagai stimulus eksternal dan internal. Distensi vesika urinaria dan rektum atau

18
sumbatan mukus dalam bronkus dapat memicu kejang paroksismal. Udara dingin, suara,
cahaya, pergerakan pasien, bahkan gerakan pasien untuk minum dapat memicu spasme
paroksismal. Sianosis dan bahkan kematian mendadak dapat terjadi akibat spasme tersebut.
Terkadang pasien dengan tetanus general menampakkan manifestasi autonomik yang
mempersulit perawatan pasien dan dapat mengancam nyawa. Overaktivitas sistem saraf
simpatis lebih sering ditemukan pada pasien usia tua atau pecandu narkotik dengan tetanus.
Overaktivitas autonom dapat menyebabkan fluktuasi ekstrim tekanan darah yang bervariasi dari
hipertensi ke hipotensi serta takikardia, berkeringat, hipertermia, dan aritmia jantung5.
Pada tetanus kesadaran penderita tidak terganggu dan penderita mengalami nyeri hebat
pada setiap episode spasme. Spasme berlanjut selama 2-3 minggu, yaitu waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan transpor toksin yang sudah berada intraaksonal, setelah antitoksin
diberikan. Apabila antitoksin tidak diberikan, pemulihan lengkap akan terjadi dalam beberapa
bulan sampai produksi dan pengikatan tetanospasmin selesai dan terjadi pembentukan
neuromuscular junction yang baru2.

(a) (b)

(c)
Gambar 3. (a) Risus sardonikus; (b) Opistotonus; (c) Anak penderita tetanus yang
menangis akibat kontraksi otot yang nyeri.

19
Tetanus Neonatorum
Tetanus neonatorum disebabkan infeksi C. tetani yang masuk melalui tali pusat sewaktu
proses pertolongan persalinan. Spora masuk disebabkan proses pertolongan persalinan yang
tidak steril, baik karena penggunaan alat maupun obat-obatan yang terkontaminasi spora C.
tetani. Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional yang tidak
steril merupakan faktor utama dalam terjadinya tetanus neonatorum14.
Gambaran klinis tetanus neonatorum serupa dengan tetanus general. Gejala awal ditandai
dengan ketidakmampuan untuk menghisap 3-10 hari setelah lahir. Gejala lain termasuk
iritabilitas dan menangis terus menerus (rewel), risus sardonikus, peningkatan rigiditas, dan
opistotonus3.

Gambar 4. Tetanus neonatorum

Diagnosis
Diagnosis tetanus lebih sering ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dibandingkan
berdasarkan penemuan bakteriologis. Diagnosis relatif lebih mudah pada daerah dengan insiden
tetanus yang sering, tetapi lebih lambat di negara-negara berkembang dimana tetanus jarang
ditemukan. Selain trismus, pemeriksaan fisik menunjukkan hipertonisitas otot-otot, refleks
tendon dalam yang meningkat, kesadaran yang tidak terganggu, demam derajat rendah, dan
sistem saraf sensoris yang normal. Spasme paroksismal dapat ditemukan secara lokal maupun
general. Sebagian besar pasien memiliki riwayat luka dalam 2 minggu terakhir dan secara umum
tidak memiliki riwayat imunisasi tetanus toksoid yang jelas 5,8.
Pemeriksaan bakteriologis dapat mengkonfirmasi adanya C. tetani pada hanya sekitar
sepertiga pasien yang memiliki tanda klinis tetanus. Harus diingat bahwa isolasi C. tetani dari
luka terkontaminasi tidak berarti pasien akan atau telah menderita tetanus. Frekuensi isolasi C.
tetani dari luka pasien dengan tetanus klinis dapat ditingkatkan dengan memanaskan satu set

20
spesimen pada suhu 80°C selama 15 menit untuk menghilangkan bentuk vegetatif
mikroorganisme kompetitor tidak berspora sebelum media kultur diinokulasi5.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis sedang. Pemeriksaan cairan
serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat akibat kontraksi otot. Hasil
elektromiografi dan elektroensefalografi biasanya normal dan tidak membantu diagnosis. Pada
kasus tertentu apabila terdapat keterlibatan jantung elektrokardiografi dapat menunjukkan
inversi gelombang T. Sinus takikardia juga sering ditemukan. Diagnosis tetanus harus dibuat
dengan hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat dua atau lebih injeksi tetanus toksoid yang
terdokumentasi. Spesimen serum harus diambil untuk memeriksa kadar antitoksin. Kadar
antitoksin 0,01 IU/mL dianggap protektif5,9.
Setelah diagnosis tetanus dibuat harus ditentukan derajat keparahan penyakit. Beberapa
sistem skoring tetanus dapat digunakan, diantaranya adalah skor Phillips, Dakar, Ablett, dan
Udwadia. Sistem skoring tetanus juga sekaligus bertindak sebagai penentu prognosis 11.

Tabel 1. Skor Phillips untuk menilai derajat tetanus


Parameter Nilai
< 48 jam 5
2-5 hari 4
Masa inkubasi 6-10 hari 3
11-14 hari 2
> 14 hari 1

Internal dan umbilikal 5


Leher, kepala, dinding tubuh 4
Lokasi infeksi Ekstremitas atas 3
Ekstremitas bawah 2
Tidak diketahui 1

Tidak ada 10
Mungkin ada/ibu mendapatkan imunisasi (pada 8
Status neonatus) 4
imunisasi > 10 tahun yang lalu 2
< 10 tahun yang lalu 0

21
Imunisasi lengkap
10
Penyakit atau trauma yang mengancam nyawa 8
Keadaan yang tidak langsung mengancam nyawa 4
Faktor Keadaan yang tidak mengancam nyawa 2
pemberat Trauma atau penyakit ringan 1
ASA derajat I
Sistem skoring menurut Phillips dikembangkan pada tahun 1967 dan didasarkan pada
empat parameter, yaitu masa inkubasi, lokasi infeksi, status imunisasi, dan faktor pemberat.
Skor dari keempat parameter tersebut dijumlahkan dan interpretasinya sebagai berikut: (a) skor
< 9 tetanus ringan, (b) skor 9-18 tetanus sedang, dan (c) skor > 18 tetanus berat.
Tabel 2. Sistem skoring tetanus menurut Ablett
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak
ada distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III A (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan
yang memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120
kali/menit.
Grade III B (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi
berat dan takikardia bergantian dengan hipotensi relatif dan
bradikardia, salah satunya dapat menjadi persisten.
Sistem skoring menurut Ablett juga dikembangkan pada tahun 1967 dan menurut
beberapa literatur merupakan sistem skoring yang paling sering digunakan 9. Udwadia (1992)
kemudian sedikit memodifikasi sistem skoring Ablett dan dikenal sebagai skor Udwadia14.
Tabel 3. Sistem skoring tetanus menurut Udwadia
Grade I (ringan) Trismus ringan hingga sedang, spastisitas general, tidak ada
distres pernapasan, tidak ada spasme dan disfagia.

22
Grade II (sedang) Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan
hingga sedang dengan durasi pendek, takipnea ≥ 30
kali/menit, disfagia ringan.
Grade III (berat) Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang
memanjang, distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40
kali/menit, apneic spell, disfagia berat, takikardia ≥ 120
kali/menit, keringat berlebih, dan peningkatan salivasi.
Grade IV (sangat Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom
berat) berat yang melibatkan sistem kardiovaskuler: hipertensi
menetap (> 160/100 mmHg), hipotensi menetap (tekanan
darah sistolik < 90 mmHg), atau hipertensi episodik yang
sering diikuti hipotensi.
Sistem skoring lainnya diajukan pada pertemuan membahas tetanus di Dakar, Senegal
pada tahun 1975 dan dikenal sebagai skor Dakar. Skor Dakar dapat diukur tiga hari setelah
muncul gejala klinis pertama9.
Tabel 4. Sistem skoring Dakar untuk tetanus
Faktor prognostik Skor 1 Skor 0
Masa inkubasi < 7 hari ≥ 7 hari atau tidak diketahui
Periode onset < 2 hari ≥ 2 hari
Umbilikus, luka bakar,
Penyebab lain dan penyebab
Tempat masuk uterus, fraktur terbuka, luka
yang tidak diketahui
operasi, injeksi intramuskular
Spasme Ada Tidak ada
Demam > 38.4oC < 38.4oC
Dewasa > 120 kali/menit Dewasa < 120 kali/menit
Takikardia
Neonatus > 150 kali/menit Neonatus < 150 kali/menit
Skor total mengindikasikan keparahan dan prognosis penyakit sebagai berikut:
a. Skor 0-1 : tetanus ringan dengan tingkat mortalitas < 10%
b. Skor 2-3 : tetanus sedang dengan tingkat mortalitas 10-20%
c. Skor 4 : tetanus berat dengan tingkat mortalitas 20-40%
d. Skor 5-6 : tetanus sangat berat dengan tingkat mortalitas > 50%

23
Diagnosis Banding
Berbagai keadaan dapat memberikan gambaran klinis yang menyerupai tetanus. Kondisi
lokal tersering yang dapat menyebabkan trismus adalah abses alveolar. Anamnesa dan
pemeriksaan fisik yang baik serta pemeriksaan radiologis dapat menentukan adanya abses
alveolar. Meningitis purulenta dapat dieksklusi dengan pemeriksaan cairan serebrospinal.
Ensefalitis terkadang disertai gejala trismus dan spasme otot, tetapi kesadaran pasien biasanya
berkabut. Rabies harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding meskipun pada rabies tidak
ada trismus. Spasme otot terjadi lebih awal dalam perjalanan penyakit rabies dan melibatkan
otot-otot pernapasan dan deglutition. Pada anak-anak < 2 tahun, tetani hipokalsemia harus
dipertimbangkan. Postur tangan dan kaki yang khas (spasme karpo-pedal), tidak adanya trismus,
dan kadar kalsium serum dapat mengkonfirmasi diagnosis tetani hipokalsemia. Reaksi terhadap
fenotiazin dapat menyebabkan trismus, tetapi disertai dengan gejala lain yang tidak ditemukan
pada tetanus seperti tremor, gerakan athetoid, dan tortikolis. Pada keracunan striknin harus
digali kemungkinan percobaaan bunuh diri atau percobaan pembunuhan. Selain itu, pada
keracunan striknin trismus muncul lebih lambat serta tanda dan gejala muncul lebih cepat
dibandingkan tetanus5.
Berbagai kelainan yang merupakan diagnosis banding tetanus dirangkum dalam tabel 5.

Tabel 5. Diagnosis banding tetanus.


Penyakit Gambaran diferensial
INFEKSI
Meningoensefalitis Demam, trismus ridak ada, penurunan
kesadaran, cairan serebrospinal abnormal.
Polio Trismus tidak ada, paralisis tipe flasid, cairan
serebrospinal abnormal.
Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya
spasme orofaring.
Lesi orofaring Bersifat lokal, rigiditas atau spasme seluruh
tubuh tidak ada.
Peritonitis Trismus dan spasme seluruh tubuh tidak ada.
KELAINAN METABOLIK
Tetani Hanya spasme karpo-pedal dan laringeal,
Keracunan striknin hipokalsemia.

24
Reaksi fenotiazin Relaksasi komplit diantara spasme.
PENYAKIT SISTEM SARAF Distonia, menunjukkan respon dengan
PUSAT difenhidramin.
Status epileptikus
Perdarahan atau tumor Penurunan kesadaran.
(SOL) Trismus tidak ada, penurunan kesadaran.
KELAINAN PSIKIATRIK
Histeria Trismus inkonstan, relaksasi komplit antara
KELAINAN spasme.
MUSKULOSKELETAL
Trauma Hanya lokal.

Penatalaksanaan
Prioritas awal dalam manajemen penderita tetanus adalah kontrol jalan napas dan
mempertahankan ventilasi yang adekuat. Pada tetanus sedang sampai berat risiko spasme laring
dan gangguan ventilasi tinggi sehingga harus dipikirkan untuk melakukan intubasi profilaksis.
Rapid sequence intubation dengan midazolam dan suksinilkolin dianggap aman dan efektif
untuk mendapatkan patensi jalan napas. Intubasi nasotrakeal dihindari karena stimulasi sensoris
yang berlebihan. Beberapa rumah sakit yang sering merawat pasien dengan tetanus memiliki
ruangan yang khusus dibangun. Pasien ditempatkan di ruang perawatan khusus yang sunyi dan
gelap untuk meminimalisir stimulus ekstrinsik yang dapat memicu spasme paroksismal. Pasien
harus diistirahatkan dengan tenang untuk membatasi stimulus periferal dan diposisikan secara
hati-hati untuk mencegah pneumonia aspirasi. Pemberian cairan intravena dilakukan dan hasil
pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah penting untuk menentukan terapi 11.
Penatalaksanaan berikutnya memiliki tiga tujuan utama, yaitu: (1) menetralisir toksin
dalam sirkulasi; (2) menghilangkan sumber tetanospasmin; dan (3) memberikan terapi suportif
sampai tetanospasmin yang terfiksir pada neuron dimetabolisme5.
Netralisasi toksin dalam sirkulasi dilakukan dengan memberikan human tetanus
immunoglobulin (HTIG). Belum ada konsensus mengenai dosis tepat HTIG untuk tetanus.
Bhatia(11) menyarankan pemberian dosis tunggal 3000-6000 IU secara intramuskular,
sedangkan dosis yang disarankan dalam formularium nasional Inggris adalah 5000-10.000
IU(19). Waktu paruh HTIG sekitar 23 hari sehingga tidak diperlukan dosis ulangan. HTIG tidak
boleh diberikan diberikan lewat jalur intravena karena mengandung anti complementary

25
aggregates of globulin yang dapat mencetuskan reaksi alergi. Apabila HTIG tidak tersedia dapat
digunakan antitetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 40.000 IU. Cara
pemberiannya yaitu 100.000-200.000 unit. ATS berasal dari serum kuda sehingga berpotensi
besar menimbulkan reaksi hipersensitivitas sehingga pemberiannya harus didahului oleh skin
test yaitu 0,1 mL ATS diencerkan menggunakan cairan garam fisiologis dengan perbandingan
1:10 kemudian diinjeksikan intradermal. HTIG dan ATS hanya berguna terhadap tetanospasmin
yang belum memasuki sistem saraf14.
Eradikasi sumber toksin dilakukan dengan pemberian antibiotik dan debridemen luka.
Penggunaan antibiotik Penisilin G (100.000-200.000 IU/kgBB per hari dibagi 2-4 dosis)
dahulunya merupakan terapi pilihan. Penisilin G merupakan antagonis reseptor GABA sehingga
dapat bekerja secara sinergis dengan tetanospasmin. Saat ini Metronidazole merupakan
antibiotik pilihan pertama untuk tetanus karena relatif murah dan penetrasi lebih baik ke
jaringan anaerobik. Dosis Metronidazole adalah 500 mg setiap 6 jam diberikan melalui jalur
intravena atau per oral selama 10-14 hari. Antibiotik yang dapat digunakan sebagai alternatif
terhadap Metronidazole adalah Doksisiklin 100 mg setiap 12 jam selama 7-10 hari. Makrolida,
Klindamisin, Sefalosporin, dan Kloramfenikol juga efektif Pada perawatan luka dilakukan
debridemen luka dengan membuang benda asing, eksisi jaringan nekrotik, serta irigasi luka.
Larutan hidrogen peroksida (H2O2) dapat digunakan dalam perawatan luka. Perawatan luka
dilakukan 1-2 jam setelah pemberian HTIG atau ATS dan antibiotik12.
Perawatan suportif meliputi sedasi, blokade neuromuskuler, dan manajemen instabilitas
autonomik. Sedasi secara efektif mengatasi spasme otot dan rigiditas. Benzodiazepin seperti
midazolam dan diazepam merupakan obat lini pertama untuk mencapai sedasi. Dosis
benzodiazepin yang digunakan dapat mencapai 100 mg/jam intravena. Antikonvulsan seperti
fenobarbital dan secobarbital yang meningkatkan aktivitas GABA juga dapat memberikan efek
sedasi dan digunakan dengan dosis awal 1.5-2.5 mg/kgBB untuk anak atau 100-150 mg untuk
dewasa diberikan intramuskular. Dosis pemeliharaan harus dititrasi. Apabila spasme menjadi
lebih berat atau lebih sering dapat digunakan fenobarbital 120-200 mg intravena dan
ditambahkan diazepam dalam dosis terbagi sampai 120 mg/hari diberikan intravena.
Klorpromazin dosis 4-12 mg untuk bayi atau 50-150 mg untuk dewasa diberikan setiap 4-8 jam
dapat digunakan untuk mengendalikan kejang tetani5.
Morfin memiliki efek sentral yang dapat meminimalisir efek tetanospasmin. Meskipun
morfin merupakan pilihan yang potensial sebagai sedatif kerja pendek dan analgesik
penggunaannya terbatas karena harga yang mahal dan berkaitan dengan beberapa efek samping.

26
Propofol juga telah digunakan dalam manajemen tetanus tetapi memiliki keterbatasan karena
untuk mencapai konsentrasi plasma yang adekuat membutuhkan ventilasi mekanis 14.
Obat lain yang dapat digunakan untuk mengontrol spasme adalah magnesium sulfat dan
baklofen. Magnesium bekerja sebagai antagonis kalsium dan dalam penggunaannya harus
dimonitor refleks patella, respiratory rate, serta tanda-tanda hipokalsemia seperti tanda
Chvostek dan Trousseau yang positif. Pemberiannya didahului dengan loading dose 5 mg
diberikan selama 20 menit diikuti maintenance dose 2 gram/jam. Magnesium sulfat tidak boleh
digunakan pada pasien dengan gagal ginjal berat. Baklofen merupakan agonis GABA fisiologis
yang menstimulasi reseptor GABA post-sinaptik sehingga mengembalikan inhibisi fisiologis
motorneuron. Pemberiannya secara intratekal dengan dosis bervariasi antara 1000 mcg untuk
orang dewasa < 55 tahun, 500 mcg < 16 tahun, dan 800 mcg > 55 tahun; diberikan awalnya
dengan bolus intermiten pada interval 10-20 jam tergantung respon pasien atau diberikan
dengan infus kontinyu apabila dibutuhkan. Dantrolene merupakan relaksan otot kerja langsung
yang bekerja dengan menginhibisi pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma dan seara
langsung mempengaruhi coupling eksitasi-kontraksi. Dantrolene telah digunakan dalam
beberapa kasus dan memiliki keuntungan karena tidak membutuhkan pernapasan buatan, tetapi
Dantrolene belum dapat direkomendasikan untuk penggunaan rutin karena belum banyak
penelitian melibatkan obat ini, harga yang mahal, dan potensi efek hepatotoksik. Spasme otot
yang tidak dapat dikontrol dengan benzodiazepin harus ditangani dengan pemberian agen
blokade neuromuskuler, diantaranya atrakurium dan vekuronium. Vekuronium memiliki sifat
kardiostabil 11.
Penyebab utama mortalitas pada tetanus adalah kolaps sirkulasi yang disebabkan oleh
instabilitas autonomik. Henti jantung tiba-tiba sering terjadi dan diperkirakan dipicu oleh kadar
katekolamin yang tinggi dan efek langsung toksin terhadap miokardium. Aktivitas simpatetik
yang memanjang dapat berakhir dengan hipotensi dan bradikardia. Overaktivitas parasimpatetik
dapat menyebabkan henti sinus, yang telah dikaitkan dengan efek langsung perusakan nukleus
vagal oleh toksin. Atropin dosis tinggi (hingga 100 mg/jam) dianjurkan apabila bradikardia
merupakan manifestasi utama 14.
Sedasi merupakan tindakan awal untuk mengendalikan instabilitas autonomik terutama
menggunakan morfin yang efektif menurunkan output katekolamin. Blokade beta, meskipun
secara teoritis berguna mengontrol episode hipertensi dan takikardia, berhubungan dengan kolaps
kardiovaskular tiba-tiba, edema pulmoner, dan kematian. Obat lain yang telah digunakan
termasuk klonidin dan magnesium. Klonidin merupakan agonis α2-adrenergik yang menurunkan

27
aliran simpatis, tekanan arteri, denyut jantung, dan pelepasan katekolamin. Klonidin dapat
diberikan secara oral dan parenteral. Magnesium telah meningkat penggunaannya sebagai terapi
multimodal tetanus. Magnesium bekerja melalui beberapa cara diantaranya memblok pelepasan
katekolamin dari saraf dan medula adrenal dan mengurangi respon reseptor terhadap
katekolamin. Magnesium juga merupakan bloker neuromuskular presinaptik sehingga berguna
untuk mengontrol rigiditas dan spasme. Dosis yang direkomendasikan adalah 20 mmol/jam dan
disesuaikan untuk mencapai konsentrasi plasma 2,5-4,0 mmol/liter. Konsentrasi kalsium plasma
harus dimonitor selama pemberian magnesium karena dapat menghambat pelepasan hormon
paratiroid 14.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah pengaturan diet yang adekuat. Kebutuhan
energi pada tetanus meningkat karena spasme berulang dan overaktivitas sistemik. Pemberian
nutrisi harus dimulai sejak dini, idealnya melalui jalur enteral untuk mempertahankan integritas
gastrointestinal. Pada penderita tetanus diberikan diet cukup kalori dan protein melalui jalur
enteral maupun parenteral. Bentuk makanan tergantung kemampuan membuka mulut dan
menelan. Selama pasase usus baik diberikan nutrisi enteral. Apabila ada trismus makanan dapat
diberikan lewat pipa lambung maupun gastrostomi 10.
Penderita yang sembuh dari tetanus tidak memiliki imunitas terhadap infeksi tetanus
ulangan karena jumlah tetanospasmin yang dibutuhkan untuk menyebabkan tetanus tidak cukup
untuk menstimulasi sistem imunitas tubuh. Pasien yang sembuh dari tetanus harus memulai atau
melengkapi imunisasi aktif dengan tetanus toksoid selama proses penyembuhan 2.

Komplikasi
Komplikasi tetanus dapat berupa komplikasi primer atau efek langsung dari toksin seperti
aspirasi, spasme laring, hipertensi, dan henti jantung, atau komplikasi sekunder akibat
imobilisasi yang lama maupun tindakan suportif seperti ulkus dekubitus, pneumonia akibat
ventilasi jangka panjang, stress ulcer, dan fraktur serta ruptur tendon akibat spasme otot 2,3
Tabel 6. Komplikasi akibat tetanus
Sistem organ Komplikasi
Jalan napas Aspirasi, spasme laring, obstruksi terkait penggunaan sedatif.
Respirasi Apneu, hipoksia, gagal napas tipe I dan II, ARDS, komplikasi
akibat ventilasi mekanis jangka panjang (misalnya pneumonia),
komplikasi trakeostomi.

28
Kardiovaskular Takikardia, hipertensi, iskemia, hipotensi, bradikardia, aritmia,
asistol, gagal jantung.
Renal Gagal ginjal, infeksi dan stasis urin.
Gastrointestina Stasis, ileus, perdarahan.
l
Muskuloskelet Rabdomiolisis, myositis ossificans circumscripta, fraktur akibat
al spasme.
Lain-lain Penurunan berat badan, tromboembolisme, sepsis, sindrom
disfungsi multiorgan.

Prognosis
Faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien tetanus adalah masa inkubasi, periode awal
pengobatan, status imunisasi, lokasi fokus infeksi, penyakit lain yang menyertai, serta penyulit
yang timbul. Berbagai sistem skoring yang digunakan untuk menilai berat penyakit juga
bertindak sebagai penentu prognostik. Sistem skoring yang dapat digunakan antara lain skor
Phillips, Dakar, Udwadia, dan Ablett. Tingkat mortalitas mencapai lebih dari 50% di negara-
negara berkembang dengan gagal napas menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas.
Mortalitas lebih tinggi pada kelompok usia neonatus dan > 60 tahun11.

Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan usaha yang sangat penting dalam menurunkan
morbiditas dan mortalitas akibat tetanus. Ada dua cara mencegah tetanus, yaitu perawatan luka
yang adekuat dan imunisasi aktif dan pasif 14.
Imunisasi aktif dilakukan dengan memberikan tetanus toksoid yang bertujuan merangsang
tubuh untuk membentuk antitoksin. Imunisasi aktif dapat dimulai sejak anak berusia 2 bulan
dengan pemberian imunisasi DPT atau DT. Untuk orang dewasa digunakan tetanus toksoid
(TT). Jadwal imunisasi dasar untuk profilaksis tetanus bervariasi menurut usia pasien.

Tabel 7. Jadwal imunisasi aktif terhadap tetanus


Bayi dan anak Imunisasi DPT pada usia 2,4,6, dan 15-18 bulan.
normal. Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.

29
Bayi dan anak DPT diberikan pada kunjungan pertama, kemudian 2 dan 4
normal sampai usia 7 bulan setelah injeksi pertama.
tahun yang tidak Dosis ke-4 diberikan 6-12 bulan setelah injeksi pertama.
diimunisasi pada Dosis ke-5 diberikan pada usia 4-6 tahun.
masa bayi awal. Sepuluh tahun setelahnya (usia 14-16 tahun) diberikan injeksi
TT dan diulang setiap 10 tahun sekali.
Usia ≥ 7 tahun yang Imunisasi dasar terdiri dari 3 injeksi TT yang diberikan pada
belum pernah kunjungan pertama, 4-8 minggu setelah injeksi pertama, dan
diimunisasi. 6-12 bulan setelah injeksi kedua.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Ibu hamil yang Wanita hamil yang belum pernah diimunisasi harus menerima
belum pernah 2 dosis injeksi TT dengan jarak 2 bulan (lebih baik pada 2
diimunisasi. trimester terakhir).
Setelah bersalin, diberikan dosis ke-3 yaitu 6 bulan setelah
injeksi ke-2 untuk melengkapi imunisasi.
Injeksi TT diulang setiap 10 tahun sekali.
Apabila ditemukan neonatus lahir dari ibu yang tidak pernah
diimunisasi tanpa perawatan obstetrik yang adekuat, neonatus
tersebut diberikan 250 IU human tetanus immunoglobulin.
Imunitas aktif dan pasif untuk ibu juga harus diberikan.
Imunisasi aktif dan pasif juga diberikan sebagai profilaksis tetanus pada keadaan trauma.
Rekomendasi untuk profilaksis tetanus adalah berdasarkan kondisi luka khususnya kerentanan
terhadap tetanus dan riwayat imunisasi pasien. Tanpa memperhatikan status imunitas aktif
pasien, pada semua luka harus dilakukan tindakan bedah segera dengan menggunakan teknik
aseptik yang hati-hati untuk membuang semua jaringan mati dan benda asing. Pada luka yang
rentan terhadap tetanus harus dipertimbangkan untuk membiarkan luka terbuka. Tindakan yang
demikian penting sebagai profilaksis terhadap tetanus .

Tabel 8. Klasifikasi luka menurut American College of Surgeon Committee on Trauma (1995)
Tampilan klinis Luka rentan tetanus Luka tidak rentan
tetanus

30
Usia luka > 6 jam < 6 jam
Konfigurasi Bentuk stellate, avulsi Bentuk linier, abrasi
Kedalaman > 1 cm ≤ 1 cm
Mekanisme cidera Misil, crush injury, Benda tajam (pisau, kaca)
luka bakar, frostbite
Tanda-tanda infeksi Ada Tidak ada
Jaringan mati Ada Tidak ada
Kontaminan (tanah, Ada Tidak ada
feses, rumput, saliva,
dan lain-lain)
Jaringan Ada Tidak ada
denervasi/iskemik
Satu-satunya kontraindikasi terhadap tetanus toksoid untuk pasien trauma adalah reaksi
neurologis atau hipersensitivitas terhadap dosis sebelumnya. Efek samping lokal tidak menjadi
alasan untuk tidak memberikan tetanus toksoid. Berikut adalah panduan pemberian profilaksis
tetanus pada pasien trauma. Individual dengan faktor risiko status imunisasi tetanus yang
inadekuat (imigran, kemiskinan, orang tua tanpa riwayat injeksi booster yang jelas) harus
diterapi sebagai yang riwayatnya tidak diketahui .

Tabel 9. Panduan pemberian profilaksis tetanus pada pasien trauma (20)


Riwayat imunisasi Luka rentan tetanus Luka tidak rentan tetanus
tetanus sebelumnya
TT HTIG TT HTIG
(dosis)
Tidak diketahui atau < 3 Ya Ya Ya Tidak
≥ 3 dosis Tidak Tidak Tidak Tidak
(kecuali ≥ 5 (kecuali ≥ 10
tahun sejak dosis tahun sejak
terakhir) dosis
terakhir)
Untuk anak ≤ 7 tahun dapat digunakan DPT sebagai pengganti TT. Dosis profilaksis
HTIG yang direkomendasikan adalah 250 IU diberikan intramuskular. Apabila diberikan
imunisasi tetanus (TT atau DPT) dan HTIG secara bersamaan, gunakan alat injeksi yang
berbeda dan tempat injeksi yang terpisah. Apabila tidak tersedia HTIG dapat digunakan anti

31
tetanus serum (ATS) yang berasal dari serum kuda dengan dosis 3000-6000 IU. ATS lebih
sering menimbulkan reaksi hipersensitivitas dibandingkan TIG karena mengandung protein
asing bahkan pada pasien dengan tes kulit atau konjungtiva negatif sebelum pemberian (insiden
5-30%). ATS hanya diberikan apabila tidak tersedia TIG dan kemungkinan tetanus melebihi
reaksi yang potensial terhadap produk ini 5.20,21.
Seseorang yang pernah menderita tetanus tidak imun terhadap serangan ulangan, artinya
penderita tersebut memiliki kemungkinan yang sama untuk menderita tetanus seperti orang lain
yang tidak pernah diimunisasi. Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh
dikarenakan toksin yang masuk ke dalam tubuh tidak mampu merangsang pembentukan
antitoksin. Tetanospasmin merupakan toksin yang sangat poten sehingga dalam konsentrasi
yang sangat kecil dapat menimbulkan tetanus. Jumlah toksin yang masuk ke dalam tubuh dan
menimbulkan tetanus tidak cukup untuk merangsang imunitas aktif penderita 14.
Pada kondisi tertentu dapat dijumpai antitoksin pada serum seseorang yang tidak memiliki
riwayat imunisasi atau peninggian titer antitoksin yang karakteristik sebagai respon imun
sekunder pada beberapa orang yang diberikan imunisasi tetanus toksoid untuk pertama kali. Hal
ini disebut sebagai imunitas alami. Imunitas alami dapat terjadi karena C. tetani telah diisolasi
dari feses manusia. Bakteri yang berada di dalam lumen usus merangsang terbentuknya imunitas
pada host. Imunitas alami dapat menjelaskan mengapa insiden tetanus tidak tinggi pada
beberapa negara dimana pemberian imunisasi tetanus tidak terlaksana dengan baik 14.

32

Anda mungkin juga menyukai