BRONCHIOLITIS
REFERAT
Oleh :
Fadlun S.Ked
N 111 16 110
Pembimbing Klinik :
1. dr. Masyita, M.Kes, Sp. Rad.
2. dr. Dafriana Darwis, M.Kes, Sp.Rad.
DEPARTEMEN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM ANUTAPURA
2016
1
HALAMAN PENGESAHAN
Bagian Radiologi
RSU ANUTAPURA PALU
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iii
I. PENDAHULUAN.................................................................. 1
V. DIAGNOSIS .......................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 19
3
BAB I
PENDAHULUAN
Respirasi terbagi atas dua proses yang berbeda tetapi saling berkaitan
yaitu sebagai berikut:
4
BAB II
INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI
5
BAB III
ANATOMI DAN FISIOLOGI
6
Gambar 3.1 : Respiratory System 1
Saluran pernapasan berawal dari nasal (hidung), saluran nasal membuka
ke dalam faring (tenggorokan) yang berfungsi sebagai saluran bersama untuk
sistem pernapasan dan pencernaan, terdapat dua saluran yang berasal dari faring
yaitu trakea yang dilalui oleh udara untuk menuju paru, dan esofagus yang dilalui
oleh makanan menuju lambung. Karena faring berfungsi sebagai saluran bersama
untuk udara dan makanan maka sewaktu menelan terjadi refleks epiglotis yang
menutup trakea agar makanan masuk ke esofagus dan bukan ke saluran napas.
Esofagus selalu tertutup kecuali ketika menelan makanan untuk mencegah udara
masuk ke lambung sewaktu bernapas. 2,3
Laring atau voice box, terletak di pintu masuk trakea, tonjolan pada
bagian anterior membentuk jakun (Adam’s Apple). Sewaktu udara dilewatkan
melalui pita suara yang kencang, lipatan tersebut bergetar untuk menghasilkan
berbagai suara bicara, dan sewaktu menelan pita suara melaksanakan fungsinya
yang tidak berkaitan dengan bicara keduanya saling mendekat untuk menutup
pintu masuk ke trakea. Di bagian belakang laring, trakea terbagi menjadi dua
cabang utama yaitu bronkus kanan (bronchus principalis dexter) dan kiri
(bronchus principalis sinister). Kemudian bronchus principalis dexter akan
bercabang menjadi bronchus lobaris dexter yang terbagi menjadi 3 bagian
7
(superior, medius, dan inferior), sedangkan pada bronchus principalis sinister akan
bercabang menjadi bronchus lobaris sinister yang terbagi menjadi 2 bagian
(superior dan inferior). Bronchus lobaris kemudian akan bercabang menjadi
bronchus segmentalis.2,3,4
Paru mempunyai dua sumber suplai darah, dari arteri bronkialis dan arteri
pulmonalis. Sirkulasi bronkial menyediakan darah teroksigenasi dari sirkulasi
sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan paru. Arteri
bronkialis berasal dari aorta torakalis dan berjalan sepanjang dinding posterior
bronkus. Vena bronkialis yang besar mengalirkan darahnya ke dalam sistem
azygos, yang kemudian bermuara pada vena kava superior dan mengembalikan
darah ke atrium kanan. Vena bronkialis yang lebih kecil akan mengalirkan darah
ke vena pulmonalis. Arteri pulmonalis yang berasal dari ventrikel kanan
mengalirkan darah vena campuran ke paru, yaitu darah yang mengambil bagian
dalam pertukaran gas. Darah teroksigenasi kemudian dikembalikan melalui vena
pulmonalis ke ventrikel kiri, selanjutnya disalurkan ke sel-sel melalui sirkulasi
sistemik. Sirkulasi paru merupakan suatu sistem tekanan rendah dan resistensi
rendah dibandingkan dengan sirkulasi sistemik. Tekanan darah sistemik sekitar
120/80 mmHg sedangkan tekanan darah pulmonar sekitar 25/10 mmHg dengan
rata-rata sekitar 15 mmHg. 2,3
8
Inervasi dari paru oleh plexus pulmonalis terbagi atas 2 yaitu
parasimpatis N. Vagus (bronchoconstrictor dan vasodilator) dan simpatis T.
Simpatikus T1-5 (bronchodilator dan vasokonstriktor), sedangkan pada bagian-
bagian paru yaitu facies costalis di inervasi oleh N. Intercostalis, facies
mediastinal si inervasi oleh N. Phrenicus dan facies diaphragmatica di inervasi
oleh N. Phrenicus dan N. Intercostalis.2
9
BAB IV
ETIOPATOGENESIS
10
Bronkiolus adalah saluran napas bagian interstisial yang memiliki
diameter < 2 mm, yang kurang memiliki kartilago dan glandula submukosa. Pada
dinding bronkiolus terdiri dari sekresi surfaktan, sel clara dan sel neuroendokrin,
yang merupakan sumber dari produk bioaktif seperti somatostatin, endotelin dan
serotonin. Cedera pada bronkiolus dan interaksi langsung antara sel-sel inflamasi
dan mesenkimal dapat menyebabkan beragam patologis dan sindrom klinis, efek
dari cedera bronkiolus meliputi :
a. Peningkatan sekresi mucus
b. Obstruksi dan konstriksi bronkiolus
c. Kematian sel alveolar, mucus debris, invasi virus
d. Atelectasis
e. Ventilasi yang berkurang
f. Sesak nafas 8,9
Infeksi pada saluran pernapasan akan menyebabkan obstruksi pada
saluran-saluran napas kecil dan nekrosis pada sel-sel yang melapisi saluran napas
bawah, sehingga menyebabkan “air trapping” dengan ekspirasi yang memanjang.
Wheezing muncul akibat adanya bronkospasme, inflamasi mukosa, dan edema.
Penampakan klinis pada anak berupa peningkatan usaha napas, peningkatan laju
respirasi, dan wheezing. Jika infeksi yang terjadi berat, dapat ditemukan adanya
retraksi interkostal dan tanda-tanda dari impending respiratory failure. 10
Infeksi virus pada epitel bersilia bronkiolus akan memicu respon
inflamasi akut, yang ditandai dengan obstruksi bronkiolus akibat edema, sekresi
mukus, timbunan debris selular/sel-sel mati yang terkelupas, kemudian diikuti
dengan infiltrasi limfosit peribronkial dan edema submukosa. Karena tahanan
aliran udara berbanding terbalik dengan diameter penampang saluran respiratori,
maka sedikit saja penebalan mukosa akan memberikan hambatan aliran udara
yang besar, terutama pada bayi yang memiliki penampang saluran respiratori
kecil. Resistensi pada bronkiolus meningkat selama fase inspirasi dan ekspirasi,
tetapi karena radius saluran respiratori lebih kecil selama ekspirasi, maka terjadi
air trapping dan hiperinflasi. Atelektasis dapat terjadi pada saat terjadi obstruksi
total dan udara yang terjebak diabsorbsi. Proses patologis ini akan mengganggu
11
pertukaran gas normal di paru. Penurunan kerja ventilasi paru akan menyebabkan
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion mismatching), yang
berikutnya akan menyebabkan terjadinya hipoksemia dan kemudian terjadi
hipoksia jaringan. 9,11
12
signifikan. Berdasarkan penelitian bayi yang mendapat ASI dengan kolostrum
yang kaya akan immunoglobulin A tampak relatif melindungi dari penyakit
bronkiolitis. Nekrosis pada epitel pernapasan adalah salah satu lesi awal pada
bronkiolitis yang terjadi dalam waktu 24 jam dari terpajannya infeksi. Proliferasi
sel goblet mengakibatkan produksi lendir yang berlebihan, sedangkan regenerasi
sel epitel dengan non bersilia diakibatkan oleh gangguan eliminasi sekresi lendir.
Infiltrasi limfositik dapat mengakibatkan edema pada submukosa.12,13
13
BAB V
DIAGNOSIS
14
5.3 Radiografi
Pemeriksaan radiografi pada kasus bronkiolitis tidak rutin diperlukan.
Pemeriksaan rontgen dada diperlukan pada anak-anak yang mengalami
gejala klinis yang berat atau pada anak-anak yang berada pada resiko tinggi
terjadinya penyakit jantung atau mempunyai riwayat abnormalitas dan
penyakit paru sebelumnya.12,14
Pada foto rontgen diperoleh gambaran hiperinflasi paru (emfisema)
dengan diameter anteroposterior membesar, dan infiltrat/bercak konsolidasi
yang tersebar (patchy infiltrate). Namun, gambaran ini tidak spesifik dan
dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral atau atipikal. Gambaran lain
yang dapat ditemukan adalah gambaran normal, atelektasis, dan kolaps
segmenta. Atelektasis terutama pada saat konvalesens akibat sekret pekat
bercampur sel-sel mati yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan
peningkatan diameter antero-posterior. 6,13
15
Gambar 5.2 : Gambaran Brokiolitis perempuan umur 50 tahun CT Scan
potongan coronal 15
16
BAB VI
DIAGNOSIS BANDING
6.1 Asma
Bayi-bayi dengan bronkiolitis mengalami wheezing untuk pertama
kalinya. Berbeda dengan asma yang mengalami wheezing berulang kali.
Diagnosis banding utama bronkiolitis pada anak adalah asma. Kedua
penyakit ini sulit dibedakan pada episode pertama, namun adanya kejadian
mengi berulang, tidak adanya gejala prodromal infeksi virus, dan adanya
riwayat keluarga dengan asma dan atopi dapat membantu menegakkan
diagnosis asma.6,9
17
6.2 Bronkitis
Bronkitis kronis ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang
berlebihan (ekspektorasi) dengan disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak
nyaman akibat batuk kronik berdahak tersebut. Pada tampakan gambaran
foto thorax terdapat corakan paru yang ramai dan disertai emfisema
(ringan), dan kadang-kadang disertai bronkiektasis di parakardial kanan
dan kiri, sedangkan pada bronkitis berat di temukan hal-haltersebut diatas
dan disertai cor pulmonale sebagai komplikasi bronkitis kronik.6,14
18
BAB VII
PENATALAKSANAAN
19
keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih
merugikan. Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada
tahun 2009 menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason
oral pada anak dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat
inap, lama perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit. Nebulisasi
hypertonic saline dapat diberikan pada anak yang dirawat. Nebulisasi ini
bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran napas untuk
membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat pada saluran
pernapasan. 9,12
4. Antivirus
Ribavirin adalah obat antivirus bersifat virus statik. Penggunaannya masih
kontroversial baik efektivitas maupun keamanannya. The American
Academy of Pediatrics merekomendasikan penggunaan ribavirin pada
keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih berat seperti pada penderita
bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis kistik, penyakit paru kronik,
imunodefisiensi, dan pada bayi-bayi prematur. Ribavirin dapat
menurunkan angka morbiditas dan mortalitas penderita bronkiolitis dengan
penyakit jantung jika diberikan sejak awal. Penggunaan ribavirin biasanya
dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis 20 mg/mL diberikan dalam
12-18 jam per hari selama 3-7 hari. 6
5. Antibiotik
Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan oleh
virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering
digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak
terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut, sehingga penggunaannya
diusahakan hanya berdasarkan indikasi. Pemberian antibiotik dapat
dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan
intubasi dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik
yang dipakai biasanya yang berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma
pneumoniae diatasi dengan eritromisin.9,13
20
BAB VIII
PROGNOSIS
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood, L., Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi VI. Jakarta :
EGC ; 2011
2. Paulsen F and Waschke J. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Organ-Organ
Dalam. Jilid 2. Edisi 23. Jakarta : EGC ; 2012.
3. Stephen J.M and Ganong W.F. Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Edisi 5. Jakarta : EGC ; 2010.
4. Junquiera L.C and Carneiro J. Histologi Dasar. Edisi 10. Jakarta : EGC ;
2010.
5. Shawn L. Ralston., Allan S. Lieberthal., Cody Meissner., Brian K.
Alverson., Clinical Practice: The Diagnosis, Management, and Prevention
of Bronchiolitis. Journal of American Academy of Pediatrics; 2014. Vol.1
(3) : 1-32.
6. Junawanto,I., Goutama, L., Sylvani., Diagnosis dan Penanganan Terkini
Bronkiolitis Pada Anak. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Katolik
Atma Jaya ; 2016. CDK-241/Vol.43, No.VI. P 1-4
7. Quinonez, R., Schroeder, A., Safely Doing Less and the New AAP
Bronchiolitis Guideline. Journal by Pediatrics Prespectives ; 2015.
Vol.135, No.V. P 1-5
8. Roth, D., Cohen, E., Vankoughnet, C., Robinson,L., Soares, D.,
Management of Bronchiolitis in Infants. Journal by Hospital- Wide Patient
Care Clinical Practice Guideline: Policies and Procedures Database; 2012.
Vol.2, No.I. P 1-15
9. Friedman, J., Rieder, M., Walton,J., Bronchiolitis: Recommendations for
Diagnosis, Monitoring and Management of Children One to 24 Months of
Age: Canadian Paediatric Society Acute Care Committe, Drug Therapy
and Hazardous Substances Committe Paediatric Child Health; 2014.
Vol.19, No. XI, P 1-8
22
10. Kellner JD., Ohlsson A., Gadomski AM., Viswanathan, M., Bordley, C.,
Jackman AM., Infants and Children: Acute Management of Bronchiolitis :
Journal by NSW Ministry Health; 2012. Vol. 5, No.X. P 1-26
11. Richard, N., Stanko-Loop, D., Davidson, C., Clinical Practice Guideline:
Diagnosis and Management of Bronchiolitis. Journal by American
Academy of Pediatrics Dedicated to the Health od All Children; 2012.
Vol.188, No. IV. P 1-22
12. Sexton, S., Jullian, M., Practice Guidelines AAP Releases Practice
Guideline on Diagnosis, Management, and Prevention of Bronchiolitis:
Journal by American Academy of Family Physicians; 2015. Vol. 91, No.
VIII, P 1-8
13. Thornton, J., Glynn, D., Haman, G., Bronchiolitis in Children : Diagnosis
and Management. Journal by National Institute for Health and Care
Excellence. 2015. Vol. 2, No. III. P 1-31
14. Rasad., S. Radiologi Diagnostik Edisi II. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2009
15. www.radiopaedia.org.com
23