Anda di halaman 1dari 8

PROGRAM PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER, DAN TERSIER

PENULARAN HIV AIDS PADA KELOMPOK RESIKO PENGGUNA NAPZA


DAN SEKS BEBAS

Di susun Oleh

IRVAN ARISANDI

2016727072

PROGRAM TRANSFER
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
TAHUN AJARAN 2016/2017
Program Penanganan dan Pencegahan HIV dan AIDS

Pendahuluan

Human Immunodeficiency Virus atau HIV adalah sejenis virus yang menyerang sel darah
putih yang menyebabkan menurunnya kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune
Deficiency Syndrome atau AIDS sekumpulan gejalan penyakit yang timbul kerana turunya
kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi oleh HIV. Akibat menurunya kekebalan tubuh,
maka orang yang tersebut sangat mudah untuk terkena berbagai penyakit infeksi (infeksi
opportunistik) yang sering berakibat fatal. Epidemi HIV merupakan suatu tantangan global
dan salah satu masalah yang paling rumit dewasa ini, maka keberhasilan penanggulangan
HIV dan AIDS di Indonesia, tidak saja memberikan manfaat bagi Indonesia tetapi juga
penanggulangan AIDS secara global.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi yang berkembang paling cepat
(UNAIDS, 2008). Kementerian Kesehatan memperkirakan, Indonesia pada tahun 2014 akan
mempunyai hampir tiga kali jumlah orang yang hidup dengan HIV dan AIDS dibandingkan
pada tahun 2008 (dari 277.700 orang menjadi 813.720 orang). Ini dapat terjadi bila tidak ada
upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang bermakna dalam kurun waktu tersebut.
Peningkatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan komprehensif di Indonesia
memerlukan pendekatan yang strategik, yang menangani faktor-faktor struktural melibatkan
peran aktif semua sector. Pada kesempatan kali ini saya akan membahas secara umum
mengenai upaya pencegahan dan penanganan HIV/AIDS pada level promotif dan preventif di
Puskesmas.

Definisi HIV-AIDS

HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang sel darah putih di
dalam tubuh (limfosit) yang mengakibatkan turunnya kekebalan tubuh manusia. Orang yang
dalam darahnya terdapat virus HIV dapat tampak sehat dan belum membutuhkan pengobatan.
Namun orang tersebut dapat menularkan virusnya kepada orang lain bila melakukan
hubungan seks berisiko dan berbagi alat suntik dengan orang lain.

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit yang
timbul karena turunnya kekebalan tubuh. AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat
menurunnya kekebalan tubuh pada seseorang maka orang tersebut sangat mudah terkena
penyakit seperti TBC, kandidiasis, berbagai radang pada kulit, paru, saluran pencernaan, otak
dan kanker. Stadium AIDS membutuhkan pengobatan Antiretroviral (ARV) untuk
menurunkan jumlah virus HIV di dalam tubuh sehingga bisa sehat kembali.

ARV merupakan singkatan dari Antiretroviral, yaitu obat yang dapat menghentikan
reproduksi HIV didalam tubuh. Bila pengobatan tersebut bekerja secara efektif, maka
kerusakan kekebalan tubuh dapat ditunda bertahun–tahun dan dalam rentang waktu yang
cukup lama sehingga orang yang terinfeksi HIV dapat mencegah AIDS. Dengan semakin
meningkatnya jumlah kasus infeksi HIV tersebut, ARV memiliki peran penting dalam
menciptakan masyarakat sehat melalui strategi penanggulangan AIDS yang memadukan
upaya pencegahan dengan upaya perawatan, dukungan serta pengobatan.

Hingga saat ini, ARV masih merupakan cara paling efektif serta mampu menurunkan angka
kematian dan berdampak pada peningkatan kualitas hidup orang terinfeksi HIV sekaligus
meningkatkan harapan masyarakat untuk hidup lebih sehat. Sehingga pada saat ini HIV dan
AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan seperti diabetes, asma atau
darah tinggi dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang pembunuh yang menakutkan.

Faktor Determinan HIV

a. Faktor Host
Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok
risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko
tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use), kelompok masyarakat yang
melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitraseksual) misalnya WPS
(wanita penjaja seks), penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh, transmisi
transplasental yaitu transmisi dari ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat
melahirkan adalah 50%, yaitu apabila seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka
kemungkinan anak itu terlular HIV. Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses
terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat
penularannya hanya 1%. dan petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok yang
rawan tertular HIV.
b. Faktor Agent
Virus HIV termasuk RNA virus Letigenivirus golongan Retrovirus family Retroviridae.
Sepsis HIV-1 dan HIV-2 merupakan penyebab infeksi HIV pada manusia. Virus HIV
secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4+. Infeksi HIV akan
menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun yang lainnya, daya
tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh ke dalam stadium
yang lebih lanjut.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target
virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang membuat individu
yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat
menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan
jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh.
AIDS adalah stage akhir dari infeksi HIV. Ketika sel CD4+ turun hingga dibawah 200
sel/mm3 kemungkinan menuju AIDS semakin besar. AIDS adalah suatu penyakit yang
sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya
dalam waktu lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan
meninggal. Proporsi kasus AIDS yang dilaporkan telah meninggal di Indonesia hingga
Desember 2009 adalah 19,3%.
c. Faktor Environment
Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian Sub-
Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah
perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota:pedesaan
yaitu 1,7:1.

Cara Penularan
a. Hubungan seksual, baik secara vaginal, oral, ataupun anal dengan seorang pengidap. Ini
adalah cara yang paling umum terjadi lebih mudah terjadi penularan bila terdapat lesi
penyakit kelamin dengan ulkus atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis,
gonorea, klamidia, kankroid, dan trikomoniasis. Resiko pada seks anal lebih besar
dibanding seks vaginal dan resiko juga lebih besar pada yang reseptive dari pada yang
insertive.
b. Kontak langsung dengan darah / produk darah / jarum suntik.
1. Transfusi darah yang tercemar HIV
2. Pemakaian jarum tidak steril/pemakaian bersama jarum suntik dan sempritnya pada
para pencandu narkotik suntik.
3. Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas kesehatan.
c. Secara vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, baik selam hamil, saat
melahirkan ataupun setelah melahirkan. Infeksi HIV kadang-kadang ditularkan ke bayi
melalui air susu ibu (ASI). Saat ini belum diketahui dengan pasti frekuensi kejadian
seperti ini atau mengapa hanya terjadi pada beberapa bayi tertentu tetapi tidak pada bayi
yang lain. Di ASI terdapat lebih banyak virus HIV pada ibu-ibu yang baru saja terkena
infeksi dan ibu-ibu yang telah memperlihatkan tanda-tanda penyakit AIDS. Setelah 6
bulan, sewaktu bayi menjadi lebih kuat dan besar, bahaya diare dan infeksi menjadi lebih
baik. ASI dapat diganti dengan susu lain dan memberikan makanan tambahan. Dengan
cara ini bayi akan mendapat manfaat ASI dengan resiko lebih kecil untuk terkena HIV.

Gejala Klinis

Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu.

a. Penderita asimtomatik, tanpa gejala, yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya.
b. Persistent Generalized Lymphadenopathy (PGL) dengan gejala limfadenopati umum.
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam dan gangguan sistem imun
atau kekebalan.
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa
diare kronis, pneumonitis interstitial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral
yang disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya Sarkoma Kaposi.
Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder.

Diagnosis HIV/AIDS

Gejala klinis khas HIV adalah sebagai berikut.

1. HIV stadium 1 : asimtomatis atau terjadi PGL.


2. HIV stadium 2 : berat badan menurun lebih dari 10%, ulkus atau jamur di mulut,
menderita herpes zoster 5 tahun terakhir, sinusitis rekuren.
3. HIV stadium 3 : berat badan menurun lebih dari 10%, diare kronis dengan sebab tak jelas
lebih dari 1 bulan.
4. HIV stadium 4 : berat badan menurun lebih dari 10%, gejala-gejala infeksi
pneumosistosis, TBC, kriptokokosis, herpes zoster dan infeksi lainnya sebagai
komplikasi turunnya sistem imun (AIDS). Lain-lain untuk menentukan diagnosis pasti
HIV/AIDS, virus penyebabnya dapat diisolasi dari limfosit darah tepi atau dari sumsum
tulang penderita.
Menurut kriteria WHO, gejala klinis AIDS untuk penderita dewasa meliputi minimum 2
gejala mayor dan 1 gejala minor.

Gejala mayor

a. Berat badan menurun lebih dari 10%.


b. Diare kronis lebih dari 1 bulan.
c. Demam lebih dari 1 bulan.

Gejala minor

a. Batuk lebih dari 1 bulan.


b. Pruritus dermatitis menyeluruh.
c. Infeksi umum rekuren misalnya herpes zoster atau herpes simpleks.
d. Limfadenopati generalisata.kandidiasis mulut dan orofaring.
e. Ibu menderita AIDS (kriteria tambahan untuk AIDS anak). Ibu membantu menegakkan
diagnosis, dilakukan pemeriksaan serologi untuk menentukan antibodi terhadap HIV
dengan uji ELISA, uji imunofluoresens, radioimmunopreciptin assay dan pemeriksaan
western blot.

ELISA

ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay), tes ini mendeteksi antibodi yang dibuat tubuh
terhadap virus HIV. Antibodi tersebut biasanya diproduksi mulai minggu ke 2, atau bahkan
setelah minggu ke 12 setelah terpapar virus HIV. Kerena alasan inilah maka para ahli
menganjurkan pemeriksaan ELISA dilakukan setelah minggu ke 12 sesudah melakukan
aktivitas seksual berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi. Tes ELISA
dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air kencing.

Saat ini telah tersedia Tes HIV Cepat (Rapid HIV Test). Pemeriksaan ini sangat mirip dengan
ELISA. Ada dua macam cara yaitu menggunakan sampel darah jari dan air liur. Hasil positif
pada ELISA belum memastikan bahwa orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih
diperlukan pemeriksaan lain, yaitu Western Blot atau IFA, untuk mengkonfirmasi hasil
pemeriksaan ELISA ini. Jadi walaupun ELISA menunjukkan hasil positif, masih ada dua
kemungkinan, orang tersebut sebenarnya tidak terinfeksi HIV atau betul-betul telah terinfeksi
HIV.
Pencegahan Primer

Pencegahan primer dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan pada
seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat terapeutik; tidak
menggunakan tindakan yang terapeutik; dan tidak menggunakan identifikasi gejala penyakit.
Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu; peningkatan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan
kesehatan reproduksi tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas;
secreening, dan sebagainya. Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan pribadi;
atau pemakaian kondom.

Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan melalui
pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat mengurangi
keparahan kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan penyakitnya.
Pencegahan sekunder terdiri dari teknik skrining dan pengobatan penyakit pada tahap dini.
Hal ini dilakukan dengan menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang ditimbulkan
dari perkembangan penyakit; atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit lain.

Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS dan


mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini terdiri
dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi yang
bertujuan mencegah komplikasi dan penurunan kesehatan. Kegiatan pencegahan tersier
ditujukan untuk melaksanakan rehabilitasi, dari pada pembuatan diagnosa dan tindakan
penyakit. Perawatan pada tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai tingkat
fungsi setinggi mungkin, sesuai dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS.
Daftar Pustaka

1. Chandra B. Kontrol penyakit menular pada manusia. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC; 2011.h.58-9.
2. Info HIV dan AIDS. http://www.aidsindonesia.or.id/contents/37/78/Info-HIV-dan-
AIDS#sthash.oCOQM6mB.dpbs/
3. Soedarto. Penyakit menular di Indonesia. Jakarta: Sagung Seto; 2009.h.195-8.
4. Notoadmojo S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.h.265-9,274-
7.
5. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta: EGC; 2009.h.74-90.

Anda mungkin juga menyukai