Anda di halaman 1dari 4

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DI SULAWSI TENGAH

“Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”

NAMA HENDRI SETIAWAN


NIM DBB 114 072
PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT DI SULAWSI TENGAH
“Menuju Pemberdayaan Masyarakat Desa”

Bagi masyarakat di Sulawesi Tengah yang hidup beranak cucu didalam dan sekitar hutan, memandang
bahwa hutan bagian sumber kehidupan untuk menunjang keberlangsungan hidup. Lebih dari itu, hutan
terkandung didalamnya berbagai nilai, makna serta relasi tersendiri bagi manusia. Bentuk pengelolaan
pun beragam caranya. Setiap cara memiliki pandangan, nilai dan makna tersendiri. Tak heran bila
keberadaan hutan dihargai, dihormati bukan suatu hal yang berlebihan tetapi menjadi satuan nilai
budaya masyarakat setempat. Semua ini merupakan bentuk ucapan, cermin perilaku dalam
mengungkapkan rasa terima kasih yang tertinggi, sebab hutan telah memberi mereka kehidupan.

Tidak kurang dari 859 dari 1430 desa di Sulawesi tengah tercatat secara geografis terletak di dalam dan
sekitar kawasan hutan. Selanjutnya sekitar 300 ribu jiwa jumlah penduduk di kabupaten Donggala
memperoleh sebagian kebutuhan sandang, pangan, papan juga bahan obat-obatan dari dalam hutan
yang luasnya mencapai 1.121.201,58 H. Informasi ini menunjukkan dekatnya garis relasi sosial, budaya,
ekonomi serta ekologis baik dari segi fungsi dan tata nilai antara masyarakat dengan hutan-nya.

Sejak ditetapkan berbagai status kawasan hutan di Sulawesi Tengah, melalui sejumlah bentuk kebijakan
negara, telah mempengaruhi dinamika ekonomi, sosial, budaya masyarakat yang bermukim di dalam
dan sekitar hutan. Beberapa areal pengelolaan pertanian masyarakat sebagai basis sumber pangan
seperti oma, ova, bonde, pampa, polida, tinalu maupun lopo sekarang ini sebagian besar telah
ditetapkan menjadi areal kawasan hutan yang harus dilindungi. Klaim tersebut berakibat pada sistem
ketahanan pangan masyarakat, khusus mereka yang selama ini hidup berladang. Situasi ini erat
kaitannya terhadap akses sumberdaya hutan yang dimilikinya. Tak heran jika kemiskinan masih melanda
masyarakat yang hidup di dalam dan sekitar hutan cenderung terus meningkat. Ini menjelaskan bahwa
penetapan status areal hutan oleh negara turut pula merubah dalam tata kuasa, tata kelola sumberdaya
hutan secara tradisi dan budaya. Olehnya sistem tata produksi hingga pada tata konsumsi masyarakat
mengalami kemorosotan.

Di tengah perjalanan perubahan tersebut, hadir berbagai bencana alam yang di-indikasikan telah terjadi
perubahan bentang alam akibat kerusakan hutan. Di daerah kabupaten Donggala beberapa kasus akibat
deforestrasi kawasan hutan dapat tergambar misalnya; banjir bandang di kecamatan Tanambulava,
banjir bandang di daerah Palolo, banjir di desa Omu, putusnya jalan transportasi Palu – Kulawi akibat
tanah longsor adalah fakta akibat terus meningkatnya kerusakan kawasan hutan yang harus dicarikan
jalan keluar bersama.

Berbagai kasus kerusakan kawasan hutan saat ini menjadi rahasia umum. Berlangsungnya kegiatan
eksploitasi hutan melalui pembalakan kayu baik secara legal maupun illegal merupakan faktor utama.
Kehadiran perusahaan kayu yang jumlahnya tidak kurang dari 200 perusahaan kayu dan soumil yang
beroperasi di Sulawesi Tengah menjadi pertanyaan. Sebab kerap kali masyarakat yang hidup didalam
dan sekitar hutan menjadi subjek sekaligus objek faktor utama kerusakan hutan. Jika ditelusuri, sungguh
menyedihkan. Karena faktor kebutuhan harus rela menjadi buruh upahan sekedar memenuhi
kebutuhan makan.

Kondisi demikian akhirnya membawa kita kedalam arena perdebatan. Baik mengarah bahkan sampai
terjadinya konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang hingga saat ini pada kenyataannya seakan tak
pernah berhenti. Membicarakan ruang lingkup konflik sumberdaya hutan, ada dua hal menjadi titik
sentral perdebatannya, Pertama; lingkup pemanfaatan dan Kedua; lingkup perlindungan. Dua hal ini
menjadi produk yang dikemas secara baik dengan menggunakan sejumlah argumentasi dari berbagai
sudut pandang. Namun pada tahap dan situasi tertentu antara pemanfaatan dan perlindungan harus
berhadapan bahkan mengalami pertentangan. Situasi dan kondisi ini mengisyaratkan pada kita semua
bahwa persoalan paradigma dalam melihat pengelolaan sumberdaya hutan masih mengalami
perbedaan. Belum lagi dipicu oleh kebijakan yang mengatur tentang sumberdaya alam yang tumpang
tindih satu dengan yang lainnya. Tak heran jika mendorong lebih tajam konflik pengelolaan sumberdaya
hutan

Sehingga sangat terasa bahwa kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya hutan belum
menyentuh sama sekali kepentingan masyarakat dalam menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi
pemanfaatan secara berkelanjutan. Proses konversi hutan menjadi berbagai peruntukan lain seperti
areal konsesi HPH, perkebunan besar swasta, transmigrasi, pertambangan dan lainnya belum secara
tegas memperhatikan aspek kepentingan masyarakat lokal

Awal 1970-an masa kelam bagi masyarakat yang hidup di dan sekitar hutan. Seperti yang dialami
masyarakat Tompu yang berada ± 5 Km sebelah timur desa Ngata Baru diusir dari kampungnya. Akibat
proses itu, kini keberadaan masyarakat Tompu tersebar kebeberapa wilayah bahkan karena takut
sebagian memilih untuk menetap di Parigi Mpu, Pandere, Palolo, Kawatuna, Ngata Baru dan Loru.
Peristiwa itu bukan saja terjadi di Tompu, namun hampir bersamaan dengan masyarakat lokal di
beberapa perkampungan yang berada disepanjang pegunungan sebelah barat kota Palu. Yaitu; kampung
Biopore, Matantimali, Panasibaja, Dompu, Ongulero, Gimpubia, Bambakanini, Mabere, Vayu dan
kampung Taipangga tak luput dari korban kebijakan departemen kehutanan dengan modus yang sama.
Jumlah masyarakat perkampungan tersebut ±1000 jiwa harus dipindahkan ke daerah Palolo.
Peristiwa diatas hanya mewakili puluhan fakta lainnya. Begitu banyak kasus yang sama dan dialami
masyarakat lokal yang hidup di dan sekitar hutan yang belum diceritakan bahkan terungkap. Ini
membuktikan serta membuka mata kita semua akan sajian realitas yang pahit dari lembar kebijakan
penetapan kawasan hutan.

Paling tidak ada tiga bentuk respon masyarakat terhadap kebijakan penetapan kawasan hutan. Pertama;
Kultivasi yakni mengabaikan pelarangan untuk mengelola dalam kawasan hutan dengan cara tetap
melakukan aktivitas perladangan/kebun didalam kawasan tanpa peduli soal hak atas tanah tersebut.
Kedua; Integrasi yakni menerima kehadiran penetapan kawasan hutan tetapi pemerintah harus
mengakui keberadaan wilayah adat dan menuntut hak kepemilikan tradisional masyarakat dalam
wilayah tersebut dan Ketiga; Aneksasi yakni melakukan perlawanan terbuka atas penetapan kawasan
hutan dengan cara mereklaiming, Okupasi, Penebangan hutan dan menuntut hak kepemilikan atas
tanah

Sehingga berpikir dan bertindak bersama menjadi kebutuhan dalam melihat pemanfaatan dan
perlindungan terhadap sumberdaya hutan dan penting untuk dicermati secara kritis baik latar belakang
historisnya. Bila perlu berbagai tata penggunaan bahasa dengan sudut pandang disiplin ilmu yang
berbeda harus ditinjau kembali tanpa harus mendiskreditkan pandangan masyarakat yang hidup secara
turun temurun di dalam dan sekitar hutan.. Realitas ini menyadarkan kita, bahwa pentingnya
membangun persepsi, pola kerjasama yang setara, adil serta berkelanjutan dalam pengelolaan
sumberdaya hutan antara masyarakat dengan pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat setempat dan kelestarian kawasan hutan untuk masa sekarang dan kedepan.

Anda mungkin juga menyukai