Anda di halaman 1dari 9

TEORI

TRANSFUSI DARAH
A. Pengertian Transfusi Darah
Transfusi darah ialah pemindahan darah dari donor ke dalam peredarandarah
resipien (Latief et al, 2007). Darah dan berbagai komponen darah dapat
ditransfusikan secara terpisah sesuai dengan kebutuhan. Darah tersusun dari
pelbagai komponen iaitu eritrosit (redblood cells), trombosit pekat
(thrombocyte concentrate), kriopresipitat, dan plasma segar beku (fresh
frozen plasma). Komponen darah yang ditransfusikan sesuai dengan yang
diperlukan akan mengurangi kemungkinan reaksi
transfusi,circulatoryoverload dan penularan infeksi yang terjadi dibandingkan
dengan transfusi darah lengkap (Bermawi, 2010).
B. Penggunaan komponen darah
Banyak perdebatan yang diungkapkan di berbagai literatur
mengenai komponen darah yang dapat digunakan secara tepat. Beberapa
percobaan klinis menyarankan tindakan transfusi dilakukan dengan
menunggu sampai pasien mencapai kadar Hb terendah. Pada prinsipnya,
penggunaan komponen darah disesuaikan dengan kebutuhan pasien akan
komponen darah spesifik yang diperlukan (Liumbruno, GM, Bennardello
F, Lattanzio A, dkk, 2011).
1. Whole blood
Fresh whole blood didefinisikan sebagai darah yang disimpan pada
bank darah dalam waktu <24 jam pada suhu 1 to 6°C sebelum
ditransfusikan ke pasien. Semakin lama disimpan, kemampuan agregasi
trombosit akan semakin menurun. Whole blood mengandung komponen
eritrosit, leukosit, trombosit, dan plasma. Satu unit whole blood terdiri
dari 250 mL darah dan 37 mL antikoagulan dengan kadar hematokrit
40%, dapat meningkatkan kadar Hb sebanyak 1g/dL dan hematokrit
sebanyak 3-4%. Whole blood digunakan pada pasien yang
membutuhkan transfusi sel darah merah dan plasma secara bersamaan
serta kehilangan 15-20% volume darah pada orang dewasa.
2. Packed red cell
Packed red blood cell (PRC) mengandung kadar Hb yang sama dengan
whole blood, dengan volume 250-300 mL dan kadar hematokrit 70%.
Umumnya, unit PRC difiltrasi untuk mengurangi kadar leukosit
sehingga dapat mencegah terjadinya febrile nonhemolytic transfusion
reactions (FNHTRs). Dalam periode perioperatif dan paska bedah,
transfusi RBC diperlukan untuk menggantikan darah yang hilang
selama pembedahan berlangsung, mempertahankan kadar Hb, dan
meningkatkan kapasitas angkut oksigen ke jaringan. Untuk menentukan
jumlah darah yang dibutuhkan agar Hb darah pasien meningkat dapat
digunakan .Kadar Hb yang dimiliki PRC adalah 24%. Selama
ditransfusikan, PRC dihangatkan pada suhu 37°C untuk mencegah
hipotermia. Pemberian PRC dapat difasilitasi dengan larutan kristaloid 50-
100 mL normal saline.
Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb masih >10 gr/dL. Transfusi
PRC dengan strategi restriktif diindikasikan bila kadar Hb <7 gr/dL atau
hematokrit <21% dan dipertahankan pada rentang 7 – 9 gr/dL. Keluaran
klinis pada strategi restriktif tidak bermakna secara signifikan dengan
strategi liberal yang mengindikasikan transfusi bila kadar Hb <10 gr/dL
dan dipertahankan pada rentang 10 – 12 gr/dL.
Pada pasien trauma bila kadar Hb >7 gr/dL, perlu dilakukan evaluasi
keadaan hipovolemia pada pasien. Bila terjadi hypovolemia berikan
cairan intravena untuk mengembalikan volume darah. Bila
normovolemia lakukan evaluasi lebih lanjut terkait gangguan hantaran
oksigen dengan menilai SvO2. Saat hantaran oksigen terganggu,
pertimbangkan pemasangan kateter arteri pulmonal serta ukur curah
jantung pasien. Jika hantaran oksigen masih baik, lakukan pemantauan
kadar Hb.
3. Konsentrat trombosit
Konsentrat trombosit bisa didapatkan dari konsentrasi penuh 4 kantong
darah lengkap maupun dari teknik apheresis trombosit dari satu
pendonor saja. Satu unit trombosit yang diperoleh mengandung 50 – 70
mL plasma, disimpan dalam suhu 20-24°C selama 5 hari. Transfusi
konsentrat trombosit dilakukan untuk mencegah perdarahan pada pasien
dengan trombositopenia atau disfungsi trombosit.
Sebagai profilaksis, konsentra trombosit dapat diberikan bila kadar
3
trombosit pasien hanya 10.000-20.000/mm karena risiko terjadinya
perdarahan spontan. Pada pasien paska pembedahan harus dilakukan
tindakan pemberian transfusi konsentrat trombosit bila kadarnya masih
3
dibawah 50.000/mm dan disertai perdarahan, serta diperlukan pada
pasien dengan teknik pembedahan sangat invasif seperti paska bypass
jantung. Pertimbangan lain untuk memberikan transfusi trombosit pada
3
tingkat kadar sedang antara 50.000-100.000/mm adalah bila pasien
menjalani pembedahan saraf maupun mata dan mengalami disfungsi
trombosit. Satu unit apheresis dapat meningkatkan kadar trombosit
3
mencapai 30.000-60.000/mm . Trombosit harus segera ditransfusikan
begitu sampai ke pasien.
4. Fresh frozen plasma
Fresh frozen plasma (FFP) merupakan plasma yang langsung
dibekukan pada suhu kurang atau sama dengan -25°C untuk
memelihara faktor pembekuan yang dikandungnya setelah diperoleh
dari donor dan dapat disimpan hingga 5 hari. FFP merupakan produk
plasma yang paling sering digunakan, mengandung protein plasma dan
seluruh faktor pembekuan.
Pemberian FFP dapat dilakukan pada pasien dengan perdarahan aktif,
inernational normalized ration (INR) >1.6, PT>15 detik, PTT>40 detik,
7,3,5
dan defisiensi faktor pembekuan darah. Transfusi plasma tidak tepat
diberikan saat terjadi peningkatan INR tanpa disertai perdarahan. Setiap
unit FFP dapat meningkatkan 2-3% masing-masing faktor pembekuan
pada orang dewasa. Dosis pemberian FFP yang direkomendasikan
adalah 10-15 mL/kg berat badan dengan tujuan mencapai 30%
konsentrasi faktor pembekuan normal. FFP dihangatkan pada suhu
37°C sebelum ditransfusikan. FFP dapat diberikan sebagai profilaksis
bila faal hemostasis PT 1,5 kali lebih besar dari nilai rujukan tertinggi
dan PTT 1,5 lebih besar dari nilai rujukan tertinggi.
C. Alternatif dalam pemberian transfusi darah
Salah satu alternatif dalam pemberian transfusi adalah dengan
transfusi autologous dengan menggunakan darah pasien itu sendiri.
Pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan elektif dengan
kemungkinan mendapat transfusi dapat menyumbangkan darahnya
untuk digunakan kemudian. Pengambilan darah biasanya dimulai pada
4-5 minggu sebelum pembedahan. Pasien dapat mendonorkan darahnya
selama kadar hematokritnya paling tidak 34% atau kadar Hb minimal 11
g/dL. Jarak antar donasi minimal selama 72 jam untuk mengembalikan
volume plasma ke dalam batas normal (Morgan GE, Mikhail, 2013).
Pada pasien dewasa sehat dapat mendonorkan darahnya sampai tiga
kali. Selama proses koleksi darah, pasien juga dibantu dengan
pemberian suplemen zat besi. Beberapa studi mengatakan bahwa
transfusi darah autologoud dapat menurunkan risiko infeksi dan reaksi
transfusi ketika diberikan. Prosedur ini juga dapat dilakukan pada kasus
tertentu seperti pada pasien tertentu yang memiliki golongan darah
langka yang sulit ditemukan atau pada pasien yang menolak transfusi
darah allogenik (Norfolk, 2013).
D. Indikasi khusus transfusi darah
1. Transfusi darah gawat darurat
Dalam situasi gawat darurat yang tidak memungkinan untuk
melakukan tes pada sampel darah transfusi, PRC golongan O resus
negative dapat diberikan pada pasien, dengan ketentuan tidak ada
riwayat transfusi sebelumnya 0Miller, 2015). Alasannya adalah pada
golongan darah O resus negative memiliki volume plasma yang lebih
sedikit dan hampir tidak mengandung antibodi anti-A dan anti-B.
Dalam kondisi tersebut, seorang dokter harus membuat lembar
pertanggungjawaban mengenai indikasi pemberian transfusi darah
tanpa dilakukan pemeriksaan sampel darah sebagai tindakan live
saving (Kaur P, Basu S, Kaur G, dkk, 2013).
2. Transfusi darah massif
Transfusi masif didefinisikan sebagai prosedur pemberian transfusi
yang melebihi volume darah pasien atau sebanyak 10 unit darah dalam
24 jam saving (Kaur P, Basu S, Kaur G, dkk, 2013). Atau transfusi
yang melebihi 50% volume sirkulasi dalam waktu kurang dari 3 jam
atau transfusi dengan laju 150mL/menit. Tindakan ini dilakukan bila
terjadi perdarahan akut pada pasien bedah akibat defisiensi faktor
pembekuan multiple dan trombositopenia. Pada pasien dengan kondisi
tersebut dapat diberikan factor pembekuan V dan VIII untuk
memperbaiki kondisi klinis (McCullough, 2017).
E. Komplikasi paska transfuse
Disamping manfaat yang didapat, transfusi darah bukan berarti bebas
risiko. Komplikasi terkait transfusi dapat dikategorikan menjadi
komplikasi akut dan lanjut, dapat dikategorikan lagi secara lebih terperinci
yaitu komplikasi infeksius dan non-infeksius. Komplikasi akut dapat
terjadi dalam hitungan menit sampai 24 jam, sedangkan komplikasi
tertunda dapat terjadi dalam hitungan hari, bulanan, hinggan beberapa
tahun setelahnya. Komplikasi infeksi yang disebabkan karena transfusi
sudah jarang terjadi seiring perkembangan proses screening darah. Risko
infeksi yang ditimbulkan sudah berkurang 10.000 kali sejak tahun 1980.
Komplikasi transfusi non-infeksius 1000 kali lebih sering terjadi daripada
komplikasi yang bersifat infeksius karena tidak ada perkembangan dalam
pencegahannya. Beberapa contoh komplikasi transfusi yang terjadi antara
lain:
1. Komplikasi non-infeksius
a. Reaksi transfusi akut
1) Reaksi hemolitik akut
Reaksi hemolitik akut sangat jarang terjadi yang timbul
karena transfusi yang tidak cocok. Prosesnya disebabkan
oleh adanya proses penghancuran sel darah merah yang
dihancurkan oleh sel imun resipien dalam kurun waktu 24
jam setelah transfusi diberikan. Reaksi antibodi terhadap
antigen tersebut terbentuk oleh proses imunisasi dari
transfusi sebelumnya atau riwayat kehamilan. Hemolisis
dapat terjadi pada intravaskular maupun ekstravaskular.
Kejadian pada ektravaskular paling umum ditemukan,
dimana eritrosit donor diselimuti oleh immunoglobulin G
(IgG) atau komplemen lain dalam hepar dan lien. Gejala
yang dapat timbul antara lain demam, mual muntah, kaku,
hipotensi, dyspnea, anemia, dan disseminaterd intravascular
coagulation (Sharma S, Sharma P, Tyler LN, 2011). Bila
terjadi reaksi hemolitik segera hentikan transfusi dan
berikan oksigen yang dekuat.
2) Reaksi alergi
Reaksi alergi umum terjadi dan gejalanya ringan.
Kebanyakan disebabkan oleh adanya protein asing pada
darah donor dan dimediasi oleh IgE. Gejala yang dapat
timbul diantaranya pruritus, urtikaria, dengan atau tanpa
diserta demam. Bila reaksi alergi terjadi segera hentikan
transfusi dan berikan antihistamin atau steroid (Mangku G,
Senapathi, 2017).

3) Transfusion-related acute lung injury


Transfusion-related acute lung injury (TRALI)
merupakan reaksi yang disebabkan oleh interaksi antara
antibodi darah donor dengan neutrophil, monosit, atau sel
endotel paru resipien. Tanda dan gejala yang timbul seperti
demam, dyspnea, hipoksia berat yang muncul pada 1-2 jam
pertama sampai 6 jam setelah transfusi. Keadaan tersebut
terjadi Karena adanya peran antibodi sitoplasmik
antineutrofil (anti-HLA) mengaktivasi sistem imun resipien,
kemudian sitokin-sitokin inflamasi dilepaskan dan terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler di paru sehingga terjadi
edema paru. Neutrophil yang teraktivasi di paru-paru akan
mensekresi enzim proteolitik sehingga terjadi kerusakan
jaringan paru. TRALI juga dapat didefinisikan sebagai
edema paru nonkardiogenik (Sharma S, Sharma P, Tyler LN,
2011). Bila terjadi TRALI segera hentikan pemberian
transfusi dan berikan terapi suportif. Walaupun TRALI dapat
menyebabkan mortalitas, pasien akan pulih kembali dalam
waktu 96 jam (Miller RD, 2015).
4) Febrile nonhemolytic transfusion reactions
Febrile nonhemolytic transfusion reactions (FNHTR)
didefinisikan sebagai peningkatan suhu 1°C diatas 37°C
dalam waktu 24 jam paska transfusi, dapat disertai dengan
kekakuan, kedinginan, dan perasaan tidak nyaman pada
pasien. Gejalanya muncul beberapa jam setelah transfusi.
FNHTR sangat umum terjadi dan tidak mengancam nyawa
(Maxwell MJ, Wilson MJ, 2009). Leukoreduksi atau filtrasi
leukosit pada darah donor sebelum ditransfusikan ke pasien
dapat mengurangi kejadian FNHTR. Ada 2 mekanisme yang
mendasari terjadinya FNHTR, yaitu reaksi mediasi antibodi
dan pelepasan sitokin inflamasi seperti IL-1; IL-6; IL-8; dan
TNF.

b. Komplikasi lanjut
Transfusion-associated graft-versus-host disease merupakan peristiwa
dimana sel limfosit donor mengalami proliferasi di dalam tubuh
resipien yang kemudian merusak jaringan dan organ resipien.
Kejadiannya cenderung dialami oleh pasien dengan defisiensi imun.
Gejala yang dialami dapat meliputi kemerahan pada kulit, demam,
diare, disfungsi hepar, dan pansitopenia yang terjadi 1-6 jam setelah
transfuse (Sharma S, Sharma P, Tyler LN, 2011).
2. Komplikasi infeksius
Komponen darah donor dapat terkontaminasi oleh bakteri maupun
virus. Kontaminasi bakteri cukup jarang terjadi, tetapi bila pasien
terinfeksi bakteri melalui produk darah akan menimbulkan sepsis
dengan angka mortalitas yang tinggi. Hal ini dapat terjadi ketika proses
pungsi vena maupun disebabkan oleh bakterremia pada donor tanpa
menunjukkan gejala. Gejala infeksi bakterti yang terjadi segera atau
selama transfusi diantaranya demam, eritema, dan kolaps
kardiovaskular (Maxwell MJ, Wilson MJ, 2009).
Insiden infeksi virus paska transfusi terdapat sekitar 1:200,000
untuk hepatitis B, 1:1,900,000 untuk hepatitis C. kebanyakan kasus
menunjukkan gejala anikterik. Hepatitis C merupakan infeksi serius
yang lebih umum terjadi, bias berkembang menjadi hepatitis kronis
dengan sirosis hati pada 20% penderitanya. Infeksi HIV-1 dan HIV-2
juga merupakan salah satu komplikasi infeksius dari transfusi darah.
namun, dengan adanya tes asam nukleat virus yang diperankan oleh
Food and Drugs Administrasion dapat menurunkan risiko transmisi
HIV mencapai 1:1,900,000 kejadian (Morgan GE, Mikhail MS, 2013).

DAFTAR PUSTAKA
1. Watering LMG. Alternatives to Blood Transfusion in
Transfusion
Medicine. ResearchGate. 2008 Nov. doi: 10.1111/j.1778-
428X.2008.00114.x
2. Kaur P, Basu S, Kaur G, dkk. Transfusion issues in surgery.
Internet Journal of Medical Update. 2013 January;8(1):46-50
3. Liumbruno, GM, Bennardello F, Lattanzio A, dkk.
Recommendations for the transfusion management of patients
in the peri-operative period. III. The post-operative period.
Blood Transfus 2011;9:320-35
4. Sharma S, Sharma P, Tyler LN. Transfusion of Blood and
Blood Products: Indications and Complications. Am Fam
Physician. 2011;83(6):719-724.
th
5. Miller RD. Miller’s Anesthesia. 8 edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2015.
th
6. McCullough J. Transfusion Medicine. 4 Edition. Oxford: John
Wiley & Sons; 2017.
th
7. Norfolk D. Handbook of Transfusion Medicine. 5 edition.
United Kingdom: TSO; 2013.
st
8. Mangku G, Senapathi TGA. Ilmu Anestesia dan Reanimasi. 1
edition. Jakarta: Indeks Jakarta; 2017.
9. Maxwell MJ, Wilson MJ. Complication of Blood Transfusion.
British Journal of Anaesthesia. 2009;6(6):225-229
th
10. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 5 Edition.
United States: Lange; 2013.

Anda mungkin juga menyukai