BAB I Baru
BAB I Baru
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala yang terdiri atas
proteinuria masif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/m 2/hari pada
anak), hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), edema dan hyperlipidemia (Alldredge
dkk.,2012; Berhman dkk., 2004). Pasien dengan sindrom nefrotik terjadi suatu
gangguan pada membrane basal glomerulus yang mengakibatkan timbulnya
kebocoran protein plasma ke urin. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya
hipoproteinemia, penurunan serum protein dan albumin, adanya edema serta
hiperlipidemia (Okada dan Takemura, 2009). Sindrom nefrotik 15 kali lebih sering
ditemukan pada anak dari pada dewasa (Behrman dkk., 2004; Handayani dkk.,
2007).
Sifat khusus dari penyakit sindrom nefrotik adalah sering kambuh, sering
gagalnya pengobatan dan timbulnya penyulit, baik akibat dari penyulitnya sendiri
maupun oleh karena pengobatannya. Penyulit yang sering terjadi pada sindrom
nefrotik adalah infeksi, trombosis, gagal ginjal akut, malnutrisi, gangguan
pertumbuhan, hiperlipidemia dan anemia. Infeksi merupakan penyulit yang
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Bentuk infeksi yang
sering dijumpai pada sindrom nefrotik adalah peritonitis, infeksi saluran kemih, dan
sepsis.
Obat-obat yang digunakan untuk terapi penyakit ini pada umumnya sangat
toksik seperti kortikosteroid dan imunosupresant. Pemakaian kortikosteroid dosis
tinggi dalam waktu yang lama dapat menekan sistem imun (imunocompromised) dan
menimbulkan berbagai efek samping yang merugikan seperti munculnya infeksi
sekunder. Infeksi yang tidak ditangani sebagaimana mestinya akan mengakibatkan
kekambuhan dan resisten terhadap steroid (Arcana, 2000).
Mortalitas dan prognosis anak dengan sindrom nefrotik bervariasi berdasakan
etiologi, berat, luas kerusakan ginjal, usia anak, kondisi yang mendasari dan
responnya terhadap pengobatan. Namun sejak diperkenalkannya kortikosteroid,
mortalitas keseluruhan sindrom nefrotik telah menurun drastis dari lebih dari 50%
menjadi sekitar 2-5%. (Wirya, 2002)
Secara morfologis sindrom nefrotik idiopatik dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
penyakit kelainan minimal, proliferasi mesangium dan glomerulosklerosis segmental
fokal. Sebanyak 95% pasien dengan penyakit kelainan minimal masih merespon baik
1
terhadap terapi kortikosteroid. Berbeda dengan kelainan minimal, hanya 50% dari
pasien dengan proliferasi mesangium yang merespon terhadap kortikosteroid. Hanya
20% morfologi glomerulosklerosis segmental fokal yang merespon terhadap terapi
kortikosteroid. Respon pasien terhadap terapi kortikosteroid berbeda (Behrman dkk.,
2004; Eddy dan Symons, 2008).
Tingginya efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang dapat
menurunkan kualitas hidup pasien anak. Beberapa contoh efek samping penggunaan
kortikosteroid yaitu hipertensi, instabilitas emosional, kegagalan penyembuhan luka,
intoleransi karbohidrat,
Angka kejadian sindrom nefrotik ini memang tergolong jarang, namun
penyakit ini perlu diwaspadai terutama pada anak-anak, karena jika tidak segera
diatasi akan mengganggu sistem urinaria dan akan menggangu perkembangan lebih
lanjut anak tersebut. Di samping itu masih banyak orang yang belum mengerti
tentang seluk beluk sindrom nefrotik, faktor penyebab sindrom nefrotik, gejala
sindrom nefrotik, dan cara penanganan sindrom nefrotik. Berdasarkan hal itu maka
penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul Asuhan Keperawatan Pada
Anak Dengan Sindrom Nefrotik.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep dasar dan asuhan keperawatan
pada anak dengan sindrom nefrotik.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa dapat menyebutkan anatomi fisiologi dari Sindrom Nefrotik.
b. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian dari Sindrom Nefrotik.
c. Mahasiswa dapat menjelaskan dan menyebutkan etiologi dari Sindrom
Nefrotik.
d. Mahasiswa dapat menguraikan patofisiologi dari Sindrom Nefrotik.
e. Mahasiswa dapat menyebutkan manifestasi klinis dari Sindrom Nefrotik.
f. Mahasiswa dapat menyebutkan dan menjelaskan pemeriksaan penunjang
Sindrom Nefrotik.
g. Mahasiswa dapat menyebutkan penatalaksanaan Sindrom Nefrotik.
C. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan makalah, dan
sistematika penulisan.
Bab II Konsep dasar penyakit, bab ini terdiri dari pengertian, anatomi dan fisiologi
etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik, dan pentalaksanaan
dari Sindrom Nefrotik.
2
Bab III Asuhan keperawaran pada anak dengan Sindrom Nefrotik, bab ini terdiri dari
pengkajian, diagnosa keperawatan, internesi keperawatan, implementasi dan evaluasi.
DAFTAR PUSTAKA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
3
hipoalbuminemia, dan hiperkolesterolemia. Kadang-kadang ditemukan hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (Nurarif & Kusuma, 2013).
B. Anatomi Fisiologi
Menurut Gibson, John (2003) Setiap ginjal memiliki panjang sekitar 12 cm,
lebar 7 cm, dan tebal maksimum 2,5 cm, dan letak pada bagian belakang perut,
posterior terhadap peritoneum, pada bagian belakang abdomen, posterior terhadap
peritoneum, pada cekungan yang berjalan di sisi lain dari corpus vertehrac. Lemak
perinefrik adalah lemak yang melapisi ginjal. Ginjal kanan adalah lebih kecil dari kiri
karena adanya hepar pada sisikanan. Sebuah kelenjar adrenalis terletak pada bagian
atas setiap ginjal. Setiap batu memiliki ujung alas dan bawal yang membulat (ujung
superior dan inferior), margo lateral yang membulat konveks, dan pada margo
medialis merupakan cekungan yang disebut hilum.
Arteria dan vena, pembuluh limfa, saraf renalis, dan ujung atas ureter bergabung
dengan ginjal pada hilum.
4
Sumber : Adam, Todd R. Olson (2008)
ANATOMI NEFRON
5
Sumber : Adam, Todd R. Olson (2008)
Di dalam korteks ada jutaan nefron. Nefron adalah unit fungsional terkecil
dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontroktus proksimal, tubulus kontrorus distal dan
duktus koligentes. Berikut adalah penjelasan bagian bagian di dalam nefron:
1. Nefron adalah tempat penyaringan darah. Di dalam ginjal ada lebih dari juta buah
nefron. Nefron terdiri dari glomerulus, kapsula bowman, tubulus kontortus
proksimal, lenkung henle, lubulus kuntortus distal, tubulus koleklivus.
2. Glomerulus merupakan tempat penyaringan darah yang akan menyaring air, garam,
asam amino, glukosa, dan urea. Menghasilkan urin primer.
3. Kapsul bowman adalah semacam kantong /kapsul yang membungkus glomerulus.
Kapsul bowman ditemukan oleh Sir Willaim Bowman.
4. Tubulus contortus proksimal adalah tempat penyerapan kembali / reabsorbsi urin
primer yang menyerap glukosa, garam,air, dan asam amino. Menghasilkan urin
sekunder.
5. Lengkung henle merupakan penghubung tubulus kontortus proksimal dengan
tubulus kontortus distal.
6. Tubulus kontortus distal merupakan tempat untuk melepaskan zat-zat yang tidak
berguna lagi atau melalui berlebihan ke dalam urin sekunder. Menghasilkan urin
sesungguhnya.
7. Tubulus kolektivus adalah tabung sempit panjang dalam ginjal yang menampung
urin dari nefron, untuk di salurkan ke pelvis menuju kantung kemih.
C. Etiologi
6
Menurut Nurarif & Kusuma (2013), penyebab sindrom nefrotik yang belum
dapat diketahui dengan pasti. Akhir-akhir ini dianggap sebagai penyakit autoimun,
yaitu reaksi antigen antibodi. Etiologi dibagi menjadi 3 yaitu :
D. Patofisiologi
Menurut Betz & Sowden (2009), Sindrom nefrotik adalah istilah klinis yang
disebabkan oleh kerusakan glomerulus. Peningkatarn permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma menimbulkan protein, hipoalbumin, hiperlipidemia dan
edema. Hilangnya protein dari rongga vaskuler menyebabkan penurunan tekanan
osmotik plasma dan peningkatan hidrostatik, yang menyebabkan terjadinya
akumulasi cairan dalam rongga inlerstisial dan rongga abdomen. Penurunan volume
cairan vaskuler menstimulasi sistem renin-angiotensin yang mengakibatkan
diskresikannya hormon antidiuretik dan aldosterone. Reabsorsi tubular terhadap
natrium (Na) dan air mengalami peningkatan dan akhirnya menambah volume
intravaskuler. Retensi cairan ini mengarah pada peningkatan edema. Koagulasi dan
thrombosis vena dapat terjadi karena penurunan volume vaskuler yang
7
mengakibatkan hemokonsentrasi dan hilangnya urin dari koagulasi protein.
Kehilangan immunoglobulin pada urin dapat mengarah pada peningkatan kerentanan
terhadap infeksi.
Pathway
8
Sumber : Nurarif, Kusuma. 2015
F. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Betz & Sowden (2009), pemeriksaan diagnostik sebagai berikut :
1. Uji Urine
a. Urinalisis : Proteinuria (dapat mencapai lebih dari 2 g / m2 / hari) bentuk hialin
dan granular, hematuria
b. Uji dipstick urinc: hasil posisif untuk protein dan darah
c. Berat jenis urin meningkat palsu karena proteinuria
d. Osmolalitas urine meningkat
2. Uji Darah
a. Kadar albumin serum: menurun (kurang dari 2 g / dl)
9
b. Kadar kolesterol serum meningkat (dapat mencapai 450 sampai 1000 mg / dl)
c. Kadar trigliserid serum meningkat (150 mg/dL pada batas normal).
d. Kadar hemoglobin dan hematokrit meningkat (Hb pada anak 6 bulan-6
tahun=11gr/dL dan Ht= 33-38%).
e. Hitung trombosit meningkat (mencapai 500.000 sampai 1000.000ul)
f. Kadar elektrolit serum: bervariasi sesuai dengan keadaan penyakit perorangan
3. Uji diagnostik
Biopsi ginjal (tidak dilakukan secara rutin)
G. Penatalaksanaan
10