Pembimbing :
Disusun Oleh :
2017
1
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN REFERAT
Disusun Oleh :
Pembimbing
2
A. Epidemiologi Tumor Tiroid
Epidemiologi kanker tiroid berdasarkan data/registrasi patologi di
Indonesia menempati urutan ke “sembilan”. Menurut kepustakaan dunia,
kanker tiroid merupakan kanker organ endokrin terbanyak dijumpai. Faktor
risiko untuk terjadinya karsinoma tiroid adalah paparan radiasi, intake
yodium, stimulasi yang kronik dari thyroid stimulatin hormone (di daerah
endemi) (Peraboi, 2010).
Pembedahan tiroid pada awal abad ke-16 dan 17, memberikan
mortalitas yang tinggi, pada umumnya kematian disebabkan oleh perdarahan
yang tidak dapat dikontrol. Ahli bedah dari Swiss dan Amerika mengajukan
pembedahan tanpa darah (Peraboi, 2010).
3
1. Hasil FNAB suspek maligna, “foliculare pattern” dan “Hurthle cell”.
Maka dilakukan tindakan isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku
(VC)
2. Hasil FNAB benigna. Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet
Thyrax selama 6 bulan kemudian dievaluasi, bila nodul mengecil diikuti
dengan tindakan observasi dan bila nodul tidak ada perubahan atau
bertambah besar sebaiknya dilakukan tindakan isthmolobektomi dan
pemeriksaan potong beku (VC) seperti di atas.
4
Evaluasi tambahan berdasarkan pemeriksaan fisik atau riwayat pasien,
meliputi:
- Evaluasi pita suara: untuk menentukan bagaimana saraf yang
menginervasi pita suara. Evaluasi pita suara selesai dilakukan dengan
laringoskop fleksibel (tabung kecil dengan kamera di ujungnya). Prosedur
ini disebut laringoskopi fleksibel. Pemeriksaan ini akan hampir selesai
dilakukan.
- Evaluasi trakea: CAT scan atau bronkoskopi dapat dialkukan jika kelenjar
tiroid yang membesar menekan trake. Massa yang besar dapat
menyebabkan deviasi atau penyempitan trakea. Pada kasus kanker yang
meluas, tumor mungkin mungkin tumbuh ke dalam trakea.
- Evaluasi esofagus: menelan barium esofagram atau endoskopi dapat
dilakukan jika khawatir melibatkan esofagus.
5
berpotensi tinggi terhadap komplikasi kardiovaskular seperti atrial fibrilasi,
hipertensi, dan badai tiroid (Bacuzzi et al., 2008).
Pasien dengan hipotiroid yang telah distabilkan, menurukan laju
metabolik dan menurunkan kapasitas untuk metabolisme obat-obat sehingga
memperpanjang efek recovery agen-agen anestesi (Bacuzzi et al., 2008).
Manifestasi klinis hipotiroid yang memberikan implikasi signifikan
untuk anestesi meliputi depresi fungsi miokard, gangguan mekanisme refleks
baroreseptor, depresi ventilasi, penurunan volume sel darah merah dan
plasma, hipoglikemi, dan gangguan metabolisme hepar (Bacuzzi et al., 2008).
Koma mixoedema merupakan situasi emergensi yang bisa ditemui
pada pasien hipotiroidi yang sangat besar. Manifestasinya secara klinis yaitu
kumpulan tanda dan gejala meliputi letargi parah, hipotermia, bradikardi, dan
hipoksemia karena hipoventilasi alveolar. Kondisi ini, jika tidak tertangani,
dapat memburuk dan mengarah ke gagal jantung kongestif dan efusi
perikardium. Intervensi emergensi seperti pemberian T3 dan T4 dapat
memicu gagal jantung kongestif dan iskemik miokard. Terapi suportif pada
situasi emergensi utamanya ditargetkan untuk optimalkan dan
mempertahankan fungsi sistem organ individu (Bacuzzi et al., 2008).
Pada prosedur operasi emergensi, persiapan cepat dari pasien meliputi
pemberian beta bloker, kortikosteroid, obat anti-tiroid dan iodin. Pemberian
beta bloker harus bijaksana sebagai pengganti potensial risiko dari timbulnya
gagal jantung kongestif, bronkospasme pada pasien PPOK dan hipoglikemi
pada pasien diabetes. Pemberian obat-obat membantu memperbaiki beberapa
kemungkinan insufisiensi kelenjar adrenal (Bacuzzi et al., 2008).
Premedikasi biasanya dihindari pada pasien-pasien ini karena potensi
kesulitan jalan napas dan kemungkinan obstruksi respirasi. Namun,
Antihistamin H2 seperti Ranitidin dan laurtan oral sodium sitrat aman
digunakan dengan metoclopramid ketika preoperatif (Bacuzzi et al., 2008).
Plexus superfisial dan profunda servikal diblok sebagaimana anestesi
epidural servikal tidak direkomendasikan lagi sebagai variase teknik yang
bervariasi berhubungan dengan potensi risiko komplikasi seperti anestesi
yang tidak adekuat atau pemberian efek anestesi lokal dan henti jantung.
6
Anestesi umum dengan intubasi endotrakeal merupakan pendekatan paling
aman untuk prosedur anestesi (Bacuzzi et al., 2008).
1. Hipertiroidisme
Perioperatif
a. Pemeriksaan Fisis
Menentukan pembesaran leher karena struma (Barash et al., 2010;
Morgan et al., 2011):
1) Tiroid berada di regio koli anterior yang mempunyai batas-batas
m.sterno kleidomastoideus, m. digastrikus, dan manubrium sterni.
Tiroid di luar regio tersebut disebut sebagai tiroid ektopik atau
struma aberans.
2) Tiroid terdiri dari dua lobus kanan dan kiri, yang masing-masing
dihubungkan oleh satu lobus piramidalis yang berada di garis
media melekat pada kartilago tiroidea dan terdapat di fasia koli
media. Karena kartilago tiroidea melekat pada trakea, maka pada
pergerakan trakea misal sewaktu menelan, maka tiroid juga ikut
bergerak
3) Bila terjadi pembesaran di leher yang berasal dari tiroid, akan
tampak pembesaran ini bergerak naik turun sewaktu menelan.
4) Manisfestasi klinis : Berat badan menurun, Intoleransi panas,
Kelemahan otot, Diare, Refleks hiperaktif, Kecemasan, Tremor,
Eksoftalmus, Goiter, Kelainan jantung (sinus takikardi, atrial
fibrilasi dan CHF)
7
Tabel 1. Index Wayne
Subyektif Obyektif Ada tidak
Dispneu d’effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bruid tiroid +2 -2
Lelah +2 Eksoftalmus +2
Suka panas -5 Lid retraksi +2
Suka dingin +5 Lid lag +2
Keringat banyak +2 Hiperkinesis +4 -2
Nervous +2 Tangan panas +2 -2
Nafsu makan meningkat +3 Tangan basah +1 -1
Nafsu makan menurun -3 Nadi < 80 x / mnt -3
Berat badan meningkat -3 Nadi 80 -90 x/mnt -
Berat badan menurun +3 Nadi > 90 x / mnt +3
Fibrilasi atrium +4
< 11 : Eutiroid
11 – 18 : Tidak jelas ada hipertiroid
> 19 : Hipertiroid
Preoperatif Anestesia
a. Tunda operasi sampai klinis dan lab eutiroid.
b. Diharapkan preoperatif tes fungsi tiroid normal, HR < 85 x / menit
(saat istirahat).
c. Benzodiazepin pilihan yang baik preoperatif sedasi.
d. Obat antitiroid dan β - adrenergik antagonis lanjut sampai hari
operasi.
e. Pada bedah darurat, sirkulasi hiperdinamik dapat kontrol degan titrasi
esmolol
Intraoperatif
a. Monitor fungsi kardiovaskuler dan temperatur
b. Proteksi mata karena eksotalmus beresiko terjadinnya ulserasi dan
abrasi kornea
c. Intubasi
d. Hindari : Ketamin, Pancuronium, Agonis adrenergik
e. Induksi dengan tiopental, dosis tinggi bisa sebagai antitiroid.
f. Anestesi dalam selama laringoskopi dan stimulasi bedah untuk
menghindari takikardi, hipertensi aritmia ventrikular.
8
g. Pelumpuh otot digunakan secara hati-hati, karena dapat meningkatkan
insiden miopati dan myiastenia gravis, dan sebaiknnya sebelum
diberikan pelumpuh otot sebaiknnya dicoba dilakukan ventilasi
terlebih dahulu.
9
d. Hipoparatiroidsme
Gejala Hipokalsemi akut akibat pengangkatan kelenjar paratiroid (12
– 72 jam post ops) berupa carpo pedal syndrom sampai
laringospasme.
e. Pneumothoraks , kemungkinan terjadi akibat eksplorasi leher
2. Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah penyakit yang cukup umum (0,5-0,8% dari
populasi orang dewasa) yang terjadi akibat sirkulasi yang tidak adekuat
dari T4 dan/atau T3. Disebabkan oleh autoimune disease (contoh tiroiditis
Hastimoto), tiroidektomi, jodium radioaktif, obat-obat anti tiroid,
defisiensi yodium, atau kelemahan aksis hipotalamos hipofise (sekunder
hipotiroidisme). Hipotiroid selama neonatus menyebabkan kreatinisme
(ditandai dengan retardasi mental dan fisik) (Barash et al., 2010; Morgan
et al., 2011)
10
yang diberikan mempunyai waktu paruh yang lama (t1/2 T4 adalah 8
hari).
c. Tidak ada bukti yang mendukung untuk menunda bedah elektif
(termasuk bedah by-pass arteri koronaria) menyebabkan perubahan
hipotiroidisme ringan ke hipotiroidisme yang sedang.
Intraoperatif (Barash et al., 2010; Morgan et al., 2011)
a. Pasien dengan hipotiroid lebih mudah mengalami hipotensi dengan
obat-obat anestesi, sebab obat anestesi menurunkan kardiak output,
menumpulkan reflek baroreseptor dan menurunkan volume
intravaskular. Untuk ini ketamin sering dianjurkan untuk induksi.
b. Masalah lain yang dapat timbul termasuk hipoglikemia, anemia,
hiponatremia,kesulitan intubasi karena lidah yang besar, dan
hipotermia karena metabolisme basal rate yang rendah.
c. Perhatian yang cermat harus diberikan untuk mempertahankan
temperatur tubuh.
Postoperatif (Barash et al., 2010; Morgan et al., 2011):
a. Pemulihan anestesi mungkin melambat pada pasien hipotiroid,
hipotermia, depresi pernafasan atau biotranformasi obat yang lambat.
b. Pasien harus tetap di intubasi sampai bangun dan normotermia, sebab
pasien ini mudah terjadi depresi pernafasan.
c. Obat non opioid seperti keterolak merupakan pilihan untuk nyeri
pasca operasi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Bacuzzi, A., Dionigi, G., Bosco, A.D., Cantone, G., Sansone, T., Losa, E.D.,
Cuffari, S. 2008. Anaesthesia for thyroid surgery: perioperative
management. International Journal of Surgery. Vol 6: S82-S85.
Barash PG, Cullen FB, Stoelting RK. 2010. Section V Management Of Anesthesia
In Handbook Of Clinical Anesthesia. 4th Ed, Philadelphia: Lipincott
Williams And Wilkins Company. p:593-606
Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. 2011. Clinical Anesthesiology. 4th Ed,
McGraw-Hill’s.
Peraboi. 2010. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid. Jakarta: Sagung Seto.
Peraboi. 2003. Protokol Peraboi 2003. Jakarta
12