Anda di halaman 1dari 26

THEORY OF PLANNED BEHAVIOR, MASIHKAH RELEVAN?

-----------------------
Zakarija Achmat

PENDAHULUAN

Teori ini yang awalnya dinamai Theory of Reasoned Action (TRA),


dikembangkan di tahun 1967, selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan diperluas
oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein. Mulai tahun 1980 teori tersebut digunakan
untuk mempelajari perilaku manusia dan untuk mengembangkan intervensi-
intervensi yang lebih mengena. Pada tahun 1988, hal lain ditambahkan pada model
reasoned action yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai Theory of Planned
Behavior (TPB), untuk mengatasi kekurangadekuatan yang ditemukan oleh Ajzen
dan Fishbein melalui penelitian-penelitian mereka dengan menggunakan TRA.
Icek Ajzen, Ph.D. adalah seorang profesor psikologi di University of
Massachusetts. Ia menerima gelar Ph.D. di bidang psikologi sosial dari University of
Illinois dan selama beberapa tahun menjadi Visiting Professor at Tel-Aviv University
di Israel. Ia banyak menulis artikel, dan bersama Dr. Martin Fishbein menulis
berbagai paper, jurnal dan buku-buku mengenai Theory of Reasoned Action dan
Theory of Planned Behavior. Ajzen dan Fishbein menulis buku Understanding
Attitude and Predicting Social Behavior yang telah banyak dipakai di kalangan
akademik dan di wilayah psikologi sosial, yang diterbitkan pada tahun 1980.
Martin Fishbein, Ph.D. adalah seorang profesor pada Department of
Psychology and the Institute of Communications Research pada University of Illinois
di Urbana. Ia seorang konsultan pada the International Atomic Energy Agency, The
Federal Trade Commission and Warner Communications, Inc. Bersama dengan Dr.
Ajzen, ia telah menulis buku Belief, Attitude, Intention and Behavior: An
Introduction to Theory and Research pada tahun 1975. Ia juga telah banyak menulis
buku-buku teks, dan artikel-artikel. Ia mulai berfikir mengenai peran sikap dalam
mempengaruhi perilaku di awal 1960-an dan di awal 1970-an berkolaborasi dengan
Dr. Ajzen mengembangkan Theory of Reasoned Action dan Theory of Planned
Behavior.

1
Tulisan ini akan me-review beberapa penelitian yang didasarkan pada teori
tersebut dan akan dibahas apakah masih relevan untuk menggunakan dasar teori
tersebut untuk melakukan suatu penelitian, misalnya untuk memprediksi bagaimana
hasil suatu pelatihan akan diimplementasikan oleh para peserta suatu pelatihan.

GAMBARAN SINGKAT MENGENAI THEORY OF PLANED BAHAVIOR


Ada beberapa tujuan dan manfaat dari teori ini, antara lain adalah untuk
meramalkan dan memahami pengaruh-pengaruh motivasional terhadap perilaku yang
bukan dibawah kendali atau kemauan individu sendiri. Untuk mengidentifikasi
bagaimana dan kemana mengarahkan strategi-strategi untuk perubahan perilaku dan
juga untuk menjelaskan pada tiap aspek penting beberapa perilaku manusia seperti
mengapa seseorang membeli mobil baru, memilih seorang calon dalam pemilu,
mengapa tidak masuk kerja atau mengapa melakukan hubungan pranikah.
Teori ini menyediakan suatu kerangka untuk mempelajari sikap terhadap
perilaku. Berdasarkan teori tersebut, penentu terpenting perilaku seseorang adalah
intensi untuk berperilaku. Intensi individu untuk menampilkan suatu perilaku adalah
kombinasi dari sikap untuk menampilkan perilaku tersebut dan norma subjektif.
Sikap individu terhadap perilaku meliputi kepercayaan mengenai suatu perilaku,
evaluasi terhadap hasil perilaku, norma subjektif, kepercayaan-kepercayaan normatif
dan motivasi untuk patuh.
Jika seseorang mempersepsi bahwa hasil dari menampilkan suatu perilaku
tersebut positif, ia akan memiliki sikap positif terhadap perilaku tersebut. Yang
sebaliknya juga dapat dinyatakan bahwa jika suatu perilaku difikirkan negatif. Jika
orang-orang lain yang relevan memandang bahwa menampilkan perilaku tersebut
sebagai sesuatu yang positif dan seseorang tersebut termotivasi untuk memenuhi
harapan orang-orang lain yang relevan, maka itulah yang disebut dengan norma
subjektif yang positif. Jika orang-orang lain melihat perilaku yang akan ditampilkan
sebagai sesuatu yang negatif dan seseorang tersebut ingin memenuhi harapan orang-
orang lain tersebut, itu yang disebut dengan norma subjektif negatif. Sikap dan
norma subjektif diukur dengan skala (misalnya skala Likert) menggunakan frase
suka/tidak suka, baik/buruk, dan setuju/tidak setuju. Intensi untuk menampilkan

2
suatu perilaku tergantung pada hasil pengukuran sikap dan norma subjektif. Hasil
yang positif mengindikasikan intensi berperilaku.
Theory of Reasoned Action paling berhasil ketika diaplikasikan pada perilaku
yang di bawah kendali individu sendiri. Jika perilaku tersebut tidak sepenuhnya di
bawah kendali atau kemauan individu, meskipun ia sangat termotivasi oleh sikap dan
norma subjektifnya, ia mungkin tidak akan secara nyata menampilkan perilaku
tersebut. Sebaliknya, Theory of Planned Behavior dikembangkan untuk
memprediksi perilaku-perilaku yang sepenuhnya tidak di bawah kendali individu.
Perbedaan utama antara TRA dan TPB adalah tambahan penentu intensi
berperilaku yang ke tiga, yaitu perceived behavioral control (PBC). PBC ditentukan
oleh dua faktor yaitu control beliefs (kepercayaan mengenai kemampuan dalam
mengendalikan) dan perceived power (persepsi mengenai kekuasaan yang dimiliki
untuk melakukan suatu perilaku). PBC mengindikasikan bahwa motivasi seseorang
dipengaruhi oleh bagaimana ia mempersepsi tingkat kesulitan atau kemudahan untuk
menampilkan suatu perilaku tertentu. Jika seseorang memiliki control beliefs yang
kuat mengenai faktor-faktor yang ada yang akan memfasilitasi suatu perilaku, maka
seseorang tersebut memiliki persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu
perilaku. Sebaliknya, seseorang tersebut akan memiliki persepsi yang rendah dalam
mengendalikan suatu perilaku jika ia memiliki control beliefs yang kuat mengenai
faktor-faktor yang menghambat perilaku. Persepsi ini dapat mencerminkan
pengalaman masa lalu, antisipasi terhadap situasi yang akan datang, dan sikap
terhadap norma-norma yang berpengaruh di sekitar individu.
Theory of Planned Behavior didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah
makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-informasi yang mungkin
baginya, secara sistematis. Orang memikirkan implikasi dari tindakan mereka
sebelum mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-
perilaku tertentu.
TRA/TPB dimulai dengan melihat intensi berperilaku sebagai anteseden
terdekat dari suatu perilaku. Dipercaya bahwa semakin kuat intensi seseorang untuk
menampilkan suatu perilaku tertentu, diharapkan semakin berhasil ia melakukannya.
Intensi adalah suatu fungsi dari beliefs dan atau informasi yang penting mengenai
kecenderungan bahwa menampilkan suatu perilaku tertentu akan mangarahkan pada

3
suatu hasil yang spesifik. Intensi bisa berubah karena waktu. Semakin lama jarak
antara intensi dan perilaku, semakin besar kecenderungan terjadinya perubahan
intensi. Karena Ajzen dan Fishbein tidak hanya tertarik dalam hal meramalkan
perilaku tetapi juga memahaminya, mereka mulai mencoba untuk mengindentifikasi
penentu-penentu dari intensi berperilaku. Mereka berteori bahwa intensi adalah
suatu fungsi dari dua penentu utama, yaitu a) sikap terhadap perilaku dan b) norma
subjektif dari perilaku.
Sikap dianggap sebagai anteseden pertama dari intensi perilaku. Sikap adalah
kepercayaan positif atau negatif untuk menampilkan suatu perilaku tertentu.
Kepercayaan-kepercayaan atau beliefs ini disebut dengan behavioral beliefs.
Seorang individu akan berniat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu ketika ia
menilainya secara positif. Sikap ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan individu
mengenai konsekuensi dari menampilkan suatu perilaku (behavioral beliefs),
ditimbang berdasarkan hasil evaluasi terhadap konsekuensinya (outcome evaluation).
Sikap-sikap tersebut dipercaya memiliki pengaruh langsung terhadap intensi
berperilaku dan dihubungkan dengan norma subjektif dan perceived behavioral
control.
Norma subjektif juga diasumsikan sebagai suatu fungsi dari beliefs yang
secara spesifik seseorang setuju atau tidak setuju untuk menampilkan suatu perilaku.
Kepercayaan-kepercayaan yang termasuk dalam norma-norma subjektif disebut juga
kepercayaan normatif (normative beliefs). Seorang individu akan berniat
menampilkan suatu perilaku tertentu jika ia mempersepsi bahwa orang-orang lain
yang penting berfikir bahwa ia seharusnya melakukan hal itu. Orang lain yang
penting tersebut bisa pasangan, sahabat, dokter, dsb. Hal ini diketahui dengan cara
menanyai responden untuk menilai apakah orang-orang lain yang penting tadi
cenderung akan setuju atau tidak setuju jika ia menampilkan perilaku yang
dimaksud.
Masalah terkait TRA akan muncul jika teori tersebut diaplikasikan pada
perilaku yang tidak sepenuhnya di bawah kendali seorang individu tersebut. TPB
memperhitungkan bahwa semua perilaku tidaklah di bawah kendali dan bahwa
perilaku-perilaku tersebut berada pada suatu titik dalam suatu kontinum dari
sepenuhnya di bawah kendali sampai sepenuhnya di luar kendali. Individu mungkin

4
memiliki kendali sepenuhnya ketika tidak terdapat hambatan apapun untuk
menampilkan suatu perilaku. Dalam keadaan ekstrim yang sebaliknya, mungkin
sama sekali tidak terdapat kemungkinan untuk mengendalikan suatu perilaku karena
tidak adanya kesempatan, karena tidak adanya sumber daya atau ketrampilan.
Faktor-faktor pengendali tersebut terdiri atas faktor internal dan eksternal. Faktor-
faktor internal antara lain ketrampilan, kemampuan, informasi, emosi, stres, dsb.
Faktor-faktor eksternal meliputi situasi dan faktor-faktor lingkungan.
Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, Ajzen memodifikasi TRA dengan
menambahkan anteseden intensi yang ke tiga yang disebut perceived behavioral
control (PBC). Dengan tambahan anteseden ke tiga tersebut, ia menamai ulang
teorinya menjadi Theory of Planned Behavior (TPB). PBC menunjuk suatu derajat
dimana seorang individu merasa bahwa tampil atau tidaknya suatu perilaku yang
dimaksud adalah di bawah pengendaliannya. Orang cenderung tidak akan
membentuk suatu intensi yang kuat untuk menampilkan suatu perilaku tertentu jika
ia percaya bahwa ia tidak memiliki sumber atau kesempatan untuk melakukannya
meskipun ia memiliki sikap yang positif dan ia percaya bahwa orang-orang lain yang
penting baginya akan menyetujuinya. PBC dapat mempengaruhi perilaku secara
langsung atau tidak langsung melalui intensi. Jalur langsung dari PBC ke perilaku
diharapkan muncul ketika terdapat keselarasan antara persepsi mengenai kendali dan
kendali yang aktual dari seseorang atas suatu perilaku.
Theory of Planned Behavior dapat digambarkan melalui bagan sebagai berikut:

Source: Ajzen, I. (1991). The theory of planned behavior. Organizational Behavior


and Human Decision Processes, 50, p. 179-211.

5
TINJAUAN TERHADAP BERBAGAI PENELITIAN MENGENAI THEORY
OF PLANNED BEHAVIOR

Meskipun teori ini berangkat dari kajian psikologi sosial, dan dilahirkan oleh
profesor di bidang psikologi sosial, tetapi aplikasi teori ini telah merambah ke
banyak bidang kajian. Demikian pula dengan penelitian-penelitian yang didasarkan
pada TPB tidak hanya dilakukan di bidang psikologi sosial, tetapi sudah merambah
pula bidang-bidang lain seperti kesehatan dan olah raga (Godin dkk., 1992; Billari &
Philipov, 2005; Higgins & Marcum, 2005; Tang & Wong, 2005; Kouthouris &
Spontis, 2005), pendidikan (Okun & Sloane, 2002; Martin & Kullina, 2004;
Marrone, 2005), marketing (Chiou, 1998), organizational behavior (Kolvereid, 1996;
Wiethoff, 2004; Lanigan & Bentley, 2006), dan lain lain.
Penelitian-penelitian dan pembahasan mengenai teori ini juga telah banyak
dilakukan sejak mulai dipublikasikan oleh penggagasnya, bahkan oleh penggagasnya
sendiri. Misalnya di tahun 1969 Ajzen dan Fishbein meneliti tentang bagaimana
memprediksi intensi berperilaku dalam situasi memilih (Ajzen & Fishberin, 1969).
Di tahun 1985 Ajzen bersama Madden meneliti tentang bagaimana memprediksi
perilaku yang terarah ke pencapaian tujuan melalui komponen-komponen TPB
(Ajzen & Madden, 1986). Di tahun 1991 Ajzen bersama Driver meneliti tentang
bagaimana memprediksi keikutsertaan dalam kegiatan wisata melalui beliefs (Ajzen
& Driver, 1991). Ajzen dan Fishbein masih terus melakukan penelitian-penelitian
dan kajian-kajian bahkan hingga di tahun 2000-an untuk terus menyempurnakan
teori mereka. Di tahun 2005 keduanya masih menulis di suatu jurnal untuk
memberikan komentar kepada ahli lain yang menggunakan teori mereka sebagai
dasar dalam melakukan suatu intervensi (terapi) klinis (Ajzen & Fishbein, 2005).
Tinjauan mengenai penelitian-penelitian yang didasarkan atau terkait dengan
TPB akan dilakukan dengan cara pengelompokan berdasarkan bidang kajian
psikologi, yaitu psikologi industri/organisasi dan psikologi sosial (organizational
behavior, marketing); psikologi pendidikan ; dan psikologi klinis (kesehatan, olah
raga). Tinjauan akan lebih ditekankan pada hasil-hasil penelitian tersebut dan
kemungkinan melakukan penelitian-penelitian lanjutan yang terkait berdasarkan
keterbatasan-keterbatasan pada penelitian yang telah dilakukan tersebut.

6
Penelitian-penelitian di bidang psikologi industri/organisasi dan psikologi sosial.
Kolvereid (1996) dalam penelitiannya mencoba mengaplikasikan TPB untuk
memprediksi intensi memilih status pekerjaan. Status pekerjaan yang dimaksud di
sini adalah bekerja sebagai pegawai yang digaji, atau bekerja sendiri (berwirausaha).
Penelitian ini juga menyelidiki pengaruh latar belakang keluarga, gender dan
pengalaman bekerja sendiri sebelumnya, terhadap intensi memilih jenis pekerjaan.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh pendekatan role models atau tracking models
yang selama ini telah terlalu lama mendominasi dalam memprediksi intensi
pemilihan status pekerjaan. Penelitian kewirausahaan telah lama menunjukkan
kuatnya pengaruh sejarah pribadi dan konteks sosial terhadap kecenderungan
alamiah untuk berwirausaha. Penelitian melalui tracking atau role model dan latar
belakang keluarga dari para wirausahawan menunjukkan adanya hubungan yang kuat
antara kehadiran role models dan kemunculan wirausahawan.
Krueger dan Carsrud (1993) menyatakan bahwa perilaku kewirausahaan
seperti menjadi wirausahawan, atau memulai suatu usaha baru adalah bertujuan dan
karenanya yang terbaik diprediksi melalui niatan atau intensi untuk melakukannya,
bukan dari sikap, beliefs, kepribadian atau faktor demografis. Yang menjadi
pertanyaan berikutnya adalah apa yang menentukan intensi kewirausahaan tersebut.
Berdasarkan Theory of Planned Behavior, Kolvereid mengajukan hipotesis
bahwa semakin seseorang menunjukkan sikap dan norma subjektif yang mendukung
untuk bekerja sendiri, dan semakin tinggi PBC, maka semakin kuat intensi seseorang
untuk bekerja sendiri. Hipotesis tersebut kemudian diuji dengan menggunakan
LISREL, mengaplikasikan korelasi tata jenjang, dengan memasukkan sikap, norma
subjektif dan PBC ke dalam suatu model LISREL dengan intensi sebagai variabel
terikat. Hasilnya menunjukkan bahwa semua variabel bebas memberi sumbangan
secara signifikan terhadap penjelasan variasi dari intensi. Dengan kata lain bahwa
hasil penelitian memberi dukungan yang kuat terhadap TPB.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa TPB dapat digunakan untuk
memprediksi intensi memilih status pekerjaan. Hanya saja, masih diperlukan
penelitian longitudinal untuk menyelidiki hubungan antara intensi memilih status
pekerjaan dengan perilaku aktualnya.

7
Jyh-shen Chiou (1998) meneliti tentang pengaruh dari sikap, norma subjektif
dan PBC terhadap intensi membeli sebagai moderating effects pengetahuan produk
terhadap perhatian pada informasi perbandingan sosial. Tujuan penelitiannya adalah
untuk menyelidiki apakah pengaruh relatif dari sikap, norma subjektif dan PBC
dalam mengendalikan intensi membeli akan berbeda ketika konsumen memiliki
tingkat pengetahuan produk (subjektif dan objektif) dan perhatian pada informasi
perbandingan sosial (ATSCI = attention to social comparison information) yang
berbeda. Sebagaimana dikemukakan oleh TPB, intensi membeli para konsumen
dipengaruhi tidak hanya oleh sikap mereka, tetapi juga oleh pengaruh kelompok dan
persepsi mengenai kemampuan mengendalikan yang mereka miliki. Kekeuatan
relatif pengaruh ketiga faktor tersebut pada intensi membeli akan bervariasi di antara
tiap perilaku dan situasi.
Hasil penelitian Chiou menunjukkan bahwa kepentingan relatif sikap, norma
subjektif dan PBC dalam memprediksi intensi bervariasi ketika konsumen memiliki
perbedaan tingkat pengetahuan subjektif mengenai produk dan tingkat perhatian pada
informasi perbandingan sosial (ATSCI). Pengetahuan subjektif adalah variabel
moderator untuk hubungan antara PBC dan intensi membeli, sementara ATSCI
adalah variabel moderator untuk hubungan antara sikap dan intensi membeli dan
untuk hubungan antara norma subjektif dan intensi membeli. Berdasarkan hasil
tersebut, ada beberapa implikasi dalam bidang pemasaran, antara lain menyangkut
pemasaran produk, pengukuran sikap konsumen dan saluran komunikasi.
Ketika membeli suatu produk tanpa memiliki banyak kendali dari diri sendiri,
konsumen tidak hanya membutuhkan lebih banyak sumber daya, misalnya waktu
atau informasi, tetapi juga perlu lebih percaya diri dalam mengambil suatu keputusan
yang tepat. Para tenaga pemasar seharusnya mencoba tidak hanya untuk memberi
penjelasan tentang produk, tetapi juga meningkatkan PBC konsumen, misalnya
dengan menggunakan lebih banyak demonstrasi untuk menunjukkan bagaimana
kinerja suatu produk. Dalam kebanyakan penelitian pasar yang standar seperti uji
produk atau uji konsep, sikap konsumen terhadap produk adalah pertanyaan utama
yang harus diukur, tetapi umumnya norma subjektif tidak disertakan dalam
pengukuran. Padahal, bagi mereka yang memiliki ATSCI tinggi hal tersebut
sangatlah penting. Oleh karenanya, norma subjektif harus disertakan dalam

8
kuesioner jika target pasarnya adalah orang-orang yang menganggap penting
informasi perbandingan sosial, misalnya pada kelompok masyarakat kolektivistik.
Demikian pula dalam memilih saluran komunikasi, untuk mempengaruhi orang-
orang dengan ATSCI tinggi, media tradisional seperti TV, radio atau koran saja tidak
mencukupi; diperlukan saluran komunikasi yang lebih bersifat interpersonal. Para
pemasar juga perlu mempelajari jenis kelompok acuan atau kelompok sosial mana
yang memiliki pengaruh paling kuat dalam mempersuasi mereka untuk memilih
suatu produk.
Chiou juga mengemukakan keterbatasan-keterbatasan penelitiannya dan
memberikan beberapa saran. Menurutnya, untuk penelitian selanjutnya perlu lebih
mengidentifikasi karekteristik-karakteristik produk yang bisa mempengaruhi hasil
penelitian. Dalam penelitiannya yang digunakan hanya satu jenis produk yang diuji,
yaitu printer. Penelitian selanjutnya bisa dilakukan pada jenis produk yang lain.
Chou juga menyarankan untuk melakukan penelitian di negara lain yang memiliki
sumber tekanan sosial yang berbeda, dimana kelompok acuan yang paling
berpengaruh bisa berbeda. Mengidentifikasi kelompok acuan pada tiap kelompok
masyarakat dapat membantu para tenaga pemasar dalam merancang program
pemasaran yang lebih efektif.
Wiethoff (2004) mengajukan suatu rancangan model pelatihan yang
didasarkan pada TPB. Ia mencoba mengaplikasikan TPB untuk mempengaruhi
motivasi belajar dalam program pelatihan keberagaman (Diversity Training
Program). Ia memilih program pelatihan keberagaman untuk dibahas karena ia
melihat pentingnya program pelatihan tersebut. Dalam survey terakhir masyarakat
sumber daya manusia (Society for Human Resource Management = SHRM),
ditemukan bahwa 66% dari 321 perusahaan yang menjadi responden melaporkan
kuatnya komitmen terhadap keberagaman (Kluttz, 2002). Perusahaan-perusahaan
tersebut mengenali sejumlah alasan untuk mendukung diversifikasi di tempat kerja
mereka. Alasan rasionalnya adalah proyeksi dari perubahan komposisi demografis
(Digh, 1998). Banyak organisasi juga telah menemukan bahwa keberagaman
menyediakan suatu strategi yang menguntungkan (Flynn, 1998) dan membantu
mereka menyediakan suatu peningkatan yang berdasar keberagaman konsumen
(Miler, 1999). Lebih jauh lagi, bukti-bukti menunjukkan bahwa persuahaan-

9
perusahaan yang inovatif dalam program-program pengembangan sumber daya
manusianya yang mendorong keterlibatan penuh para karyawannya memperoleh
keuntungan dari nilai sharehoder yang meningkat (Orlando & Johson, 2001).
Wiethoff melihat bahwa motivasi karyawan untuk belajar (dalam pelatihan
keberagaman/Diversity Training = DT) dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bisa
dijelaskan melalui TPB. Sikap terhadap DT (untuk mengikutnya) ditentukan oleh
setidaknya empat hal, yaitu kepercayaan (beliefs) mengenai kegunaan dari DT,
persepsi mengenai kebutuhan terhadap DT, kepercayaan bahwa DT akan
memberinya keuntungan dalam pekerjaan (peningkatan gaji), dan pentingnya
peningkatan gaji. Faktor lain dalam TPB yang mempengaruhi intensi untuk
berperilaku adalah norma subjektif. Norma subjektif mengenai keikutsertannya
dalam DT juga ditentukan oleh setidaknya empat hal, yaitu persepsi mengenai
dukungan manajemen, motivasi untuk patuh terhadap manajemen, persepsi mengenai
dukungan rekan kerja, dan motivasi untuk mematuhi rekan kerja. Selanjutnya,
persepsi mengenai kemampuan dalam mengendalikan perilaku untuk mengikuti
program pelatihan juga akan ikut berperan dalam menentukan motivasi belajar
karyawan dalam program pelatihan tersebut.
Model yang diajukan Wiethoff memiliki potensi untuk menjelaskan
penelitian mengenai pelatihan dan pengembangan melalui beberapa cara, antara lain
bahwa secara eksplisit dapat mengidentifikasi komponen-komponen sikap yang
penting yang berhubungan dengan training (yaitu beliefs, norma subjektif dan PBC),
yang memberi peneliti alat ukur yang lebih banyak dan lebih canggih untuk
membantunya lebih memahami konstrak motivasi untuk belajar. Selain itu, adalah
memungkinkan bahwa model tersebut memberi insight untuk munculnya intensi
berperilaku untuk mentrasfer pengetahuan yang diperoleh ke tempat kerja dengan
mengidentifikasi keprcayaan-kepercayaan spesifik dan norma subjektif yang akan
mepengaruhi atau meningkatkan transfer tersebut.
Wiethoff mengakui bahwa model yang diajukannya memiliki keterbatasan.
Model ini hanya dihubungakan dengan motivasi peserta untuk belajar, meskipun
jelas bahwa hal tersebut merupakan suatu bagian penting dari program pelatihan.
Akan tetapi, model tersebut tidak secara langsung memberitahukan bagaimana hasil
pelatihan akan ditransfer ke tempat kerja, walaupun TPB sendiri merupakaan alat

10
yang cukup membantu menyelidiki intensi perilaku untuk mentransfer hasil belajar
ke tempat kerja.
Masih terkait dengan pelatihan, Lanigan dan Bentley (2006) mengusulkan
suatu kerangka kerja untuk mengevaluasi pelatihan dengan mendasarkan pada TPB.
Usulannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa kebanyakan evaluasi pelatihan
hanya dilakukan sebatas pada reaksi terhadap pelaksanaannya saja (dengan
memberikan kuesioner yang mengukur reaksi tersebut yang disebut dengan
reactionnaire) dan data tersebut sebenarnya kurang bermanfaat, selain validitas dan
reliabilitasnya juga masih dipertanyakan. Mereka menyebut evaluasi semacam itu
hanya menggunakan teknologi yang ”smiley” reaction.
Pada usulan kerangka kerja barunya dalam mengevaluasi suatu program
intervensi melalui pelatihan, Lanigan dan Bentley tidak begitu saja meninggalkan
evaluasi yang sebatas pada reaksi terhadap pelaksanaannya tersebut. Mereka tetap
menggunakannya, tetapi menambahkan dengan beberapa hal lain (berdasarkan TPB),
dan mereka katakan bahwa kerangka kerjanya ini melampaui empat tingkat evaluasi
dari Kirkpatrick. Usulan kerangka kerja mereka digambarkan pada tabel berikut ini:
No. Kerangka Kerja Alat yang Digunakan
1 Reaksi Reactionnaire atau reactionnaire yang built-in
di dalam pre dan post self-efficacy test secara
simultan (bersamaan)
2 Sikap dan Norma Subjektif Instrumen sikap dan instrumen norma
subjektif.
3 Faktor-faktor PBC Instrumen self-efficacy dan instrumen
pengendali eksternal
4 Intensi berperilaku dan Instrumen intensi berperilaku dan instrumen
perilaku nyata perilaku nyata
5 Pengembalian investasi (ROI Analisis biaya (untung rugi) terkait dengan
= Return on Investment) ROI

Menurut Lanigan dan Bentley, dari lima kerangka kerja tersebut, paling tidak untuk
empat yang teratas harus dilakukan pre dan post test agar bisa mengevaluasi program
intervensi dengan efektif. Akan tetapi patut disayangkan bahwa Lanigan dan
Bentley dalam tulisannya tersebut tidak memberikan penjelasan konseptual dan
aktual mengenai bagaimana hubungan antara mengukur komponen-komponen dalam
TPB dengan efektivitas dalam mengevaluasi suatu pelatihan.

11
Penelitian-penelitian di bidang psikologi pendidikan
Dr. Morris A. Okun dari Department of Psychology, Arizona State
University, Amarika Serikat dan Erin S. Sloane dari Los Angeles Unified School
District, California, Amerika Serikat melakukan penelitian yang didasarkan pada
TPB untuk memprediksi keikutsertaan (enrollment) mahasiswa sebagai relawan
dalam suatu program kampus (Okun & Sloane, 2002). Penelitiannya
dilatarbelakangi pemikiran bahwa menjadi relawan dalam suatu kegiatan dipercaya
akan memberi manfaat bagi individu maupun masyarakat, tetapi hanya individu-
individu tertentu saja yang tertarik untuk menjadi relawan. Penelitiannya dirancang
untuk menguji hipotesis yang diturunkan dari TPB. Hipotesis pertamanya adalah
bahwa sikap, norma subjektif, dan PBC akan menjadi prediktor signifikan dari
intensi menjadi relawan. Hipotesis kedua, bahwa intensi merupakan satu-satunya
prediktor signifikan menjadi relawan secara aktual.
Sampel penelitian didapatkan secara random dari para mahasiswa yang
mengikuti mata kuliah Pengantar Psikologi pada suatu universitas besar di Amerika,
sebanyak 647 orang. Setelah kepada mereka disampaikan pesan mengenai
rekrutmen dari kegiatan tersebut (menjadi relawan pada the Student Life Community
Service Program = SLCSP), mereka diminta mengisi kuesioner yang berisi
komponen-komponen dalam TPB dan dua bulan kemudian keikutsertaan mereka
dalam kegiatan tersebut dicek. Konsisten dengan TPB, sikap, norma subjektif dan
PBC merupakan prediktor intensi untuk menjadi relawan pada SLCSP, dan
selanjutnya bisa memprediksi keikutsertaan mereka secara nyata sebagai relawan
pada SLCSP. Akan tetapi, kurang dari 33% mahasiswa yang memiliki skor intensi
yang tinggi yang benar-benar menjadi relawan dalam program tersebut. Ini
menggambarkan bahwa diperlukan suatu strategi untuk memperkuat intensi agar bisa
diwujudkan dalam perilaku nyata.
Jeffrey J. Martin dari the Division of Kinesiology, Health and Sport Studies at
Wayne State University bersama Pamela Hodges Kulinna dari the Department of
Physical Education at Arizona State University melakukan penelitian yang
didasarkan pada TPB dan Self-Efficacy Theory untuk menguji penentu-penentu
(determinan) intensi para guru olahraga untuk melakukan aktivitas fisik ketika
mengajar di kelas-kelas mereka (yaitu menggunakan sedikitnya 50% dari waktu

12
mereka untuk melakukan aktivitas fisik dari yang sedang hingga berat).
Dilakukannya penelitian tesebut dilatarbelakangi pengamatan mereka bahwa
semakin meningkat usia seseorang, semakin berkurang aktivitas fisik yang
dilakukan, padahal melakukan aktivitas fisik penting bagi kesehatan jantung.
Sementara, para guru olah raga seharusnya mengajak para murid mereka untuk
melakukan aktivitas fisik sebagai bagian dari proses pembelajaran yang menjadi
tanggung jawab mereka.
Subjek penelitian Martin dan Kulinna (2004) tersebut menggunakan 342 guru
olah raga dari SD hingga SMA, pria dan wanita, berusia antara 23 hingga 62 tahun
dengan pengalaman mengajar 1 sampai 40 tahun. Instrumen pengukuran yang
digunakan berupa kuesioner (untuk data-data demografis) dan skala (untuk semua
variabel penelitian). Dari data yang terkumpul menunjukkan bahwa para guru
tersebut memiliki intensi yang kuat untuk mengajar kelas yang banyak melibatkan
aktivitas fisik untuk murid-murid mereka. Mereka juga menunjukkan sikap yang
positif untuk mengajar kelas yang aktif dan memiliki motivasi untuk patuh terhadap
kelompok sosial yang penting (orang tua, para murid) yang mengharapkan mereka
mengajar dengan melibatkan banyak aktivitas fisik. Para guru tersebut juga memiliki
PBC yang tinggi untuk bisa mengajar kelas-kelas yang melibatkan banyak aktivitas
fisik.
Sesuai dengan tujuan penelitian, data-data tersebut kemudian dianalisis
dengan teknik regresi bertingkat (hierarchical regression). Hasilnya menunjukkan
bahwa hipotesis yang diajukan yaitu bahwa intensi para guru untuk mengajar kelas
yang banyak melibatkan aktivitas fisik untuk murid-murid mereka ditentukan oleh
sikap, norma subjektif dan PBC, diterima. TPB mendapat dukungan, bahwa intensi
berperilaku para guru tersebut 59%-nya ditentukan oleh sikap, norma subjektif dan
PBC mereka.
Stephen Richard Marrone dari Columbia University Teachers College di
tahun 2005 melakukan penelitian yang juga didasarkan pada TPB dari Ajzen dan
Fishbein, terkait dengan intensi para perawat gawat darurat untuk memberi
pelayanan yang secara kultural sesuai bagi pasien Muslim Arab. Tujuan penelitian
tersebut adalah untuk menyelidiki hubungan antara sikap, norma subjektif dan PBC
para perawat gawat darurat dengan intensi mereka untuk memberikan pelayanan

13
yang secara kulutral sesuai dengan pasien-pasien Muslim Arab. Subjek penelitian
terdiri dari 208 orang perawat. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan
skala model Likert. Masing-masing subjek memperoleh skor sikap, norma subjektif,
PBC dan intensi.
Hasil penelitian Marrone (2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif yang signifikan antara sikap para perawat gawat darurat dan norma subjektif
mereka dengan intensi untuk memberikan pelayanan yang secara kultural sesuai
untuk pasien Muslim Arab; dan ada hubungan positif yang signifikan antara PBC
dengan sikap. Perbedaan yang signifikan juga ditemukan dalam hal sikap dan norma
subjektif antara mereka yang memiliki intensi dan tidak memiliki intensi
memberikan pelayanan yang secara kultur sesuai terhadap pasien Muslim Arab. Dari
penelitiannya tersebut Marrone kemudian menyarankan akan pentingnya
memberikan materi-materi yang transkultural pada proses pendidikan perawat. Ia
juga menyarankan agar dalam pendidikan dan pelayanan perawat juga dilakukan
pendekatan-pendekatan yang didasarkan pada informasi-informasi yang terkait
dengan budaya-budaya tertentu.

Penelitian-penelitian di bidang psikologi klinis (kesehatan dan olah raga)


Salah satu penelitian di bidang psikologi klinis yang didasarkan pada TPB
dilakukan oleh Godin dkk. (1992) yang bertujuan untuk memverifikasi asumsi-
asumsi dasar dalam TPB untuk memprediksi intensi berolah raga dan berperilaku
(melakukan olah raga) pada orang dewasa dalam kelompok umum (penelitian 1) dan
kelompok wanita hamil (penelitian 2). Dalam kedua penelitian, data baseline
dikumpulkan di rumah mereka melalui para pewawancara terlatih dan melalui
kuesioner. Laporan diri perilaku mereka dikumpulkan enam bulan (penelitian 1) dan
antara delapan hingga sembilan bulan (penelitian 2) setelah data baseline
dikumpulkan. Pada penelitian 1 ditemukan bahwa PBC mempengaruhi perilaku
hanya melalui intensi. Pada penelitian 2, tak satupun variabel dari model Ajzen
berhubungan dengan perilaku berolahraga. Akan tetapi, intensi dipengaruhi oleh
sikap, kebiasaan dan PBC. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PBC
berkontribusi terhadap pemahaman mengenai intensi untuk berolah raga tetapi tidak
dapat meramalkan perilaku berolah raga.

14
Penelitian lain dilakukan oleh Higgins dan Marcum (2005). Tujuan
penelitian yang mereka lakukan adalah untuk menguji kemampuan TPB dalam
memediasi pengaruh rendahnya kendali diri (self-control) dalam penggunaan
alkohol. Hal tersebut dilandasi oleh alasan bahwa penelitian-penelitian sebelumnya
menunjukkan rendahnya kendali diri memainkan peranan penting dalam penggunaan
alkohol, sedang kemampuan pengendalian diri cenderung stabil. Sementara
ditemukan bahwa mengkonsumsi alkohol mulai menjadi sesuatu yang umum bagi
para mahasiswa, padahal mengkonsumsi alkohol berdampak buruk. Umumnya
mereka menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain, misalnya
ketinggalan kelas, terlibat aktivitas seksual yang tidak terencana dan tidak aman,
menjadi korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual, mengalami kecelakaan,
melakukan tindak kriminal, mengalami ketidakseimbangan fisik dan kognitif, serta
prestasi akademik yang rendah (Wechsler et al., 1998). Akibat yang dirasakan oleh
orang lain terdekat mereka di antaranya belajar atau tidur yang terganggu, harus
merawat teman yang mabuk, atau membuat malu, dimana hal tersebut merupakan
faktor yang bisa menghambat keberhasilan di perguruan tinggi. Untuk itu diperlukan
suatu pendekatan atau penggunaan teori yang lebih pas yang bisa menjelaskan dan
mengatasi masalah tersebut.
Menurut Higgins dan Marcum, penelitiannya signifikan dalam tiga hal.
Pertama, akan memberi pemahaman yang lebih baik pada para peneliti bagaimana
pengukuran melalui teori self-control dan tipe belajar sosial dihubungkan. Kedua,
akan memberi pemahaman yang lebih baik mengenai pengukuran yang dapat diubah
untuk mengurangi masalah penggunaan alkohol pada anak muda. Ketiga, temuan-
temuannya akan memberi para peneliti informasi-informasi untuk mengembangkan
kebijakan dalam membantu mereka yang memiliki self-control rendah untuk melihat
konsekuensi dari penggunaan alkohol.
Billary dan Philipov (2005) dalam draf laporan penelitian yang dilakukannya
di tahun 2002 (untuk dipresentasikan pada suatu konferensi internasional), juga
menggunakan TPB untuk memprediksi intensi untuk memiliki atau menambah anak
di Bulgaria. Tujuan penelitian mereka adalah mempelajari pentingnya hal yang
menentukan dari intensi untuk memiliki anak dengan maksud untuk memperoleh
pemahaman yang lebih mendalam mengenai proses pengambilan keputusan untuk

15
melahirkan anak. Fokus penelitian mereka adalah intensi yang secara khusus terkait
dengan keselarasan dan waktu (misalnya intensi untuk memiliki seorang anak atau
menambah anak dalam dua tahun ke depan) dan bagaimana intensi tersebut
bergantung pada 1) sikap terhadap kelahiran anak; 2) persepsi mengenai tekanan
normatif dari orang-orang lain yang relevan; dan 3) PBC. Data yang digunakan
diperoleh dari survey di tahun 2002 yang dilakukan di Bulgaria, suatu negara dengan
tingkat kelahiran terendah.
Informasi mengenai intensi, sikap, norma subjektif dan PBC secara konsisten
dikumpulkan dengan cara parity-specific (keselarasan) dan time-specific yang
dilandaskan pada kerangka kerja TPB. Untuk menganalisis data yang diperoleh,
mereka menggunakan model regresi logistik multivariat untuk mengevaluasi
pentingnya ketiga komponen TPB dengan mengendalikan faktor-faktor latar
belakang yang relevan. Temuan yang diperoleh menunjukkan bahwa sikap dan
norma subjektif berpengaruh pada intensi untuk memiliki anak pertama dan anak
kedua terlepas dari variabel latar belakang sosial ekonomi. Sementara, PBC
berpengaruh hanya pada transisi untuk memiliki anak kedua. Dengan demikian,
adalah penting untuk menyertakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan
pendekatan tersebut (TPB) dalam survey-survey demografis standar.
Penelitian lain di bidang kesehatan yang menggunakan landasan TPB adalah
yang dilakukan oleh Tang dan Wong (2005) dari The Chinese University of Hong
Kong. Penelitian yang mereka lakukan di tahun 2003 mengeksplorasi faktor-faktor
psikososial yang mempengaruhi praktek perilaku preventif dalam menghadapi
SARS (severe acute respiratory syndrome) pada orang-orang tua China di Hong
Kong .
Penelitian mereka dilatar belakangi oleh keadaan pada waktu itu dimana
SARS telah menjadi wabah yang mengancam hampir seluruh permukaan bumi.
Pada umumnya yang terserang SARS adalah orang dewasa (tua), 17% hingga 30%
korban SARS dari 26 negara yang terserang SARS berusia di atas 50 tahun. Di
antara korban yang memerlukan perawatan intensif rata-rata berusia 50 tahun, sedang
yang tidak memerlukan perawatan intensif rata-rata berusia 35 tahun. Pada mereka
yang berusia di bawah 65 tahun, tingkat kematiannya mencapai 6,8% dan meningkat
menjadi 8,9% pada mereka yang berusia antara 65 hingga 74 tahun. Pada mereka

16
yang berusia 75 tahun ke atas, tingkat kematiannya malah mencapai 28,6%.
Sementara, menurut Berrigan, dkk. (2003); Hui & Morrow (2001); Johansson &
Sundquist (1999), dikatakan bahwa praktek perilaku pencegahan oleh individu
adalah salah satu cara paling efektif dalam mencegah penyakit dan meningkatkan
kesehatan. Meskipun otoritas kesehatan telah berkali-kali memberikan nasehat,
kebanyakan orang tidak mempraktekkan perilaku preventif yang mereka
rekomendasikan. Diduga, berbagai faktor psikososial ikut berpengaruh dalam hal
tersebut, sehingga diperlukan suatu pendekatan melalui faktor-faktor psikososial
tersebut untuk memotivasi orang agar mau melakukan perilaku preventif terkait
dengan suatu penyakit tertentu.
Penelitian yang dilakukan Tang dan Wong difokuskan pada health belief
model dan TPB untuk mempermudah pemahaman terhadap praktek perilaku-perilaku
preventif pada orang-orang tua. Berdasarkan pada the health belief model (Janz &
Becker, 1984; Rosenstock dkk., 1988), praktek perilaku preventif merupakan fungsi
dari tingkat persepsi individu mengenai kerentanannya terhadap gangguan kesehatan,
sedikitnya hambatan yang dihadapi, dan penilaian bahwa hasil yang dicapai akan
mengikuti perilaku preventifnya. TPB (Ajzen, 1991) mengkhususkan bahwa
perilaku preventif merupakan hasil langsung dari intensi untuk berperilaku, sebagai
hasil dari sikap positif bahwa perilaku preventif akan memberikan hasil yang
diharapkan, motivasi untuk mematuhi tekanan normatif agar menampilkan perilaku
tersebut dan kepercayaan bahwa ia memiliki kapasitas untuk melakukannya. Dari
berbagai penelitian sebelumnya yang telah banyak dilakukan, diperoleh bahwa
komponen-komponen utama dalam teori-teori tersebut merupakan prediktor perilaku
preventif yang signifikan.
Dalam penelitian yang mereka lakukan, Tang dan Wong melibatkan 354
orang subjek (167 pria dan 187 wanita) China dewasa berusia 60 tahun atau lebih,
data penelitian diperoleh melalui wawancara telepon. Variabel terikat yang diukur
adalah praktek perilaku preventif yang diklasifikasikan secara tidak konsisten dan
secara konsisten mempraktekkannya. Variabel bebasnya meliputi awareness atau
kesadaran akan adanya bahaya SARS, persepsi mengenai kerentanan untuk
mendapat serangan SARS, persepsi mengenai kemampuan diri dalam menjalankan
perilaku preventif yang disarankan (self-eficacy), persepsi tentang efektifitas perilaku

17
preventif tersebut, dan persepsi tentang kemampuan otoritas kesehatan lokal. Kelima
variabel bebas tersebut diukur dengan menggunakan skala (4-point items scale).
Hasil penelitan Tang dan Wong menunjukkan bahwa mereka yang persepsi
mengenai kerentanan untuk mendapat serangan SARS-nya lebih tinggi, mereka yang
persepsi mengenai kemampuan dirinya dalam menjalankan perilaku preventif yang
disarankan lebih tinggi, dan mereka yang memiliki kepercayaan lebih tinggi akan
kemampuan otoritas kesehatan lokal dalam mengatasi SARS, lebih konsisten dalam
mempraktekkan perilaku preventif yang disarankan. Akan tetapi, awareness atau
kesadaran akan adanya bahaya SARS dan persepsi tentang efektifitas perilaku
preventif dalam mencegah bahaya SARS bukan merupakan prediktor yang signifikan
ketika faktor-faktor motivasi yang lain juga disertakan.
Kesimpulannya, hasil tersebut mendukung konsep kerangka kerja bahwa
persepsi mengenai gangguan kesehatan secara khusus dan kepercayaan mengenai
kemampuan merupakan dua dimensi utama faktor-faktor yang memotivasi praktek
perilaku preventif terhadap SARS pada para orang tua. Akan tetapi, persepsi
mengenai gangguan kesehatan hanya berhubungan dengan kerentanan, tidak
didukung oleh awareness; dan kepercayaan mengenai kemampuan hanya menunjuk
pada self-efficacy dan kepercayaan pada kemampuan otoritas kesehatan lokal, tetapi
tidak pada efektifitas perilaku itu sendiri.
Kouthouris dan Spontis (2005) dari Department of Physical Education and
Sports Sciences, University of Thessaly, Mesir, mengaplikasikan TPB untuk
memprediksi keikutsertaan dalam kegiatan rekreasi alam bebas (outdoor).
Penelitiannya dilatar belakangi oleh pendapat Priest & Gass (1997) yang menyatakan
bahwa popularitas rekreasi alam bebas telah berkembang dengan pesat pada tahun-
tahun belakangan ini, sejalan dengan semakin banyaknya orang yang menyadari
manfaat ganda dari keikutsertaan pada rekreasi alam bebas. Secara luas dapat
diterima bahwa program-program rekreasi alam bebas berkontribusi pada kesehatan
fisik dan psikis dengan menawarkan kesempatan untuk bergembira, memperoleh
tantangan-tantangan baru, resiko-resiko, pertumbuhan dan perkembangan serta
kesempatan untuk berinteraksi sosial.
Berbagai variasi pendekatan teoritis telah diaplikasikan dalam penelitian
mengenai keikutsertaan dalam rekreasi alam bebas dengan tujuan untuk

18
mengidentifikasi faktor-faktor yang memfasilitasi atau yang membatasi keikutsertaan
dalam kegiatan-kegiatan rekreasional alam bebas. Pada penelitian yang
dilakukannya ini, Kouthouris dan Spontis menggunakan TPB yang diperluas dengan
menambahkan variabel identitas peran (role identity) dengan tujuan untuk menguji
bagaimana tingkat intensi untuk ikut serta dan keikutsertaan secara aktual dapat
diprediksi melalui elemen-elemen dari teori tersebut. Keikutsertaan dalam program-
program rekreasi alam bebas memiliki karekteristik yang unik karena seseorang
harus menginvestasikan waktu, usaha dan energi. Terdapat banyak faktor internal
(misalnya resiko mengalami kecelakaan, persepsi mengenai kebugaran dan tingkat
ketrampilan) dan faktor eksternal (misalnya kondisi cuaca, transportasi dan
kesempatan untuk melakukannya) yang membatasi pilihan individu, sehingga
menjadikan PBC sebagai suatu variabel yang penting.
Data penelitian dikumpulkan dalam dua tahap. Tahap pertama mereka
mengumpulkan data mengenai intensi keikutsertaan dalam program. Dengan tujuan
merekrut peserta (sekaligus subjek penelitian), serangkaian presentasi dilakukan oleh
peneliti di tempat-tempat yang menjadi target, misalnya di kampus-kampus, di klub-
klub kebugaran, dan di suatu asosiasi budaya lokal. Tigaratus dua puluh sembilan
orang (N=329) menghadiri presentasi. Mereka diberi informasi mengenai pogram,
tempat, aktivitasnya (bersampan di danau, penjelajahan, dan memanah), serta tanggal
pelaksanaannya dan mereka diminta untuk ikut serta. Mereka juga diminta
melengkapi suatu kuesioner yang berisi elemen-elemen TPB dan mereka diminta
juga untuk melaporkan niatnya mengikuti program tersebut. Tahap kedua,
mengumpulkan data keikutsertaan secara aktual. Hanya seratus delapan puluh tujuh
orang (56%) dari mereka yang dilaporkan berniat ikut serta yang hadir di tempat
program dilaksanakan. Merekalah yang dijadikan sampel untuk tahap kedua.
Pengukuran variabel-variabel penelitian menggunakan teknik sebagaimana yang
dilakukan oleh Ajzen.
Untuk melihat hubungan antar variabel, data dianalisis dengan menggunakan
teknik korelasi product-moment dari Pearson dan untuk memprediksi intensi dan
perilaku digunakan teknik analisis regresi ganda berjenjang (stepwise multiple
regression). Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara
intensi berperilaku dengan sikap, norma subjektif, PBC, identitas peran, dan perilaku

19
aktual dalam mengikuti program. Keikutsertaan secara aktual juga berkorelasi secara
signifikan dengan sikap, PBC, dan identitas peran. Kemudian, korelasi yang
signifikan juga ditemukan antara PBC dan sikap, PBC dan identitas peran, sikap dan
identitas peran, serta antara norma subjektif dan identitas peran.
Hasil mengenai prediksi terhadap intensi menunjukkan bahwa PBC, identitas
peran dan sikap merupakan prediktor yang signifikan intensi berperilaku (ikut serta
dalam program). Secara bertahap, dalam tahap 1 PBC berperan dalam prediksi
dengan R = 0,53; tahap 2 identitas peran meningkatkan daya prediksi menjadi R =
0,58 dan selanjutnya tahap 3 sikap lebih meningkatkan lagi daya prediksi menjadi R
= 0,59. Analisis regresi bertingkat (hierarchical regression) juga dilakukan dan
hasilnya cocok dengan analisis berjenjang. Teknik analisis yang sama juga
digunakan dalam memprediksi perilaku aktual. Hasilnya, dalam tahap 1 intensi
berkontribusi dalam prediksi (R = 0,39). PBC, sikap, dan identitas peran tidak
berkontribusi dalam prediksi di luar (tanpa) intensi. Melalui analisis regresi
bertingkat juga menunjukkan hasil yang sama.
Hasil tersebut menunjukkan dukungan terhadap aplikasi TPB dalam konteks
rekreasi alam bebas. Pertama-tama, perilaku aktual secara signifikan dapat
diprediksi dari intensinya. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa prediksi tersebut tidak
terlalu kuat. Hampir separo dari subjek penelitian yang menyatakan intensinya
ternyata tidak ikut serta dalam program. Temuan tersebut menunjukkan sulitnya
memprediksi keikutsertaan dalam rekreasi alam bebas. Mereka menyatakan
intensinya untuk ikut serta tetapi dengan beberapa alasan ternyata tidak ikut. Hal
tersebut, secara teoritis dan secara praktis perlu ditemukan alasannya. Untuk
penelitian selanjutnya, perlu diarahkan pada hal tersebut. Sebagaimana telah
dikemukakan sebelumnya, untuk ikut serta dalam rekreasi alam bebas diperlukan
investasi individu dalam hal waktu, usaha dan sumber daya. Oleh karenanya, idividu
harus mengatasi dulu berbagai hal yang bisa menghambatnya untuk ikut serta.
Alasan itu juga menunjukkan pentingnya PBC dalam memprediksi intensi untuk ikut
serta dalam program. Hal tersebut tampak dari peran PBC yang paling berkontribusi
dalam prediksi. Hasil tersebut selaras dengan hasil kebanyakan penelitian
sebelumnya dalam bidang yang sama yang melaporkan bahwa PBC adalah penentu

20
(determinan) paling penting dari intensi untuk berpartisipasi dalam aktivitas latihan
dan olah raga.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian Kouthouris dan Spontis, bahwa
hasilnya memberi tambahan nilai dari TPB. Hasilnya juga menunjukkan sulitnya
memprediksi keikutsertaan secara aktual dalam rekreasi alam bebas yang didasarkan
pada intensinya. Penelitian selanjutnya seharusnya difokuskan pada identifikasi
faktor-faktor penyela (intervene) antara intensi dan keikutsertaan secara aktual.

BAHASAN
Adanya berbagai penelitian yang menggunakan Theory of Planned Behavior
sebagai dasar teori, menunjukkan betapa fleksibelnya teori tersebut untuk digunakan
dalam berbagai bidang kajian. Artinya, meskipun awalnya teori tersebut dicetuskan
untuk memprediksi perilaku-perilaku sosial, dalam kajian psikologi sosial, ternyata
bisa diaplikasikan secara luas. Hal tersebut cukup dapat dimengerti, karena memang
hampir tidak ada perilaku yang tidak berimplikasi sosial.
Dalam penelitian-penelitian tersebut, pada umumnya para peneliti hanya
menggunakan TPB sebagai landasan teori, sebagai kerangka kerja dan atau
memverifikasi teori tersebut dalam setting yang berbeda dan di tempat yang berbeda
pula, untuk kemudian menyatakan bahwa teori tersebut benar adanya. Misalnya
seperti yang dilakukan oleh Kolvereid (1996), Chiou (1998), Okun & Sloane (2002),
Martin & Kulinna (2004), Marrone (2005), Godin dkk. (1992), Higgins & Marcum
(2005), Billary & Philipov (2005), Tang & Wong (2005) dan Kouthouris & Spontis
(2005). Penelitian-penelitian tersebut juga menggunakan TPB untuk memprediksi
intensi perilaku tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh penggagasnya.
Meskipun demikian, para peneliti tersebut tetap melihat adanya beberapa
kelemahan dari TPB sehingga perlu ditindaklanjuti dengan penelitian berikutnya.
Pada umumnya mereka menyoroti tentang kesenjangan antara intensi berperilaku
dengan perilaku yang aktual. Misalnya, Kolvereid (1996) dan Godin dkk. (1992)
yang mempertanyakan hubungan antara intensi dengan perilaku aktual. Godin dkk.
secara khusus mempertanyakan peran PBC yang berkontribusi dalam memprediksi
intensi tetapi tidak bisa memprediksi perilakunya itu sendiri. Okun & Sloane (2002)
menyatakan perlunya suatu strategi memperkuat intensi agar terwujud dalam

21
perilaku nyata. Sejalan dengan pemikiran Okun & Sloane, Kouthouris & Spontis
(2005) menyatakan perlunya menemukan alasan teoritis dan praktis mengapa intensi
tidak terwujud dalam perilaku aktual. Dan karenanya ia melihat bahwa PBC yang
memegang peranan penting dalam hal tersebut. Pendapat ini bertentangan dengan
(atau justru menjawab) pertanyaan Godin dkk. Kouthouris dan Spontis kemudian
menyarankan agar penelitian-penelitian berikutnya lebih difokuskan pada faktor-
faktor penyela antara intensi dengan perilaku aktualnya.
Beberapa peneliti juga melihat pentingnya mengaitkan TPB dengan konteks
budaya, karena TPB banyak berbicara mengenai beliefs dan norma. Misalnya Chiou
(1998) dalam pembahasan penelitiannya menyampaikan pentingnya memperhatikan
masalah budaya tersebut, terkait dengan budaya individualistik dan kolektivistik.
Budaya sering berujud dalam bentuk tekanan sosial dan tekanan sosial yang berbeda
akan berpengaruh pada berbedanya norma subjektif dan PBC.
Berbeda dengan para peneliti di atas yang hanya menggunakan TPB sebagai
dasar teori dan atau memverifikasinya, Wiethoff (2004) menggunakan TPB sebagai
acuan dalam merancang suatu model pelatihan. Ia mencoba mengaplikasikan TPB
untuk mempengaruhi motivasi belajar dalam suatu program pelatihan. Ia
menterjemahkan TPB ke dalam aspek-aspek yang terkait dengan suatu pelatihan,
keberhasilan dan pengukurannya, meskipun yang dilakukannya masih terbatas pada
motivasi untuk belajarnya saja. Misalnya ia menterjemahkan komponen norma
subjektif (mengenai kehadirannya dalam pelatihan) menjadi persepsi mengenai
dukungan menajemen dan teman sekerja terhadapnya untuk mengikuti pelatihan dan
bagaimana motivasinya untuk mematuhi mereka. Dengan menggunakan asumsi-
asumsi dalam TPB, untuk meningkatkan motivasi belajar para peserta pelatihan,
dapat dilakukan melalui peningkatan komponen-komponen tersebut. Meskipun
demikian, dari rancangan yang diajukannya, Wienthoff juga masih mempertanyakan
bagaimana hasil pelatihan nanti akan ditransfer ke tempat kerja.
Masih terkait dengan pelatihan, Lanigan dan Bentley (2006) mengusulkan
TPB sebagai kerangka kerja untuk mengevaluasi pelatihan. Ia mengaplikasikan cara-
cara pengukuran komponen-komponen TPB untuk mengukur kondisi peserta
sebelum dan sesudah pelatihan sehingga bisa menggambarkan efektifitas suatu
pelatihan. Ia juga menyertakan atasan (atau manajemen) sebagaimana Wiethoff

22
sebagai komponen pengukuran. Kerangka kerja yang diusulkan oleh Lanigan dan
Bentley ini malah sudah lebih jauh dari yang dilakukan oleh kebanyakan peneliti
lain, termasuk Wiethoff, karena ia sudah menyertakan komponen perilaku aktual,
tidak terbatas pada intensi. Sebagaimana empat tingkat evaluasi dari Kirkpatrick
yang salah satunya adalah terkait dengan bagaimana atasan (manajer) bersikap
setelah seseorang mengikuti pelatihan, Lanigan & Bentley menanyakan hal tersebut
yang dimasukkannya sebagai komponen norma subjektif. Dalam evaluasi tersebut
ditanyakan bagaimana persepsi mengenai dukungan manajer terhadap perilakunya
(perilaku sebagaimana dilatihkan dalam program pelatihan). Apa yang dilakukan
oleh Lanigan dan Bentley jelas telah mengembangkan, tidak sekedar
mengaplikasikan atau sekedar memverifikasi, Theory of Planned Behavior.

SIMPULAN DAN SARAN


Dari tinjauan dan pembahasan terhadap penelitian-penelitian mengenai
Theory of Planned Behavior di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa teori tersebut sangat memungkinkan untuk diaplikasikan dan atau
dijadikan landasan teoritis untuk melakukan penelitian dalam berbagai bidang.
2. Penelitian-penelitian yang sudah dilakukan, ketika menggunakan teori tersebut
untuk memprediksi, kebanyakan berhenti pada intensi berperilaku, sehingga
masih menyisakan pertanyaan mengenai bagaimana hubungan intensi dengan
perilaku aktual.
3. Kebanyakan penelitian hanya menggunakan teori tersebut sebagai dasar teori,
tetapi belum banyak yang mencoba mengembangkannya, atau bahkan mencoba
membantahnya.
4. Bahwa teori tersebut masih relevan dan cukup menantang untuk digunakan
sebagai dasar teori dalam melakukan penelitian dengan tinjauan kultural, dan
untuk lebih dikembangkan, misalnya untuk dijadikan model rancangan pelatihan.
Dari tinjauan dan pembahasan terhadap penelitian-penelitian mengenai
Theory of Planned Behavior di atas, dapat disampaikan saran sebagai berikut:

23
Bahwa untuk penelitian berikutnya yang didasarkan pada teori tersebut hendaknya
lebih memberi tekanan atau berfokus pada prediksi perilaku aktual atau pada faktor-
faktor yang mengantarai intensi berperilaku dengan perilaku aktualnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, Icek (1988). Attitudes, Personality, and Behavior. Milton-Keynes, England:
Open University Press & Chicago, IL: Dorsey Press.

Ajzen, Icek (1991). The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and
Human Decision Processes, Vol. 50, 179 – 211

Ajzen, Icek dan Driver, B.L. (1991) Prediction of Leisure Participation from
Behavioral, Normative and Control Beliefs: An Application of Theory of
Planned Behavior. Leisure Sciences, Vol. 13, 185 – 204

Ajzen, Icek dan Fishbein, Martin (1969) The Prediction of Behavioral Intentions in a
Choice Situation. Journal of Experimental Social Psychology, Vol. 5, 400 –
416

Ajzen, Icek dan Fishbein, Martin (1980) Understanding Attitudes and Predicting
Social Behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, Inc.

Ajzen, Icek dan Fishbein, Martin (2005) Theory-based Behavior Change


Interventions: Comments on Hobbis and Sutton. Journal of Health
Psychology Vol. 10, No. 1, 27–31

Ajzen, Icek dan Madden, Thomas J. (1986). Prediction of Goal-Directed Behavior:


Attitudes, Intentions, and Perceived Behavioral Control. Journal of
Experimental Social Psychology, Vol. 22, 453 - 474

Berrigan, D., Dodd, K., Troiano, R. P., Krebs-Smith, S. M. dan Barbash, R. B.


(2003). Patterns of Health Behaviors in US Adults. Preventive Medicine, Vol.
36, 615-623.

Billari, Fransesco C. dan Philipov, Dimiter (2005) Attitudes, Subjective Norms and
Perceived Behavioral Control as Predictors of Fertility Intentions, Prepared
for PAA 2005 (unpublished)

Chiou, Jyh-Shen (1998) The Effects of Attitude, Subjective Norm, and Perceived
Behavioral Control on Consumers’ Purchase Intentions: The Moderating
Effects of Product Knowledge and Attention to Social Comparison
Information. Proc Natl. Sci. Counc. ROC (C), Vol. 9 No. 2, 298 – 308

Digh, P. (1998). The Next Challenge: Holding People Accountable. HRMagazine,


Vol. 43 No. 11, 63–69.

24
Flynn, G. (1998). Experts Explain The Evolution of Diversity Programs. Workforce,
Vol. 77 No. 12, 32–33.

Godin, Gaston; Valois, Pierre dan Lepage, Linda (2004) The Pattern of Influence of
Perceived Behavioral Control upon Exercising Behavior: An Application of
Ajzen's Theory of Planned Behavior. Journal of Behavioral Medicine, Vol.
16, N0. 1, 181 – 102

Higgins, George E. dan Marcum, Catherin Davis (2005) Can the Theory of Planned
Behavior Mediate the Effects of Low Self-Control on Alcohol Use? College
Student Journal, Vol. 39, Issue: 1.

Hui, S. S. dan Morrow, J. R. (2001). Level of Participation and Knowledge of


Physical Activity in Hong Kong Chinese Adults and Their Association With
Age. Journal of Aging and Physical Activity, Vol. 9, 372-385.

Janz, N. K. dan Becker,M. H. (1984). The Health Belief Model: A Decade Later.
Health Education Quarterly, Vol. 11, 1-47.

Johansson, S. E. dan Sundquist, J. (1999). Change in Lifestyle Factors and Other


Influence on Health Status and All-Cause Mortality. International Journal of
Epidemiology, Vol. 28, 1073-1080.

Kluttz, L. (2002). Changing Face of Diversity. Alexandria, VA: Society for Human
Resource Management.

Kolvereid, Lars (1996) Prediction of Employment Status Choice Intentions.


Entrepreneurship: Theory and Practice, Volume: 21, Issue: 1.

Kouthouris, CH. and Spontis A. ( 2005) Outdoor Recreation Participation: An


Application of the Theory of Planned Behavior. The Sport Journal, Vol. 8,
Number 3, United States Sport Academy

Krueger, N. F., Jr., dan Carsrud, A. L. (1993). Entrepreneurial Intentions: Applying


the Theory of Planned Behavior. Entrepreneurship & Regional Development,
Vol. 5 No. 4, 315-330.

Lanigan, Mary L. dan Bentley, Jennifer (2006) Collecting Sophisticated Evaluations


Even When Corporate Culture Is Resistant. Performance Improvement, Vol.
45 N0. 1, 32 - 51

Marrone, Stephen Richard (2005) Attitudes, Subjective Norms, and Perceived


Behavioral Control: Critical Care Nurses' Intentions to Provide Culturally
Congruent Care to Arab Muslims. Research Report. Columbia University
Teachers College (unpublished)

25
Martin, Jeffrey J. dan Kulinna, Pamela Hodges (2004) Self-Efficacy Theory and
Theory of Planned Behavior: Teaching Physically Active Physical Education
Classes. Research Quarterly for Exercise and Sport, Vol. 75 No. 3, 288 – 297

Miller, S. (1999). Political Correctness in The Office. Office Systems, Vol. 16 No. 4,
34–38.

Okun, Morris A. dan Sloane, Erin S. (2002) Application of Planned Behavior Theory
to Predicting Volunteer Enrollment by College Students in A Campus-Based
Program. Social Behavior and Personality. Tempe: Arizona State University

Orlando, C. R. dan Johnson, N. B. (2001). Understanding The Impact of Human


Resource Diversity Practices on Firm Performance. Journal of Managerial
Issues, Vol. 13, 177–195.

Priest, S. dan Gass, M. (1997). Effective Leadership in Adventure Programming.


Champaign, IL: Human Kinetics.

Rosenstock, I. M., Stretcher, V. J. dan Becker,M. H. (1988). Social Learning Theory


and The Health Belief Model. Health Education Quarterly, Vol. 15, 175-183.

Tang, Catherine So-Kum dan Wong, Chi-Yan (2005) Psychosocial Factors


Influencing the Practice of Preventive Behaviors Against the Severe Acute
Respiratory Syndrome Among Older Chinese in Hong Kong. Journal of
Aging and Health, Vol. 17 No. 4, 490 – 506

Wechsler, H., G., Dowdall, G., Maenner, G., Gledhill-Hoyt, J. dan Lee, H. (1998).
Changes in Binge Drinking and Related Problems Among American College
Students Between 1993 and 1997. Journal of American College Health, Vol.
47, 57-69.

Wiethoff, Carolyn (2004) Motivation to Learn and Diversity Training: Application of


the Theory of Planned Behavior. Human Resource Development Quarterly,
Vol. 15 No. 3

26

Anda mungkin juga menyukai