Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN ENDEMIK I

“KUSTA/LEPRA/MORPUS HANSEN”

DISUSUN OLEH KELOMPOK 7 :

1. BELLA ZEFANYA 16.156.01.11.007


2. DEVI EKA NOVIYANTI 16.156.01.11.011
3. RAYHAN ADITYA PRATAMA 16.156.01.11.030
4. SEPTI AMELIA 16.156.01.11.033

3A ILMU KEPERAWATAN

STIKES MEDISTRA INDONESIA


Jl. CUT MEUTIA RAYA NO. 88A BEKASI, JAWA BARAT INDONESIA
TAHUN PELAJARAN 2017/2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu tanpa ada halangan sedikitpun.
Tujuan penulis membuat makalah ini sebagai tambahan referensi bagi para mahasiswa
yang membutuhkan ilmu tambahan tentang “MORPUS HANSEN”
Kami menyadari bahwa penulisan tugas makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan makalah
ini.
Karena kesalahan adalah milik semua orang dan kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang
Maha Esa. Semoga makalah ini dapat berguna dan membantu proses pembelajaran.

Bekasi, Desember 2018

Penulis

2
Daftar Isi
Kata Pengantar .............................................................................................................................................. 2

Daftar Isi ....................................................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 4

A. Latar Belakang ......................................................................................................................................... 4

B. Rumusan Masalah .................................................................................................................................... 5

C. Tujuan ...................................................................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN KASUS ........................................................................................................................ 6

BAB III LAPORAN PENDAHULUAN ........................................................................................................

A. Definisi .......................................................................................................................................................

B. Epidemiologi ..............................................................................................................................................

C. Etiologi .......................................................................................................................................................

D. Patofisiologis..............................................................................................................................................

E. Pathway ......................................................................................................................................................

F. Manifestasi Klinik ......................................................................................................................................


G. Klasifikasi ..................................................................................................................................................
H. Pengobatan .................................................................................................................................................
I. Program Pemberantasan ..............................................................................................................................

J. Komplikasi ..................................................................................................................................................

K. Pemeriksaan Penunjang .............................................................................................................................

BAB IV ASUHAN KEPERAWATAN ..........................................................................................................

BAB V PENUTUP .........................................................................................................................................

A. Kesimpulan ................................................................................................................................................

B. Saran ...........................................................................................................................................................

Daftar Pustaka .................................................................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dengan konsentrasi terutama di negara-
negara berkembang yang hygine dan sanitasinya kurang baik. Pada tahun 2002
dilaporkan terdapat 620.000 penderita kusta di dunia, dimana 90% terdapat dibrasil,
India, Nepal, dan beberapa negara di Afrika, dengan angka prevalensi 5-15 per 10.000
penduduk. Di Amerika Serikat penyakit ini masih ditemukan di Kalifornia, Florida, dan
New York yang sebagian besar berasal dan imigran dan pengungsi yang tertular dari
negara asal mereka.
Prevalensi penyakit kusta di Indonesi pada tahun 1990 sebesar 5,9 per 10.000
penduduk dan pada tahun 1998 sebesar 0,62 per 10.000 penduduk. Di Jawa Tengah pada
tahun 1998 prevalensi penyakit kusta sebesar 0,72 per 10.000 penduduk. Dari beberapa
daerah di Indonesia, prevalensi tertinggi terdapat di Papua dan terendah di DIY. Dalam
target global WHO pada eradikasi kusta tahun (EKT) 2000 diharapkan prevalensi
penyakit kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk.
Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena
kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat dan keadaan
ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

4
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah Definisi Dari Kusta?


2. Bagaimana Epidemiologi Dari Kusta?
3. Apakah Etiologi Dari Kusta?
4. Bagaimana Patofisiologi Dari Kusta?
5. Bagaimana Pathway Dari Kusta?
6. Apa Saja Manifestasi Klinik Dari Kusta?
7. Apa Saja Klasifikasi Dari Kusta?
8. Bagaimana Pengobatan Dari Kusta?
9. Bagaimana Program Pengobatan Dari Kusta?
10. Apa Saja Komplikasi Dari Kusta?
11. Bagaimana Pemeriksaan Penunjang Dari Kusta?
12. Bagimana Asuhan Keperawatan Dari Kusta?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Definisi Dari Kusta.
2. Untuk Mengetahui Epidemiologi Kusta.
3. Untuk mengetahui Etiologi Dari Kusta.
4. Untuk mengetahui Patofisiologi Dari Kusta.
5. Untuk Mengetahui Pathway Kusta.
6. Untuk mengetahui Manifestasi Klinik Dari Kusta.
7. Untuk mengetahui Klasifikasi Dari Kusta.
8. Untuk Mengetahui Pengobatan Dari Kusta.
9. Untuk Mengetahui Program Pengobatan Dari Kusta.
10. Untuk Mengetahui Komplikasi Dari Kusta.
11. Untuk Mengetahui Pemeriksaan Penunjang Dari Kusta.
12. Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Dari Kusta.

5
BAB II

TINJAUAN KASUS

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya, tetapi
juga masalah sosial, ekonomi budaya, serta keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena
kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat dan keadaan
ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Nama lain kusta adalah “The Great Imitator” (Pemalsu yang Ulung) karena
manifestasi penyakitnya menyerupai penyakit kulit atau penyakit saraf lainnya, misalnya
penyakit jamur.

B. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini tersebar diseluruh dunia dengan konsentrasi terutama di negara-
negara berkembang yang hygine dan sanitasinya kurang baik. Pada tahun 2002
dilaporkan terdapat 620.000 penderita kusta di dunia, dimana 90% terdapat dibrasil,
India, Nepal, dan beberapa negara di Afrika, dengan angka prevalensi 5-15 per 10.000
penduduk. Di Amerika Serikat penyakit ini masih ditemukan di Kalifornia, Florida, dan
New York yang sebagian besar berasal dan imigran dan pengungsi yang tertular dari
negara asal mereka.
Prevalensi penyakit kusta di Indonesi pada tahun 1990 sebesar 5,9 per 10.000 penduduk
dan pada tahun 1998 sebesar 0,62 per 10.000 penduduk. Di Jawa Tengah pada tahun
1998 prevalensi penyakit kusta sebesar 0,72 per 10.000 penduduk. Dari beberapa daerah
di Indonesia, prevalensi tertinggi terdapat di Papua dan terendah di DIY. Dalam target
global WHO pada eradikasi kusta tahun (EKT) 2000 diharapkan prevalensi penyakit
kusta kurang dari 1 per 10.000 penduduk.

7
C. ETIOLOGI
Penyebab penyakit kusta adalah mycobacterium leprae yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA).
Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21
hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat
ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernafasan dan kontak kulit. Bakteri kusta
ini terdapat pada kulit tangan, daun telinga dan mukosa hidung.

D. PATOFISIOLOGI.
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis
telah dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita
kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan
genetik Juga ikut berperan , setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe
kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.
Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan
adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat dibuktikan
bahwa organisme tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah
ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan
bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa
mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru
Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar dilapisan
keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah
pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjarkeringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah
ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung
pada kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri.

8
Pedle y melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya
bakteri di secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung
dari pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari. Pintu
masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat
ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri.
Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan, beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum
dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran
perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non
endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata- rata dari kusta adalah 3- 5
tahun .

E. PATHWAY

F. MANIFESTASI KLINIK
Tiga gejala utama (cardinal sign) penyakit kusta adalah :
 Makula hipopigmentasi atau anestesi pada kulit.
 Kerusakan saraf perifer.
 Hasil pemeriksaan laboratorium dari kerusakan kulit menunjukan BTA +

G. KLASIFIKASI
Kelainan Kulit dan Hasil
PB (PausiBasiler) MB (MultiBasiler)
Pemeriksaan Bakteriologis.
1. Bercak (makula)
 Jumlah  1-5  Banyak
 Ukuran  Keccil dan besar  Kecil-kecil
 Distribusi  Unilateral dan bilateral  Bilateral, simetris
asimetris
 Konsistensi  Kering dan kasar  Halus, berkilat

9
 Batas  Tegas  Kurang tegas
 Kehilangan sensasi rasa  Selalu ada dan jelas  Biasanya tidak jelas : jika
pada area bercak ada, terjadi pada yang
sudah lanjut.
 Kehilangan kemampuan  Bercak tidak berkeringat,  Bercak masih berkeringat,
berkeringat, bulu rontok bulu rontok pada area bulu tidak tontok.
pada area bercak. bercak.
2. Infiltrat
 Kulit  Tidak ada  Ada, kadang-kadang tidak
 Membrane mukosa ada
(hidung tersumbat,  Tidak pernah ada  Ada, kadang-kadang tidka
perdarahan dihidung) ada
3. Ciri-ciri khusus ‘Cental healing’  Lesi ‘punched out’
(penyembuhan di tengah )  Madarosis
 Ginekomastia
 Hidung pelana
 Suara sengau
4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
5. Penebalan saraf perifer Lebih sering terjadi dini, Terjadi penyakit lanjut
asimetris biasanya lebih dari satu
simetris
6. Deformitas (cacat) Biasanya asimetris, terjadi Terjadi pada stadium lanjut.
dini
7. Apusan BTA Negatif BTA Positif

10
H. PENGOBATAN
Kriteria penentuan tipe pengobatan kusta dengan cara MDT (Multidrug therapy)
versi WHO dijelaskan berikut ini :
NAMA OBAT PB MB
Rifampisin 600 mg/bulan 600 mg/bulan
Lamprene - 300 mg/bulan
Lamprene - 50 mg/hari
DDS 100 mg/bulan 100 mg/bulan
DDS 100 mg/hari 100 mg/hari

I. PROGRAM PEMBERANTASAN
1. Tujuan dan sasaran
 EKT 2000 : Prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk
 Sasaran : Semua penderita ; orang yang kontak dengan penderita yang
belum RFC;murid SD
2. Kebijakan dan strategi
 Pengobatan (MDT, multidrug therapy) secara intensif dan ekstensif
 Kerjasama lintas program dan lintas sector.
 Meningkatkan keterampilan petugas.
 Penemuan, pengobatan, dan pencegahan cacat.
3. Kegiatan
 Rencana penyediaan jumlah obat dihitung dari jumlah penderita tahun
lalu+perkiraan kasus baru+ buffer stock 10%
 Pengobatan MDT
 Rujukan jika ulkus tidak sembuh setelah diobati dipuskesmas selama 3
bulan maka ia dirujuk ke rumah sakit umum selama 3 bulan dan jika tidak
sembuh dirujuk kerumah sakit kusta.
 Pasien yang mengalami neuritis dan tidak sembuh setelah diobati di
puskesmas selama 3 bulan maka ia dirujuk kerumah sakit kusta.
 Pasien yang mengalami komplikasi dan efek samping obat (ESO) atau
reaksi obat dirujuk kerumah sakit umum.
11
 Survei
4. Monitor dan evaluasi
 Puskesmas dengan penderita <5, kunjungan laporan 1 kali/bulan.
 Puskesmas dengan penderita 5-10, kunjungan laporan 2 kali/bulan.
 Jumlah penderita yang diobati dengan MDT per jumlah penderita.
 Jumlah pemeriksaan orang yang kontak dengan penderita per jumlah yang
terdaftar.
 Jumlah pemeriksaan anak sekolah per jumlah murid yang terdaftar .
 Jumlah chase survey per jumlah penduduk yang terdaftar.
 Jumlah penderita yang menjalani pengobatan MDT secara teratur.
 Jumlah penderita RFT/RFC/MDT
 Jumlah penderita yang cacat per jumlah penderita yang baru.
5. Pelaporan dan pencatatan ( Reporting dan Recording )
 Setiap penderita harus memiliki kartu penderita
 Pencatatan dalam buku monitoring MDT
 Menyediakan formulir kasus baru
 Pencatatan dalam buku kunjungan penderita.
J. KOMPLIKASI
1. KECACATAN
Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari
kerusakan saraf tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik,
motorik dan otonom. Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan
fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun karena terjadinya peradangan
(neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.
a. Tingkat Cacat
Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :
 Kerusakan fungsi sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya
kurang/mati rasa (anestesi). Akibat kurang/mati rasa pada telapak
tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata
akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata
12
mudah kemasukan kotoran, benda-benda asing yang dapat
menyebabkan infeksi mata dan akibatnya buta.
 Kerusakan fungsi motorik
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah/lumpuh dan lama-lama otot mengecil (atrofi) oleh karena
tidak dipergunakan. Jari jari tangan dan kaki menjadi bengkok
(clow hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada
sendi, bila terjadi kelemahan/kekakuan pada mata, kelopak mata
tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus)
 Kerusakan fungsi otonom
Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering,
menebal, mengeras, dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada
umumnya apabila terdapat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani
secara tepat dan tepat maka akan terjadi cacat ke tingkat yang
lebih berat.

K. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada reaksi
kusta antara lain, yaitu :
1. Pemeriksaan Laboratorium, seperti :
 Hitung sel darah lengkap
 Glukosa darah, BUN, creatinine, liver function tests
 HIV status, terutama nonresponder
 Kerokan kulit dan atau mukosa hidung untuk AFB
 Keluarga dan atau screening kontak untuk bukti terjangkit
2. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Pada Pemeriksaan Bakterioskopik di ambil sediaan dari kerokan jaringan
kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan BTA ZIEHL
NEELSON.
3. Imaging Studies

13
 Foto Thorak
 Foto Rontgen untuk mendeteksi keterlibatan tulang
 MRI atau CT dari sendi neurophatik saat diperlukan
 Magnetic Resonance (MR) Neurography pada kondisi khusus
 Ultrasonography dan Doppler ultrasonography
Tes Yang Lain, yaitu :
1) Tes Imunologi
2) DNA Recombinant dan polymerase chain reaction (PCR)
Sedangkan pemeriksaan penunjang pada ENL (Erythema Nodosum Leprosum) dapat
berupa pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan histopatologi.
1. Pada pemeriksaan laboratorium, dilakukan pemeriksaan protein dan sel darah merah
dalam urine yang dapat menunjukkan terjadinya glomerulonefritis akut. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop, dapat terlihat kompleks imun pada
glomerulus ginjal. Pada pemerksaan hematologi dapat ditemukan leukositosis PMN,
trombositosis, peninggian LED, anemia normositik normokrom dan peninggian kadar
gammaglobulin
2. Pemerikaan histologi, ENL akan menunjukkan inflamasi akut berupa lapisan infiltrat
pada inflamasi granulomatosa yang kronik dari BL dan LL. Selain itu, akan tampak
peningkatan vaskularisasi dengan dilatasi kapiler pada dermis bagian atas dan pada
dermis bagian bawah terdapat infiltrasi lekosit polimorfonuklear yang lokalisasinya
disekeliling pembuluh darah dan menyerang dinding pembuluh darah. Terdapat
pembengkakan dan edema endothelium vena, arteriole dan arteri-artei kecil pada lasi
ENL. Fragmen basil sedikit dan, terdapat disekitar pembuluh darah. Kerusakan
dinding vaskuler ini mengakibatkan ekstravasasi eritrosit.

14
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

15
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang masih merupakan
masalah yang sangat kompleks. Masalah yang ada bukan saja dari segi medisnya, tetapi
juga masalah sosial, ekonomi budaya, serta keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta merupakan salah satu manifestasi kemiskinan karena
kenyataannya sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta bila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat dan keadaan
ini menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat
untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Penyebab penyakit kusta adalah mycobacterium leprae yang berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada
yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA).
Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21
hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun. Penyakit kusta dapat
ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernafasan dan kontak kulit. Bakteri kusta
ini terdapat pada kulit tangan, daun telinga dan mukosa hidung.

B. SARAN
Diharapkan masyarakat dapat lebih meningkatkan perhatian terhadap kebersihan
lingkungan demi meningkatkan derajat kesehatan yang optimal dan pemerintah juga
diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan dini terhadap Mycobacterium leprae /
Bakteri kusta guna pencegahan penyebaran penyakit dimasyarakat dengan melaksanakan
penyuluhan dengan memberikan informasi dan edukasi, serta pemantauan wilayah
endemis agar tidak terjadinya penyebaran Mycobacterium leprae / Bakteri kusta.

16
DAFTAR PUSTAKA
Widoyono. 2005 . Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasannya. Jakarta. Erlangga

Dochterman, J. M., & Bulechek, G. M. (2004). Nursing Interventions classification (NIC) (5th
ed.). America: Mosby Elseiver

Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., dan Swanson, L. (2008). Nursing Outcomes Classification
(NOC) (5th ed.). United state of America: Mosby Elsevier

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta : Persatuan Perawat Nasional Indoneia (PPNI)

17

Anda mungkin juga menyukai