Anda di halaman 1dari 10

Sindrom Steven-Johnson

Tressy A. Padahana – 10 2010 233


Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat
Email: trezyph@ymail.com

PENDAHULUAN

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai
gejala umum berat. Sinonimnya antara lain: Sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema poliform bulosa, Sindrom mukokutaneookular, dermatostomatitis, dan
lain-lain. Sindrom Steven-Johnson merupakan kelainan yang termasuk eritema multiforme mayor
yang mengenai kulit, selaput lendir atau mukosa di orifisium, dan mata serta organ-organ tubuh lain.
Penyakit ini disertai dengan keadaan umum yang bervariasi dari ringan sampai berat.

Sindrom Steven-Johnson tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian


sel-sel kulit sehingga epidermis mengelupas. Sindrom ini dianggap sebagai hipersensitivitas
kompleks yang mempengaruhi kulit dan selaput lendir. Pada umumnya kasus sindrom Steven-
Johnson tidak diketahui penyebabnya (idiopatik), biasanya penyebab utama yang paling sering
dijumpai adalah akibat dari alergi obat-obatan tertentu, infeksi virus dan atau keduanya, pada kasus
tertentu yang sangat jarang ditemukan sindrom ini berhubungan dengan kanker. Bentuk yang berat
dapat menyebabkan kematian sehingga perlu pentalaksanaan yang tepat dan cepat agar jiwa pasien
dapat ditolong.

PEMBAHASAN
A. Anamnesis
Anamnesis yang akurat sangat penting dalam menegakkan diagnosis yang tepat pada
kondisi-kondisi yang mengenai kulit. Keluhan utama tersering diantaranya adalah ruam, gatal,
bengkak, ulkus, perubahan warna kulit dan pengamatan saat pasien datang dengan keluhan
utama kondisi medis lain.
Pemeriksa harus melakukan wawancara yang seksama terhadap pasiennya atau keluarga
dekat pasien mengenai masalah yang menyebabkan pasien datang ke pusat pelayanan
kesehatan. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (autoanamnesis) atau

1
terhadap keluarganya atau pengantarnya (alloanamnesis). Aloanamnesis biasanya dilakukan
pada pasien di bawah umur atau pasien yang tidak kompeten untuk menjawab pertanyaan dari
pemeriksa. Anamnesis yang baik akan terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit dalam keluarga, dan dapat juga ditanyakan
riwayat sosial-ekonomi pasien.
 Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
nama orang tua atau suami isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan,
suku bangsa dan agama.
 Keluhan Utama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membawa
pasien pergi ke dokter atau mencari pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus
disertai dengan indikator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut. Seperti dalam
skenario anak laki-laki 13 tahun dibawa ke rumah sakit dengan kaluhan lepuh pada kedua
lengan, badan atas, bokong dan kedua paha sejak 2 hari yang lalu.
 Riwayat Penyakit Sekarang. Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis,
terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai
pasien datang berobat. Dalam melakukan anamnesis diusahakan mendapatkan data-data
sebagai berikut:
1) Sebelum timbul lepuh pada kedua lengan, badan atas, bokong dan kedua paha,
pernah mengkonsumsi obat atau sesuatu yang dicurigai sebagai pencetus timbulnya
lepuh tersebut. Hal ini perlu ditanyakan karena sindrom Steven Johnson biasanya
disebabkan oleh alergi obat;
2) Apakah keluhan baru pertama kali atau sudah berulang kali;
3) Keluhan-keluhan yang menyertai serangan, atau keluahan lain yang bersamaan
dengan serangan;
4) Bentuk efloresensi primer sebelum pasien dibawa ke rumah sakit.
 Riwayat Penyakit Keluarga. Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, seperti
alergi.
 Riwayat Pribadi. Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan
kebiasaan. Kebiasaan pasien yang juga harus ditanyakan adalah kebiasaan merokok, minum
alkohol, termasuk penyalahgunnaan obat-obatan terlarang (narkoba).1

2
B. Pemeriksaan fisik
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun ke bawah karena imunitas belum begitu
berkembang. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat
kesadarannya menurun, pasien dapat sopor sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat
disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaese, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri
tenggorok. Pada SSJ ini dapat dilakukan pemeriksaan inspeksi. Pasien akan menunjukkan trias
kelainan berupa: kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.
 Kelainan kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, vesikel dan bula. Eritema adalah kemerahan pada
kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh darah yang reversibel sedangkan vesikel
adalah gelembung berisi cairan serum beratap berukurab kurang dari 0,5 cm garis
tengah dan mempunyai dasar dan bula adalah vesikel yang berukuran lebih besar.
Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di samping itu
dapat juga terjadi purpura. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata.
 Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yang tersering ialah kelainan mukosa mulut (100%), kemudian
disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus
jarang (masing-masing 8% dan 4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat
memecah hingga terjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut
juga dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah
krusta bewarna hitam yang tebal. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring,
traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Stomatitis dapat menyebabkan pasien
sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan
keluhan sukar bernapas.
 Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% di antara semua kasus dan yang tersering ialah
konjungtivitis kataralis. Selain itu, dapat juga berupa konjungtivitis purulen, perdarahan,
simblefaron, ulkus kornea, iritis, dan iridosiklitis.

Selain trias kelainan tersebut dapat pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis dan
onikolisis. Untuk memastikan kelainan yang diderita pasien perlu pula dilihat adanya
epidermolisis. Pada Nekrolisis Epidermolisis Toksik (bentuk parah dari SSJ) yang penting ialah
terjadinya epidermolisis, yaitu epidermis terlepas dari dasarnya yang kemudian menyeluruh.

3
C. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Jika terdapat leukositosis, ini menunjukkan
kemungkinan penyebabnya adalah infeksi. Bila diduga penyebabnya adalah infeksi, perlu
dilakukan pemeriksaan kultur darah untuk menentukan jenis kuman penyebabnya. Kalau
terdapat eosinofilia, kemungkinan penyebabnya adalah alergi obat. Di samping itu, juga
ditemukan adanya peningkatan enzim transaminase serum, albuminuria, dan gangguan
elektrolit serta adanya gambaran gangguan fungsi organ tubuh yang terkena.2

Histopatologi
Gambaran histopatologik sesuai dengan eritema multiform, bervariasi dari perubahan dermal
yang ringan sampai nekrosis epidermal yang menyeluruh berupa:
 Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh-pembuluh darah dermis superfisial.
 Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar.
 Degenerasi hidropik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal.
 Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa.
 Spongiosis dan edema intrasel epidermis.3

D. Diagnosis Banding
 Nekrolisis Epidermal Toksik (NET)
NET dianggap sebagai bentuk parah SSJ, maka hendaknya dicari apakah terdapat
epidermolisis. Umumnya pasien berbaring, jadi diperiksa punggungnya. Apabila terdapat
epidermolisis, maka diagnosisnya menjadi NET. Pada NET keadaan umumnya lebih buruk
daripada SSJ. Pada stadium dini NET, tampak vakuolisasi dan nekrosis sel-sel basal
sepanjang perbatasan dermal-epidermal. Sel radang di dermis hanya sedikit terdiri atas
limfohistiosit. Pada lesi yang telah lanjut terdapat nekrosis eosinofilik sel epidermis dengan
pembentukan lepuh sub-epidermal. Epidermolisis yaitu epidermis terlepas dari dasarnya
yang kemudian menyeluruh. Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya
epidermolisis menyebabkan tanda Nikolskiy positif pada kulit yang eritematosa, yaitu jika
kulit ditekan dan digeser, maka kulit kan terkelupas. Epidermolisis mudah dilihat pada
tempat yang sering terkena tekanan. Pada sebagian pasien kelainan kulit hanya berupa
epidermolisis dan purpura, tanpa disertai erosi, vesikel dan bula. Kuku dapat terlepas
(onikolisis). Kadang-kadang dapat terjadi perdarahan di traktus gstrointestinalis.

4
 Staphyloccocal Scalded Skin Syndrome (SSSS)
Penyakit ini umumnya menyerang usia yang lebih mudah. Anak-anak merupakan faktor
resiko pada SSSS karena kekurangan imunitas dan kemampuan renal imatur dalam
pembersihan toksin (toksin exfoliative). Antibodi maternal dapat ditransfer kepada infant
melalui ASI tetapi SSSS masih dapat terjadi karena inadekuat imunitas dan imatur ginjal.
SSSS merupakan bentuk berbeda dari impetigo bulosa, keduanya merupakan penyakit kulit
yang berlepuh yang disebabkan oleh toksin eksfoliatif dari staphylococcus. Perbedaannya
adalah impetigo bulosa hanya terdapat pada area lokal sedangkan pada SSSS kerusakan
epidermal menyebar luas keseluruh tubuh (penyebaran secara hematogen). Perbedaan
SSSS dengan NET adalah infeksi SSSS hanya sebatas intraepidermal sedangkan infeksi NET
pada seluruh lapisan epidermis (sampai membran basal).

 Eksantema Fikstum Multipel Generalisata


Pada penyakit ini lesi timbul pada tempat yang sama dan biasanya tidak menyeluruh. Jika
sembuh meninggalkan bercak hiperpigmentasi menetap. Kelainan eksantema fikstum
multipel berupa eritem atau hiperpigmentasi dengan vesikel atau bula berbentuk bulat
atau lonjong, berukuran lentikular, nummular, sampai plakat. Lesi dapat timbul di seluruh
tubuh, paling sering di sekitar mulut, penis. Lesi di bibir dan genitalia eksterna dapat
berupa erosi. Bila sembuh lesi akn meninggalkan warna hiperpigmentasi yang akan
menghilang dalam jangka waktu yang lama.

E. Diagnosis Kerja
Diagnosis Sindrom Steven Johnson 90% berdasarkan klinis. Jika disebabkan oleh obat, ada
korelasi antara pemberian obat dengan timbulnya gejala. Diagnosis ditujukan terhadap
manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, dan mata serta hubungannya
dengan faktor penyebab. Selain itu, didukung pemeriksaan laboratorium antara lain
pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologis, biakan kuman serta uji resistensi dari darah
dan tempat lesi, dan pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus
berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat
peningkatan eosinofil. Kadat IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit
menurun dan dapat dideteksi adanya circulating immune complex. Biopsi kulit direncanakan
bila lesi klasik tak ada. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung
ditegakkan diagnosis.4

5
F. Etiologi
Etiologi SSJ sulit ditentukan dengan pasti, karena dapat disebabkan berbagai faktor,
walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor
penyebab timbulnya SSJ di antaranya: infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa,
penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara
dingin, sinar matahari, sinar X), dan lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan).

G. Epidemiologi
Insidens SSJ dan NET diperkirakan 2 – 3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan
Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa SSJ
yang biasanya disebabkan oleh alergi obat.

H. Patofisiologis
Patofisiologis kelainan ini belum diketahui dengan jelas. Diduga terjadinya kelainan ini
dipengaruhi oleh reaksi alergi tipe III dan tipe IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya
kompleks antigen-antibody yang membentuk mikro-presipitasi sehingga terjadi aktivasi sistem
komplemen akibat adanya akumulasi sel neutrofil yang melepaskan lisozim yang menyebabkan
kerusakan jaringan pada organ target. Reaksi tipe IV terjadi akibat sel limfosit T yang telah
tersensititasi terkontak ulang dengan antigen yang sama lalu sel T tersebut melepaskan limfokin
dan menimbulkan reaksi peradangan. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi
kerusakan kulit sehingga terjadi:
1) kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan;
2) stres hormonal diikuti peningkatan tsistensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuria;
3) kegagalan termoregulasi;
4) kegagalan fungsi imun;
5) infeksi.

Reaksi Hipersensitif tipe III  Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi
dalam darah mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada
beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks
antigen antibodi di tempat tersebut. Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi
sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler di tempat terjadinya reaksi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga

6
terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut.

Reaksi Hipersensitif Tipe IV  Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T
penghasil limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang
bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) dan memerlukan
waktu 14 – 27 jam untuk timbul gejala.

I. Gejala Klinis
Gejala prodromal berkisar antara 1 – 14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyeri menelan,
nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan
kombinasi gejala tersebut. Setelah itu akan timbul lesi di:
 Kulit: berupa eritema, papel, vesikel atau bula secara simetris pada hampir seluruh
tubuh. Bila bula kurang dari 10% disebut Sindrom Steven Johnson, 10 – 30% disebut
Sindrom Steven Johnson-Nekrolisis Epidermal Toksik (SSJ-NET), lebih dari 30% Nekrolisis
Epidermal Toksik (NET).
 Mukosa (mulut, tenggorokan, dan genital): berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan, dan krusta bewarna merah.
 Mata: berupa konjungtivitis kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak
mata edema, dan sulit dibuka. Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea.

Gb. 1. Hipersensitivitas pada mukosa


(Sumber: www.google.com)

7
Gb. 2. Lepuh seluruh badan pada Sindrom Steven Johnson
(Sumber: www.google.com)

J. Tata Laksana
1. Kortikosteroid
Pengobatan dengan kortikosteroid merupakan tindakan live-saving. Jenis kortikosteroid
yang biasa digunakan adalah Deksametason 20 – 30 mg/hari secara intravena. Dosis ini
harus terus diberikan sampai tidak muncul lesi baru. Kemudian lakukan penurunan dosis
secara cepat yaitu 5 mg/hari. Setelah dosis mencapai 5 mg/hari, pengobatan dilanjutkan
dengan pemberian prednison 20 mg/hari secara oral. Setelah itu, dosis prednison diturunkan
secara bertahap lalu dihentikan.5
2. Antibiotik
Tujuannya agar mencegah infeksi sekunder seperti bronkopneumonia. Ini dapat terjadi
karena imunitas pasien menurun akibat pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Pemberian
antibiotik dihentikan bila dosis deksametason telah mencapai 5 mg/hari dan tidak terdapat
tanda-tanda infeksi. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik yang jarang menimbulkan
alergi, berspektrum luas, dan bersifat bakterisid, seperti:5
 Gentamycin 2x60mg/hari, i.m atau i.v
 Sefotaksim 3x1gr/hari, i.v  3 – 4x pemberian
3. Infus dengan cairan dekstrosa 5%, NaCl 0,9%, dan Ringer laktat dengan perbandingan 1:1:1.
Tujuannya agar mengatur dan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan
juga asupan nutrisi dan obat.5
4. Pengobatan topikal
Pasien dimandikan dengan larutan permanganas kalikus 1:10.000. Lesi pada bibir dioleskan
dengan kanalog orabase.

8
5. Konsultasi ke dokter tertentu lainnya seperti dokter THT, dokter Mata, dokter penyakit
dalam, dll.

K. Komplikasi
Komplikasi yang tersering ialah bronkopneunomia yang didapati sejumlah 16 % di antara
seluruh kasus yang ada. Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan atau darah, gangguan
keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata dapat terjadi kebutaan karena gangguan
lakrimasi.6

L. Prognosis dan Pencegahan


Jika dilakukan tindakan tepat dan cepat, maka prognosis cukup memuaskan. Bila terdapat
purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Kematian berkisar antara 5 – 15%
pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Kematian biasanya terjadi disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit,
bronkopneumonia serta sepsis. Yang paling penting adalah meghindari penyebab.6

PENUTUP

Kesimpulan

Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan
mata dengan keadaan umum bervariasi dan ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel atau bula dapat disertai purpura. Sindrom Steven Johnson merupakan
hipersensitifitas yang disebabkan oleh pembentukan sirkulasi kompleks imun yang disebabkan oleh
obat-obatan, infeksi virus, dan keganasan. Pada lebih dari setengah kasus, tidak didapatkan adanya
penyebab yang spesifik.



9
Daftar Pustaka

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing;
2009. h.2861-8.
2. Hamzah M, Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. h.163-7.
3. Darmstadt GL, Sidbury R. Stevens johnson syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB: Textbook of pediatrics. 17th Ed. Philadelphia: WB Saunders; 2005. h.2191-4.
4. Burns BT, Graham R. Lecture notes on dermatology. 8th Ed. Jakarta: Erlangga Medical Series;
2005. h.152-4.
5. Mariana Y, Setiabudy R. Farmakologi dan terapi. 5th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. h.599-604.
6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin N Am. 2005. h.357-71.

10

Anda mungkin juga menyukai