Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Campak

2.1.1 Definisi dan Etiologi Penyakit Campak

Campak merupakan penyakit infeksi akut, kebanyakan menyerang anak-anak dan

disebabkan oleh virus (WHO, 2004). Virus penyebab penyakit campak termasuk ke dalam

genus morbilivirus dan famili paramixovirus. Karateristik penyakit campak pada umumnya

adalah : demam dengan suhu >38ºC, rash dan disertai satu atau lebih gejala batuk, pilek, atau

mata merah/konjungtivitis (WHO, 2004). Pada penyakit campak ada 3 stadium yaitu stadium

prodromal, stadium erupsi dan stadium convalencens. Sembilan puluh persen anak yang tidak

kebal akan terserang penyakit campak. Manusia merupakan satu-satunya reservoir, seseorang

yang pernah terserang campak akan memiliki imunitas seumur hidupnya (Depkes, 2008).

Departemen kesehatan RI mendefinisikan penyakit campak kedalam tiga katagori untuk

kepentingan surveilans yaitu:

1. Tersangka campak (suspected measles case) yaitu kasus campak dengan gejala-gejala

bercak kemerahan di tubuh didahului dengan demam/panas, batuk, pilek dan mata

merah.

2. Kasus klinis campak yaitu kasus dengan gejala-gejala bercak kemerahan di tubuh

terbentuk makulo popular selama tiga hari atau lebih disertai panas badan 38ºC atau

lebih dan disertai salah satu gejala batuk, pilek atau mata merah.

3. Kasus campak konfirmasi (Confirmed measles case) yaitu kasus klinis campak

disertai salah satu katagori: pemeriksaan laboratorium serologis positif campak,

ditemukan koplik spot atau meninggal karena campak.


Penyakit campak disebabkan oleh measles virus (MV), genus virus morbili famili

Paramyxoviridae (RNA), jenis morbilivirus yang mudah mati karena panas, cahaya, ether

dan trypsin (Depkes, 2008). Virus akan menjadi tidak aktif pada suhu 37ºC, pH asam atau

bila dimasukkan dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat maka

infeksifitasnya akan hilang. Selama masa prodromal, virus dapat ditemukan di dalam sekresi

nasofaring, darah dan air kemih. Virus campak hanya dapat ditularkan dari manusia ke

manusia dan hanya dapat aktif pada suhu kamar selama 34 jam di alam bebas (Andriani,

2009).

2.1.2 Patofisiologi Penyakit Campak

Penularan terjadi secara droplet dan kontak virus ini melalui saluran
pernafasan dan masuk ke system retikulo endothelial, berkembang biak dan
selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh. Hal tersebut akan menimbulkan gejala pada
saluran pernafasan, saluran cerna, konjungtiva dan disusul dengan gejala patoknomi
berupa bercak koplik dan ruam kulit. Antibodi yang terbentuk berperan dalam
timbulnya ruam pada kulit dan netralisasi virus dalam sirkulasi. Mekanisme
imunologi seluler juga ikut berperan dalam eliminasi virus.
Pada stadium prodromal terdapat hiperplasia jaringan limfe. Distribusi yang
luas dari giant cell multinuklear (sel retikuloendotel Warthin- Finkeldey) akibat fusi-
fusi sel dan inklusi intranuklear terlihat dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh
(limfoid, tonsil, terutama appendix). Keadaan tersebut terjadi selama masa inkubasi,
biasanya 9-11 hari. Sebagai reaksi terhadap virus, terjadi proses peradangan epitel
saluran pernafasan, konjungtiva dan kulit yang mana terbentuk eksudat yang serous
dan proliferasi sel mononukleus dan beberapa sel polimorfonukleus di sekitar kapiler.
Respon imun ini diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak
sakit berat dan ruam yang menyebar ke seluruh tubuh, tampak suatu ulsera kecil pada
mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, merupakan tanda pasti untuk menegakkan
diagnosis. Ruam pada kulit terjadi sebagai akibat respon delayed hypersensitivity
terhadap antigen virus, sebagai hasil interaksi sel T imun dan sel yang terinfeksi virus
dalam pembuluh darah kecil dan berlangsung sekitar 1 minggu. Kejadian ini tidak
tampak pada kasus yang mengalami defisit sel T. Pada kulit, reaksi terutama terjadi di
sekitar kelenjar sebacea dan folikel-folikel rambut.
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan
berbiak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi
berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus
menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah
5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses keradangan merupakan dasar
patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan
perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit
menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan
demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin
berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan
sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat
berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis.
Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan
ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses
ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi
limfosit.

2.1.3 Gejala Klinis dan Penularan Penyakit Campak

Secara umum gejala atau tanda-tanda campak menurut Depkes (2008) adalah:

a. Panas badan biasanya ±38ºC selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu gejala batuk,

pilek, mata merah atau mata berair.

b. Gejala yang khas adalah adanya koplik’s spot atau bercak putih keabuan dengan dasar

merah di pipi bagian dalam (mucosa bucal).

c. Bercak kemerahan/rash yang dimulai dari belakang telinga pada tubuh berbentuk

makulo papular selama tiga hari atau lebih, dalam 4-7 hari akan menyebar keseluruh

tubuh.

d. kemerahan makulo papular setelah 1 minggu sampai 1 bulan berubah menjadi

kehitaman (hiperpigmentasi) disertai kulit bersisik.


Pada awal infeksinya penyakit campak agak sulit untuk dideteksi, namun pada

umumnya manifestasi klinik penyakit campak terdiri dari tiga fase/stadium yaitu fase

prodromal, fase erupsi / paraxysmal dan fase convalescen. Periode sejak terjadinya infeksi

sampai munculnya gejala berkisar antara 10 sampai dengan 12 hari.

a. Fase pertama pada penyakit campak yaitu fase prodromal dimulai dengan demam,

perasaan tidak enak badan (WHO, 1999). Fase ini berlangsung selama 4-5 hari dengan

gejala demam yang terus meningkat hingga mencapai puncaknya 39,4°C-40,6°C,

malaise, batuk, faring merah, nyeri menelan, foto fobia, konjungtivitis dan hidung

meler. Menjelang akhir stadium prodormal dan 24 jam sebelum timbul eksantema akan

timbul bercak koplik yang berwarna putih kelabu sebesar ujung jarum. Bercak ini

muncul pertama kali pada mukosa bukal yang menghadap gigi molar bawah terutama

molar tiga tetapi dapat menyebar secara tidak teratur pada mukosa bukal yang lain.

Menjelang kira-kira hari ke 3 atau 4 dari masa prodormal dapat meluas sampai seluruh

mukosa mulut. Pada fase ini gambaran penyakit secara klinis menyerupai influenza

sehingga sering didiagnosis sebagai influenza. Diagnosa campak ditegakkan pada fase

ini bila ada bercak koplik dan penderita pernah kontak dengan penderita campak dalam

waktu 2 minggu terakhir.

b. Fase kedua adalah fase erupsi/paraxysmal. Fase erupsi biasanya berlangsung selama 4-

7 hari dengan gejala khas koriza dan batuk bertambah. Terjadi ruam atau eritema yang

berbentuk makula-papula disertai naiknya suhu badan. Eritema biasanya muncul

pertama kali pada daerah batas rambut dan dahi, serta belakang telinga kemudian pada

24 jam pertama akan menyebar dengan cepat ke seluruh muka, leher, lengan atas dan

bagian atas dada. Pada 24 jam berikutnya ruam ini akan menyebar ke seluruh

punggung, abdomen, seluruh lengan dan paha. Pada saat ruam muncul suhu badan

kadang-kadang naik sangat tinggi hingga mencapai 40,5°C. Pada muka dan dada akan

terjadi confluent akibat ruam yang muncul saling rengkuh. Kadang-kadang akan terjadi

perdarahan ringan pada kulit, rasa gatal dan muka bengkak. Ruam ini akan menghilang
dalam 2-3 hari dengan urutan yang sama dengan saat terjadinya. Pada Fase ini terdapat

pembesaran kelenjar getah bening di sudut mandibula dan di daerah leher belakang.

Tidak jarang disertai diare dan muntah.

c. Fase ketiga adalah fase convalescen pada fase ini erupsi berkurang dan terjadi

hiperpigmentasi, yang lama kelamaan akan menghilang sendiri. Suhu tubuh penderita

akan menurun pada fase ini kecuali bila terjadi komplikasi. Hiperpigmentasi

merupakan gejala yang patognomonik untuk morbili yang membedakannya dengan

penyakit lain yang mempunyai eritema atau eksantema. Pada anak-anak di Indonesia

pada fase ini sering ditandai dengan kulit bersisik (Casaeri, 2002).

a. Penularan terutama melalui batuk, bersin (sekresi hidung). Pada saat pasien batuk atau

bersin virus akan ikut tersebar ke udara dan dapat bertahan selama 2 jam di udara

terbuka sehingga dapat menulari orang lain yang berada dekat dengan pasien.

b. Dapat mulai menularkan 1-3 hari sebelum panas sampai 4 hari setelah timbul rash.

c. Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama

sakit.

Masa inkubasi penyakit campak adalah 8-13 hari, dengan rata-rata 10 hari.

2.1.4 Epidemiologi

Campak merupakan penyakit yang ada diseluruh negara di dunia ini. Campak dikenal

sebagai penyakit yang infeksius sejak 150 juta tahun yang lalu, pada tahun 1846 Panun

mempelajari penyakit campak di Kepulauan Faroe dan menyatakan penyakit campak

merupakan penyakit menular dengan masa inkubasi kurang lebih 2 minggu dan setelah

infeksi setiap penderitanya akan memiliki kekebalan seumur hidupnya (WHO, 1999).
Pada daerah beriklim sedang penyakit campak biasanya muncul pada musim semi

dan akhir musim dingin sedangkan di daerah yang beriklim tropis campak lebih banyak

terjadi pada musim panas. Campak merupakan penyakit endemis di daerah metropolitan dan

kemungkinan periode untuk terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) umumnya antara 2-3 tahun,

sedangkan pada daerah yang terpencil interval antar KLB (honeymoon period) umumnya

lebih panjang, namun daerah yang terkena lebih luas dan lebih berat (Chin, 2009).

2.1.5 Situasi campak di dunia.

Sebelum vaksin campak digunakan, epidemi campak berulang setiap 2-5 tahun sekali

dan berlangsung selama 3-4 bulan. Kasus yang terbanyak adalah pada anak-anak usia pra

sekolah dan pada awal usia sekolah serta sedikit kasus pada usia di atas 20 tahun. Setelah

digunakannya vaksin campak terjadi penurunan inseden campak secara besar-besaran. Salah

satu contoh adalah di Amerika Serikat. Sebelum era vaksin setiap tahun dilaporkan 200.000-

500.000 kasus campak setiap tahunnya tapi sejak tahun 1963 insiden campak berkurang

hingga 99%. Insiden terendah terjadi pada tahun 1983 namun pada awal tahun 1990-an

kembali terjadi peningkatan kasus campak sehingga direkomendasikan untuk memulai

imunisasi dua dosis. Pada tahun 1993 sampai tahun 1996 kurang dari 1000 kasus campak

pertahun dilaporkan ke CDC. Untuk wilayah Asia tenggara WHO menyebutkan bahwa pada

tahun 1989 dilaporkan terjadi 440.000 kasus campak dan kemudian menurun menjadi 88.584

kasus pada tahun 2002. Campak merupakan penyebab utama kematian anak-anak di wilayah

Asia Tenggara sekitar 29% kematian adalah akibat campak (WHO, 2003).

Pada tahun 1980 sebelum kebijakan vaksinasi dilaksanakan campak diperkirakan

telah membunuh 2,6 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia. Selama periode tahun 2000
dan 2008 pelaksanaan imunisasi campak sudah menurunkan kematian akibat campak sebesar

78% dari 733.000 kematian pada tahun 2000 menjadi 164.000 pada tahun 2008 (WHO,

2011).

2.1.6 Situasi campak di Indonesia

Untuk wilayah Indonesia pada tahun 1990 terjadi 218.029 kasus campak dan

kemudian menurun menjadi 114.531 pada tahun 1997.

Pada tahun 2009 di Indonesia dilaporkan terdapat 18.055 kasus campak dengan

angka insiden sebesar 0,77 per 10.000 penduduk. Tiga Provinsi dengan Insident Rate (IR)

tertinggi adalah Riau (3,52/10.000 penduduk, Sumatera Barat 2/10.000 penduduk dan

Kalimantan Selatan 1,98 per 10.000 penduduk). Selama periode Januari sampai dengan

Desember 2009 di Indonesia telah terjadi 96 kali KLB campak, 2.770 penderita ditemukan

saat KLB dengan kematian 42 orang (1,52%). Kelompok umur tertinggi yang menderita

campak adalah umur 5-9 tahun yaitu sebesar 5.698 orang sedangkan yang paling rendah

adalah usia <1 tahun sebanyak 1.890 orang (Depkes, 2009).

2.1.7 Situasi campak di Bali

Pada tahun 2010 dilaporkan 256 kasus campak di Provinsi Bali, dengan IR sebesar

0,41 per 10.000 penduduk dan CFR sebesar 0,78%. IR tertinggi terjadi di Kabupaten

Karangasem yaitu sebesar 2,47 per 10.000 penduduk dengan CFR sebesar 2,04%. Sejak

bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Desember 2011 di Provinsi Bali telah terjadi enam

kali KLB campak (Dikes Bali, 2010).


2.1.8 Penanggulangan dan Pemberantasan Penyakit Campak

Penanggulangan penyakit campak terutama dilakukan melalui pengamatan yang

ketat untuk penemuan kasus secara dini, pengobatan penderita secara dini terutama untuk

mencegah komplikasi dan pendidikan kesehatan masyarakat untuk menjaga gizi anak,

menghilangkan kebiasaan yang merugikan penderita dan perlunya imunisasi campak bagi

anak-anak.

Pada KLB akibat campak dalam upaya penanggulangannya perlu dilaksanakan

pemberian vitamin A. Defisiensi vitamin A pada penderita campak berhubungan dengan

angka komplikasi campak dan tingginya angka kematian akibat campak. Penelitian di USA

menyebutkan bahwa pada penderita campak yang berusia kurang dari 2 tahun risiko untuk

menderita komplikasi dua kali lebih besar bila level vitamin A yang dimiliki <5 ug/dl

dibandingkan dengan anak yang level vitamin A lebih tinggi (WHO, 2004).

Pada penderita campak pemberian vitamin A berfungsi meningkatkan daya tahan

tubuh dan memelihara mukosa saluran pernafasan dan pencernaan sehingga terbukti

menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat campak. Terapi vitamin A pada penderita

campak terbukti menurunkan keparahan penyakit akibat komplikasi seperti batuk, pneumonia

dan diare, sehingga lama perawatan di rumah sakit menjadi berkurang (WHO, 2004).

Fatalitas kasus pada anak-anak penderita campak sedang atau berat menurun 50% lebih

setelah mendapatkan terapi vitamin A (Casaeri, 2002). Pemberian vitamin A pada anak-anak

penderita campak direkomendasikan pada situasi: tingkat kematian akibat campak lebih dari

1%, berada pada wilayah yang diketahui defisiensi vitamin A, dan pada semua kasus campak

dengan komplikasi (WHO, 2004).


2.1.5 Tahap-Tahap Dalam Pemberantasan Campak

Departemen Kesehatan RI (2008), menyatakan bahwa pemberantasan campak

meliputi 3 (tiga) tahapan yaitu tahap reduksi, tahap eliminasi dan tahap eradikasi.

2.1.5.1 Tahap reduksi

Pada tahapan reduksi campak terbagi menjadi dua tahapan yaitu tahap pengendalian

dan tahap pencegahan KLB. Pada tahap pengendalian cakupan imunisasi campak sudah lebih

dari 80%, sudah terjadi penurunan kasus dan kematian dan interval terjadinya KLB berkisar

antara 4-8 tahun. Pada tahap pencegahan KLB kasus dan kematian telah menurun dengan

tajam, interval terjadinya KLB lebih panjang.

2.1.5.2. Tahap eliminasi

Pada tahap ini cakupan imunisasi sudah lebih dari 95%. Kasus campak sudah sangat

jarang terjadi dan KLB hampir tidak pernah terjadi. Anak-anak yang dicurigai tidak

terlindung harus diselidiki dan diberikan imunisasi ulangan.

Strategi untuk mencapai eliminasi campak meliputi mencapai, mempertahankan dan

mengevaluasi. Surveilans aktif merupakan komponen penting dalam upaya pencapaian tahap

eliminasi campak (WHO, 1999).

2.1.5.3 Tahap eradikasi

Cakupan imunisasi sudah sangat tinggi dan merata. Pada tahap ini kasus campak

sudah tidak ditemukan dan transmisi virus sudah dapat diputuskan. Negara- negara di dunia

sudah memasuki tahap eliminasi.

Beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam pengendalian campak di wilayah

Asia Tenggara adalah: Menurunkan angka kematian campak pada daerah dengan insiden

yang tinggi, menyiapkan komitmen jangka panjang, mengimplementasikan strategi Eliminasi


Polio dengan tujuan Eliminasi Campak, memperbaiki cakupan imunisasi dan pelaksanaan

surveilans campak dan memperkuat manajemen kasus (WHO, 1999).

2.2 Penelitian yang Berkaitan dengan Faktor Risiko Kejadian Campak

Campak diperkirakan telah membunuh 2 juta anak setiap tahun dan kebanyakan

kasus terjadi di negara berkembang. Case Fatality Rate (CFR) campak di negara berkembang

berkisar antara 3-15%. CFR campak sangat berkaitan dengan umur terkena campak, derajat

keparahan penyakit, status gizi dan pengobatan (WHO,1999). Faktanya campak berinteraksi

dengan kekurangan energi, protein dan keadaan defisiensi vitamin A. Pada penderita campak

yang disertai dengan defisiensi vitamin A dapat mempercepat terjadinya luka pada mata

(xerophthalmia) terutama bila menyerang anak-anak usia muda dan anak gizi kurang/buruk

serta keadaan malnutrisi protein dan energi. Kejadian campak umumnya meningkat pada

lingkungan yang tidak sehat, diperparah oleh gizi buruk dan defisiensi vitamin A, serta anak-

anak yang kehilangan kekebalan tubuh. Penurunan kekebalan tubuh pada penderita campak

umumnya bertahan hingga 4 bulan setelah infeksi dan keadaan ini dapat merupakan faktor

risiko untuk terjadinya komplikasi yang memperparah penyakit campak seperti pneumonia

dan diare (Andrew, 1989).

Kematian pada penderita campak umumnya diakibatkan oleh komplikasi yang

menyertai penyakit campak. Sebuah penelitian yang dilakukan di Dhaka Bangladesh tentang

efektivitas vaksin dan faktor risiko campak memperlihatkan bahwa campak lebih banyak

terjadi pada rumah tangga dengan anak lebih dari 1 orang (OR= 4,6; CI= 0,8-24,8; p<0,001),

tidak diimunisasi (OR= 4,1; CI= 2,2-7,8; p<0,001). Pada penelitian ini juga ditemukan kasus

campak lebih banyak terjadi pada penderita yang ibunya berpendidikan rendah dan berasal
dari keluarga yang keadaan sosial ekonominya rendah. Tidak ada interaksi yang signifikan

dari usia dan jenis kelamin (Akrammuzzaman 2002).

Pneumonia merupakan komplikasi yang umum terjadi pada penderita campak. Sebuah

penelitian retrospektif tentang faktor risiko yang menjadi penyebab terjadinya komplikasi

pneumonia pada penderita campak memperoleh hasil bahwa usia muda dan malnutrisi

merupakan faktor risiko kejadian campak, sedangkan jenis kelamin dan sejarah paparan

infeksi sebelumnya tidak terbukti merupakan faktor risiko terjadinya komplikasi pneumonia

pada campak. Pada penelitian ini juga dilaporkan bahwa status imunisasi memiliki efek

proteksi terhadap pneumonia (Maria, 2004).

Kejadian campak kemungkinan berhubungan dengan pertumbuhan yang lambat,

kekurangan asupan makanan, malabsorbsi dan kehilangan nutrien penting bagi tubuh,

defisiensi vitamin A dan menurunnya kekebalan tubuh akibat adanya infeksi lain dalam tubuh

seperti pilek, diare dapat berperan terhadap kejadian campak dan memperparah keadaan

malnutrisi. Rendahnya asupan makanan dapat menyebabkan anorexsia, dehidrasi dan lesi

pada mukosa bukal. Jumlah kejadian campak yang sebenarnya terjadi mungkin saja lebih

tinggi dari yang dilaporkan karena petugas kesehatan seringkali mengidentifikasi penyakit

masa kanak-kanak hanya sebagai pneumonia/diare dan tidak menyadari bahwa ini adalah

suatu komplikasi campak (Andrew, 1989).

Imunisasi campak merupakan upaya pencegahan yang paling efektif untuk menurunkan

insiden campak. Di negara berkembang imunisasi umumnya diberikan pada usia 9 bulan

sedangkan di negara maju pemberian imunisasi campak dilaksanakan setelah anak berusia 12

bulan. Kebijakan ini berhubungan dengan usia kehilangan maternal antibody yang dialami

anak-anak di negara berkembang berbeda dengan anak-anak di negara maju.


Sebuah studi yang dilaksanakan di perkotaan Afrika untuk mengetahui faktor risiko

pada bayi muda yang terkena campak di wilayah perkotaan Afrika yang memiliki cakupan

vaksinasi campak yang tinggi, memperoleh hasil bahwa insiden campak sangat tinggi (sekitar

4%) pada bayi yang berusia dibawah 1 tahun, dari jumlah ini sekitar 10% penderita berusia

antara 4,5-9 bulan. Faktor risiko utama tingginya angka insiden campak pada anak-anak ini

adalah usia ibu. Anak-anak yang terlahir dari ibu yang berusia muda (15-24 tahun) memiliki

titer antibody yang lebih rendah dan berisiko lebih tinggi untuk terkena campak bila

dibandingkan dengan anak-anak dari ibu yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena ibu muda

mengirimkan titer antibody yang lebih rendah kepada anak-anak mereka dan meningkatkan

proporsi bayi yang rentan terhadap campak, sehingga mereka akan terinfeksi campak

sebelum usia vaksinasi campak (Bale et al, 2011).

Penyebaran campak erat sekali dengan perilaku, status gizi, keadaan lingkungan dan

pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan. Sebuah penelitian di Kabupaten Tolitoli

Provinsi Sulawesi Tengah membuktikan bahwa faktor risiko kejadian campak di Kabupaten

Tolitoli adalah belum pernah menderita penyakit campak (OR= 22,031; 95%CI= 6,375-

76,136), status imunisasi (OR= 28,897; 95%CI= 10,471-79,746), status gizi (OR= 5,371;

95%CI= 1,904-15,151) dan pengetahuan ibu (Suardiyasa, 2008). Penelitian ini sejenis dengan

yang dilaksanakan di Kabupaten Kendal yang menemukan beberapa faktor risiko yang

bermakna secara statistik sebagai faktor risiko campak adalah: status tidak diimunisasi, status

gizi, umur, riwayat kontak, kepadatan hunian, ventilasi dan persepsi jelek tentang campak

(Casaeri, 2003).

Penelitian yang dilaksanakan di wilayah Puskesmas Mlonggo I Kabupaten Jepara

menunjukkan ada hubungan bermakna antara faktor anak (status gizi OR= 0,771, p= 0,47;
status vaksinasi campak OR= 3,76, p= 0,001; dan umur saat vaksinasi campak OR= 3,250, p=

0,032) dan faktor lingkungan (kepadatan hunian OR= 6,397, p= 0,0001; ventilasi OR= 7,091,

p= 0,0001; dan pencahayaan OR= 6,052, p= 0,0001) dengan kejadian campak (Endang,

2006).

2.3 Determinan yang Berhubungan dengan Kejadian Campak

2.3.1 Status Imunisasi

Pada periode sebelum ditemukannya vaksin, setiap tahun dilaporkan 100 juta

penderita campak dengan 6,5 juta kematian terjadi di seluruh dunia. Imunisasi yang diberikan

pada usia 12-15 bulan memberikan imunitas kepada 94-98% penerimanya. Tingkat imunitas

seseorang terhadap penyakit campak dapat meningkat sampai 99% dengan pemberian

vaksinasi campak (Chin, 2009).

Semua orang yang belum pernah terserang campak dan orang-orang yang tidak

diimunisasi akan rentan terhadap penyakit campak. Pada anak- anak yang sudah pernah

menderita campak maka kekebalan yang timbul bersifat permanen sehingga serangan ulangan

penyakit ini jarang terjadi.

Bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang pernah menderita campak akan memiliki

maternal antibody terhadap penyakit campak. Namun kadar antibody ini akan berangsur-

angsur menurun. Perlindungan dari maternal antibody ini hanya 6-9 bulan pertama

kelahirannya. Bayi yang terlahir dari ibu yang memiliki kekebalan karena vaksinasi campak

akan menerima antibodi pasif dari ibunya lebih sedikit jika dibandingkan dengan bayi yang

terlahir dari ibu yang mendapatkan kekebalan alamiah sehingga mereka lebih rentan terhadap
52

campak dan membutuhkan imunisasi campak yang lebih awal jadwal yang biasa dilakukan

(Chin, 2009).

Satu-satunya reservoir penyakit campak adalah manusia, dan penularannya adalah

melalui kontak langsung hal ini memungkinkan penyakit campak untuk dieradikasi. Vaksinasi

merupakan upaya yang paling efektif dalam mencegah dan memberantas penyakit campak.

Pada masa sebelum ditemukannya vaksin campak, lebih dari 90% penduduk telah terinfeksi

sebelum mereka mencapai usia 20 tahun setiap tahunnya terjadi 100 juta penderita kasus

dengan 6 juta kematian. Imunisasi dapat menaikkan tingkat imunitas sampai sekitar 99%.

Dengan program imunisasi yang efektif untuk bayi dan anak-anak kasus campak di negara

seperti Amerika dan Kanada turun sebesar 99% (Chin, 2009). Pemberian imunisasi ini telah

berhasil menurunkan insiden campak pada kelompok umur bayi (<1 tahun) dan kelompok

umur anak (1-4 tahun) secara cukup tajam (Depkes, 2009).

Untuk mendapatkan respon imun yang optimal dari imunisasi campak, vaksin campak

harus diberikan pada umur yang tepat ketika bayi mulai kehilangan maternal antibody dari

ibunya. Selanjutnya respon imun yang muncul diharapkan menggantikan maternal antibody

untuk melawan infeksi campak.

WHO menggunakan data age specific rate of seroconversion and age specific

incidence and mortality rates campak untuk memperkirakan jumlah kasus dan kematian yang

dapat menegaskan efek imunisasi pada umur yang berbeda. Data di Kenya, Amerika Latin

dan Haiti memperlihatkan efek maksimum dari imunisasi diperoleh pada usia 8-10 bulan. Hal

ini mendasari WHO merekomendasikan pemberian satu dosis campak saat anak berumur 9

bulan. Negara-negara di Afrika yang memiliki angka kematian akibat campak yang tinggi

untuk bayi berusia <9 bulan melaporkan, rendahnya cakupan imunisasi campak (hanya 60%)
53

pada anak dengan usia yang lebih tua telah meningkatkan penularan campak pada bayi. Pada

daerah yang cakupan imunisasinya cukup baik (>90%) ternyata insiden penularan campak

pada bayi yang berusia <9 bulan menjadi rendah (WHO, 1999).

Menurut WHO (1999), beberapa faktor determinan yang mempengaruhi respon

terhadap imunisasi antara lain faktor host, faktor agent dan faktor program. Faktor host yang

mempengaruhi respon imunisasi antara lain:

2.3.1.1 Umur

Umur sangat mempengaruhi respon terhadap imunisasi. Respon imunisasi dapat

meningkat pada anak-anak yang telah kehilangan antibodi maternal. Pemberian imunisasi

pada umur yang tepat akan memberikan perlindungan yang sama dengan antibodi maternal

yang dimiliki sebelum imunisasi atau dengan kata lain alasan utama pemberian imunisasi

pada umur yang berbeda tergantung pada level antibodi maternal yang dimiliki. Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa pemberian vaksin Edmonston Zagreb (EZ) akan memberikan

antibodi yang lebih rendah bila diberikan pada anak-anak yang masih memiliki antibodi

maternal dibandingkan bila vaksin ini diberikan pada anak-anak yang sudah kehilangan

antibodi maternalnya.

2.3.1.2. Tingkat antibodi maternal

Studi awal menyebutkan anak–anak di USA kehilangan antibodi maternal ketika

berusia 12 bulan, sedangkan di negara berkembang pada usia 6 bulan. Dengan menggunakan

test yang lebih sensitive diketahui bahwa kekebalan antibodi maternal pada beberapa anak

dapat bertahan lebih lama, dan hal ini dapat menurunkan efektivitas imunisasi. Angka

kehilangan antibodi maternal ditemukan berkorelasi dengan status sosial ekonomi.

Rendahnya antibodi ibu terutama pada negara-negara di Asia Tenggara, menurunnya


54

efesiensi IgG campak melalui plasenta dan bertambahnya antibodi pasif karena meningkatnya

frekwensi infeksi pada masa bayi serta hilangnya antibodi melalui usus karena penyakit diare

merupakan penyebab kehilangan antibodi maternal lebih awal terjadi pada negara

berkembang.

2.3.1.3 Status gizi

Pada anak-anak dengan malnutrisi respon imunisasi dilaporkan terganggu, study lain

juga menyebutkan bahwa angka serokonversi terendah ada pada anak-anak dengan

malnutrisi/gizi buruk. Expanded Programmme on Imunization (EPI) merekomendasikan

untuk memberikan prioritas utama pada anak-anak dengan Gizi buruk untuk diimunisasi,

sebab status gizi yang kurang/buruk merupakan faktor risiko untuk terjadinya campak berat

dan menurunnya status gizi setelah terinfeksi campak.

2.3.1.4 Penyakit

a. Penyakit akut

Vaksin campak aman dan efektif di berikan pada anak-anak yang sedang menderita

inveksi akut. Sebuah studi di USA memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan serokonversi

pada anak anak dengan infeksi saluran pernafasan dibandingkan dengan anak-anak yang

sehat. WHO merekomendasikan imunisasi campak tidak berbahaya diberikan pada anak-anak

dengan infeksi akut namun apabila anak sakit cukup berat imunisasi dapat ditunda sampai

anak sembuh.

b. Anak dengan Imunosupresi

Anak-anak dengan imunosupresi merupakan kontraindikasi terhadap imunisasi

campak karena dikhawatirkan akan terjadi efek samping. Pada anak-anak yang menderita
55

infeksi HIV, imunisasi campak tetap dapat diberikan karena penelitian menunjukkan tidak

ada efek samping pada anak penderita HIV yang diimunisasi pada usia sembilan bulan di

negara berkembang dan usia 12 bulan di negara maju. Serokonversi pada anak dengan infeksi

HIV ditemukan lebih rendah dibandingan dengan anak normal. Untuk anak-anak yang sedang

menjalani kemoterapi ACIP merekomendasikan vaksinasi harus ditangguhkan karena respon

antibodi anak yang sedang dalam kemoterapi atau radiasi menjadi lemah. Setelah 3 bulan

selesasi terapi anak dapat divaksinasi campak.

2.3.1.5 Faktor agent

Faktor agent yang berpengaruh pada respon imunisasi adalah strain virus dan dosis

vaksin. Strain dari vaksin virus yang pertama mempunyai respon imunnologis yang lebih

besar dari pada strain virus yang kemudian semakin dilemahkan. Dosis yang

direkomendasikan WHO adalah 0,5 ml. Hasil penelitian membuktikan bahwa respon

imunologis akan lebih rendah apabila dosis ini diturunkan.

2.3.1.6 Faktor lain

Selain faktor host dan agent terdapat faktor lain yang menentukan respon imunisasi

adalah faktor program seperti cold chain, dan teknik penyuntikan.

Bila kita lihat dari faktor program yang dapat mempengaruhi respon terhadap

imunisasi antara lain pemeliharaan cold chain yang buruk dapat mengakibatkan rendahnya

efficacy vaksin. Vaksin sangat sensitive terhadap panas dan sinar matahari. Menggunakan

desinfektan untuk sterilisasi jarum suntik dan variasi dosis yang digunakan dapat

menurunkan efikasi vaksin. Hasil penelitian yang dilakukan di Serang menemukan bahwa

efikasi vaksin campak pada balita yang berusia 15-59 bulan sangat rendah yaitu sebesar 16%

populasi dengan efektifitas vaksin tidak kurang dari 47% pada kelompok yang diimunisasi
56

campak dengan cakupan 90%. Capaian ini masih sangat rendah bila dibandingkan dengan

standar WHO yaitu efikasi 80% dengan cakupan imunisasi 80% ( Salmapadri, 2002).

2.3.2 Status Gizi

Status gizi didifinisikan sebagai keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan

oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini ditunjukkan dengan

penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang

berasal dari pangan yang dikonsumsi (Almatsier (2001).

2.3.2.1 Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

Status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kompleks seperti sosial,

ekonomi, budaya kesehatan, lingkungan alam maupun penduduk yang saling berkaitan satu

dengan yang lainnya. Pada tahun 2003 diperkirakan 27,5% balita mengalami gangguan gizi

kurang dan 8,5% diantaranya mengalami gizi buruk. WHO menyatakan prevalensi KEP di

Indonesia termasuk tinggi.

Penyebab timbulnya gizi kurang/buruk pada anak balita umumnya dapat dibedakan

menjadi penyebab langsung dan tidak langsung. Penyebab langsung terdiri dari makanan dan

penyakit infeksi yang diderita anak. Sedangkan penyebab tidak langsung diantaranya

ketahanan pangan keluarga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan serta kesehatan

lingkungan.

2.3.2.2 Penilaian status gizi secara antropometri

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang ”Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak”.

Penggunaan antropometri sebagai salah satu metode untuk mengukur status gizi masyarakat

sangat luas. Antropometri adalah cara pengukuran status gizi yang paling sering digunakan di
57

masayarakat. Contoh penggunaannya pada, program gizi masyarakat dalam pengukuran

status gizi balita ataupun kegiatan penapisan status gizi masyarakat. Antropometri gizi

berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari

berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

Keunggulan Antropometri :

1. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel cukup besar.

2. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli.

3. Alat murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah setempat.

4. Metode ini tepat dan akurat, karena dapat dibakukan.

5. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.

6. Umumnya dapat mengidentifikasi status buruk, kurang dan baik, karena sudah ada

ambang batas yang jelas.

7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi

ke generasi berikutnya.

8. Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.

Sebagai indikator status gizi, antropometri dapat dilakukan dengan mengukur

beberapa parameter. Parameter adalah ukuran tunggal dari tubuh manusia.

Jenis parameter antropometri : umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar

kepala, lingkar dada, dan jaringan lunak.

Pengukuran dari beberapa parameter akan merupakan indeks antropometri. Indeks

antropometri merupakan rasio dari suatu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran

atau yang dihubungkan dengan umur.

Beberapa indeks antropometri :


58

1. BB/U (Berat Badan terhadap Umur)

2. TB/ U (Tinggi Badan terhadap Umur)

3. BB/ TB (Berat Badan terhadap Tinggi Badan)

4. Lila/ U (Lingkar Lengan Atas terhadap Umur)

5. Indeks Massa Tubuh (IMT)

6. Tebal Lemak Bawah Kulit menurut Umur

7. Rasio Lingkar Pinggang dan Pinggul

Berdasarakan standar antripometri bahwa status gizi balita (anak umur 0-60 bulan)

dapat diukur berdasarkan berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan menurut umur

(PB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut panjang badan (BB/PB),

berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan index masa tubuh menurut umur (IMT/U).

Sedangkan untuk anak berumur 5-18 tahun status gizi dapat dihitung dengan index masa

tubuh menurut umur (IMT/U).

a. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Ukuran antropometri yang memberikan gambaran tentang masa tubuh (otot dan lemak)

adalah berat badan. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang sangat labil

karena masa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak seperti penyakit

infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya makanan yang dikonsumsi.

Penggunaan indeks BB/U sebagai status gizi sensitif untuk melihat perubahan status gizi

jangka pendek dan lebih menggambarkan status gizi seseorang pada masa kini.
59

b. Indeks Berat badan/ Tinggi Badan (BB/TB)

Pengukuran indeks BB/TB tidak memerlukan data umur. Indeks BB/TB dapat menjadi

indikator status gizi saat ini, namun tidak dapat menggambarkan apakah anak pendek

atau cukup tinggi badan atau kelebihan TB menurut umur karena umur tidak

dipertimbangkan.

c. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Indeks TB/U dapat digunakan untuk menggambarkan status gizi masa lampau dan

sebagai indikator perkembangan sosial ekonomi masyarakat.

d. Indeks Masa Tubuh Menurut Umur (IMT/U)

Pengukuran status gizi anak usia 0-60 bulan berdasarkan IMT/U status gizi

dikatagori menjadi:

1. Sangat kurus dengan ambang batas (z-score) <-3SD.

2. Kurus dengan ambang batas (z-score) -3 SD sampai dengan <-2 SD.

3. Normal dengan ambang batas (z-score) -2 SD sampai dengan 1 SD.

4. Gemuk dengan ambang batas (z-score) > 2 SD.

Pengukuran status gizi anak usian 5-18 tahun berdasarkan IMT/U status gizi

dikatagorikan menjadi:

1. Sangat kurus dengan ambang batas (z-score) <-3SD.

2. Kurus dengan ambang batas (z-score) -3 SD sampai dengan <-2 SD.

3. Normal dengan ambang batas (z-score) -2 SD sampai dengan 1 SD.

4. Gemuk dengan ambang batas (z-score) >1 SD sampai dengan 2 SD.

5. Obesitas dengan ambang batas (z-score) >2 SD.


60

IMT = Berat badan (kg)_______


Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)

Kehilangan berat badan akibat campak sangat sering terjadi. Sebuah studi di Afrika

melaporkan bahwa penyakit campak menyebabkan penurunan berat badan yang drastis dan

campak dilaporkan lebih banyak terjadi pada anak-anak dengan maramus kwashiorkor di

Negeria (Andrew, 1989).

Campak pada umumnya lebih parah ditemukan pada anak-anak usia dini dan yang

kekurangan gizi. Pada golongan ini campak biasanya ditemukan dengan ruam dengan

perdarahan, kehilangan protein karena enterophaty, otitis media, sariawan, dehidrasi,diare,

dan infeksi kulit yang berat (Chin, 2009).

Derajat keparahan penyakit campak akan lebih berat dan dapat menyebabkan kematian

pada anak-anak dengan malnutrisi karena status gizi yang kurang/buruk merupakan faktor

risiko untuk terjadinya campak berat dan status gizi anak dapat menurun setelah terinfeksi

campak (WHO, 1999).

2.3.3 Defisiensi Vitamin A

Pada anak-anak dengan defisiensi vitamin A, penyakit campak akan semakin parah.

Pada komunitas yang terlindungi dari defisiensi vitamin A kematian akibat campak dapat

dikurangi. Perlindungan terhadap defisiensi vitamin A tidak hanya melalui pemberian vitamin

A secara regular, namun dengan memastikan bahwa seluruh anak penderita campak telah

mendapatkan suplemen vitamin A. Sebuah penelitian di Tazmania memperlihatkan terjadinya

penurunan CFR ketika anak-anak penderita campak diberikan vitamin A (Andrew, 1989).

Pemberian vitamin A dosis tinggi pada anak-anak penderita campak sejak awal sakit
secara bermakna telah menurunkan angka komplikasi dan kematian akibat campak sekitar

66% (UNICEF, 2007).

Kekurangan vitamin A dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh, dan menggangu

fungsi sel-sel yang melindungi lapisan paru-paru dan usus. Keadaan ini mengakibatkan sel-

sel tidak mampu untuk mencegah terjadinya infeksi (WHO, 2004).

Beberapa survei epidemiologi menemukan hubungan antara defisiensi vitamin A

dengan infeksi dan menemukan faktor penyebab utamanya. Sebuah studi pada anak-anak

Indonesia memperlihatkan anak-anak penderita campak yang menderita defisiensi vitamin A

lebih berisiko untuk terkena komplikasi seperti diare daan gangguan pernafasan. Studi ini

juga memberikan bukti bahwa pemberian suplemen vitamin A pada anak-anak penderita

campak di Indonesia menurunkan sekitar 34% kematian akibat campak (WHO, 2004).

Anak-anak berusia kurang dari 2 tahun dengan tingkat vitamin A yang sangat rendah

apabila terkena infeksi campak akan memiliki risiko kematian dua kali lebih besar

dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki tingkat vitamin A yang lebih tinggi.

Kekurangan vitamin A dikaitkan dengan tingginya komplikasi dan kematian akibat campak.

Pemberian terapi vitamin A dapat mengurangi tingkat keparahan akibat komplikasi penyakit

campak seperti pneumonia dan diare. Lama perawatan dirumah sakit juga berkurang dengan

pemberian terapi vitamin A pada penderita campak (WHO, 2004).

2.3.4 Pendidikan

Bagaimana seseorang bertindak dan mencari penyebab serta solusi dalam hidupnya

sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikannya. Orang yang berpendidikan tinggi umumnya

bersikap lebih rasional sehingga mereka lebih mudah dalam menerima gagasan baru.

2.3.5 Perilaku
Faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan

individu adalah perilaku. Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang

dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Soekidjo, 2005).

Persepsi sehat-sakit diantara masyarakat berbeda-beda. Persepsi ini mempengaruhi

perilaku masyarakat dalam mencari pelayanan kesehatan. Perilaku pencarian pelayanan

kesehatan oleh masyarakat dibedakan menjadi:

a. Tidak bertindak apa-apa. Masyarakat yang menderita sakit tidak melakukan apapun

terhadap sakit yang diderita dengan berbagai alasan seperti kondisi sakitnya tidak

mengganggu kegiatan sehari-hari, penyakit itu akan hilang dengan sendirinya tanpa

diobati, fasilitas kesehatan letaknya sangat jauh, petugas kesehatan tidak simpatik, takut

pergi ke rumah sakit ataupun karena tidak adanya biaya.

b. Tindakan mengobati sendiri. Alasan masyarakat mengobati diri sendiri biasanya karena

mereka sudah percaya pada diri sendiri dan berdasarkan pengalaman yang lalu usaha

mengobati sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan.

c. Mencari pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional menduduki peringkat pertama

pada masyarakat pedesaan dibanding pengobatan lainnya. Hal ini disebabkan karena pada

masyarakat yang masih sederhana masalah sehat-sakit lebih bersifat budaya

dibandingkan dengan gangguan fisik sehingga masyarakat lebih memilih pengobatan

yang berorientasi kepada sosial budaya dibanding metode pengobatan yang bersifat

asing.

c. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat dan sejenisnya

termasuk tukang jamu. Obat-obatan yang mereka peroleh umumnya obat yang tidak

memakai resep sehingga sukar untuk dikontrol.


d. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang disediakan pemerintah

atau lembaga kesehatan swasta seperti balai pengobatan, puskesmas dan rumah sakit.

e. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan oleh dokter

praktek.

2.3.6 Keadaan Sosial Ekonimi Keluarga

Anak-anak yang tubuh pada lingkungan sosial ekonomi yang buruk umumnya lebih

mudah mengalami infeksi silang. Kemiskinan bertanggung jawab terhadap penyakit yang

ditemukan pada anak. Kemiskinan dapat mengurangi kapasitas orang tua untuk mendukung

perawatan kesehatan bagi anak-anak mereka.

2.3.7 Kepadatan Hunian

Menurut Aaby dkk yang dikutip oleh Casaeri, 2001, anak-anak yang tinggal di rumah

yang padat penghuni memiliki attack rate campak yang lebih besar dibandingkan dengan

anak-anak yang tinggal di rumah yang tidak padat penghuni. Tempat-tempat umum seperti

sekolah dasar dan tempat berkumpulnya anak-anak dapat merupakan bagian yang

mempengaruhi intensitas campak selain tempat tinggal.

2.4 Penanganan Strategis

Menurut Departemen Kesehatan 2008 strategi surveilans campak meliputi :


1. Surveilans Rutin
Surveilans rutin merupakan Pengamatan Epidemiologi kasus campak yang telah
dilakukan secara rutin selama ini berdasarkan sumber data rutin yang telah ada serta
sumber data lain yang mungkin dapat dijangkau pengumpulannnya.
2. SKD dan Respon KLB campak
Pelaksanaan SKD dan Respon KLB campak dilakukan setelah diketahui atau adanya
laporan 1 kasus pada suatu daerah serta pada daerah yang memiliki polulasi rentan lebih
5%.
3. Penyelidikan dan penanggulangan setiap KLB campak
Setiap KLB harus diselidiki dan dilakukan penanggulangan secepatnya yang meliputi
pengobatan simtomatis pada kasus, pengobatan dengan antibiotika bila terjadi
komplikasi, pemberian vitamin A dosis tinggi, perbaikan gizi dan meningkatkan cakupan
imunisasi campak/ring vaksinasi (program cepat,sweeping) pada desa-desa risiko tinggi.
4. Pemeriksaan laboratorium pada kondisi tertentu
- Pada tahap reduksi campak dengan pencegahan KLB
- Pemeriksaan laboraturium dilakukan terhadap 10-15 kasus baru pada setiap KLB
- Pada tahap eliminasi/eradiksi, setiap kasus campak wajib dilakukan pemeriksaan
laboratorium
5. Studi epidemiologi
Melakukan survei cepat, penelitian operasional sebagai tindak lanjut hasil analisis
surveilans untuk melengkapi data/informasi surveilans yang diperlukan sebagai dasar
pengambilan keputusan dalam perbaikan program.
2.4 Kerangka Teori Penelitian

Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian

Determinan Sosial Ekonomi

Faktor Ibu Kondisi Lingkungan Status gizi


Kecelakaan

Pendidikan Riwayat kontak Kekurangan Vit A

Kepadatan hunian
Persepsi Asupan makanan

Ventilasi
Tradisi
Akses terhadap layanan kesehatan

Status Imunisasi

Faktor host

Sehat SAKIT CAMPAK

Faktor agent
Faktor diri anak Gangguan pertumbuhan
Faktor pelaksanaan
Antibody Campak Kematian
Program Imunisasi

Umur
Kerangka teori penelitian dibuat mengacu pada konsep sehat sakit menurut Mosley

dan dimodifikasi berdasarkan teori-teori, atau penelitian-penelitian yang memuat faktor-

faktor risiko yang mempengaruhi kejadian campak.

Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa yang dapat menjadi faktor risiko

penyakit campak adalah status imunisasi, faktor ibu, faktor kondisi lingkungan, status gizi

anak. Faktor ibu sebagai faktor risiko campak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu,

persepsi ibu tentang penyakit campak dan tradisi suatu daerah yang menentukan tindakan ibu

apabila anaknya terkena campak. Kondisi lingkungan terutama akses ke pelayanan kesehatan

dan faktor ibu bisa juga mempengaruhi status imunisasi dari seorang anak. Tujuan dari

imunisasi adalah terbentuknya anti body terhadap campak. Keberhasilan imunisasi

dipengaruhi oleh faktor host, faktor agent dan pelaksanaan program imunisasi terutama

penyimpanan vaksin. Status gizi anak dan riwayat kontak anak dengan penderita campak

juga merupakan faktor risiko seorang anak tertular campak.


DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai