Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Guillain Barre Syndrome (GBS) merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering
dijumpai pada usia dewasa muda dan pada beberapa keadaan bisa menimbulkan
kematian. Sejak menurunnya angka kejadian poliomyelitis, GBS menjadi penyebab
terbanyak penyakit Acute Neuromuscular Paralysis yang lebih dikenal sebagai Acute
Flaccid Paralysis (AFP). (Sumner, 2005).
Dahulu sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir ini
terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang
ialah suatu kelainan imunobiologis baik secara primary immune response maupun
immune mediated process. (Muid Masdar,2005).
GBS atau radang polineuropati demyelinasi akut adalah suatu kelainan sistem saraf
akut dan difus yang biasanya timbul setelah suatu infeksi atau diakibatkan oleh autoimun,
dimana proses imunobiologis tersebut langsung mengenai radiks spinalis dan saraf
perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis. Sindroma ini dapat dikatakan sebagai
sindroma klinis dari kelemahan akut ekstremitas tubuh, disebabkan oleh kelainan saraf
tepi dan bukan oleh penyakit sistemik. Saraf yang diserang bukan hanya yang
mempersarafi otot, tetapi bisa juga indera peraba sehingga penderita mengalami baal atau
mati rasa (McGrogan,2009).

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Parry mengatakan GBS adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut
sering terjadi setelah 1-3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan
sindroma klinis ditandai dengan adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut yang
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan
nervus kranialis.

B. Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk
mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana
terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan penyakit ini
hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian
tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim
panas dan musim gugur.
Insidens GBS bervariasi antara 0.6-1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama
periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan
insidensi dengan rata-rata 1,7 per 100.000 orang.
Puncaknya antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia
dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia
95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan
bahwa 83% penderitanya kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanik, 1% Asia dan 4% pada
kelompok ras yang tidak spesifik.
Di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra
menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah
usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan
penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3:1 dengan
usia rata-rata 23 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau.

2
C. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan atau penyakit yang mendahului
dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain :
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik :
- Keganasan
- Systemic lupus erythematosus (SLE)
- Tiroiditis
- Penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Penyebab dari GBS
sampai sekarang tidak diketahui, namun mekanisme patogenetik mencakup demielinisasi
inflamasi dengan berbagai kerusakan akson pada sistem saraf perifer.
Penyakit ini juga diperantarai oleh berbagai proses autoimun seperti Cytomegalo
Virus (CMV), Epstein barr Virus, Mycoplasma Pneumonia dan Compylobacter Jejuni
(Ginsberg, 2005). Kebanyakan pasien mengalami infeksi umum dalam 3 minggu sebelum
timbul gejala GBS dan faktanya infeksi tersebut yang akhirnya memicu terjadinya GBS
(Pieter A, 2004).
Paling banyak pasien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi
pernapasan dan gastrointestinal 1-4 minggu sebelum terjadinya serangan neurologik. Pada
beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi dan pembedahan. Dapat juga
diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan beberapa proses lain, atau sebuah
kombinasi proses. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan
reaksi autoimun yang menyerang myelin saraf perifer (Smeltzer, 2001).
Pencetus yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter jejuni, secara
khas menyebabkan penyakit gastrointestinal ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan
demam (Price dan Wilson, 2005). Bagian proksimal saraf cenderung paling sering
terserang, dan akar saraf dalam ruang subarakhoid biasanya terpengaruh oleh infeksi virus
tersebut (Smeltzer, 2001). Akibat tersering dari kejadian ini adalah virus atau inflamasi
merubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel tersebut sebagai sel
asing (Price dan Wilson, 2005).
3
Infeksi Definite Probable Possible
Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella Zoster Measles
Vaccinia/Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borrelia B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

Tabel 1. Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS

D. Patofisiologi
Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental saraf perifer.
Keadaan ini yang akhirnya menghalangi transmisi impuls elektris yang normal
disepanjang radiks saraf sensomotorik (Kowalak, 2011).
Temuan patologis demielinisasi polineuropati inflamasi akut adalah infiltrasi
inflamasi (terutama terdiri dari sel T dan makrofag) dan daerah demielinasi segmental
sering dikaitkan dengan tanda-tanda degenerasi aksonal sekunder, yang dapat dideteksi
pada akar tulang belakang serta akar saraf motorik dan sensorik (Yuki, 2012).
Pola perubahan patologi mengikuti pola yang tetap dari infiltrasi limfosit yang terjadi
dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan menjadi fokus
degenerasi myelin (Price dan Wilson, 2005).

Gambar 1. GBS

4
Myelin mempercepat proses perjalanan impuls elektris saraf ke otak untuk
diintrepretasikan. Kompleks lipoprotein yang dibentuk oleh sel-sel ganglia atau
oligendrosit ini melindungi akson neuron. Resistensi elektris yang tinggi dan kapasitas
(kemampuan menyimpan muatan listrik) yang rendah memungkinkan selubung myelin
menghantarkan impuls saraf dari nodus ranvier yang satu ke nodus berikutnya (Kowalak,
2011).
Myelin rentan terhadap cidera. Selubung myelin yang rentan terhadap respon
autoimun akan mengalami inflamasi dan lapisan membrannya akan rusak atau pecah
menjadi komponen yang lebih kecil, yang akan diselubungi oleh plak dengan batas yang
jelas (terisi oleh unsur-unsur mikroglia, makroglia dan limfosit). Proses tersebut yang
dinamakan demielinisasi. Selubung myelin yang rusak tidak dapat menghantarkan impuls
saraf secara normal. Dispersi saraf atau kehilangan parsial potensial aksi menyebabkan
disfungsi neurologi (Kowalak, 2011).
GBS menyerang saraf perifer sehingga serabut saraf tersebut tidak dapat
menyampaikan pesan saraf ke otot dengan benar. Selubung myelin yang mengalami
degenerasi membungkus akson serabut saraf dan menghantarkan impuls elekstris
disepanjang lintasan saraf. Degenerasi tersebut menimbulkan inflamasi, pembengkakan,
dan bercak-bercak demielinisasi (patchy demyelination) (Kowalak, 2011). Proses
inflamasi juga dapat dilihat di akar dorsal dan ganglia otonom (Umphred, 2001).
Akibatnya selubung myelin hancur, sehingga nodus ranvier (yang terdapat di
selubung myelin) akan melebar (Kowalak, 2011). Keadaan ini yang memperlambat dan
menganggu transmisi impuls disepanjang radiks anterior dan posterior (Kowalak, 2011).
Terdapat tiga fase yang menyertai pada proses patologi GBS yaitu :
- Fase akut
Dimulai pada awitan gejala definitif yang pertama dan berakhir 1-3 minggu
kemudian.
- Fase plateu
Berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu.
- Fase pemulihan
Terjadi bersamaan dengan remielinisasi dan pertumbuhan kembali tonjolan akson.
Fase ini melampaui 4-6 bulan, tetapi dapat berlangsung hingga 2-3 tahun jika
penyakit ini berat (Kowalak, 2011).
Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan perubahan degeneratif pada radiks
posterior (sensorik) dan anterior (motorik), maka tanda-tanda gangguan sensorik dan
5
motorik akan terjadi secara bersamaan (Kowalak, 2011). Radiks saraf dorsalis menangani
fungsi sensorik, pasien dapat mengalami rasa kesemutan. Demikian pula pada radiks saraf
anterior bertanggung jawab atas fungsi motorik (Kowalak, 2011).
Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis, berfungsi
sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang
dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik.
Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan
meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai
contoh, sinyal dari otak ke otot dapat ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50
km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat jarak yang dikenal
sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang.
Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak
terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.
Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap
adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi
yang bersirkulasi dalam darah akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan
sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan
mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya
membentuk materi lemak penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan
berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi
tubuh. Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara
bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang, transmisi sinyal melambat,
terblok, atau terganggu, sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan
menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas
sehari-hari, termasuk berjalan. Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila
sistem imun telah kembali normal, serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali
pulih.
Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla
spinalis, merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan
saraf spinal. Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis,
menuju otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai
saraf perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).

6
Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan
sementara pada saraf perifer, dan timbul gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat
progresif, ataupun paralisis akut. Karena itu GBS dikenal sebagai neuropati perifer.
GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi.
- Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur transmisi sinyal
saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi
abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi, dan prosesnya sendiri
dinamai demyelinasi primer.
- Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi
sekunder, hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson
putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga
timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut.
Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang
baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan
selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.
- Tipe campuran, merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada
penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf.
Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun,
saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat.

E. Klasifikasi
Beberapa varian dari GBS dapat diklasifikasikan, yaitu :
1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)
2. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN)
3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
4. Miller Fisher Syndrome
5. Acute Neuropatic panautonomic
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)
Subtipe Ciri Khas Elektrodiagnosis Patologi
Acute Orang dewasa lebih Demyelinisasi Serangan pertama
Inflammatory banyak terkena pada permukaan
Demyelinating AIDP sel Schwann,
Polineuropathy dibandingkan anak- kerusakan myelin
(AIDP) anak. Merupakan menyebar luas,
90% kasus didunia aktifasi makrofag
bagian barat. dan infiltrasi

7
Penyembuhan limfosit, variabel
cepat. Antibody sekunder dari
anti GM1 (<50%) kerusakan akson
Acute Motor Anak-anak dan Aksonal Serangan pertama
Axonal Neuropathy dewasa muda pada nodus ranvier
(AMAN) terjadi prevalensi motorik, aktifasi
tinggi di cina dan makrofag, sedikit
mexico mungkin limfosit, sering
karena cuaca, cepat ditemui makrofag
sembuh, antibody diperiaksonal,
anti GD1a keparahan
kerusakan aksonal
sangat bervariasi
Acute Motor Lebih banyak pada Aksonal Sama dengan
Sensory Axonal dewasa, tidak AMAN, tapi juga
Neuropathy sering terjadi, mengganggu
(AMSAN) penyembuham nervus sensoris dan
lambat, dan akar nervus sensori
biasanya tidak kerusakan aksonal
lengkap, biasanya berat
berhubungan erat
dengan AMAN
Miller Fisher Dewasa dan anak- Demyelinisasi Hanya sedikit
Syndrome (MFS) anak, tidak sering kasus yang
terjadi, diperiksa, mirip
Oftalmoplegia, AIDP
ataxia, dan
arefleksia, antibody
anti GQ1b (90%)
Tabel 2. Variasi yang berhubungan dengan GBS

F. Manifestasi Klinis
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang
berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih
kembali.

G. Tanda dan Gejala


Karakteristik GBS pada anak-anak dan orang dewasa dapat berkembang secara pesat
atau progresif, dan secara relatif ciri kelemahan pasien GBS berupa symmetrical
ascendingatau flaccid paralysis (Umphred, 2001).
Pada kasus polineuropati gangguan sistem saraf motorik paling dominan terlihat
(Price dan Wilson, 2005).

8
Kerusakan motorik pada kasus GBS dapat bervariasi mulai dari kelemahan ringan
dari distal otot ekstremitas bawah sampai kelumpuhan total otot perifer, aksial, wajah,
dan otot ekstraokular serta refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada. 20%-30%
dari pasien mungkin memerlukan ventilasi akibat dari kelumpuhan atau kelemahan otot-
otot interkostal dan diafragma. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat menyebabkan
ketidakmampuan untuk batuk atau menangani sekresi dan penurunan kapasitas vital,
volume tidal, dan saturasi oksigen. Dan sekitar 50% pasien juga mengalami ganguan pada
saraf kranial, yang ditandai dengan kelemahan otot wajah, okular dan otot orofaring
(Umpherd, 2001), yang dapat menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan
menelan (Smelzter, 2001). Istilah bulbar palsy kadang-kadang digunakan secara khusus
untuk paralisis rahang, faring dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial
IX, X, dan XI (Price dan Wilson, 2005).
Disfungsi otonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan
atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan
oleh gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipotensi
ortostatik) dan gangguan vasomotor lainnya (Smelzter, 2001). Gejala sensorik seperti
hyperparestesia distal, parestesia (kesemutan, terbakar), mati rasa, dan penurunan rasa
getaran atau posisi tubuh yang umum, namun gejala sensorik ini tidak berlangsung secara
progresif atau terus-menerus. Meskipun gangguan sensorik jarang melumpuhkan, tetapi
bagi pasien dalam tahap fase akut gangguan sensorik dapat menjengkelkan atau
membingungkan (Umphred, 2001).
Nyeri diidentifikasi sebagai gejala yang signifikan. Beberapa pasien melaporkan nyeri
muncul sebelum timbulnya gejala neurologik atau awal dari gejala neurologik namun
beberapa pasien juga mengatakan bahwa nyeri dirasakan selama proses penyakit tersebut.
Nyeri biasanya simetris dan dilaporkan paling sering pada otot-otot besar seperti gluteus,
quadrisep, hamstring dan kadang-kadang muncul pada tungkai bawah dan ekstremitas
atas. Dan pada malam hari biasanya pasien sering mengalami nyeri. Beberapa pasien
merasakan rasa terbakar yang hebat atau hipersentifitas terhadap sentuhan dan gerakan
udara (Umphred, 2001).
Gejala-gejala tersebut akan memuncak dalam satu minggu tetapi dapat berkembang
selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja berhenti setiap saat dan fungsi
motorik akan kembali membaik dengan pola desending. Demielinisasi terjadi dengan
cepat tetapi kecepatan remielinisasi hanya sekitar 1-2 mm per hari (Corwin, 2009).

9
Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase :
1. Fase Progresif
Berlangsung 2-3 minggu sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap,
dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan progresif dan
gangguan sensorik, derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat
serangan pada penderita.
Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan
GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase
penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi
berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase Plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi.
Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi, namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan
dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan, beberapa pasien langsung mencapai
fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di
fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase Penyembuhan
Fase penyembuhan yang ditunggu terjadi dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin,
dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi.
Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot
pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta
mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
10
sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Terdapat enam subtipe GBS, yaitu :
1. Radang Polineuropati Demyelinasi Akut (AIDP)
Merupakan jenis GBS yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan
dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang membrane sel
Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS)
Merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi sebagai paralisis
desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya mengenai
otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia,
dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
3. Neuropati Aksonal Motorik Akut (AMAN) atau Sindroma Paralitik Cina
Menyerang nodus motorik ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini
disebabkan oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit
ini musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi
Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati Aksonal Sensorimotor Akut (AMSAN)
Mirip dengan AMAN, juga menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga
menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat
dan sering tidak sempurna.
5. Neuropati Panautonomik Akut
Merupakan varian GBS yang paling jarang, dihubungkan dengan angka kematian
yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)
Ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia
atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan
penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan
ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

H. Diagnosis
Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan gangguan fungsi saraf perifer, yakni
motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah kelemahan motorik
11
yang bervariasi, dimulai dari ataksia sampai paralisis motorik total yang melibatkan otot-
otot pernafasan sehingga menimbulkan kematian. Awalnya pasien menyadari adanya
kelemahan pada tungkainya, seperti halnya ‘kaki karet’, yakni kaki yang cenderung
tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia (kesemutan atau kebas).
Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asendens landry),
meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring perkembangan penyakit, dalam periode
jam sampai hari, terjadi kelemahan otot-otot leher, batang tubuh (trunk), interkostal, dan
saraf kranialis.
Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar
menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan disertai oleh
drooling dan atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan bernafas.
Kelemahan otot wajah sering terjadi pada GBS, baik unilateral ataupun bilateral,
sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada varian Miller Fisher.
Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS.
Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba, tekan, dan getar) lebih berat
daripada sensibilitas superfisial (raba, nyeri, dan suhu).
Sensasi nyeri merupakan gejala yang sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk
dalam (deep aching pain) pada otot-otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus
segera diatasi dengan analgesik standar. dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu
umumnya ringan, bahkan disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus berat,
namun sifatnya transien, bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya penyakit medulla
spinalis. Tidak dijumpai demam pada GBS, jika ada, perlu dicurigai penyebab lainnya.
Pada kasus berat, didapati hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan
darah, hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.

I. Diagnosis Banding
GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik
subakut lainnya, antara lain sebagai berikut :
1. Miastenia Gravis Akut
Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan
okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot
mandibula akan melemah setelah beraktivitas, selain itu tidak didapati defisit sensorik
ataupun arefleksia.

12
2. Thrombosis Arteri Basilaris
Dibedakan dari GBS dimana pada GBS pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan
abnormalitas gelombang F, sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks
serta refleks patologis Babinski.
3. Paralisis Periodik
Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo
atau hiperkalemia.
4. Botulisme
Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi.
Gejala dimulai dengan diplopia 13 disertai dengan pupil yang non-reaktif pada fase
awal, serta adanya bradikardia, yang jarang terjadi pada pasien GBS.
5. Tick Paralysis
Paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan, umumnya terjadi pada anak-anak
dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.
6. Porfiria Intermiten Akut
Terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada pemeriksaan urin
didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik delta.
7. Neuropati Akibat Bogam berat
Umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat kontak dengan logam berat.
Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
8. Cedera Medulla Spinalis
Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis sfingter.
Gejala hampir sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan
menghilang.
9. Poliomyelitis
Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti oleh
paralisis flasid asimetrik.
10. Mielopati Servikalis
Pada GBS terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis,
defisit sensorik jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang
dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi

13
J. Pemeriksaan penunjang
Cairan serebrospinal (CSS) yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik,
yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis
(peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein
CSS normal, setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat
gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi.
Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan
naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit
mononuclear/mm
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG) Manifestasi
elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain
prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau
absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar
saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis,
KHS kurang dari 60% normal.
EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga
ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah
terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka
panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna.
Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG.
Pemeriksaan darah pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal
dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis, eosinofilia jarang
ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia
bukanlah salah satu gejala.
Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung, umumnya jarang karena virus hepatitis
itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.

14
Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada leadlateral. Peningkatan
voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya
insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif
konsisten, yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi
multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul
bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat
Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf
motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf
spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear
lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.

K. Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada kasus GBS adalah gangguan gagal napas
akut yang dapat menimbulkan kematian. Distrimia jantung, yang terlihat melalui
pemantauan electromyography (EKG) dan tidak luput untuk mengobservasi pasien
terhadap tanda thrombosis vena profunda dan emboli paru yang sering mengancam pasien
immobilisasi dan paralisis (Smeltzer, 2001).
Komplikasi lain yang mencakup pada kasus GBS adalah dekubitus, sepsis, kontraktur
sendi, dan gangguan kontrol spinchter kandung kemih dan usus (Kowalak, 2011).

L. Prognosis
GBS memiliki prognosa yang baik, 15% dari kasus GBS pemulihannya baik tanpa
ada kecacatan, 5-10% mengalami kecacatan signifikan, cacat minimal dilihat sampai
dengan 65% dan kematian hanya sekitar 5% karena akibat dysautonomia, serangan
jantung, sepsis, emboli paru, atau sindrom gangguan pernapasan (Pourmand,
2007). Indikator prognosis yang buruk dapat dilihat dari usia pasien yang terus
meningkat, onset kelemahan yang sangat cepat, kebutuhan ventilasi yang terus-menerus,
parameter elektrofisiologis menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan (Ginsberg,
2005).

15
M. Penatalaksanaan Fisioterapi
Pada rencana penatalaksanaan fisioterapi, menjelaskan tentang pengkajian, problema
fisioterapi, tujuan fisioterapi, teknologi intervensi fisioterapi, dan evaluasi fisioterapi.
Adapun Pengkajian Fisioterapi diantaranya :
1. Pemeriksaan Subyektif (Anamnesis)
Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang
penting (Lubantombing, 2012). Riwayat medis yang komprehensif tersebut meliputi
identifikasi data dan sumber riwayat medis, keluhan utama (KU), Riwayat penyakit
sekarang (RPS), Riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat keluarga (RK) dan riwayat
personal dan sosial (RP dan S) (Bickley, 2009).
a. Identifikasi Data
Identifikasi data meliputi data-data tentang usia pasien, jenis kelamin, status
perkawinan, dan pekerjaan (Bickley, 2009). Pada kasus GBS didapatkan data
terjadi pada segala usia meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30-50
tahun dan mempunyai frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada
semua ras (Kowalak, 2011).
b. Data-data Rumah sakit
Data-data medis rumah sakit berisi informasi tentang riwayat medis yang di
dapat dari pasien, keluarga pasien, orang terdekat pasien, tenaga medis lain, atau
rekam medisnya (Bickley, 2009). Pada kasus GBS pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan adalah dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (yang diperoleh
melalui pungsi lumbal) (Lubantombing, 2012), yang dapat menunjukkan
konsentrasi protein dalam cairan serebrospinal dengan menghitung jumlah sel
normal (disosiasi albuminositologis) (Ginsberg, 2005). Pemeriksaan konduksi
saraf mencatat transmisi impuls sepanjang serabut saraf. Pada pasien GBS
mengalami penurunan kecepatan konduksi (Ariani, 2012).
c. Riwayat Penyakit sekarang
Bagian anamnesis ini merupakan uraian yang lengkap, jelas, dan kronologis
mengenai berbagai permasalahan yang mendorong pasien untuk mendapat
perawatan (Bickley, 2009). Keluhan utama yang sering ditemukan pada pasien
GBS adalah terjadinya kelemahan motorik (Price and Wilson, 2005). Pada pasien
GBS biasanya timbul demam selama 1-4 minggu sebelum timbulnya gejala,
kemudian timbul rasa kesemutan (parastesia) pada kaki, lengan, tubuh, dan
akhirnya ke wajah. Nyeri biasanya simetri dan mengenai otot-otot besar seperti
16
gluteal, quadrisep dan hamstring. Dan kadang-kadang muncul pada tungkai
bagian bawah dan ekstremitas atas (Umphred, 2001).
d. Riwayat penyakit Dahulu
Berisi daftar penyakit yang dialami pada waktu kanak-kanak, daftar penyakit
pada usia dewasa beserta tanggal kejadiannya yang meliputi empat kategori
medis, pembedahan, obstetri dan ginekologi, dan psikiatri (Bickley,
2009). Riwayat penyakit dahulu pasien GBS yang dapat dihubungkan menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi adanya infeksi pernapasan seperti
pneumonia, dan infeksi pencernaan (Umphred, 2001).
e. Riwayat Keluarga
Pada riwayat keluarga berisi catatan tentang ada atau tidaknya penyakit
spesifik dalam keluarga, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan lain-
lain (Bickley, 2009). Pada pasien GBS tidak ada riwayat penyakit spesifik karena
GBS bukan termasuk penyakit yang herediter (Price dan Wilson, 2005).
f. Riwayat Personal dan Sosial
Riwayat sosial meliputi kepribadian serta minat pasien, sumber-sumber
dukungan, cara pasien mengatasi persoalan, kekuatan dan ketakutannya. Bisa
mencakup pekerjaan, situasi di rumah serta hal-hal signifikan lainnya, aktivitas
diwaktu senggang, aktivitas hidup sehari-hari, serta kebiasaan gaya hidup yang
dapat meningkatkan status kesehatan atau membawa risiko (Bickley,
2009). Dibeberapa penelitian tidak disebutkan tentang riwayat sosial pasien GBS,
namun pasien dengan GBS paling banyak terkena pada musim semi dan musim
dingin. 2 musim tersebut yang akhirnya dihubungkan dengan penyebab GBS yaitu
infeksi pernapasan dan gastrointestinal (Haghighi et all, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Vital Sign
Tanda-tanda vital berisi tentang pemeriksaan nadi, respirasi, suhu, dan tekanan
darah. Semua tanda vital tersebut sebaiknya diukur pada setiap pemeriksaan yang
lengkap (Willms, 2003). Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh valsava
maneuver, batuk, dan perubahan posisi sehingga aktivitas-aktivitas ini harus
dilakukan dengan sangat hati-hati (Ariani, 2012).

17
b. Inspeksi
Dilakukan dengan mengobservasi atau melihat keadaan fisik pasien untuk
mendapatkan informasi tentang kecacatan yang terlihat, defisit fungsional, dan
kelainan atau abnormalitas body aligment (Bickley, 2009).
c. Palpasi
Dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengistirahatkan ototnya,
kemudian dipalpasi untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri tekan dan
menilai tonus otot (Lubantombing, 2012). Pada kasus GBS beberapa pasien
mengalami nyeri tekan (Ariani, 2012) dan tonus otot hilang (Price dan Wilson,
2005).
d. Pemeriksaan Gerak Dasar
Didalam pemeriksaan gerak dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu pemeriksaan
gerak aktif , pemeriksaan gerak pasif dan isometrik. (Umphred, 2001).
e. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan aktivitas.
Pemeriksaan kemampuan fungsional dan aktivitas untuk pasien dengan GBS
didalamnya harus ada aktifitas fungsi dari bowel and bladder serta ambulasi
(Umprhed, 2001). Terdiri dari 10 poin aktivitas yang dikerjakan oleh pasien dan
nilai oleh fisioterapi. Kesepuluh poin aktivitas yang akan dinilai masing-masing
memiliki poin atau nilai, sebagai berikut.

NO Aktivitas Nilai
1 Makan 0 – 10

2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan 0 – 15


sebaliknya , termasuk duduk di tempat tidur

3 Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir, mencukur, 0–5


menggosok gigi

4 Aktivitas toilet 0 – 10

5 Mandi 0–5

6 Berjalan di jalan yang datar 0 – 15

(jika tidak mampu berjalan, lakukan dengan kursi (0 – 5)


roda)

7 Naik turun tangga 0 – 10

18
8 Berpakain termasuk mengenakan sepatu 0 – 10

9 Kontrol BAB 0 – 10

10 Kontrol BAK 0 – 10

Tabel 3. Penilaian Indeks Barthel

Intepretasi hasil penilaian setelah dilakukan pemeriksan Indeks Barthel adalah,


sebagai berikut :

Nilai Keterangan
0 – 20 Ketergantungan penuh
21 – 61 Ketergantungan berat
62 – 90 Ketergantungan moderat
91 – 99 Ketergantungan ringan
100 Mandiri
Tabel 4. Interpretasi penilaian Indeks Barthel
3. Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan spesifik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat
temuan-temuan dalam anamnesis. Pemeriksaan spesifik pada pasien GBS adalah
MMT (Manual Muscles Testing), ROM (Range Of Motion), dan pemeriksan sensori
(Umphred, 2001). Dan juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks tendon
(Umphred, 2001).
a. MMT (Manual Muscles Testing)
MMT merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling
sering digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intrepetasi, hasil serta
validitas dan realibilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, MMT tidak
mampu untuk mengukur otot secara individual melainkan secara kelompok otot
(Trisnowiyanto, 2012).Tujuan dilakukan MMT untuk mengetahui berapa nilai dari
kekuatan otot pasien, memprediksi dan mencegah adanya kontraktur, dan dapat
memberikan program latihan yang tepat sesuai nilai kekuatan otot pasien dengan
GBS. Namun otot yang akan dilakukan pemeriksaan MMT hanya merupakan
otot-otot spesifik (bukan kelompok otot) seperti otot sternocleidomastoids,
deltoid, triceps, flexor carpi ulnaris, lumbricals, iliopsoas, gluteus medius, anterior
tibialis, dan flexor hallucis longus (Umphred, 2001).

19
b. ROM (Range Of Motion)
Range Of Motion merupakan bagian integral dari gerakan manusia. Agar
seorang individu untuk bergerak secara efisien dan dengan sedikit usaha, berbagai
gerak seluruh sendi sangat penting. Selain itu, kisaran gerak yang tepat
memungkinkan sendi untuk beradaptasi lebih mudah terhadap tekanan yang
dikenakan pada tubuh, serta mengurangi potensi cedera. Berbagai gerak seluruh
sendi sangat tergantung pada dua komponen ROM dan panjang otot. Alat ukur
yang sering digunakan untuk pemeriksaan ROM adalah Goniometer dan terbagi
menjadi empat bidang, yaitu sagital plane, frontal plane, transversal
plane dan rotation (Reese, 2002).
Joint range motion adalah gerakan yang tersedia di setiap sendi dan
dipengaruhi oleh struktur tulang yang terkait dan karakteristik fisiologis jaringan
ikat di sekitar sendi. Jaringan ikat penting yang membatasi rentang gerak sendi
termasuk ligamen dan kapsul sendi (Reese, 2002).
c. Pemeriksan Refleks Tendon Dalam
Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi penting yang sangat
menentukan. Penilaian refleks selalu berarti penilaian secara banding antara sisi
kiri dan sisi kanan (Ariani, 2012). Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting
nilainya karena lebih objektif (Lumbantobing, 2005), karena pada pasien dengan
GBS refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred, 2001). Refleks
tendon dalam atau refleks regangan otot dihantarkan melalui struktur pada sistem
saraf pusat atau tepi. Refleks tersebut menggambarkan satuan fungsi sensorik dan
motorik yang sederhana. Untuk menimbulkan refleks tendon dalam, lakukan
pengetukan dengan cepat pada otot yang akan diperiksa.
Untuk dapat mencetuskan refleks, semua komponen refleks harus utuh,
komponen tersebut meliputi serabut saraf sensorik, sinaps medulla spinalis,
serabut saraf motorik, sambungan serabut muskular, dan serabut-serabut otot.
Ketukan pada tendon akan mengaktifkan serabut-serabut sensorik khusus pada
otot yang teregang sebagian dengan memicu impuls sensorik yang berjalan ke
medulla spinalis melalui saraf tepi. Serabut sensorik yang terangsang itu bersinaps
langsung dengan radiks saraf anterior yang mempersarafi otot yang sama. Ketika
impuls saraf melintasi sambungan neuromuskular, maka otot akan berkontraksi
secara tiba-tiba (Bickley, 2009). Telah dikemukakan di atas bahwa timbulnya
refleks ini ialah karena teregangnya otot oleh rangsang yang diberikan dan akan
20
timbul kontraksi otot (Lumbantobing, 2005). Tingkat jawaban refleks dibagi
menjadi beberapa tingkat, yaitu :

Simbol Keterangan
- Tidak ada refleks sama sekali
+ Kontraksi sedikit
+ Ada kontraksi
++ Kontraksi berlebihan, refleks meningkat
Tabel 5. Penilaian Reflek
d. Pemeriksaan Sensori
Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada pasien GBS untuk
mengidentifikasi jenis tertentu dari perubahan sensori,
seperti parasthesia atau hypesthesia (Umphred, 2001). Pemeriksaan sensori atau
sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak mudah. Kita tergantung kepada
perasaan pasien, jadi bersifat subjektif (Lumbantobing, 2005). Oleh sebab itu,
pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah pemeriksaan motorik termasuk
refleks. Karena subjektivitas ini, pemeriksa dapat salah, baik karena keinginan
pasien yang besar untuk membantu atau pasien berpura-pura mengerti sehingga
memberikan informasi yang salah. Pemeriksaan sensorik paling baik dilakukan
secara cepat, selain tidak melelahkan bagi pemeriksa dan pasien, juga mengurangi
kemungkinan terjadi kesalahan informasi yang diberikan.
Pemeriksaan sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh jaras traktur
spinotalamikus di medulla spinalis. Disini neuron sensorik primer memasuki
medulla spinalis melalui radiks dorsalis (Ginsberg, 2005). Pemeriksaan rasa nyeri
dapat dilakukan dengan menggunakan jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang
dirasakan pasien. Pemeriksaan rasa suhu, ada dua macam yaitu rasa panas dan
rasa dingin. Rasa suhu diperiksa dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi
dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk rasa panas dengan air panas
(Lumbantobing, 2005).

N. Diagnosis Fisioterapi
Diagnosa fisioterapi merupakan hasil analisa dari pemeriksaan (assesment) dan
evaluasi yang menunjukkan atau mengekspresikan adanya disfungsi gerak dan dapat
mencakup :

21
a. Impairment
Menggambarkan hilangnya atau terjadinya kelainan struktur tubuh dari fungsi
psikologis atau fisiologis (Edwards,2002). Pada pasien GBS didapatkan impairment
berupa kelemahan ringan sampai kelumpuhan total otot ekstremitas bagian distal,
refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred, 2001), nyeri, dan adanya
perubahan sensasi (Lennon dan Stokes, 2009)
b. Functional Limition
Menggambarkan sifat dan tingkat kinerja pasien dalam kegiatan fungsional sehari-
harinya (Edwards, 2002). Pada pasien GBS didapatkan penurunan kemampuan untuk
mobilitas di tempat tidur, transfer, ADL (Activity daily living), dan mobilisasi (diluar
maupun didalam ruangan) (Lennon dan Stokes, 2009).
c. Participation Restriction
Menggambarkan sifat dan keterlibatan pasien di tempat mereka tinggal pada
tingkat masyarakat. Hal ini menunjukan keterkaitan yang erat antara impairment dan
functional limitation (Edwards, 2002). Pada pasien GBS yang mengalami kelemahan
neurologi yang diakibatkan dari berkurangnya mobilitas sendi akan mengalami
ketidakmampuan bersosialisasi selama 1-3 tahun (Edwards, 2002).
d. Intervensi Fisioterapi
Tujuan dari pemberian intervensi pada pasien GBS adalah mengurangi nyeri,
menghindari terjadi kontraktur, dekubitus, dan kelemahan atau denervated otot
(Umphred, 2001). Namun konsep yang paling penting untuk diingat dalam merancang
program latihan untuk pasien GBS adalah latihan tidak akan mempercepat atau
meningkatkan regenerasi saraf, dan tidak akan mempengaruhi
tingkat reinnervation selama proses rehabilition. Tujuan utama manajemen terapi
adalah untuk menjaga sistem muskuloskeletal pasien dalam keadaan yang optimal,
mencegah overwork, dan memacu proses pemulihan untuk mendapatkan fungsi
maksimal pada saat terjadinya proses reinnervation (Umphred, 2001).
Program rehabilitasi untuk pasien dengan GBS harus dinilai dengan hati-hati
sesuai dengan tahap penyakit tersebut. Dalam kondisi akut bila terjadi defisit
pernapasan, penekanan awal yang harus dilakukan untuk mendukung status
pernapasan maksimal dapat dilakukan melalui breathing exercise (Umphred,
2001). Breathing exercise merupakan suatu intervensi mendasar untuk pencegahan
atau penanganan yang komprehensif pada impairment yang berhubungan dengan
gangguan pernafasan akut maupun kronis. Breathing exercise merupakan satu aspek
22
manajemen untuk memperbaiki status paru dan meningkatkan daya tahan tubuh
secara keseluruhan.
Tujuan dari breathing exercise adalah meningkatkan efektivitas mekanisme batuk
dan membantu dalam pembersihan jalan nafas, meningkatkan kekuatan, daya tahan,
dan koordinasi dari otot-otot pernapasan, mempertahankan atau meningkatkan
mobilitas dada, memperbaiki pola pernapasan yang tidak efisien atau abnormal dan
mengurangi kerja pernapasan, meningkatkan kapasitas fungsional pasien dalam
kehidupan sehari-hari, pekerjaan dan rekreasi. Ekspirasi secara paksa tidak
diperbolehkan pada saat breathing exercise karena dapat meningkatkan turbulensi dan
restriksi pada jalan nafas, serta menyebabkan bronkospasme. Pasien juga tidak
diperbolehkan melakukan ekspirasi terlalu lama atau panjang karena dapat
menyebabkan pasien kesulitan dalam melakukan inspirasi yang selanjutnya
menyebabkan pola nafas menjadi tidak teratur dan efesien. Selain itu, pasien juga
tidak diperbolehkan untuk melakukan inspirasi dengan menggunakan otot-otot bantu
pernapasan dan upper chest, sarankan agar pasien menggunakan otot-otot bantu
pernapasannya secara minimal selama bernafas. Breathing exercise ini hanya
dilakukan sebanyak 3-4 kali inspirasi dan ekspirasi agar mencegah terjadinya
hiperventilasi (Kisner, 2007).
Program latihan berikutnya yang juga dapat dilakukan pada kondisi akut adalah
program latihan positioning. Positioning merupakan program latihan yang harus
dilakukan dengan segera yang bertujuan untuk mencegah luka akibat tekanan. Dalam
program latihan ini fisioterapi sangat berperan aktif dalam beberapa hari pertama pasien
di rawat inap khususnya bagi pasien yang memiliki kelumpuhan total atau kelumpuhan
ringan. Positioning merupakan sebuah program latihan untuk pasien yang dependent dan
dilakukan dengan segera mungkin untuk mencegah adanya komplikasi seperti
dekubitus. Positioning juga dapat dilakukan dengan menggunakan tempat tidur khusus
seperti matras listrik yang khusus dirancang untuk mengubah posisi secara terus-menerus
atau menyebarkan tekanan di atas permukaan yang luas (Umprhed, 2001).
Untuk pasien dengan GBS yang memiliki bentuk tubuh yang kurus dan terlihat
adanya tonjolan tulang, mungkin perlu membutuhkan alat bantu tambahan seperti busa
berbentuk “donuts” untuk melindungi tekanan tersebut. Sedangkan untuk pasien yang
mengalami nyeri otot biasanya lebih suka untuk menekuk pinggul serta lututnya sehingga
fisioterapi harus mengatur atau mengubah posisi pasien keluar dari posisi tertekuk dalam
beberapa jam. Sebagai kelengkapan program positioning, terapis juga harus
23
mempertimbangkan cara terbaik untuk mempertahankan posisi fisiologis tangan dan kaki
dengan menggunakan fasilitas footboard untuk mengontrol gerakan pasif dorsoflleksi
pergelangan kaki dengan ankle foot splint, yang dapat dikenakan saat pasien berada
dalam posisi apapun. Sedangkan pemasangan splints pada pergelangan tangan dan tangan
dapat menggunakan resting-style splints atau dibentuk sesuai dengan kebutuhan pasien
yang tujuannya untuk menjaga pergelangan tangan yang baik, ibu jari, dan alignment jari
(Umprhed, 2001).
Program latihan yang dapat diberikan selanjutnya adalah passive exercise. Pada
pasien GBS dikemukakan bahwa dengan dilakukan passive exercise dapat mengurangi
rasa nyeri atau mengontrol rasa nyeri tersebut (Umphred, 2001), serta memelihara
lingkup gerak sendi klien (Lennon and Stokes, 2009). Menurut Kisner (2007) Salah satu
tujuan passive exercise adalah penurunan atau menghambat nyeri, membantu sirkulasi
dan dinamika vaskular, membantu menjaga kesadaran gerakan pasien, serta dapat
meminimalkan efek dari pembentukan kontraktur. Passive exercise ditujukan pada pasien
dengan kondisi koma, paralysis, lumpuh, atau bed rest yang mana pasien tidak mampu
untuk menggerakkan anggota tubuhnya secara aktif sehingga butuh gaya eksternal untuk
menggerakkan anggota tubuhnya. Gaya eksternal tersebut adalah fisioterapis. Pemberian
frekuensi latihan passive avercise pada pasien GBS sebaiknya lebih sering digerakkan
dengan durasi yang rendah sehingga tidak boleh menimbulkan nyeri atau kelelahan
(Umphred, 2001).
Pasien tetap harus dimotivasi untuk dapat menggerakkan anggota tubuhnya jika sudah
mulai muncul kontraksi dari ototnya, namum fisioterapi tetap harus memperhatikan atau
mengamati gerakan yang dihasilkan oleh pasien supaya dapat mengetahui adanya
perubahan kualitas gerakan yang mungkin berhubungan dengan penurunan kekuatan. Jika
pasien tidak mampu menyelesaikan latihan tersebut sendiri maka fisioterapi membantu
meyelesaikan latihan tersebut sampai batas normal ROM atau dengan active assisted
exercise, namun harus hati-hati dan peka terhadap reaksi pasien (Umphred, 2001).
Ketika pasien sudah merasa cukup stabil maka active exercise dapat dialakukan
dengan diikuti periode latihan yang pendek sesuai dengan kekuatan pasien dan tanpa
menyebabkan kelelahan. Pada tahap awal latihan, pengulangan per periode latihan harus
rendah dan frekuensi latihan jangka pendek harus tinggi. Untuk mendorong kontraksi otot
aktif, terapis harus hati-hati menunjukkan kepada pasien gerakan yang diharapkan.
Terapis kemudian mengerakkan anggota tubuh pasien dan menjelaskan gerakan tersebut,

24
setelah mendapatkan penjelasan yang jelas tentang gerakan yang sudah dijalaskan, pasien
didorong untuk mengkontraksikan atau menggerakkan otot nya (Umphred, 2001).
Menurut penelitian Tara Beth (2008) intervensi fisioterapi melibatkan program latihan
fungsional progresif serta pemantauan overuse dan fatigue harus dilakukan. Seperti yang
disarankan untuk kondisi neuropati perifer, peningkatan aktivitas atau tingkat latihan
yang dilaksanakan hanya jika ada perbaikan atau tidak ada penurunan setelah satu
minggu setelah diberikan intervensi dengan intensitas tertentu.
Peningkatan program latihan dimulai dari passive exercise, active asissted exercise,
dan active exercise pada ekstremitas atas, ekstremitas bawah, dan trunk. Latihan
dilakukan dengan durasi yang rendah, biasanya 5-10 pengulangan, dan selalu dihentikan
jika klien mengeluh lelah. Waktu istirahat sering diberikan, dan respon pasien terhadap
latihan secara konsisten harus dimonitor seperti sesak napas atau tanda-tanda lain dari
kelelahan. Sesi per latihanen GBS adalah 60 menit per sesi (Tara Beth, 2008).

O. Evaluasi Fisioterapi
Evaluasi bisa dilihat dengan menggunakan MMT, LGS, pemeriksaan refleks,
pemeriksaan sensori, dan pemeriksaan kemampuan fungsional serta melihat proses dari
patologi pasien tersebut. Evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Evaluasi Berhasil
Evaluasi berhasil jika kekuatan otot tidak mengalami penurunan atau peningkatan
(tetap) diketahui dengan menggunakan MMT, luas gerak sendinya meningkat
diketahui dengan menggunakan penilaian atau pengukuran ROM, munculnya refleks
tendon diketahui dengan menggunakan tes refleks tendon dalam, tidak adanya
gangguan sensori diketahui dengan pemeriksan sensori, serta peningkatan
kemampuan fungsional diketahui dengan menggunakan Indeks Barthel.
b. Evaluasi Tidak Berhasil
Evaluasi tidak berhasil jika kekuatan otot menurun diketahui dengan
menggunakan MMT, luas gerak sendinya berkurang diketahui dengan menggunakan
penilaian atau pengukuran ROM, penurunan refleks tendon diketahui dengan
menggunakan tes refleks tendon dalam, adanya gangguan sensori diketahui dengan
pemeriksan sensori, serta penurunan kemampuan fungsional diketahui dengan
menggunakan Indeks Barthel. Selanjutnya apabila tidak berhasil, maka akan
dilakukan reevaluasi untuk menentukan intervensi lain yang sesuai (Pryor dan
Webber, 2001).
25
P. Penatalaksanaan
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi).
- Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.
- Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
Autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada GBS memperlihatkan hasil
yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas
yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan
dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih
bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
- Pengobatan imunosupresan :
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan
dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis
maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah :
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- Azathioprine
- cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
- Prognosa
GBS memiliki prognosa yang baik, dilaporkan 15% dari kasus GBS
pemulihannya baik tanpa ada kecacatan, 5-10% mengalami kecacatan signifikan,
cacat minimal dilihat sampai dengan 65% dari kasus dan kematian hanya sekitar 5%
karena akibat dysautonomia, serangan jantung, sepsis, emboli paru, atau sindrom
26
gangguan pernapasan (Pourmand, 2007). Indikator prognosis yang buruk dapat
dilihat dari usia pasien yang terus meningkat, onset kelemahan yang sangat cepat,
kebutuhan ventilasi yang terus-menerus, parameter elektrofisiologis menunjukkan
degenerasi aksonal yang signifikan (Ginsberg, 2005).
- Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada kasus GBS adalah gangguan gagal napas
akut yang dapat menimbulkan kematian.Distrimia jantung, yang terlihat melalui
pemantauan electromyography (EKG) dan tidak luput untuk mengobservasi pasien
terhadap tanda thrombosis vena profunda dan emboli paru yang sering mengancam
pasien immobilisasi dan paralisis (Smeltzer, 2001).
Komplikasi lain yang mencakup pada kasus GBS adalah dekubitus, sepsis,
kontraktur sendi, dan gangguan kontrol spinchter kandung kemih dan usus (Kowalak,
2011).

27
BAB III

KESIMPULAN

1. GBS merupakan suatu penyakit autoimun, dimana proses imunologis langsung mengenai
sistem saraf perifer.
GBS adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis dan
saraf perifer, kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah suatu
infeksi.
2. GBS diklasifikasikan sebagai berikut :
- Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy
- Acute Motor Axonal Neuropathy
- Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy
- Miller Fisher Syndrome
- Acute Neuropatic panautonomic
- Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE)
3. Perjalanan penyakit GBS dibagi menjadi 3 fase :
- Fase progresif.
- Fase plateau.
- Fase penyembuhan
4. Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis.
GBS ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya reflex-
refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami demam
disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer.
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of
Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
a. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis :
- Terjadinya kelemahan yang progresif
- Hiporefleksi

28
b. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS :
1. Ciri-ciri klinis :
- Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4
minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan
90% dalam 4 minggu.
- Relatif simetris
- Gejala gangguan sensibilitas ringan
- Gejala saraf kranial ±50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak
lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan,
kadang < 5% kasus neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak
lain
- Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat
memanjang sampai beberapa bulan.
- Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi
dangejala vasomotor.
- Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
2. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnose :
- Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan
pada LP serial
- Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
- Varian:
- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
3. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose :
- Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan
hantar kurang 60% dari normal
4. Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri,
perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala
sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi
khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan
melalui sistem imunitas (imunoterapi).
a. Kortikosteroid
b. Plasmaparesis atau plasma exchange
29
c. Pengobatan imunosupresan :
- Imunoglobulin IV
- Obat sitotoksik

30
DAFTAR PUSTAKA

Bickley, L dan Szilagyi, P. 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat Kesehatan. Ahli
Bahasa : Andry Hartono. 2009. Ed. 8, Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Alih Bahasa Nike Budhi Subekti. 2009.
Jakarta : EGC

Edwads, Susan. 2002. Neurological Physiotherapy. Second Edition. London : Churcill


Livingstone

Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Alih bahasa Indah Retno Wardhani. 2005.
Jakarta : Penerbit Erlangga

Haghighi, Afshin Borhani et all. 2012. Vol :12. Seasonal Variation of Guillain-Barré
Syndrome Admission in a Large Tertiary Referral Center in Southern Iran: A 10 Year
Analysis. Iran : Acta Neural Taiwan

Irfan, Muhammad. 2010. Fisioterapi Bagi Insan stroke. Yogyakarta : Graha Ilmu

Jarvis, Carolyn. 2008. Physical Examination & Health Assessment. Fifth Edition. Canada:
Saunders Elsevier

Kisner, Carolyn. 2007. Therapeutic Exercise. 5th Edition. Philadelphia: F. A Davis Company

Kowalak, Jenifer. P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi: Proses Penyakit, Tanda dan Gejala,
Penatalaksanaan, Efek, Pengobatan, Ilustrasi. Alih Bahasa Andry Hartono. 2011. Jakarta:
EGC

Lennon, Sheila dan Maria Stokes. 2009. Pocketbook Of Neurogical Physiotherapy.


:Philadelphia : Churcill Livingstone

Lumbantobing. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan dan Mental. Jakarta : FKUI

Maria Patricia, Hendrarati Reni, Wardhani Lukitra., 2008, Buku Pedoman Diagnosis Dan
Terapi Bagian Rehabilitasi Medik, Cetakan I, Penerbit Surabaya.

Netter, Frank H et all. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA : ComTam

Pieter A. 2004. Gullian Barre Syndrome. Netherlands : University Medical Center Rotterdam

Pourmand, Rahman. 2008. Practicing Neurology : What You Need To Know What You Need
To do. New Jersey: Humana Press

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine Mccarty Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit. Alih bahasa Brahm U. 2005. Ed. 6. Jakarta : EGC

31
Pryor, Jennifer. A. et all. 2001. Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problems. Second
Edition. London: Churchill Livingstone

Reese, Nancy Berryman dan William D. Bandy. 2002. Joint Range Of Motion and Manual
Muscle Testing. Philadelphia : W.B. Saunders Company

Riani, Tutu April. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta : Salemba Medika

Rohkamm. 2004. Color Atlas of Neurology. German : Thieme Stuttgart

Scanlon, Valerie C dan Tina Sanders. 2006. Essentials of anatomy and


physiology.Philadelphia : F. A. Davis Company

Snell, Richard S. 2006. Anantomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Alih Bahasa Liliana
Sugiarto. 2006. Jakarta : EGC

Tara Beth, Fisher and Stevens Jennifer E. 2008. Vol : 3. Journal Of Neurologic Physical
Therapy. Philadelphia : Kivmars Bowling

Trisnowiyanto, Bambang. 2012. Instrumen Pemeriksaan Fisoterapi Dan Penelitian


Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

Yuki, Naburiko and Hans Peter Hartung. 2012. The New England JournaL OfMedicine.
National University of Singapore : Department of Medicine

32

Anda mungkin juga menyukai