TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
1
kasus Demam Dengue. Pemanasan global dan perubahan lingkungan merupakan variable utama
penyebab meluasnya kasus kasus Demam Berdarah di berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, jumlah kasus Demam Berdarah cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Meningkatnya angka demam berdarah di berbagai kota di Indonesia disebabkan oleh sulitnya
pengendalian penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Indonesia merupakan salah
satu negara endemik. Kemenkes RI (2016) mencatat terdapat 3.219 kasus DBD dengan kematian
mencapai 32 jiwa. Demam dengue yang setiap tahun selalu terjadi KLB di berbagai kota dan setiap
5 tahun sekali terjadi KLB besar. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan beebagai
Negara bervariasi disebabkan beberapa factor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vector,
tingkat penyebab virus dengue, prevalensi serotpie virus dengue dan kondisi meteorologist. Secara
keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin, tetapi kematian ditemukan lebih
banyak terjadi pada anak perempuan daripada laki-laki. Pada awal terjadinya wabah sebuah
Negara, pola distribusi umur memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak
berumur <15tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya jumlah kasus golongan usia dewasa
meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak begitu jelas, namun secara garis
besar jumlah kasus meningkat antara September sampai februari dengan mencapai puncaknya
pada bulan januari.
2.3 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm
dan mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1, DEN-
2, DEN-3 dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies lainnya seperti
Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan epidemi yang
ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.
2
2.4 Patofisiologi
Manifestasi klinis DD timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus yang
berkembang di dalam peredaran darah dan ditangkap oleh makrofag. Sebelum timbul gejala
akan terjadi viremia yang berlangsung selama 2 hari dan berakhir setelah lima hari timbul gejala
panas. Makrofag akan menjadi antigen presenting cell (APC) dan mengaktifasi sel T-Helper
dan menarik makrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. T-helper mengaktifasi sel T-
sitotoksik yang bertugas untulk melisiskan makrofag yang sudah memfagosit virus serta
mengaktifkan sel B yang akan melepas antibodi. Proses tersebut akan menyebabkan terlepasnya
mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi,
otot, malaise dan gejala lainnya.
Virus yang masuk ke dalam tubuh manusia akan berkembang biak dalam sel
retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung selama 5-7 hari.
Infeksi tersebut akan menyebabkan munculnya respon tubuh berupa humoral maupun selular,
yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemaglutinin dan antibodi komplemen. Antibodi yang
muncul pada umumnya adalah immunoglobulin G (IgG) dan immunoglobulin M (IgM), pada
infeksi primer antibodi tersebut mulai terbentuk sedangkan pada infeksi sekunder antibodi yang
telah ada akan meningkat.
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan dalam darah sekitar demam hari ke-5,
meningkat pada minggu pertama sampai ketiga dan menghilang setelah 60-90 hari. Infeksi
primer IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedangkan pada infeksi sekunder IgG
meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu, diagnosa dini infeksi primer hanya dapat
ditegakkan setelah mendeteksi IgM setelah hari ke-5, diagnosis dini infeksi sekunder dapat
ditegakan dengan peningkatan IgM dan IgG yang cepat. Patofisiologi utama membedakan
dengue klasik dan DBD adalah tingginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Teori imunopatologi
Patogenesis serta patofisiologi DBD hingga kini belum diketahui secara pasti,
namun sebagian besar menganut “the secondary heterologous infection hypothesis”
3
bahwa seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue yang
sama dengan infeksi primer akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus
dengue tersebut untuk jangka waktu yang lama. Infeksi sekunder oleh serotipe virus
dengue lainnya akan menyebabkan infeksi yang berat. Proses tersebut terjadi akibat
antibodi heterolog yang terbentuk pada infeksi primer akan membentuk kompleks
dengan serotipe virus baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi dan cenderung
membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat opsonisasi netralisasi, selanjutnya
akan teraktifasi dan memproduksi interleukin-1, interleukin-6, tumor necrosis factor
alpha (TNF-α) dan platelet activating factor (PAF) menyebabkan peningkatan infeksi
virus dengue. TNF-α akan menyebabkan kebocoran dinding pembuluh darah,
merembesnya plasma ke jaringan tubuh yang disebabkan kerusakan endotel pembuluh
darah yang mekanisme terjadinya sampai saat ini belum jelas.
4
dengan renjatan berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan
berlangsung selama 24-48 jam. Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan
menimbulkan anoksia jaringan, asidosis metabolik dan kematian.
4. Angiopati
a. Sel endothelial
Sel endotel mempunyai sifat khusus yaitu tidak dapat ditempeli trombosit dalam
keadaan normal. Trombosit akan muncul ketika terdapat kerusakan jaringan subendotel.
Demam dengue pada umumnya tidak menyebabkan kerusakan struktural kecuali DBD
selalu terdapat kerusakan pembuluh darah. Gangguan fungsional ini adalah permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terdapat kebocoran plasma. Kerusakan endotel akan memacu
terjadinya mekanisme alamiah dalam endotel supaya mencegah pembentukan fibrin tidak
berlebihan.
5
Fungsi endotel antara lain sebagai membran semi permiabel yang mengatur
transfer molekul kecil dan besar untuk dapat melalui dinding kapiler dan venula,
memelihara keadaan thrombosis, mengatur tonus vaskuler dan metabolisme hormon. Sel
endotel juga mempunyai fungsi mengatur reaksi imunologik dan inflamasi melalui
pengaturan kapan leukosit harus ke daerah radang.
b.Disfungsi endotel
6
penyakit dengue yang berat menyebabkan gangguan hati dan trombositopenia semakin berat.
Penelitian menemukan hubungan antara trombosit dan komplemen C3. Jumlah fragmen C3
yang semakin banyak melekat pada permukaan trombosit menunjukkan semakin berat
penyakit. Kejadian tersebut diduga berakibat pada penurunan fungsi dan jumlah trombosit.
Penurunan fungsi trombosit tersebut yang menyebabkan perdarahan meskipun jumlah
trombosit normal.
6. Koagulopati
a. Tahap pertama
Faktor intrinsik dan ekstrinsik akan membentuk trombin. Trombin akan mempengaruhi
fibrinogen menjadi fibrin. Infeksi dengue dapat mengaktivasi faktor ekstrinsik yaitu
aktivasi makrofag atau kerusakan endotel.
b. Tahap kedua
Perubahan fibrin monomer menjadi fibrin crosslink yang lebih kuat akan terjadi pada tahap
kedua.
c. Tahap ketiga
Mekanisme fibrinolisis dilakukan supaya tidak terjadi koagulasi yang berlebihan. Plasmin
bertugas untuk melisiskan fibrin. Plasminogen dan protein virus dengue memiliki
kesamaan. Protein virus dengue yang sama adalah protein E. Kesamaan tersebut sebesar
20 asam amino.Virus dengue masuk dalam tubuh menyebabkan tubuh membentuk antibodi
terhadap protein E. Antibodi yang dibentuk diduga akan mengikat plasminogen dalam
waktu sementara. Antibodi menurun pada waktu awal stadium rekovalesen. Penurunan
plasminogen menyebabkan tidak terbentuk plasmin yang cukup sehingga menyebabkan
pembentukan tumpukan fibrin yang tidak terkontrol. Proses koagulasi tahap pertama,kedua
dan ketiga terjadi dalam infeksi dengue tergantung stadium penyakit dan berat ringan
keparahan penyakit. Kasus berat DBD terjadi penurunan faktor pembekuan termasuk
faktor II,V,VII,VIII,X dan fibrinogen. Proses fibrinolisis akan menghasilkan D-Dimer.
Kelainan fibrinolisis pada DBD dibuktikan dengan penurunan aktifitas alpha-2 plasmin
inhibitor dan penurunan aktivitas plasminogen.
7
2.5 Klasifikasi
Teori klasik metode diagnostik membagi Infeksi Virus Dengue (lazim disebut virus
Demam Berdarah) menjadi 2 kategori umum, yaitu (WHO, 1999; Depkes, 2005) Asymptomatic
dengue infection or dengue without symptoms and the symptomatic dengue.
8
1.
2.
3.
9
2.6 Diagnosis
a. Kriteria klinis :
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama
2-7 hari.
2. Manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (≤20 mmHg),
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
b. Kriteria laboratorium :
1. Trombositopenia (≤100.000/mikroliter)
2. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% dari nilai dasar /menurut
standar umur dan jenis kelamin
c. Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan :
1. Dua kriteria klinis pertama ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi/
peningkatan Hematokrit >20%
2. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma
3. Dijumpai tanda perembesan plasma
Efusi pleura (foto toraks/ultrasonografi)
Hipoalbuminemia
4. Perhatian
Pada kasus syok, hematokrit yang tinggi dan trombositopenia yang jelas
mendukung diagnosis DSS.
Nilai LED rendah (<10mm/jam) saat syok membedakan DSS dari syok sepsis.
- Minum sendiri
10
2.Grup B:Dirawat di rumah sakit
-Terdapat gejala yang khas untuk DBD,muntah,nyeri perut,adanya perdarahan,lemas dan pada
temuan laboratorium HCT meningkat
Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
1. leukosit: dapat normal atau menurun
2. trombosit: umumnya terdapat trombositopenia
3. hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer
4. protein/albumin
5. ureum, Kreatinin
6. Elektrolit
7. golongan darah dan cross match
b. Radiologi
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
11
f. penyakit hemolitik seperti glukosa-6-fosfatase dehidrogenase (G-6PD)
defisiensi,thalassemia dan hemoglobinopati lainnya
g. penyakit jantung bawaan
h. penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, asma, penyakit jantung iskemik,gagal
ginjal kronis, sirosis hati
i. pasien steroid atau pengobatan NSAID
- Manifestasi perdarahan
o Uji bendung positif dan/atau petekie
o Mimisan hebat, menstruasi yang lebih banyak, perdarahan saluran cerna (jarang terjadi,
dapat terjadi pada DD dengan trombositopenia)
c. Demam berdarah dengue Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit, meliputi fase
demam, kritis, dan masa penyembuhan (convalescence, recovery)
Fase demam
12
Anamnesis
Demam tinggi, 2-7 hari, dapat mencapai 40°C, serta terjadi kejang demam. Dijumpai
facial flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan, dan nyeri perut.
Pemeriksaan fisik
o Manifestasi perdarahan
- Uji bendung positif (≥10 petekie/inch2) merupakan manifestasi perdarahan yang paling
banyak pada fase demam awal.
- Mudah lebam dan berdarah pada daerah tusukan untuk jalur vena.
- Petekie pada ekstremitas, ketiak, muka, palatum lunak.
- Epistaksis, perdarahan gusi
- Perdarahan saluran cerna
- Hematuria (jarang)
- Menorrhagia
o Hepatomegali teraba 2-4 cm di bawah arcus costae kanan dan kelainan fungsi hati
(transaminase) lebih sering ditemukan pada DBD.
Berbeda dengan DD, pada DBD terdapat hemostasis yang tidak normal, perembesan
plasma (khususnya pada rongga pleura dan rongga peritoneal), hipovolemia, dan syok, karena
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Perembesan plasma yang mengakibatkan
ekstravasasi cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal terjadi selama 24-48 jam.
Fase kritis
Fase kritis terjadi pada saat perembesan plasma yang berawal pada masa transisi dari saat
demam ke bebas demam (disebut fase time of fever defervescence) ditandai dengan,
13
- Tanda perembesan plasma seperti efusi pleura dan asites, edema pada dinding kandung
empedu. Foto dada (dengan posisi right lateral decubitus = RLD) dan ultrasonografi dapat
mendeteksi perembesan plasma tersebut.
- Terjadi penurunan kadar albumin >0.5g/dL dari nilai dasar / <3.5 g% yang merupakan bukti
tidak langsung dari tanda perembesan plasma.
- Tanda-tanda syok: anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis, nafas cepat,
nadi teraba lembut sampai tidak teraba. Hipotensi, tekanan nadi ≤20 mmHg, dengan
peningkatan tekanan diastolik. Akral dingin, capillary refill time memanjang (>3 detik).
Diuresis menurun (< 1ml/kg berat badan/jam), sampai anuria.
Fase penyembuhan ditandai dengan diuresis membaik dan nafsu makan kembali merupakan
indikasi untuk menghentikan cairan pengganti. Gejala umum dapat ditemukan sinus bradikardia/
aritmia dan karakteristik confluent petechial rash seperti pada DD.
14
2.8 Penatalaksanaaan
a. Tanda kegawatan pada setiap fase perjalanan penyakit infeksi dengue
1. Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase
bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
2. Muntah yg menetap, tidak mau minum
3. Nyeri perut hebat
4. Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
5. Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat,
warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
6. Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
7. Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
8. Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam
b. Indikasi pemberian cairan intravena
1. Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral ataumuntah
2. Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
3. Ancaman syok atau dalam keadaan syok
c. Prinsip umum terapi cairan pada DBD
1. Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis.
2. Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada
respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan.
3. Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan
cairan intravaskular yang adekuat.
4. Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk
menghitung volume cairan.
15
5. Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis
6. Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
7. Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada
perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS
yang terdiri dari, A –Acidosis: gas darah, B –Bleeding: hematokrit, C –Calsium:
elektrolit, Ca++ dan S –Sugar: gula darah (dekstrostik
16
kemudian kurangi 3-5 ml/kgbb selama 2-4 jam kemudian kurangi lagi2-3 ml/kgbb sampai
respon perbaikan klinis.
g. Perdarahan hebat :
1. Apabila sumber perdarahan dapat diidentifikasi, segera hentikan. Transfusi darah
segera adalah darurat tidak dapat ditunda sampai hematokrit turun terlalu rendah. Bila
darah yang hilang dapat dihitung, harus diganti. Apabila tidak dapat diukur, 10 ml/kg
darah segar atau 5 ml/kg PRC harus diberikan dan dievaluasi.
2. Pada perdarahan saluran cerna, H2 antagonis dan penghambat pompa proton dapat
digunakan.
3. Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti suspense
trombosit, plasma darah segar/cryoprecipitate. Penggunaan larutan tersebut ini dapat
menyebabkan kelebihan cairan
h. DBD enselopati dapat terjadi bersamaan dengan syok atau tidak :
1. Ensefalopati yang terjadi bersamaan dengan syok hipovolemik, maka penilaian
ensefalopati harus diulang setelah syok teratasi.
2. Apabila kesadaran membaik setelah syok teratasi, maka kesadaran menurun atau
kejang disebabkan karena hipoksia yang terjadi pada syok
3. Pertahankan oksigenasi jalan napas yg adekuat dengan terapi oksigen.
17
4. Jika ensefalopati terjadi pada DBD tanpa syok dan masa krisis sudah dilewati maka,
Cegah / turunkan peningkatan tekanan intrakranial dengan,
- Memberikan cairan intravena minimal untuk mempertahankan volume
intravaskular, total cairan intravena tidak boleh >80% cairan rumatan
- Ganti ke cairan kristaloid dengan koloid segera apabila hematokrit terus
meningkat dan volume cairan intravena dibutuhkan pada kasus dengan
perembesan plasma yang hebat.
- Diuretik diberikan apabila ada indikasi tanda dan gejala kelebihan cairan
- Posisikan pasien dengan kepala lebih tinggi 30 derajat.
- Intubasi segera untuk mencegah hiperkarbia dan melindungi jalan napas.
- Dipertimbangkan steroid untuk menurunkan tekanan intrakranial, dengan
pemberian deksametasone
Menurunkan produksi amonia
- Berikan laktulosa 5-10 ml setiap 6 jam untuk menginduksi diare osmotik.
- Antibiotik lokal akan mengganggu flora usus maka tidak diperlukan pemberian
- Pertahankan gula darah 80-100 mg/dl, kecepatan infus glukosa yang dianjurkan
4-6 mg/kg/jam.
- Perbaiki asam basa dan ketidakseimbangan elektrolit
- Vitamin K1 IV dengan dosis : umur < 1tahun : 3mg, <5 tahun : 5mg, >5
tahun:10mg
- Anti kejang phenobarbital, dilantin, atau diazepam IV sesuai indikasi.
- Transfusi darah, lebih baik PRC segar sesuai indikasi. Komponen darah lain
seperti suspense trombosit dan plasma segar beku tidak diberikan karena
kelebihan cairan dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
- Terapi antibiotik empirik apabila disertai infeksi bakterial.
- Pemberian H2 antagonis dan penghambat pompa proton untuk mencegah
perdarahan saluran cerna.
- Hindari obat yang tidak diperlukan karena sebagai besar obat dimetabolisme di
hati.
18
Indikasi Pulang
Pasien dapat dipulangkan apabila telah terjadi perbaikan klinis sebagai berikut :
a. Bebas demam minimal 24 jam tanpa menggunakan antipiretik
b. Nafsu makan telah kembali
c. Perbaikan klinis, tidak ada demam, tidak ada distres pernafasan, dan nadi teratur
d. Diuresis baik
e. Minimum 2-3 hari setelah sembuh dari syok
f. Tidak ada kegawatan napas karena efusi pleura, tidak ada asites
g. Trombosit >50.000 /mm3. Pada kasus DBD tanpa komplikasi, pada umumnya jumlah
trombosit akan meningkat ke nilai normal dalam 3 - 5 hari
2.9 Komplikasi
a. Demam Dengue
Perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan ulkus peptik, trombositopenia hebat, dan
trauma.
b. Demam Berdarah Dengue
1. Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan atau tanpa syok.
2. Kelainan ginjal akibat syok berkepanjangan dapat mengakibatkan gagal ginjal
akut.
3. Edema paru dan/ atau gagal jantung seringkali terjadi akibat overloading pemberian
cairan pada masa perembesan plasma
4. Syok yang berkepanjangan mengakibatkan asidosis metabolik & perdarahan hebat
(DIC, kegagalan organ multipel)
5. Hipoglikemia / hiperglikemia, hiponatremia, hipokalsemia akibat syok
berkepanjangan dan terapi cairan yang tidak sesuai
2.10 Preventif
a. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)
b. Melakukan metode 3 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan tempat perindukan nyamuk)
minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga
c. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan
19
d. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%
e. Foging Focus dan Foging Masal
f. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1 minggu
g. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka waktu 1 bulan
h. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan Swing Fog
2.11 Prognosis
- Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik.
- Prognosis buruk jika sudah terjadi perdarahan berat dan komplikasi, dapat menyebabkan
kematian jika syok tidak teratasi.
20
DAFTAR PUSTAKA
Department Of Health And Human Services Centers For Disease Control And Prevention.
Dengue And Dengue Hemorrhagic Fever. 2011.
Gubbler DJ, Epidemic dengue/Dengue Hemorrhagic Fever as Public Helath. Social and
Economic Problem in 21st Century, Trends in Microbiology, Vol 10 (2), February, 2012: 100-
103.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi Demam Berdarah
Dengue. 2010.
World Health Organization. Comprehensive Guidelines For Prevention And Control Of
Dengue Hemmoragic Fever. 2011.
World Health Organization. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention And
Control. 2009.
21