Anda di halaman 1dari 9

Laporan Kasus

Rencana Baca
Hari / Tanggal : Senin/14-01-2019
Pukul : 12.00 WIB
Tempat : RSUP HAM

GANGGUAN BERKEMIH PADA


PASIEN HERPES ZOSTER

Pembimbing : dr. Ariyati Yosi, Sp.KK, M.Ked(KK)


Penyaji : dr. Tengku Noorsharifa Dayang Bestari Sinar

DIVISI DERMATOLOGI UMUM


PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
2019

0
GANGGUAN BERKEMIH PADA PASIEN HERPES ZOSTER

Pendahuluan
Herpes zoster (HZ) adalah suatu infeksi papulovesikuler akut mengenai kulit dan
mukosa yang disebabkan oleh reaktivasi virus varisela zoster (VVZ), yang berdiam dalam sel
neuronal dan kadang-kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan ganglion
sensorik saraf kranial dan bermanifestasi sebagai ruam vesikular nyeri sepanjang distribusi
dermatomal.1,2 Insidensi HZ meningkat sesuai dengan pertambahan usia dan jarang mengenai
anak dan remaja. Insiden HZ pada anak-anak 0,74/1000 kasus per tahun, meningkat menjadi
2,5/1000 kasus pertahun untuk kelompok usia 20-50 tahun, 7/1000 kasus per tahun di usia
60-80 tahun dan mencapai 10/1000 kasus per tahun diatas usia 80 tahun. Terdapat 2232
pasien herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia pada tahun 2011-2013.
Puncak kasus HZ terjadi pada usia 45-64 (37.95% dari total kasus HZ).2
Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan reaktivasi adalah pajanan VVZ
sebelumnya (cacar air, vaksinasi), usia lebih dari 50 tahun, keadaan imunokompromais, obat-
obatan imunosupresif, Human Immunodeficiency Virus Iinfection and Acquired Immune
Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), transplantasi sumsum tulang atau organ, keganasan,
terapi steroid jangka panjang, stres psikologis, trauma dan tindakan pembedahan.2,3
Infeksi primer VVZ terjadi dari droplet udara yang terinfeksi ke permukaan mukosa
yang belum terinfeksi. Awal replikasi virus berada pada tonsil dan jaringan limfoid,
kemudian diikuti dengan viremia primer setelah 4-7 hari. Virus menyebar ke organ internal
dan selanjutnya terjadi viremia sekunder setelah 10-21 hari setelah infeksi. Virus mencapai
permukaan kulit saat viremia sekunder dan menghasilkan karakteristik varisela. Pada infeksi
primer, VVZ masuk ke saraf sensorik kutaneus dan bermigrasi secara sentripetal mengikuti
serabut saraf untuk mencapai ganglia saraf sensorik. Latensi terjadi pada ganglia sensorik ini
oleh inkorporasi virus nukleoprotein di dalam sel ganglion. Seiring dengan menurunnya
imunitas seluler VVZ spesifik sebagai akibat dari bertambahnya umur atau imunosupresi,
virus dapat teraktivasi dan berjalan sepanjang saraf sensorik perifer untuk mencapai
permukaan mukokutan yang dipersarafi oleh ganglia dimana virus direaktivasi. Virus akan
reaktivasi dari ganglion turun melalui axon saraf ke sel epitel berreplikasi dan menyebabkan
zoster dermatomal.2,4
Gambaran klinis HZ dimulai dengan gejala prodromal, kemudian rasa terbakar atau
kesemutan ringan sampai sedang dan pada beberapa kasus mati rasa pada daerah dermatom
yang terkena. Sering disertai demam, menggigil, sakit kepala, sakit perut dan malaise.1,4
1
Dermatom yang sering terserang adalah torakalis (53%), servikal C2,3,4 (20%),
oftalmikus (15%) dan lumbosakral (11%).3 Lesi pada herpes zoster cenderung berkembang
lebih lambat dan vesikel berkelompok dengan dasar eritematosa, dibanding varisela yang
lebih diskret, dan tersebar secara acak. Perbedaan ini mencerminkan penyebaran intraneural
virus ke kulit. Berbeda dengan varisela, lesi HZ awalnya berupa makula eritematosa dan
papul muncul pada cabang superfisial saraf sensorik. Vesikel muncul 12-24 jam dan menjadi
pustul pada hari ketiga. Ruam ini akan kering dan menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta ini
bertahan 2-3 minggu. Pada individu normal, lesi baru akan terus muncul sampai 1-4 hari
(paling lama 7 hari).1
Diagnosis HZ sudah dapat ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala klinis.1
Pemeriksaan darah rutin tidak membantu diagnosis.1 Namun pemeriksaan penunjang seperti
tes Tzanck, kultur virus, pemeriksaan histologi, tes titer antibodi dan tes Polymerase Chain
Reaction (PCR) dapat juga dilakukan untuk penunjang diagnosis.1,6
Komplikasi dan komorbid dari HZ dapat berupa keterlibatan motorik, post-herpetic
neuralgia (PHN) dan komplikasi lainnya. Keterlibatan motorik belum sepenuhnya dipahami,
HZ pada daerah anogenital dapat menyebabkan gangguan defekasi atau berkemih.
Kelemahan motorik ini mengikuti rasa nyeri dan erupsi lesi, dan dapat sembuh sendiri.4,5
Tujuan utama terapi pada pasien HZ yaitu untuk mempercepat penyembuhan,
mencegah kearah yang lebih parah, mengurangi rasa nyeri akut dan kronis dan mengurangi
komplikasi.1,6 Terapi antiviral yang dapat diberikan asiklovir, famciclovir, dan valaciclovir,
dimana obat ini dapat menghambat replikasi VVZ.7,8 Selama fase akut HZ, dapat diberikan
kompres dingin, losio kalamin yang dapat membantu meringankan gejala lokal dan
mempercepat pengeringan lesi vesikel.1 Dosis asiklovir pada anak-anak <12 tahun sebesar
30mg/kgBB selama 7 hari, sedangkan pada anak-anak usia >12 tahun diberikan dosis 60
mg/kgBB.2

Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun datang dengan keluhan utama gelembung
berisi cairan disertai rasa nyeri pada lipat paha sejak 4 hari yang lalu. Awalnya berupa bercak
kemerahan yang terasa panas, kemudian timbul gelembung-gelembung kecil berisi cairan
pada daerah lipat paha. Satu hari sebelum berobat, pasien mengeluh sulit berkemih dan nyeri
saat berkemih. Badan meriang, kepala nyeri dan badan pegal-pegal disangkal. Pasien pernah
menderita cacar air saat berusia 3 tahun. Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi. Di keluarga tidak ada yang menderita
2
penyakit yang sama. Riwayat kontak dengan orang yang menderita cacar air disangkal,
riwayat alergi atau kontak dengan bahan iritan disangkal, riwayat alergi terhadap obat-obatan
disangkal. Riwayat imunisasi: imunisasi dasar lengkap di puskesmas, tidak pernah imunisasi
cacar.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai keadaan umum baik, berat badan: 22 kg, tinggi
badan : 120 cm, frekuensi nadi : 90x/menit, frekuensi pernafasan : 16x/menit, Suhu tubuh
afebris.
Pada pemeriksaan dermatologis didapati pada regio inguinalis dextra dan sinistra
(lumbal 1) terdapat vesikel multipel berkelompok berukuran milier sampai lentikuler dengan
dasar eritematosa tersebar secara dermatomal. Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
apapun.
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah herpes zoster. Pasien didiagnosis banding
dengan herpes zoster, impetigo bulosa, dan dermatitis kontak.

Gambar 1. Foto pasien pada pertemuan pertama. Pada regio inguinalis dextra dan sinistra
(lumbal 1) terdapat vesikel multipel berkelompok berukuran milier sampai lentikuler dengan
dasar eritematosa tersebar secara dermatomal.

Pasien diterapi parasetamol 250 mg jika nyeri dan kompres NaCl 0.9% selama 15
mrnit setiap 4-6 jam. Kepada pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit, penularan dan
pengobatan. Pasien disarankan untuk konsultasi ke bagian urologi. Pasien dianjurkan untuk
kontrol 7 hari lagi.
Prognosis quo ad vitam bonam, quo ad functionam bonam, quo ad sanationam dubia
ad bonam.

3
Diskusi
Diagnosis pada kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Pasien merupakan seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dengan keluhan gelembung berisi
cairan disertai rasa nyeri pada lipat paha hari yang lalu. Pasien juga memiliki riwayat cacar
air saat berusia 3 tahun. Hal ini sesuai kepustakaan bahwa herpes zoster merupakan
manifestasi klinis dari reaktiviasi virus varisela zoster yang berdiam pada sel ganglion radiks
dorsalis sensorik setelah infeksi primer. Insiden meningkat sesuai dengan pertambahan
usia.1,2 Insidensi herpes zoster pada anak-anak dibawah 1 tahun hanya 0.45 per 1000, tetapi
menjadi meningkat sebesar 4.5 per 1000 orang pada individu di atas 75 tahun.9

Gambar 2. Susunan dermatom


Pasien juga mengeluh sulit dan nyeri berkemih. Pada pemeriksaan dermatologis pada
regio inguinalis dextra dan sinistra terdapat vesikel multipel berkelompok berukuran milier
sampai lentikuler dengan dasar eritematosa tersebar secara dermatomal. Herpes zoster dapat
dimulai dengan gejala prodromal yang terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam kulit, yaitu
berupa demam, malaise, nyeri kepala, dan nyeri pada daerah yang nantinya akan timbul lesi
(± 1-10 hari sebelum timbul lesi).1 Lesi yang mulanya berupa vesikel kemudian dapat
berubah menjadi pustul yang akan kering dan membentuk krusta pada 5-10 hari berikutnya
dan kemudian akan sembuh dalam 1-3 minggu.1 HZ biasanya mempengaruhi daerah torakalis
dan lumbalis (T3-L3), dan HZ pada sakrum hanya ditemukan 4%-8% pada kasus.10 Hanya
4% pasien yang mengalami disfungsi berkemih pada herpes zoster, akan tetapi rasionya
sebesar 29% pada pasien dengan virus di dermatom lumbosakral. HZ pada area ini dapat
menyebabkan disfungsi berkemih, akan tetapi disfungsi ini jarang menjadi gejala pertama
pada HZ.8 Saraf neuron yang meninervasi kulit di bagian sakrum, kandung kemih dan 2/3

4
distal kolon dan neuron motorik parasimpatetis yang menginervasi visera yang sama,
kesemuanya ini dibertemu pada tingkat S2 sampai S4. Hal ini diyakini bahwa perdarahan
ganglionik, nekrosis dan inflamasi dari pembuluh darah yang disebabkan reaktivasi VVZ
dalam beberapa kasus, dapat menyebar melampaui neuron sensorik sampai melibatkan saraf
perifer.11 Kandung kemih menerima inervasi saraf simpatetis dari T10 hingga L2, kemudian
ke ganglion saraf hipogastrik dan ke saraf hipogastrik. Fungsi simpatetis ini untuk
menghambat kontraksi otot detrusor sementara. Mekanisme lain yang menjelaskan disfungsi
viseral yang terkait HZ. Lesi herpes dapat mempengaruhi epitel kandung kemih dan
menyebabkan inflamasi lokal dan disfungsi organ.11,12 Kelainan ini dapat bermanifestasi
sebagai disuria, frekuensi berkemih meningkat, dan hasil laboratorium mengarah ke
sistitis.11,12
Pasien ini didiagnosis banding dengan herpes zoster, impetigo bulosa, dan dermatitis
kontak. Diagnosis impetigo bulosa disingkirkan karena pada impetigo bulosa lesi yang
dijumpai berupa vesikel dan bula jika pecah akan tampak kolaret, dimana lesi biasanya
berlokasi di daerah leher, ketiak dan wajah serta tidak terdistribusi sesuai dermatom.12
Diagnosis dermatitis kontak disingkirkan karena dari anamnesis tidak ada riwayat kontak
dengan bahan-bahan yang dapat menimbulkan dermatitis kontak. Lesi dermatitis kontak
ditandai dengan eritema pada daerah paparan, papul, vesikel, bula yang bila bula pecah akan
membentuk krusta dan kemudian terjadi skuama.14
Penatalaksanaan pada pasien ini parasetamol 250 mg tablet jika demam atau nyeri.
Tujuan utama pengobatan HZ adalah untuk membatasi perluasan, durasi, dan keparahan nyeri
dan ruam, mencegah penyakit di tempat lain, dan mencegah post-herpetic neuralgia (PHN).
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin, sebaiknya dalam 1 atau 2 hari pertama sejak onset
ruam. Terdapat kontroversi pemberian asiklovir dimana kebanyakan percobaan terapi herpes
zoster mencatat pasien dengan onset erupsi kulit dalam 72 jam, asiklovir dilaporkan paling
efektif bila diberikan pada 48 jam setelah onset erupsi kulit.1 Pilihan pengobatan berdasarkan
usia pasien, status imun, lama gejala dan gejala klinis. Beberapa studi mengatakan bahwa
pengobatan antiviral menurunkan durasi dari gejala dan kemungkinan PHN, terutama jika
diberikan dalam rentang 3 hari setelah onset ruam. Anak usia 2 hingga 12 tahun yang sehat,
asiklovir oral tidak perlu diberikan. Penelitian Kubeyinje, mengatakan bahwa pemberikan
asiklovir pada anak yang sehat belum dapat dibenarkan secara jelas.15 Parasetamol diberikan
untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien, dimana parasetamol memiliki sifat sebagai
analgesik.2 Dosis pemberian parasetamol sebesar 10-15 mg/kgBB/kali.

5
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad functionam bonam, quo ad
sanationam dubia ad bonam. Komplikasi HZ dihubungkan dengan penyebaran VVZ dari
ganglion sensori, saraf, atau kulit yang terlibat melalui aliran darah ataupun perluasan neural
yang langsung.1,2 Kesembuhan gangguan pada berkemih dapat membaik dengan terapi
konservatif, kesembuhan total dapat dicapai pada minggu ke 4 sampai 10.16

6
DAFTAR PUSTAKA
1. Schmader KE, Oxman ME. Varicella and Herpes Zoster. In : Goldsmith L.A., Katz
S.I., Gilchrest B.A., Paller A.S., Leffell D.J., Wolff K. (Eds.) : Fitzpatrick’s
Dermatology In General Medicine. 8th edition. New York : McGraw-Hill Companies;
2012; p.2383-401.
2. Pusponegoro E, Nilasari H, Lumintang H, Niode NJ, Daili SJ, Djauzi S, editors. Buku
Panduan Herpes Zoster di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2014. 60.p
3. Kawai K, Yawn BP. Risk factors for herpes zoster: a systemic review and meta-
analysis. Mayo Clin Proc. 2017 Des;92(12):1806-21. doi:
10.1016/j.mayocp.2017.10.009
4. Sterling JC. Viral infections. In: Griffiths CEM, Barker J, Bleiker T, Chalmers R,
Creamer D, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 9th ed. West Sussex: John
Wiley & Sons; 2016.p25.77-25.31
5. Grekin JA, Mehregan DA. Sacral zoster with primary complaint of difficulty voiding.
JAAD Case Reports. 2017 Nov;3:509-11. doi: 10.1016/j.jdcr.2017.06.025.
6. Cohen JI. Clinical practice: herpes zoster. The New England Journal of Medicine.
2013;369:255-63.
7. Galuzzi KE. Management strategies for herpes zoster and postherpetic neuralgia. J
Am Osteopath Assoc. 2007;107(3):S8-13.
8. Whitley RJ, Volpi A, McKendrick M, Wijck A, Oaklander AL. Management of
herpes zoster and post-herpetic neuralgia now and in the future. Journal of Clinical
Virology. 2010;48(1):S20-8. doi: 10.1016/S1386-6532(10)70005-6.
9. Prabhu S, Sripathi H, Gupta S, Prabhu M. Childhood herpes zoster: a clustering of ten
cases. Indian J Dermatol. 2009;54(1):62-4.doi: 10.4103/0019-5154.48991
10. Hur J. Sacral Herpes Zoster Associated with voiding dysfunction in a young patient
with scrub typhus. Infect Chemother. 2015 Jun;47(2):133-6. doi:
10.3947/ic.2015.47.2.133.
11. He H, Tang C, Yi X, Zhou W. Herpes zoster-induced acute urinary retention: two
cases and literature review. Niger J Clin Pract. 2018;21:534-7. doi:
10.4103/njcp.njcp_244_16
12. Jakubovicz D, Solway E, Orth P. Herpes zoster Unusual cause of acute urinary
retention and constipation. Can Fam Physician. 2013;59:e146-7.

7
13. Crafl N. Superficial cutaneus infections and pyodermas. In : Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine. 8th edition. New York: McGraw-Hill Companies; 2012. p.2128-47.
14. Usatine RP, Riojas M. Diagnosis and management of contact dermatitis. American
Academy of Familia Physician. 2010;82(3):249-255.
15. Katakam BK, Kiran G, Kumar U. A Prospective Study of Herpes Zoster in Children.
Indian J Dermatol. 2016;61(5):534-9. doi: 10.4103/0019-5154.190121
16. Julia JJ, Cholhan HJ. Herpes zoster-associated acute urinary retention: a case report.
Int Urogynecol. 2007;18:103-4. doi: 10.1007/s00192-006-0066-1.

Anda mungkin juga menyukai