Anda di halaman 1dari 34

Laboratorium Obgyn Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

KETUBAN PECAH DINI

Oleh
Dyah Anugrah Pratama
1210015018

Dosen Pembimbing Klinik


Dr. dr. Novia Fransiska Ngo, Sp. OG

LAB / SMF OBGYN


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmatNya


penyusun dapat menyelesaikan Laporan Kasus tentang “Ketuban Pecah Dini”.
Laporan ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium
Obstertri dan Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Novia Fransiska Ngo,
Sp. OG. selaku Dosen Pembimbing Klinik yang telah memberikan bimbingan kepada
penyusun dalam penyelesaian Laporan Kasus ini. Penyusun menyadari terdapat
ketidaksempurnaan dalam laporan ini, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan
saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga dapat bermanfaat bagi penyusun
sendiri dan para pembaca.

Samarinda, September 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................ 1
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 4
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 6
1.3. Manfaat ......................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 7
2.1. Definisi........................................................................................................... 7
2.2. Epidemiologi ................................................................................................. 7
2.3. Etiologi........................................................................................................... 8
2.4. Mekanisme .................................................................................................... 13
2.5. Tanda dan Gejala Klinis ................................................................................ 13
2.6. Diagnosis ....................................................................................................... 14
2.7. Penatalaksanaan ............................................................................................. 16
2.8. Komplikasi .................................................................................................... 18
2.9. Pencegahan .................................................................................................... 19
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 20
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................... 28
BAB V KESIMPULAN ...................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Angka kematian ibu dan angka kematian perinatal merupakan tolak ukur
keberhasilan dan kemampuan pelayanan kesehatan suatu negara diukur dengan angka
kematian ibu dan angka kematian perinatal. Berdasarkan hasil Survei Demografi
Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu (AKI) yaitu
359/100.000 Kelahiran Hidup (KH), dan tahun 2008, 4.692 jiwa ibu melayang
dimasa kehamilan, persalinan, dan nifas (Depatemen Kesehatan RI [Depkes RI],
2012). Penyebab langsung utama morbiditas maternal termasuk perdarahan, infeksi,
tekanan darah tinggi, aborsi yang tidak aman, dan partus macet. Salah satu penyebab
langsung kematian ibu adalah karena infeksi sebesar 20-25% dalam 100.000
kelahiran hidup (Manuaba, 2009).
Angka Kematian Neonatal (AKN) di Indonesia sebesar 19 kematian per 1000
kelahiran hidup dan Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 32 kematian per 1000
kelahiran hidup (Depkes RI, 2012). Di antara seluruh kematian neonatal, 75 % terjadi
pada minggu pertama kehidupan dan dari jumlah kematian tersebut, 225-45 % terjadi
dalam 24 jam pertama. Penyebab utama kematian neonatus adalah prematuritas dan
berat badan lahir rendah, infeksi, asfiksia, trauma persalinan, dan abnormalitas
kongenital. Dua per tiga kematian neonatus dapat dicegah bila tersedia intervensi
kesehatan yang umum dan efektif selama kehamilan, persalinan, dan minggu pertama
kehidupan (Yaze & Dewi, 2016).
Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Spontaneous/early/premature rupture of
membran merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan tanpa disertai tanda-
tanda persalinan (FK Unhas, 2000). KPD adalah kejadian yang terjadi saat kehamilan
yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Kejadian
KPD mendekati 10% dari semua persalinan. Pada umur kehamilan kurang dari 34
minggu kejadiannya sekitar 4% (Manuaba, 2009). Kasus tersebut merupakan masalah

4
penting dalam obstetri berkaitan dengan penyulit kelahiran prematur dan komplikasi
infeksi korioamnionitis hingga sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas
perinatal dan menyebabkan infeksi pada ibu (Yaze & Dewi, 2016). Kejadian KPD
ada pada sekitar sepetiga dari kelahiran prematur. Ini biasanya berhubungan dengan
periode singkat antara pecah ketuban dan pelahiran, penigkatan risiko infeksi
perinatal, dan kompresi tali pusat. Kasus ini dapat terjadi pada usia kehamilan
preterm maupun aterm. Angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi pada KPD
prematur berkaitan baik secara independen maupun dengan peningkatan angka
kelahiran prematur (Manuaba, 2009).
Penyebab KPD adalah multifaktorial, dimana kondisi yang menyebabkan
peregangan berlebihan pada uterus seperti kehamilan ganda dan polihidramnion
merupakan predisposisi terjadinya KPD. Faktor lain terjadinya KPD berupa
kebiasaan merokok, riwayat koitus 24 jam sebelumnya, infeksi, status nutrisi,
penderita diabetes mellitus, hipertensi, ras, status sosioekonomi rendah yang
berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, dan penyakit menular
seksual (chlamydia trachomatis dan nescheria gonorrhea). Selain itu, infeksi yang
terjadi secara langsung pada selaput ketuban, fisiologi selaput amnion/ketuban yang
abnormal, serviks yang inkompetensia, dan trauma oleh beberapa ahli disepakati
sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya ketuban pecah dini (Sualman,
2009).
Penelitian lain di sebuah Rumah Bersalin Tiyanti, Maospati Jawa Barat,
menyebutkan faktor paritas yaitu pada multipara sebesar 37,59% juga mempengaruhi
terjadinya ketuban pecah dini, selain itu riwayat ketuban pecah dini sebelumnya
sebesar 18,75% dan usia ibu yang lebih dari 35 tahun mengalami ketuban pecah dini.
Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual dan pemeriksaan dalam. Namun
kebanyakan kasus KPD terjadi tanpa faktor risiko (Yaze & Dewi, 2016). Efek pada
ibu adalah korioamnionitis, tindakan operatif, dan sepsis puerperal, sedangkan pada
janin komplikasi yang sering terjadi ialah prematuritas, gawat janin ataupun kematian
janin akibat penekanan tali pusat (Cunningham, 2012).

5
1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang KPD dan perbandingan antara teori dengan kasus nyata
KPD.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui teori tentang KPD yang mencakup:
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Mekanisme
e. Tanda dan Gejala
f. Diagnosis
g. Penatalaksanaan
h. Komplikasi
i. Pencegahan
2. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus nyata KPD yang terjadi di
Ruang VK Mawar RSUD Abdul Wahab Syahranie Samarinda.

1.3 Manfaat
1.3.1. Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya tentang KPD.
1.3.2. Manfaat bagi Pembaca
Laporan ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca mengenai
KPD.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Ketuban Pecah Dini


KPD adalah pecahnya ketuban sebelum waktu melahirkan yang terjadi pada
saat akhir kehamilan maupun jauh sebelumnya. Beberapa penulis mendefinisikan
KPD yaitu apabila ketuban pecah spontan tanpa di ikuti adanya tanda-tanda
persalinan. Ada juga teori yang menghitung durasi waktu pecahnya selaput ketuban
sebelum inpartu, yaitu 1 atau 6 jam sebelum inpartu. Ada juga yang menyatakan
dalam ukuran pembukaan serviks 3 cm pada primigravida dan kurang dari 5 cm pada
multigravida. Definisi yang lain menyebutkan bahwa KPD adalah pecahnya ketuban
sebelum terdapat tanda-tanda persalinan mulai dan ditunggu satu jam belum terjadi
inpartu. Sebagian ketuban pecah dini terjadi pada kehamilan aterm lebih dari 37
minggu sedangkan kurang dari 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba, 2009).
KPD didefinisikan sesuai dengan jumlah jam dari waktu pecah ketuban sampai
awitan persalinan yaitu interval periode laten yang dapat terjadi kapan saja dari 1-12
jam atau lebih. Insiden KPD banyak terjadi pada wanita dengan serviks inkopenten,
polihidramnion, malpresentasi janin, kehamilan kembar, atau infeksi vagina (FK
Unhas, 2000). Dari beberapa definisi KPD di atas maka dapat disimpulkan bahwa
KPD adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda tanda persalinan.

2.2. Epidemiologi Ketuban Pecah Dini


Insidensi KPD dapat terjadi pada kehamilan aterm maupun preterm. Kejadian
ini juga dapat terjadi pada midtrimester kehamilan. Frekuensi kejadiannya yaitu 8%
pada kehamilan aterm, 1-3 % pada kehamilan preterm, dan 1 % pada midtrimester
kehamilan. Secara umum, insiden dari KPD terjadi sekitar 7-12 %. Insidensi KPD
terjadi pada 12 % dari semua kehamilan (Yaze & Dewi, 2016).

7
2.3. Etiologi Ketuban Pecah Dini

Penyebab KPD belum diketahui dengan pasti, namun dengan pendekatan


fisiologis dapat dilihat kemungkinan penyebabnya. Selaput yang menyelubungi janin
terdiri dari lapisan amnion dan korion. Amnion adalah lapisan yang lebih dalam,
walaupun lebih tipis. Lapisan ini lebih kuat dari pada korion. Korion menempel ke
permukaan luar pada desidua Keseimbangan terdapat pada faktor intrinsik yang
mengatur sintesis jaringan penghubung dan degradasi dari amnion dan korion, dan
suatu enzim yang bernama metallo proteninase yang mengkatabolisme komponen
ekstraseluler, juga inhibitor dari enzim tersebut. Mendekati cukup bulan, metabolisme
proteolisis dari membran mendominasi, sehingga konsentrasi kolagen pada
membrane menurun, membuat membran menjadi lemah dan robek. Tetapi, membran
yang pecah sebelum kehamilan cukup bulan sepertinya lebih karena mekanisme fokal
bukan karena melemah ataupun menipisnya membran (Cunningham, 2012).
Cairan amnion yang mengelilingi janin ini sangat penting karena berfungsi
sebagai bantalan untuk melindungi janin dari tekanan. Jika selaput ketuban pecah,
maka mekanisme bantalan tersebut akan terganggu, dan sebagai tambahan akan
terjadi hubungan langsung dari vagina ke kavum uteri sehingga membuka jalan untuk
irregular pada tingkat mikroskopik, degenerasi fokal kolagen ditambah dengan
infeksi bakteri dianggap dapat menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya korion
amnion dan menimbulkan KPD (Cunningham, 2012).
Meskipun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya secara
langsung masih belum diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa
laporan menyebutkan faktor-faktor yang berhubungan erat dengan ketuban pecah
dini, namun faktor-faktor yang lebih berperan sulit diketahui (Sualman, 2009).
Faktor-faktor tersebut antara lain adalah:
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).
Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Korioamnionitis merupakan

8
komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat berlanjut menjadi
sepsis (Prawirohardjo, 2008).
b. Infeksi genitalia
Meskipun Chlamydia trachomatis adalah patogen bakteri paling umum
yang ditularkan lewat hubungan seksual, tetapi kemungkinan pengaruh infeksi
serviks oleh organisme ini pada ketuban pecah dini dan kelahiran preterm
belum jelas. Pada wanita yang mengalami infeksi ini banyak mengalami
keputihan saat hamil juga mengalami ketuban pecah dini kurang dari satu jam
sebelum persalinan dan mengakibatkan berat badan lahir (Cunningham, 2012).
Dari berbagai macam keputihan yang dapat terjadi selama kehamilan, yang
paling sering adalah kandidiosis vaginalis, vaginosisbakterial dan trikomoniasi.
(Sualman, 2009).
Infeksi akut lain yang sering menyerang daerah genital pada ibu hamil ini
termasuk herpes simpleks dan infeksi saluran kemih (ISK) dan sering menjadi
faktor penyebab pada kelahiran preterm dan bayi berat badan rendah
(Chapman, 2006).
c. Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi (inkompetensia).
Hal ini didasarkan pada adanya ketidakmampuan serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Inkompetensi serviks sering menyebabkan
kehilangan kehamilan pada trimester kedua. Kelainan ini dapat berhubungan
dengan kelainan uterus yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian
besar kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks pada terminasi
kehamilan atau laserasi obstetrik (Prawirohardjo, 2008).
d. Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban pecah dini.
Trauma yang di dapat misalnya hubungan seksual saat hamil baik dari
frekuensi yang lebih dari 3 kali seminggu, posisi koitus yaitu suami diatas dan
penetrasi penis yang sangat dalam sebesar 37,50% memicu terjadinya ketuban
pecah dini, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan

9
terjadinya ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak
janin misalnya letak lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi
pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran
bagian bawah (Sualman, 2009).
e. Faktor paritas dan graviditas.
Faktor paritas terbagi menjadi primipara dan multipara. Primipara adalah
wanita yang pernah hamil sekali dengan janin mencapai titik mampu bertahan
hidup. Ibu primipara yang mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan
kondisi psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan fisiologis seperti
emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan (Cunningham, 2012).
Selain itu, hal ini berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir
triwulan kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu dibatasi
dan didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau infeksi maternal.
Sedangkan multipara adalah wanita yang telah beberapa kali mengalami
kehamilan dan melahirkan anak hidup. Wanita yang telah melahirkan beberapa
kali dan mengalami ketuban pecah dini pada graviditas (kehamilan)
sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko
akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan berikutnya. Dengan kata
lain, riwayat graviditas sebelumnya mempengaruhi tingginya resiko ketuban
pecah dini terulang kembali (Cunningham, 2012).
f. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya.
Jika memiliki riwayat KPD, maka seorang ibu akan beresiko 2-4 kali
mengalami ketuban pecah dini kembali. Menurut Maeyer RL, riwayat KPD
pada kehamilan sebelumnya akan meningkatkan risiko kejadian KPD berulang
sebesar 21%15. Riwayat KPD sebelumnya akan meningkatkan risiko KPD
sebesar 28,6%. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat ialah
akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam membran sehingga memicu
terjadinya ketuban pecah dini dan ketuban pecah dini preterm terutama pada
pasien risiko tinggi. Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada

10
kehamilan atau menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita
yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko mengalaminya
kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang tidak mengalami ketuban pecah
dini sebelumnya, karena komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan
kandungan kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya
(Cunningham, 2012).
g. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan.
Terjadinya intra uterin yang meningkat (overdistensi uterus) misalnya
hidramnion dan gemeli dapat menimbulkan KPD. Pada kelahiran kembar
sebelum 37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan bila lebih dari
37 minggu lebih sering mengalami ketuban pecah dini (Cunningham, 2012).
Perubahan pada volume cairan amnion diketahui berhubungan erat dengan hasil
akhir kehamilan yang kurang bagus. Baik karakteristik janin maupun ibu
dikaitkan dengan perubahan pada volume cairan amnion.
h. Usia ibu yang ≤ 20 tahun.
Usia yang kurang dari atau sama dengan 20 tahun termasuk usia yang
terlalu muda dengan keadaan uterus yang kurang matur untuk melahirkan
sehingga rentan mengalami ketuban pecah dini. Sedangkan ibu dengan usia≥ 35
tahun tergolong usia yang terlalu tua untuk melahirkan khususnya pada ibu
primi (tua) dan beresiko tinggi mengalami ketuban pecah dini (Cunningham,
2012).
Usia dan fisik wanita sangat berpengaruh terhadap proses kehamilan
pertama, pada kesehatan janin dan proses persalinan. World Health
Organisation (WHO) memberikan rekomendasi sebagaimana disampaikan
Seno seorang ahli kebidanan dan kandungan dari RSUPN Cipto
Mangunkusumo, Sampai sekarang, rekomendasi WHO untuk usia yang
dianggap paling aman menjalani kehamilan dan persalinan adalah 20 hingga 30
tahun. Kehamilan di usia kurang dari 20 tahun dapat menimbulkan masalah
karena kondisi fisik belum 100% siap (Cunningham, 2012).

11
i. Usia kehamilan dan warna air ketuban
Usia Kehamilan dibagi menjadi kehamilan preterm, aterm dan posterm.
Kehamilan preterm adalah kehamilan sampai dengan 22-37 minggu dan berat
anak <2500 g. Kehamilan aterm adalah kehamilan yang sampai pada 37-40
minggu dengan berat anak >2500 g, sedangkan kehamilan posterm adalah
kehamilan yang melebihi 40 minggu (Manuaba, 2009).
Kehamilan preterm cenderung beresiko untuk terjadi ketuban pecah dini.
Sehingga harus dapat membedakan antara air ketuban dengan air urin.
Umumnya air ketuban tidak berwarna atau bening serta mempunyai bau yang
khas, agak amis dan manis dan bila di tes dengan kertas lakmus maka akan
timbul warna biru (basa) yang membedakan dengan air urin yang bila di tes
dengan kertas lakmus akan timbul warna merah (asam). Bila warna air ketuban
menjadi keruh ataupun berwarna hijau yang dapat menyebabkan gawat janin.
Air ketuban keruh disebabkan oleh jumlah air ketuban yang sedikit biasanya
terjadi pada partus lama. Normalnya air ketuban sekitar >500 cc sampai 1000
cc. Air ketuban berwarna kehijauan disebabkan air ketuban tercampur oleh
mekonium yang berasal dari produk sisa pencernaan bayi yang berasal dari
ususnya. Air ketuban berwarna hijau bisa terjadi pada kehamilan preterm
maupun posterm (Manuaba, 2009).
Pada kehamilan preterm, adanya meconium berhubungan dengan segala
bentuk gangguan pada tali pusat bayi, apabila tali pusat bayi
terganggu,contohnya terlilit, maka bayi akan kekurangan oksigen atau
makanan. Bila bayi kekurangan oksigen, maka sphincter ani akan terbuka
sehingga mekonium akan keluar mengotori air ketuban. Pada kehamilan
posterm, bayi tersebut sudah memiliki fungsi pencernaan yang matang sehingga
mengeluarkan mekonium (Manuaba, 2009).

2.4. Mekanisme Terjadinya Ketuban Pecah Dini

12
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus
dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi
perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena
selaput ketuban rapuh.
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada trimester tiga selaput
ketuban mudah pecah. Melemahnya kekuatan selaput ada hubungannya dengan
pembesaran uterus, kontraksi rahim, dan gerakan janin. Pecahnya ketuban pada
kehamilan aterm merupakan hal fisiologis. Ketuban pecah dini pada kehamilan
prematur disebabkan oleh adanya faktor-faktor eksternal, misalnya infeksi yang
menjalar dari vagina (Prawirohardjo, 2008).
Mekanisme ketuban pecah dini ini terjadi pembukaan prematur serviks dan
membran terkait dengan pembukaan terjadi devolarisasi dan nekrosis serta dapat
diikuti pecah spontan. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin
berkurang. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim proteolitik, enzim kolagenase (Manuaba, 2009). Masa interval
sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi disebut fase laten, makin panjang fase laten,
semakin tinggi kemungkinan infeksi. Semakin muda kehamilan, maka akan semakin sulit
pula pemecahannya tanpa menimbulkan morbiditas janin. Oleh karena itu komplikasi
ketuban pecah dini semakin meningkat (Manuaba, 2009).

2.5. Tanda dan Gejala Ketuban Pecah Dini


Tanda dan gejala pada kehamilan yang mengalami KPD adalah keluarnya cairan
ketuban merembes melalui vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti
bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri
pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena
terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila anda duduk atau berdiri, kepala janin
yang sudah terletak di bawah biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk
sementara. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin
bertambah cepat merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Manuaba, 2009).

13
2.6. Diagnosis Ketuban Pecah Dini
Diagnosis KPD sebagian besar dapat ditegakkan cukup melalui anamnesis saja,
yaitu adanya riwayat keluar cairan dari vagina, tetapi perlu juga dilakukan
pemeriksaan dengan spekulum untuk melihat cairan yang keluar dari kanalis
servikalis dan untuk mengevaluasi apakah telah terjadi dilatasi serviks dan
effacement. Apabila dicurigai terjadi KPD, sangat penting untuk menghindari
pemeriksaan dalam, karena pemeriksaan ini meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas (Manuaba, 2009).
1. Anamnesis
Dari anamnesis, bisa ditegakkan 90 % dari diagnosis. Kadangkala, cairan
seperti urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita
merasa basah pada vagina atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-
tiba dari jalan lahir (Manuaba, 2009).
2. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,
bila ketuban baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan
ini akan lebih jelas.
b. Pemeriksaan Inspekulo
Pemeriksaan ini merupakan langkah pertama dalam mendiagnosis KPD
karena pemeriksaan dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan
risiko infeksi. Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna,
konsentrasi, bau, dan pH-nya. Yang dinilai lainnya adalah:
 Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan pendataran dari
serviks. Dilihat juga prolapse dari tali pusat atau ekstremitas bayi. Bau
dari amnion yang khas juga diperhatikan.

14
 Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung
diagnosis KPD. Melakukan perasat valsava dengan menyuruh pasien
batuk dapat memudahkan melihat pooling,
 Cairan amnion dikonfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.
 Dilakukan pemeriksaan mikroskopis (tes pakis). Jika dengan pooling
dan tes nitrazin masih samar, maka dapat dilakukan pemeriksaan
mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks posterior. Cairan di
swab kemudian dikeringkan di atas gelas objek, kemudian dilihat di
bawah mikroskop. Gambaran ferning menandakan cairan amnion.
 Dapat dilakukan pula kultur dari swab untuk mengetahui apakah ada
bakteri chlamydia, Gonnorhea dan Streptococcus grup B.
Pemeriksaan di atas ditambah dengan tidak adanya kontraksi uterus dan
dilatasi serviks < 3 cm dapat menjadi dasar untuk menegakkan diagnosis
KPD. Terdapat penelitian yang memaparkan bahwa 90% diagnosis KPD
dapat ditegakkan hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan spekulum
saja. Bukti adanya cairan keluar dari liang vagina, atau rembesan dari
serviks waktu pasien batuk atau diberikan tekanan pada fundus, akan
membantu menegakkan diagnosis KPD (Cunningham, 2012). Keluarnya
cairan dari vagina dapat di diagnosis diferensial dengan beberapa keadaan
seperti inkotinensia urin dan keputihan, karena itu perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengkonfirmasi bahwa cairan tersebut adalah cairan
ketuban. Uji Nitrazine dan uji Fern adalah metode diagnostik dengan
menggunakan kertas nitrazine dan uji ferning memiliki sensitivitas sampai
90%. PH normal vagina berkisar antara 4,5 – 6,0, dimana cairan amnion
bersifat lebih alkali dengan pH berkisar antara 7,1 – 7,3. Kertas nitrazine
akan berubah menjadi biru bila PH diatas 6,0; tetapi adanya substansi yang
mengkontaminasi (misalnya darah, semen, atau sabun antiseptik yang
bersifat alkali) dapat juga menyebabkan kertas nitrazine berubah warna

15
menjadi biru, memberikan hasil positif palsu. Bakterial vaginosis dapat
juga menyebabkan hasil serupa. Usap yang terpisah seharusnya digunakan
untuk mendapat cairan dari forniks posterior dan dinding samping vagina.
Jika cairan telah mengering pada satu sisi, dapat diperiksa ferning
(arborization) dengan mikroskop berkekuatan rendah. Adanya ferning
mengindikasikan adanya ferns, dan bahwa mukus serviks dapat
menyebabkan hasil positif palsu (Cunningham, 2012).
3. Pemeriksaan USG
Pada beberapa kasus yang tidak biasa, misalnya dari anamnesis dicurigai
adanya KPD tetapi pemeriksaan fisik gagal untuk mengkonfirmasi diagnosis, maka
pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat membantu pasien dengan hasil tes yang
berlawanan.
4. Pemeriksaan lainnya
Termasuk: Uji Diamine oksidase, permeriksaan α feto protein, amnioskopi dan
injeksi fluorescent intra amnion. Bila tidak tersedia pemeriksaan USG atau situasi
klinis menuntut diagnosis yang tepat (misalnya pada keadaan dimana perlu
ditentukan haruskah pasien dikonsul ke pusat perawatan dengan tingkatan lebih
tinggi), amniosintesis dapat membantu menentukan apakah selaput ketuban telah
pecah.

2.7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan KPD pertama kali adalah dengan memantau secara periodik
beberapa parameter, yaitu tanda vital, kelembekan uterus, hitung leukosit, usap
vagina untuk melihat pola bakteri dan uji kepekaan terhadap antibiotika, USG untuk
melihat volume cairan ketuban, dan kardiotokografi untuk memantau keadaan janin
(Cunningham, 2012).
Pasien KPD dengan usia kehamilan > 36 minggu sebaiknya diinduksi. Induksi
dapat dimulai segera bila sudah terjadi pematangan serviks. Persalinan spontan dapat

16
ditunggu maksimal 24 jam, karena menurut Davies dkk KPD > 24 jam dapat
meningkatkan mortalitas dan morbiditas ibu dan anak (Cunningham, 2012).
Penatalaksanaan KPD menurut Buku Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Primer
di Indonesia:
1. Pembatasan aktivitas pasien.
2. Apabila belum inpartu berikan antibiotik profilaksis.
3. Segera rujuk pasien ke fasilitas pelayanan sekunder.
4. Di RS rujukan, disesuaikan dengan usia kehamilan. Jika:
1. > 34 minggu : lakukan induksi persalinan apabila tidak ada
kontraindikasi.
2. 24-33 minggu :
 bila terdapat amnionitis, abruptio plasenta, dan kematian janin,
lakukan persalinan segera.
 Berikan deksametason 6 mg IM tiap 12 jam selama 48 jam atau
betametason 12 mg IM tiap 24 jam selama 48 jam.
 Lakukan pemeriksaan serial untuk menilai kondisi ibu dan janin.
 Bayi dilahirkan diusia 34 minggu, bila dapat dilakukan pemeriksaan
kematangan paru dan hasil menunjukkan bahwa paru sudah matang.
3. < 24 minggu:
 pertimbangan dilakukan dengan melihat risiko ibu dan janin.
 Lakukan konseling pada pasien. Terminasi kehamilan
mungkin menjadi pilihan.
 Jika terjadi infeksi (korioamnionitis), lakukan tatalaksana
korioamnionitis.
Hal lain yang harus dilakukan adalah konseling dan edukasi. Konseling dan
edukasi yang dilakukan meliputi hal-hal berikut.
1. Memberikan informasi kepada ibu adanya air ketuban yang keluar sebelum
tanda inpartu

17
2. Menenangkan ibu dan memberitahu kepada suami dan keluarga agar ibu dapat
diberi kesempatan untuk tirah baring.
3. Memberi penjelasan mengenai persalinan yang lebih cepat dan rujukan yang
akan dilakukan ke pusat pelayanan sekunder.

2.8. Komplikasi
Komplikasi KPD dapat dibedakan menjadi komplikasi pada ibu dan komplikasi
pada janin. Infeksi pada ibu yang tersering adalah korioamnionitis. Insidens
korioamnionitis berkisar antara 4,2% - 10,5%. Pada KPD risiko korioamnionitis
meningkat sekitar 20% dan peningkatannya berbanding terbalik dengan usia
kehamilan. Pada janin, KPD sering menyebabkan infeksi neonatus seperti sepsis,
asfiksia neonatorum, respiratory distress syndrome, prematuritas, konjungtivitis,
infeksi kulit dan keadaan gawat janin. Ada tiga komplikasi utama yang terjadi pada
ketuban pecah dini adalah peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatal oleh
karena prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran yaitu resiko
resusitasi, dan yang ketiga adanya risiko infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko
infeksi karena ketuban yang utuh merupakan barrier atau penghalang terhadap
masuknya penyebab infeksi (Prawirohardjo, 2008).
Sekitar tiga puluh persen kejadian mortalitas pada bayi preterm dengan ibu
yang mengalami ketuban pecah dini adalah akibat infeksi, biasanya infeksi saluran
pernafasan (asfiksia). Selain itu, akan terjadi prematuritas. Sedangkan, prolaps tali
pusat dan malpresentrasi akan lebih memperburuk kondisi bayi preterm dan
prematuritas. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada ketuban pecah dini,
flora vagina normal yang ada bisa menjadi patogen yang bisa membahayakan baik
pada ibu maupun pada janinnya. Morbiditas dan mortalitas neonatal meningkat
dengan makin rendahnya umur kehamilan (Sualman, 2009).
Komplikasi pada ibu adalah terjadinya risiko infeksi dikenal dengan
korioamnionitis akibat jalan lahir telah terbuka, apalagi bila terlalu sering dilakukan
pemeriksaan dalam. Dari studi pemeriksaan histologis cairan ketuban 50% wanita

18
yang melahirkan prematur, didapatkan korioamnionitis (infeksi saluran ketuban),
akan tetapi sang ibu tidak mempunyai keluhan klinis. Infeksi janin dapat terjadi
septikemia, pneumonia, infeksi traktus urinarius dan infeksi lokal misalnya
konjungtivitis (Sualman, 2009).
Selain itu juga dapat dijumpai perdarahan postpartum, infeksi puerpuralis
(nifas), peritonitis, atonia uteri dan septikemia, serta dry-labor. Ibu akan merasa lelah
karena berbaring di tempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik,
nadi cepat dan tampaklah gejala-gejala infeksi (Manuaba, 2009).

2.9. Pencegahan
Diskusikan pengaruh merokok selama kehamilan dengan ibu, kemudian dukung
usaha untuk mengurangi atau berhenti. Lakukan motivasi untuk menambah berat badan
yang cukup selama hamil dan anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada
trimester akhir bila ada predisposisi (Yaze & Dewi, 2016).

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesa
a) Identitas Pasien
Nama : Ny. H
Usia : 32 tahun.
Alamat : JL.Badak Baru
Pekerjaan : Ibu rumah tangga (IRT).
Pendidikan : SMP
Suku : Mandar
Agama : Islam
MRS : 30 Juli 2016 pukul 15.30 WITA

b) Identitas Suami
Nama : Tn. AL
Usia : 35 Tahun
Alamat : JL.Badak Baru
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SMP
Suku : Jawa
Agama : Islam

c) Keluhan Utama:
Keluar cairan bening sejak pukul 10.30 WITA.

d) Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang datang dengan keluhan keluar air-air sejak pukul 10.30 WITA
banyaknya ± 2x ganti kain, warna jernih dan tidak berbau. Pasien tidak

20
mengeluh perut terasa kencang-kencang. Riwayat keluar darah dan lendir (+),
riwayat trauma (-), riwayat post coital (-). Gerakan anak masih dirasakan.

e) Riwayat Haid
Menarche pada usia 13 tahun, lama haid ± 4 hari, jumlah darah haid : ganti
pembalut 2-3 kali sehari.
 HPHT : 22-11-2016
 TP : 29-08-2017

f) Status Pernikahan
Pasien menikah 1 kali sejak usia 23 tahun. Lama usia pernikahan sekarang
adalah 8 tahun.

g) Riwayat Kontrasepsi
Pasien menggunakan pil mini selama 7 bulan, kemudian dilanjutkan dengan
IUD selama 4 tahun.

h) Riwayat Obstetri
Keadaan
N Tahun Tempat Umur Jenis Penolong Jenis Kelamin
Anak
o Partus Partus kehamilan Persalinan Persalinan Anak/ BB
Sekarang
Spontan per
1 2009 Bidan Aterm Bidan L / 3100 gr Sehat
vaginam
RSUD Dokter
2 2010 AM Aterm SC a.i. KPD Spesialis L / 3100 gr Sehat
Parikesit Obsgyn
3 2016 Hamil ini

i) Riwayat Penyakit Dahulu

21
Pasien pernah menjalani operasi SC 6 tahun yang lalu di RSUD AM Parikesit
Tenggarong atas indikasi Ketuban Pecah Dini.

j) Riwayat Penyakit Keluarga


-

3.2 Pemeriksaan Fisik


a) Berat badan : 53 kg
b) Tinggi badan : 156 cm
c) Keadaan umum : Sedang
d) Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)
e) Tanda vital
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Frekuensi nadi : 96 kali/menit
Frekuensi nafas : 26 kali/menit
Suhu : 36.8 0C
f) Status generalisata
Kepala / leher : mata cowong (-/-), konjunctiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-)
Thorax
- Pulmo
Inspeksi : bentuk dan pergerakan simetris
Palpasi : fremitus raba dextra=sinistra
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-/-)
- Cor
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : batas kanan ICS 2I parasternal line dextra

22
batas kiri ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Lihat status ginekologi
Ekstremitas : edema -/-, akral hangat
g) Status ginekologi :
1) Inspeksi : Perut membesar arah memanjang, linea nigra
hiperpigmentadi, striae albicans (-)
2) Palpasi :
 Tinggi fundus uteri : 32 cm.
 Leopold I : teraba bagian lunak (bokong)
 Leopold II : punggung janin terletak di kanan ibu
 Leopold III : teraba bagian bulat keras (kepala)
 Leopold IV : belum masuk PAP
 His :-
3) DJJ : 133 x/menit
4) Vaginal Tocher : Tidak dilakukan

3.3 Pemeriksaan Penunjang


- Laboratorium:
- Hb : 8,5 g/dl
- WBC : 24.400/mm3
- HCT : 27,1 %
- PLT : 264.000/mm3
- BT : 3’
- CT : 12’
- GDS : 65 mg/dl
- Ur : 20
- Cr : 0,5

23
- Na+ : 138
- K+ : 3,2
- Cl- : 117
- HbSAg : Non reaktif
- 112 : Non reaktif
- pH lakmus :6

3.4 Diagnosis
G3P2A0 gravid 36-37 minggu, janin tunggal hidup intrauterin + belum inpartu +
Ketuban Pecah Dini + BSC 1 x 6 tahun yang lalu + Anemia

3.5 Penatalaksanaan
- SC dan MOW pukul 20.00 WITA.

3.6 Follow Up

24
Rencana tindakan dan
Tanggal Follow up
Penatalaksanaan
15.30 WITA Menerima pasien dari IGD Lapor Sp.OG :
S: Pasien mengeluhkan pengeluaran cairan  Rencana SC pukul 20.00
bening sejak pukul 10.30 WITA. WITA
O : KU Baik, CM  Meminta persetujuan
TD: 90/60 mmHg, HR:96x/mnt pasien dan suami untuk
RR:26x/mnt, Temp: 36,8ºC dilakukan tubektomi
Inspeksi: Linea nigra hiperpigmentasi
Palpasi:
 Tinggi fundus uteri : 32 cm.
 Leopold I : teraba bagian lunak.
 Leopold II : punggung janin terletak
di kanan ibu.
 Leopold III : teraba bagian bulat keras.
 Leopold IV : belum masuk PAP
DJJ 133 x/menit , HIS -
VT tidak dilakukan

A : G3P2A0 gravid 36-37 minggu, janin


tunggal hidup intrauterin + belum inpartu +
Ketuban Pecah Dini + BSC 1 x 6 tahun yang
lalu + Anemia

17.30 S: Pengeluaran air-air per vaginam (-) Pro SC pukul 20.00 WITA
O : KU Baik, CM
TD: 120/70 mmHg, HR: 81x/mnt
RR:21x/mnt, Temp: 36,5ºC
DJJ 159 x/ menit

25
His = -
A : G3P2A0 gravid 36-37 minggu, janin tunggal
hidup intrauterin + belum inpartu + Ketuban
Pecah Dini + BSC 1 x 6 tahun yang lalu +
Anemia

19.00 WITA S: Pengeluaran air-air per vaginam (-) Pro SC pukul 20.00 WITA
O : KU Baik, CM
TD: 120/80 mmHg, HR: 76x/mnt
RR:21x/mnt, Temp: 36,7ºC
DJJ 137 x/ menit
His= -
A : G3P2A0 gravid 36-37 minggu, janin tunggal
hidup intrauterin + belum inpartu + Ketuban
Pecah Dini + BSC 1 x 6 tahun yang lalu +
Anemia

21.00 WITA Pasien masuk OK IGD untuk dilakukan SC dan Instruksi Post Operasi
tubektomi Sp.OG:
Bayi lahir pukul 21.40 WITA, jenis kelamin • IVFD RL + oxytocin
laki-laki, BB= 3300 gr, PB= 51 cm, A/S= 9/10 20 tpm
A/C +/- • Inj cefotaxime 3x1 g
• Inj Antrain 3x1 g
A: P3A0 Post SC a/i Ketuban Pecah Dini dan • Inj ranitidin 2x1 amp
Tubektomi • Inj Kalnex 3x 1 amp
• Cek DL post op

26
BAB IV
PEMBAHASAN

Berikut adalah perbandingan antara teori dan fakta pada kasus ini. Perbandingan
dibuat dalam bentuk tabel agar lebh mudah dipahami.
Teori Fakta
Anamnesis Adanya riwayat keluar cairan dari vagina. Pasien datang datang dengan
Penderita merasa basah pada vagina atau keluhan keluar air-air sejak
mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba- pukul 10.30 WITA banyaknya ±
tiba dari jalan lahir. 2x ganti kain, warna jernih dan
tidak berbau. Pasien tidak
mengeluh perut terasa kencang-
kencang. Riwayat keluar darah
dan lendir (+), riwayat trauma
(-), riwayat post coital (-).
Gerakan anak masih dirasakan.

Gejala - Tanda dan gejala pada kehamilan yang Pasien datang datang dengan
mengalami KPD adalah keluarnya cairan keluhan keluar air-air sejak
ketuban merembes melalui vagina. pukul 10.30 WITA banyaknya ±
Aroma air ketuban berbau amis dan tidak 2x ganti kain, warna jernih dan
seperti bau amoniak, mungkin cairan tidak berbau.
tersebut masih merembes atau menetes,
dengan ciri pucat dan bergaris warna
darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau
kering karena terus diproduksi sampai
kelahiran. Tetapi bila anda duduk atau
berdiri, kepala janin yang sudah terletak
di bawah biasanya mengganjal atau

27
menyumbat kebocoran untuk sementara.
Demam, bercak vagina yang banyak,
nyeri perut, denyut jantung janin
bertambah cepat merupakan tanda-tanda
infeksi yang terjadi.
Pemeriksa a. Inspeksi Inspeksi : Perut membesar
an fisik Pengamatan dengan mata biasa akan arah memanjang, linea nigra
tampak keluarnya cairan dari vagina, bila hiperpigmentadi, striae albicans
ketuban baru pecah dan jumlah air (-)
ketuban masih banyak, pemeriksaan ini
akan lebih jelas. Palpasi :
b. Pemeriksaan Inspekulo  Tinggi fundus uteri : 32 cm.
Pemeriksaan ini merupakan langkah  Leopold I : teraba bagian
pertama dalam mendiagnosis KPD lunak (bokong)
karena pemeriksaan dalam seperti  Leopold II : punggung janin
vaginal toucher dapat meningkatkan terletak di kanan ibu.
risiko infeksi. Cairan yang keluar dari  Leopold III: teraba bagian
vagina perlu diperiksa: warna, bulat keras (kepala)
konsentrasi, bau, dan pH-nya. Yang  Leopold IV : belum
dinilai lainnya adalah: masuk PAP
 Keadaan umum dari serviks, juga  His :-
dinilai dilatasi dan pendataran dari
serviks. Dilihat juga prolapse dari tali
DJJ : 133 x/menit
pusat atau ekstremitas bayi. Bau dari
amnion yang khas juga diperhatikan.
Vaginal Tocher :
 Pooling pada cairan amnion dari
Tidak dilakukan
forniks posterior mendukung diagnosis
KPD. Melakukan perasat valsava
dengan menyuruh pasien batuk dapat

28
memudahkan melihat pooling,
Pemeriksa  Cairan amnion dikonfirmasikan Laboratorium:
an dengan menggunakan nitrazine test. Hb : 8,5 g/dl
Penunjang  Dilakukan pemeriksaan mikroskopis WBC : 24.400/mm3
(tes pakis). HCT : 27,1 %
 Pemeriksaan USG PLT : 000/mm3
Pada beberapa kasus yang tidak biasa, BT : 3’
misalnya dari anamnesis dicurigai CT : 12’
adanya KPD tetapi pemeriksaan fisik GDS : 65 mg/dl
gagal untuk mengkonfirmasi Ur : 20
diagnosis, maka pemeriksaan Cr : 0,5
ultrasonografi (USG) dapat membantu Na+ : 138
pasien dengan hasil tes yang K+ : 3,2
berlawanan Cl- : 117
HbSAg : Non reaktif
112 : Non reaktif
pH lakmus : 6
Penatalaks 1. Pembatasan aktivitas pasien. Seksio Sesarea
anaan 2. Apabila belum inpartu berikan Antibiotik
profilaksis.
3. Segera rujuk pasien ke fasilitas
pelayanan sekunder.
4. Di RS rujukan, disesuaikan dengan usia
kehamilan. Jika:
a. > 34 minggu : lakukan induksi
persalinan apabila tidak ada
kontraindikasi.
b. 24-33 minggu :
 bila terdapat amnionitis,

29
abruptio plasenta, dan
kematian janin, lakukan
persalinan segera.
 Berikan deksametason 6 mg
IM tiap 12 jam selama 48
jam atau betametason 12 mg
IM tiap 24 jam selama 48
jam.
 Lakukan pemeriksaan serial
untuk menilai kondisi ibu
dan janin.
 Bayi dilahirkan diusia 34
minggu, bila dapat dilakukan
pemeriksaan kematangan
paru dan hasil menunjukkan
bahwa paru sudah matang.
c. < 24 minggu:
 pertimbangan dilakukan
dengan melihat risiko ibu
dan janin.
 Lakukan konseling pada
pasien. Terminasi
kehamilan mungkin
menjadi pilihan.
 Jika terjadi infeksi
(korioamnionitis), lakukan
tatalaksana korioamnionitis.

30
Pasien KPD dengan usia kehamilan > 36
minggu sebaiknya diinduksi. Induksi dapat
dimulai segera bila sudah terjadi pematangan
serviks. Persalinan spontan dapat ditunggu
maksimal 24 jam.

31
BAB V
KESIMPULAN

1. Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Spontaneous/early/premature rupture of


membran merupakan pecahnya selaput ketuban secara spontan tanpa disertai
tanda-tanda persalinan.
2. Penyebab KPD adalah multifaktorial, dimana kondisi yang menyebabkan
peregangan berlebihan pada uterus seperti kehamilan ganda dan polihidramnion
merupakan predisposisi terjadinya KPD. Faktor lain terjadinya KPD berupa
kebiasaan merokok, riwayat koitus 24 jam sebelumnya, infeksi, status nutrisi,
penderita diabetes mellitus, hipertensi, ras, status sosioekonomi rendah yang
berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan antenatal, dan penyakit
menular seksual (chlamydia trachomatis dan nescheria gonorrhea). Selain itu,
infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban, fisiologi selaput
amnion/ketuban yang abnormal, serviks yang inkompetensia, dan trauma oleh
beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisposisi atau penyebab terjadinya
ketuban pecah dini.
3. Penatalaksanaan KPD pertama kali adalah dengan memantau secara periodik beberapa
parameter, yaitu tanda vital, kelembekan uterus, hitung leukosit, usap vagina untuk
melihat pola bakteri dan uji kepekaan terhadap antibiotika, USG untuk melihat volume
cairan ketuban, dan kardiotokografi untuk memantau keadaan janin.
4. Pasien KPD dengan usia kehamilan > 36 minggu sebaiknya diinduksi. Induksi dapat
dimulai segera bila sudah terjadi pematangan serviks. Persalinan spontan dapat
ditunggu maksimal 24 jam.
5. Efek pada ibu adalah korioamnionitis, tindakan operatif, dan sepsis puerperal,
sedangkan pada janin komplikasi yang sering terjadi ialah prematuritas, gawat
janin ataupun kematian janin akibat penekanan tali pusat.

32
33
DAFTAR PUSTAKA

Chapman, Vicky. 2006. “Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran”. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC
Cunningham. 2012. Obstetri William Jilid 2 Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Survei Demografi Kesehatan
Indonesia 2012.
FK Unhas. 2000. Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUP dr. Wahidin Soedirohusodo.
Ujung Pandang: Bursa Buku Kedokteran Aesculapius.
Hacker dan Moore. 2001. Essensial Obstetri dan Ginekologi. Edisi Dua. Jakarta
Manuaba, C. 2009. Gawat-Darurat Obstetri-Ginekologi & ObstetriGinekologi Sosial
untuk Profesi Bidan. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, S., 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.Profi Kesehatan 2008
Sualman, K. 2009. Penatalaksanaan Ketuban pecah dini. Diambil tanggal 15 Agustus
2016 dari http://www.medicastore.com/Penatalaksanaan-Ketuban-pecah-
dini.pdf oleh dr. Kamisah Sualman, Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Yaze, IU & Dewi R. 2016. Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini pada Perempuan
Hamil Usia 37 Tahun. Jurnal Medula Unila, 4 (4): 76-80.

34

Anda mungkin juga menyukai