Anda di halaman 1dari 20

2.1.

Definisi
Intra Uterine Fetal Death (IUFD) adalah kehilangan kehamilan yang terjadi setelah usia
gestasi genap 20 minggu (Silver, 2007). IUFD merupakan kematian janin yang terjadi setelah 20
minggu (MacDorman & Kirmeyer, 2009; ACOG, 2009), atau bila usia gestasional tidak
diketahui, berat sama dengan atau lebih dari 350 gram (MacDorman & Kirmeyer, 2009).
Menurut WHO, yang disebut kematian janin dalam kandungan adalah janin yang mati dalam
Rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih, atau kematian janin dalam Rahim ada kehamilan
20 minggu atau lebih (Soewarto, 2010).

2.2. Etiologi
Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan patologik
plasenta. Kematian janin dapat pula merupakan hasil akhir dari gangguan pertumbuhan janin,
gawat janin, atau infeksi (Soewarto, 2010). Penyebab kematian janin dapat diketahui melalui
autopsi yang dilakukan oleh ahli patologi dibidang gangguan plasenta dan fetal, serta dibantu
oleh tim kedoteran maternal-janin, genetik, dan juga kedokteran anak (Cunningham et al, 2013).

Tabel 2.1 Kategori dan Penyebab Kematian Janin (Cunningham et al., 2013; Silver, 2007).
Kategori dan Penyebab Kematian Janin
Fetal – 24 sampai 40 %
Anomali kromosom
Defek lahir non-kromosomal
Hidrops nonimun
Infeksi-virus, bakteri, protozoa
Plasenta – 25 sampai 35 persen
Ketuban Pecah Dini
Solusio
Perdarahan fetomateral
Gangguan tali pusat
Insufisiensi plasenta
Asfiksia intrapartum
Previa
Twin-twin transfusion
Korioamnionitis
Maternal – 5 sampai 10 persen
Diabetes
Penyakit hipertensif
Obesitas
Usia > 35 tahun
Penyakit tiroid
Penyakit ginjal
Antibodi antifosfolipid
Thrombofilia
Merokok
Obat terlarang dan alkohol
Infeksi dan sepsis
Persalinan kurang bulan
Persalinan abnormal
Ruptur uterine
Kelahiran post-term

2.2.1 Penyebab Fetal


Tipe abnormalitas janin menyumbang sekitar 25 – 40% dari seluruh kelahiran mati.
Sepertiga kematian janin disebabkan oleh anomali struktural, dengan penyebab tersering defek
tabung-saraf, hidrops, hidrosefalus, dan penyakit jantung kongenital (Cunningham et al., 2013).
Faktor fetal lainnya yang juga menjadi penyebab kematian janin antara lain kehamilan kembar,
hamil tumbuh terhambat, kelainan kongenital, kelainan genetik, dan infeksi (Soewarto, 2010).

2.2.1.1 Kondisi genetik


Dari pemeriksaan genetik, penyebab kematian janin terbanyak adalah anomali
kromosom. Abnormalitas yang banyak ditemukan meliputi monosomi X (23%), trisomi 21
(21%), dan trisomi 13 (8%). Banyak kasus kematian janin memiliki abnormalitas genetik yang
tidak terdeteksi oleh analisis sitogenetik. Melalui otopsi perinatal dilaporkan sebanyak 35%
kejadian malformasi, deformasi, sindrom, dan displasia pada kematian janin. Tetapi dalam
beberapa kasus abnormalitas genetik dapat menyebabkan kematian janin tanpa ditemukannya
malformasi pada janin. Gangguan gen tunggal seperti kondisi autosom resesif, termasuk
glycogen storage diseases, gangguan metabolik lainnya dan hemoglobinopati, dapat
menyebabkan kematian janin. Kondisi X-linked dapat menyebabkan kematian pada janin laki-
laki (Silver, 2007).
Terdapat kelainan atau ganguan gen tunggal yang akan menyebabkan kematian janin
terutama pada usia gestasional muda, dimana pernyataan ini didukung oleh sebuah penelitian
eksperimental yang membuktikan adanya gangguan gen tunggal dapat menyebabkan kematian
janin. Abnormalitas angiogenesis, plasenta, jantung atau neurologik, dapat menyebabkan
kematian janin pada pertengahan kehamilan. Kondisi genetik tertentu juga dapat mengganggu
fungsi plasenta yang berhubungan dengan kejadian kematian janin dan abnormalitas obstetri
lainya seperti Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) (Silver, 2007). Fetal Growth
Restriction (FGR), keadaan dimana janin tidak bertumbuh ke ukuran yang semestinya yang
dapat mejadi penyabab kematian janin yang berhubungan dengan adanya defek genetik, infeksi
janin, ibu yang merokok, hipertensi, penyakit autoimun, obesitas, dan diabetes (ACOG, 2009).

2.2.1.2 Infeksi Janin


Kasus infeksi pada janin dilaporkan menjadi penyebab kematian janin pada negara maju
sebanyak 10 – 25% dan angka ini lebih tinggi lagi pada negara berkembang. Dimana keadaan
infeksi ini dibuktikan melalui pemeriksaan kultur yang positif dan histologi yang
memperlihatkan adanya inflamasi dan infeksi pada jaringan yang diambil dari janin (Silver,
2007). Infeksi janin digolongkan menjadi infeksi in utero (transplasenta), sewaktu melalui jalan
lahir (transmisi vertikal), atau sewaktu masa neonatal (28 hari pertama kelahiran). Infeksi in
utero disebabkan oleh virus (sitomegalovirus, varisela, HIV, parovirus), protozoa (Toksoplasma
gondii), dan bakteri (sifilis kongenital). Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi
maternal, pengobatan saat antenatal terhadap infeksi yang ada pada ibu, dan pengobatan
profilaksis bagi perempuan hamil yang berisiko lebih mudah untuk mengalami infeksi
(Saifuddin, 2010).
a) Infeksi Virus
Infeksi sitomegalovirus (CMV) merupakan infeksi tersering yang menyebabkan
kematian pada janin dan neonatus (Silver, 2007). CMV dapat ditularkan dari ibu ke janin dan
juga plasenta, yang kemudian dapat menyebabkan IUGR dan kerusakan sistem organ
termasuk otak yang berakhir pada kematian janin. Infeksi primer CMV pada ibu hamil
ditularkan ke janinnya sebanyak 40% dan menyebabkan morbiditas yang berat (Cunningham
et al, 2013).
Infeksi virus coxsackie grup A dan B dilaporkan dapat terjadi melalui transplasenta
(Ornoy & Tenanbaum, 2006). Virus ini menyebabkan inflamasi plasenta, miokarditis, dan
hidrops. Malformasi kongenital yang berhubungan dengan kematian janin banyak ditemukan
pada wanita hamil yang memperlihatkan bukti serologis virus coxsackie. Parvovirus manusia
B19 juga berhubungan dengan kematian janin, dimana terjadi penularan vertikal janin pada
sekitar sepertiga infeksi parvovirus pada ibu hamil (de Jong et al., 2006). Dimana infeksi ini
sangat erat hubungannya dengan abortus, hidrops non-imun dan kematian janin (McClure &
Goldenberg, 2009).
Infensi virus lainnya yang berhubungan dengan kematian janin meliputi echo virus,
entero virus, chickenpox, measles, rubella, dan mumps. Dimana dapat dilakukan vaksinasi
sebagai langkah preventif untuk mencegah infeksi pada ibu yang kemudian dapat ditularkan
ke janin. Human immunodeficiency virus (HIV) dapat melalui plasenta dan menyebabkan
kematian janin (Silver, 2007).
b) Infeksi Bakteri
Sebagian besar infeksi bakteri berhubungan dengan kematian janin, dimana organisme
ini sampai kepada janin secara asenden dari traktus genitalia ke dalam desidua dan korion
hingga ke dalam cairan amnion. Janin mungkin menelan cairan amnion, dan menyebabkan
infeksi. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan infeksi intra-amnion meliputi
Escherishia coli, Klebsiella, Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, dan
Bacteroides (Silver, 2007).
Penelitian yang dilakukan di RS DR. Hasan Sadikin Bandung menunjukkan adanya
hubungan infeksi bakteri pada ibu, dimana infeksi ini berjalan asenden sehingga
menyebabkan korioamnionitis. Ditemukan Escherishia coli dan Staphylococcus aureus
sebagai penyebab terbanyak yang korioamnionitis pada penelitian ini. Pemeriksaan swab
vagina dapat dilakukan pada ibu dengan kontraksi prematur untuk mengetahui adanya
bakteri atau tidak sehingga dapat dilakukan pemberian pengobatan preventif untuk mencegah
infeksi yang dapat menyebabkan kelahiran prematur bahkan kematian pada janin (Drisma,
Handono, & Anwar 2012).
c) Infeksi lainnya
Infeksi spirochete, protozoa, dan jamur dapat juga menjadi penyebab kematian janin.
Treponema pallidum, organisme yang dapat menyebabkan sipilis, dapat melewati plasenta
pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dan menyebabkan infeksi langsung pada janin.
Risiko meningkat dengan semakin tuanya usia gestasional. Kematian janin mungkin terjadi
oleh karena infeksi langsung karena vakulopati plasenta yang berhubungan dengan infeksi
plasenta. Spirochete lainnya yang dapat menyebabkan kematian janin yaitu Borrelia
burgdorferi yang dapat menyebabkan Lyme disease, leptospirosis, dan African tick one
relapsing fever (Silver, 2007).
Toxoplasma gondii juga dapat melaui plasenta yang berhubungan dengan infeksi akut
maternal. Toxoplasma gondii memiliki daur hidup yang kompleks dengan 3 bentuk: (1)
takizoit, yang menginvasi dan bereplikasi di dalam sel selama infeksi, (2) bradizoit, yang
membentuk kista dijaringan selama infeksi laten, (3) sporozoit, yang ditemukan dalam
ookista yang tahan terhadap pengaruh lingkungan. Protozoa ini dapat ditemukan dimana-
mana, ditularkan melalui konsumsi daging mentah atau setengah matang yang telah terinfeksi
oleh kista jaringan atau melalui kontak dengan ookista tinja kucing yang terinfeksi dalam air,
tanah, atau sampah yang tercemar (Cunningham et al., 2013).
Parasitemia berkadar tinggi di plasenta berkolerasi dengan peningkatan angka lahir
mati, persalinan kurang bulan, dan hambatan pertumbuhan janin. Dimana keadaan
parasitemia ini disebabkan oleh infeksi malaria, yang insidensinya semakin meningkat
bermakna pada duatrimester terakhir dan pascapartum. Malaria simtomatik maupun malaria
asimtomatik, keduanya menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada
kehamilan (Nosten et al., 2007).
Upaya pencegahan dapat megurangi risiko terinfeksinya janin pada negara-negara
berkembang. Pencegahan yang dilakukan meliputi imunisasi maternal (tetanus, rubela, varisela,
hapatitis B), pegobatan antenatal terhadap sifilis maternal, gonorea, klamidia, penggunaan obat
profilaksis pada perempuan hamil yang berisiko tinggi terhadap grup B streptokokus, dan
pengobatan dengan antiretroviral (ARV) maternal (Saifuddin, 2010).
2.2.2 Penyebab Plasenta
Banyak kematian janin akibat abnormalitas plasenta juga dikategorikan sebagai penyebab
maternal atau fetal, sebagai contoh, solusio plasenta yang berkaitan dengan penyakit hipertensif
pada sekitar separuh kasus dan dengan demikian dapat dikategorikan sebagai penyebab maternal.
Insufisiensi plasenta akibat aneuploidi dapat dianggap sebagai penyebab fetal. Solusio plasenta
merupakan penyebab kematian janin tunggal yang paling sering teridentifikasi (Cunningham et
al., 2013). Solusio plasenta dapat berhubungan dengan trauma yang terjadi pada ibu selama
masa kehamilan. Sebuah penelitian meunjukkan trauma yang dialami oleh ibu selama masa
kehamilan seperti, kecelakaan motor, jatuh dan terpeleset, dapat meningkatkan insiden kematian
janin. Dimana sebagian besar kasus kecelakaan motor pada ibu hamil berujung pada terjadinya
solusio plasenta dan menyebabkan kematian janin (Hector et al., 2013).
Kelainan pada plasenta dapat berupa bentuk dan implantasi abnormal, gangguan
sirkulasi, kalsifikasi plasenta, lesi villosa hipertrofi, serta tumor pada plasenta. Gangguan lain
yang dapat terjadi pada plasenta yaitu kelainan pada membran plasenta berupa pewarnaan
mekonium dan korioamnionitis. Kelainan pada tali pusat juga dapat menyebabkan kematian
janin akibat gangguan perfusi nutrisi dan oksigen ke janin yang dapat dipengaruhi oleh ukuran
tali pusat, gulungan tali pusat (cord coiling), dan jumlah pembuluh darah dalam tali pusat
(Cunningham et al., 2013).
Penyebab kematian dapat dijelaskan melalui anormalitas patologi plasenta yang didukung
dengan temuan klinis sebagai berikut (Korteweg, 2008):
a) Placental bed pathology. Remodeling arteri spiral yang tidak adekuat dan atau gangguan
arteri spiral yang menyebabkan insufisiensi vaskular uteroplasenta sehingga terjadi infark
plasenta dan solusio plasenta.
b) Placental pathology. Gangguan plasenta yang terjadi semasa perkembangan dari plasenta
itu sendiri, abnormalitas dapat terjadi di parenkim atau lokasi dari plasenta.
 Perkembangan: abnormalitas morfologi yang menyebabkan proses perkembangan
yang abnormal, misalnya: plasenta sirkumvalata, vasa previa, villus imatur, dan
plasenta hipoplasia.
 Parenkim: termasuk gangguan vili dan jarak antar vili pada parenkim plasenta,
misalnya, fetal trombotik vaskulopati, infark bagian dasar pada ibu, villitis of
unknown origin, endapan fibrinoid perivillus, dan perdarahan fetomaternal dengan
penyebab yang tidak diketahui.
c) Komplikasi tali pusat
d) Tidak dapat di spesifikkan (temuan klinis tidak dapat dispesifikkan ke dalam tiga
kelompok yang disebutkan diatas).

2.2.2.1 Bentuk atau Implantasi Abnormal


Sebagian besar plasenta berbentuk bulat atau oval, tetapi variasinya sering terjadi.
Plasenta membranasea dan plasenta berbentuk anular atau cincin yang lengkap berkaitan dengan
kemungkinan perdarahan antepartum dan pascapartum yang lebih besar dan hambatan
pertumbuhan janin, yang berhubungan dengan IUFD (Faye, Heller, & Joshi, 2006). Plasenta
akreta, inkreta dan perkreta yang merupakan variasi yang serius dengan jaringan trofoblastik
menginvasi miometrium, keadaan ini kemungkinan besar disertai dengan plasenta previa.
Ganguan perfusi plasenta juga dapat terjadi dan dibagi menjadi gangguan aliran darah ibu
menuju atau di dalam plasenta dan aliran darah janin melalui villi. Lesi pada villi kemungkinan
besar menyebabkan pertumbuhan janin sangat terhambat. Adanya kalsifikasi pada plasenta, lesi
villosa hipertrofi, dan tumor plasenta atau metastasis tumor ke plasenta juga dapat terjadi pada
ibu dan akhirya menghambat pertumbuhan janin dan menyebabkan IUFD (Cunningham et al.,
2013).

2.2.2.2 Kelainan Membran


Pewarnaan cairan ketuban terlihat jelas dalam waktu satu hingga tiga jam setelah
keluarnya mekonium. Keadaan ini terjadi akibat pasase mekonium yang dapat terjadi akibat
kompresi kepala atau tali pusat. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pasase mekonium
meliputi: insufisiensi plasenta, hipertensi ibu, preeklampsia, ibu dengan penyakit jantung,
oligohidroamnion, penggunaan obat-obatan pada ibu misalnya drug abuse (kokain), ibu
merokok, ibu dengan infeksi uterin, sepsis maternal dan penyakit paru kronik. Keadaan-keaadaan
tersebut diatas dapat menyebabkan aliran darah maternal ke janin terganggu sehingga janin
dalam keadaaan hipoksia dan terjadi pengeluaran mekonium sehingga air ketuban bercampur
mekoniu. Aspirasi mekonium oleh janin dapat menyebabkan sumbatan jalan napas janin,
peradangan dan infeksi berat bahkan sampai kematian janin. Korioamnionitis yang biasa ditandai
oleh kesuraman membran dapat terjadi melalui jalur infeksi asenden dari genitalia bagian bawah,
penyebaran hematogen dari darah ibu, penyebaran langsung dari endometrium atau tuba uterina,
dan kontaminasi iatrogenik selama tindakan invasif (Cunningham et al., 2013). Keadaan lain
yang pernah ditemukan yaitu amnion nodosun yang merupakan lesi plasenta yang terdiri dari
sejumlah nodul kecil berwarna coklat terang, pada amnion yang membentang di plasenta dimana
hal ini dianggap sebagai ciri khas oligohidramnion yang lama dan berat (Adeniran & Stanek,
2007).

2.2.2.3 Kelainan Tali Pusat


Tali pusat memiliki fungsi vital dan sebagian besar tali pusat memiliki pajang 50 – 60
cm, tali yang terlalu panjang lebih sering menyebabkan prolapsus atau belitan tali pusat, distres,
anomali, dan kematian janin. Pembuluh darah umbilikal melingkar melalui tali pusat, dan
perkiraan jumlah gulungan (cord coiling) per satuan panjang dapat ditentukan melalui
ultrasonography (USG). Secara klinis hipocoiling dikaitkan dengan kematian janin. Prolapsus
tali pusat merupakan kondisi yang jarang terjadi namun mengakibatkan tingginya kematian
janin. Prolaps tali pusat dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Wijayanegara, 2010):
a) Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada di bawah bagian terendah janin dan ketuban
masih intak.
b) Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah, ke
serviks, dan turun ke vagina.
c) Occult prolapse, tali pusat berada di samping bagian terendah janin turun ke vagina. Tali
pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat pecah atau tidak.

2.2.3 Penyebab Materal


Soewarto (2010), menyebutkan beberapa faktor maternal yang menjadi penyebab
kematian janin yaitu, post term (> 42 minggu), diabetes melitus tidak terkontrol, sistemik lupus
eritematous, infeksi, hipertensi, pereeklamsia, eklamsia, hemoglobinopati, usia ibu yang tua,
penyakit rhesus, ruputur uteri, antifosfolipid sindrom, hipotensi akut ibu, kamatian ibu. Silver
(2007) menyebutkan faktor risiko IUFD meliputi, usia meternal yang meningkat (>35 tahun),
obesitas (BMI >30), infeksi pada ibu selama kehamilan dan penyakit yang diderita ibu seperti
hipertensi dan diabetes.
2.2.3.1 Usia maternal
Peningkatan usia ibu lebih dari 35 tahun berhubungan dengan meningkatnya risiko IUFD.
Hal ini sudah banyak dibuktikan oleh banyak penelitian. Wanita yang berusia 35 tahun atau lebih
meningkat risikonya dalam masalah-masalah seperti tekanan darah tinggi, gestasional diabetes
(diabetes yang berkembang pada saat kehamilan) dan komplikasi selama kehamilan. Pada usia
kurang dari 20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, sehingga bila
terjadi kehamilan dan persalinan akan mudah mengalami komplikasi. Selain itu, kekuatan otot-
otot perineum dan otot-otot perut belum bekerja secara optimal.
2.2.3.2 Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup diluar
rahim (28 minggu). Sedangkan menurut Manuaba (2012), paritas adalah wanita yang pernah
melahirkan bayi aterm.
Klasifikasi Paritas:
a) Nullipara
Wanita yang belum pernah melahirkan janin yang viabilitas untuk pertama kali atau
belum pernah menyelesaikan kehamilannya melewati gestasi 20 minggu. Ia mungkin
pernah atau belum pernah hamil atau pernah mengalami abortus spontan atau elektif atau
kehamilan ektopik.
b) Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk
hidup di dunia luar.
c) Multipara
Multipara adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih.
Presentase kejadian IUFD berangsur menurun seiring meningkatnya paritas, gravida dua
(22,78%), gravida tiga (21,11%), gravida empat dan lima (5,56%) (Tamrakar & Chawla, 2012).

2.2.3.3 Obesitas
Sejumlah sistem telah digunakan untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan obesitas.
Saat ini yang digunakan adalah Indeks Massa Tubuh (IMT), yang juga dikenal dengan indeks
Quetelet. IMT dihitung sebagai berat dalam kilogram dibagi tinggi dalam meter persegi (kg/m 2).
Menurut National Heart, Lung, and Blood Institute, IMT normal adalah 18,5 sampai 24,9 kg/m2;
kelebihan berat badan adalah IMT 25 sampai 29,9 kg/m 2; dan obesitas adalah IMT 30 kg/m2 atau
lebih. Angka kematian janin juga menigkat pada wanita dengan obesitas. Sebagian besar
penelitian telah memperlihatkan faktor risiko penyebab kematian janin akibat obesitas maternal
(BMI ≥30). Meningkatnya BMI meningkatkan faktor risiko terjadinya IUFD, seperti diabetes,
hipertensi yang meliputi preeklamsi-eklamsi, penyakit kandung empedu, disfungsi paru, peyakit
paru, dan penyakit jantung koroner (Silver, 2007; ACOG, 2009; Cunningham et al., 2013).
Risiko IUFD pada wanita dengan BMI 30 – 39,9 adalah delapan per 1000 kelahiran dan
meningkat menjadi sebelas per 1000 kelahiran pada wanita dengan BMI >40 (ACOG, 2009).

2.2.3.4 Infeksi pada ibu


Ibu hamil sangat peka terhadap terjadinya infeksi dari berbagai mikroorganisme. Secara
fisiologik sistem imun pada ibu hamil menurun, kemungkinan sebagai akibat dari toleransi
sistem imun terhadap bayi yang merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun tidak memberikan
pengaruh secara klinik. Secara anatomik dan fisiologik ibu hamil juga mengalami perubahan,
misalnya pada ginjal dan saluran kencing sehingga mempermudah terjadinya infeksi. Infeksi
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit, sedangkan penularannya dapat terjadi
intrauterin, pada waktu persalinan atau pascalahir. Transmisi bisa terjadi transplasenta ataupun
melalui aliran darah atau cairan amnion (Surya, 2010).
1. Infeksi Virus
a) Parvovirus
Parvovirus B19 merupakan single stranded DNA yang mengadakan replikasi pada
sel yang berproliferasi dengan cepat. Karena itu, pada perempuan dengan anemia hemolitik
infeksi parvovirus dapart menyebabkan aplastik krisis. Manifestasi klinisnya sendiri ringan
dan pada orang dewasa 20 - 30% tanpa gejala, tetapi dapat menyebabkan kematian janin
dalam kandungan. Infeksi virus ini pada kehamilan juga dapat menyebabkan abortus,
hidrop nonimun dan secara total menyebabkan kegagalan kehamilan sebesar 10%. Pada ibu
hamil dengan IgM antibodi Parvovirus positif, pemeriksaan USG untuk menentukan
adanya hidrops pada bayi perlu dilakukan. Disamping itu, perlu dihitung Median Cerebral
Arteri (MCA), karena jika terjadi anemia pda bayi, maka peak systolic velocity akan
meningkat. Tindakan transfusi intrauterin pada bayi dikatakan dapat meningkatkan
kemungkinan hidup janin dengan hidrop (Surya, 2010).
b) Varisela – Zoster
Virus ini merupakan kelompok DNA Herpes Virus dan hidup laten pada ganglion
bagian belakang setelah infeksi primer. Sebagian besar orang dewasa (80 - 90%) pernah
terinfeksi virus ini sehingga sudah memiliki kekebalan. Pada kehamilan infeksi varisela
terjadi lebih parah dan terjadi komplikasi penumonia. Infeksi primer varisela bisa
mengalami reaktivasi setelah beberapa tahun dalam bentuk infeksi Herpes Zoster. Infeksi
varisela pada ibu hamil trimester I mungkin menyebabkan cacat bawaan seperti
korioretinitis, atrofi korteks serebri, hidronefrosis, dan kelainan pada tulang dan kulit
(Surya, 2010).
c) Virus Hepatitis
Infeksi virus hepatitis yang bisa memberikan pengaruh khusus pada kehamilan
adalah infeksi oleh Virus Hepatitis B (VHB), Virus Hepatitis D (VHD), dan Virus Hepatitis
E (VHE). Jika terjadi infeksi VHB, VHA akut pada kehamilan bisa mengakibatkan
terjadinya hepatitis fulminan yang dapat menyebabkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi.
Pada ibu dapat menyebabkan abortus, perdarahan pascapersalinan karena adanya gangguan
pembekuan darah akibat gangguan fungsi hati. Bila terjadi super infeksi (dimana pada
awalnya terjadi infeksi VHB, kemudian baru terinfeksi oleh VHD) akan berakhir seperti
halnya pada inveksi VHB, dimana 90% akan mengidap kronik dan jika terjadi infeksi
fulminan akan menyebabkan kematian sebesar 5 – 20%. Sedangkan jika terinfeksi VHE
besar kemungkinan akan terjadi hepatitis fulminan dengan risiko kematian yang tinggi.
Pada sebuah penelitian prevalensi infeksi VHE pada kehamilan adalah 13,4% dimana
infeksi ini sekitar 57% terjadi pada trimester ketiga. Inveksi VHE akut yang terjadi ini
47,3% akan menjadi hepatitis fulminan dan 15,8% akan mengalami kematian. Skrining
HbsAg pada ibu hamil terutama pada daerah dimana terdapat prevalensi tinggi penting
dilakukan untuk menetahui secara dini infeksi, sehingga ibu dan juga janin dapat
diselamatkan (Surya, 2010).
d) Demam Dengue
Demam Dengue merupakan infrksi dari Virus Dengue (Sero tipe 1, 2, 3, dan 4)
yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol di Asia Tenggara terutama
Indonesia. Secara umum penyakit ini disebut Dengue Syndrome yang dibagi menjadi 3
sesuai dengan gejala, dimana pada awal ketiganya sukar dibedakan:
 Dengue fever (DF)
 Dengue hemorragic fever (DHF)
 Dengue shock syndrome (DSS)
Gejala klinik secara umum akan terjadi fase febril dimana terjadi panas tinggi
mendadak dan berkesinambungan 2 – 7 hari, kemudian terjadi fase afebril yang merupakan
fase kesembuhan DF, tetapi masih merupakan fase kritis DHF. Berdasarkan gejala klinik
dari penyakit ini, pengaruh yang mungkin terjadi pada kehamilan yaitu terjadinya IUFD.
Jika infeksi terjadi menjelang persalinan dilaporkan bisa terjadi transmisi vertikal dan bayi
lahir dengan gejala trombositopenia, panas, hepatomegali, dan gangguan sirkulasi.
Penanganan kasus ini sebaiknya ditangani oleh tim dan kalau mungkin hindari persalinan
berlangsung pada masa kritis (Surya, 2010).
e) Infeksi HIV dan AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejala
penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan
tubuh oleh inveksi virus HIV. Virus ini masuk ke dalam tubuh melalui perantara darah,
semen, dan sekret vagina, dimana 75% penularan terjadi melalui hubungan seksual. Infeksi
HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar, mulai
dari asimtomatik pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium
yang lebih lanjut. Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat terjadi intrauterin (5 – 10%), saat
persalinan (10 – 20%), dan pascapersalinan (5 – 20%). Kelainan yang dapat terjadi pada
janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus preterm, dan abortus spontan.
Terapi dianjurkan untuk semua wanita hamil yang terinfeksi HIV. Terapi menurunkan
risiko penularan perinatal berapapun jumlah sel T CD4+ atau kadar RNA HIV
(Cunningham et al., 2013).
2. Infeksi Bakterial
Grup B Streptokokus –S agalaktiae (GBS) sering terjadi pada vagina dan rektum. Infeksi
berdasarkan kolonisasi diperkirakan 20 – 30% pada kehamilan 35 minggu di seluruh dunia.
Selama kehamilan kolonisasi bisa transien, intermiten, atau kronik, dan spektrum infeksi
bervariasi dari adanya kolonisasi asimtomatik sampai sepsis. Implikasi yang ditimbulkan adalah
kelahiran prematur, ketuban pecah dini, korioamnionitis, fetal dan neonatal infeksi mendapatkan
kolonisasi GBS sebesar 30% pada Preterm PROM (premature rupture of membrane) dan 25%
pada preterm labor. ACOG (2002) merekomendasikan pencegahan dengan pemberian atibiotika
pada persalinan kurang dari 37 minggu, ketuban pecah dini. Antibiotik yang dianjurkan adalah
derivat penisilin dan jika alergi dapat digantikan oleh klindamisin atau eritromisin (Surya, 2010).

2.2.3.5 Penyakit pada ibu


Beberapa penyakit yang baru diderita oleh ibu sewaktu hamil dan juga penyakit yang
sudah diderita oleh ibu sebelum kehamilan dapat mempengaruhi proses kehamilan dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya IUFD (ACOG, 2009; Sukarya, 2010).
a) Gangguan Ginjal
Penyakit ginjal dan saluran kemih banyak dijumpai pada kehamilan. Infeksi ginjal adalah
penyulit medis serius yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Dan kasus ini menjadi
penyebab tersering syok septik selama kehamilan. Infeksi biasa terjadi unilateral dan lebih sering
terjadi pada trimester kedua dengan fakor risiko terkait nuliparitas dan usia muda. Gejala berupa
demam mendadak, mengigil, nyeri pegal pada satu atau kedua regio lumbal, anoreksia, mual dan
mntah, dapat memperparah dehidrasi. Kreatinin plasma harus dipantau karena studi terdahulu
melaporkan bahwa 20% wanita hamil mengalami disfungsi ginjal (Cunningham et al., 2013).
Kehamilan merupakan suatu kondisi hiperdinamik, hipovolemik, dengan adaptasi yang
tampak pada semua sistem organ utama. Perubaan fisiologik penting yang timbul pada ginjal
selama kehamilan, antara lain:
 Peningkatan aliran plasma renal (Renal Plasma Flow/RPF)
 Peningkatan tingkat filtrasi glumerulus (Glumerular Filtration Rate/GFR)
 Perubahan reabsorbsi glukosa, sodium, asam amino, dan asam urat tubular.
Peningkatan GFR terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi dan terus meningkat
setelah konsepsi, kemudian mencapai puncak sampai sekitar 50% di atas kadar pada perempuan
yang tidak hamil sampai akhir trimester kedua. Sejak kehamilan trimester kedua, GFR akan
meningkat sampai 30 – 50% di atas nilai normal perempuan tidak hamil. Peningkatan GFR dapat
menjelaskan mengapa ekskresi glukosa, asam amino, dan vitamin larut air akan meningkat
selama kehamilan. Peningkatan ini menetap sampai usia gestasional 36 minggu, lalu terjadi
penurunan. Semakin tua usia gestasional efek kompresi dari pembesaran uterus pada aorta – vena
kava dapat menurunkan aliran darah ke ginjal yang mengakibatnya penurunan kadar kreatinin
serum dan urea nitrogen darah (Syamsuri & Bernolian, 2010).
b) Hipertensi
Penyakit hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan perkembangan dan
pertumbuhan janin. Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 – 15% penyulit kehamilan.
Klasifikasi hipertensi yang di pakai di Indonesia adalah berdasarkan Report of the National High
Blood Pressure Educational Program Working Group in High Blood Pressure in Pregnancy
tahun 2001 ialah:
 Hipertensi kronik: tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau terdiagnosis
sebelum kehamilan 20 minggu.
 Preeklamsia: tekanan darah ≥ 140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu,
disertai proteinuria ≥ 300 mg/24 jam.
 Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma.
 Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia: hipertensi kronik disertai dengan
tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
 Hipertensi gestasional: tekanan darah sistolik ≥ 140 atau diastolik ≥ 90 mmHg ditemukan
pertama kali sewaktu hamil, tanpa disertai proteinuria (Angsar, 2010; Cunningham et al.,
2013).
Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang
disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme, dan kerusakan sel
endotel pembuluh darah plasenta. Dampak preeklamsia dan eklamsia pada janin adalah:
 IUGR dan oligohidramnion
 Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat IUGR,
prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta (Angsar, 2010).
c) Diabetes
Diabetes merupakan komplikasi medik yang sering terjadi pada kehamilan. Ada dua
macam perempuan hamil dengan diabetes, yaitu:
 Perempuan hamil dengan diabetes yang sudah diketahui sejak sebelum perempuan tersebut
hamil.
 Perempuan hamil dengan diabetes yang baru diketahui setelah perempuan tersebut hamil
(diabetes gestasional).
Diabetes gestasional adalah intoleransi glukosa yang dimulai atau baru ditemukan waktu hamil.
Setelah ibu melahirkan, keadaan diabetes gestasional sering akan kembali ke regulasi normal.
Kadar glukosa yang tinggi pada ibu hamil menimbulkan dampak kurang baik terhadap janin
yang dikandung. Bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes gestasional biasanya lebih besar, dan
bisa terjadi juga pembesaran dari organ-organnya (hepar, kelenjar adrenal, jantung). Ibu
penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol dengan baik akan meningkatkan risiko
terjadinya keguguran atau bayi lahir mati. Bila diagnosis diabetes mellitus sudah dapat
ditegakkan sebelum kehamilan, tetapi tidak terkontrol dengan baik, maka janin berisiko
mempunyai kelainan kongenital (Sukarya, 2010).

2.3. Diagnosis
Kematian janin mungkin berhubugan dengan berhentinya gerakan janin yang pernah
dirasakan sebelumnya atau berkuranganya gejala kehamilan seperti mual. Pada beberapa kasus
dapat terjadi perdarahan, kram perut, dan proses pelahiran. Diagnosis pasti kematian janin adalah
dengan menggunakan USG untuk memastikan keadaan janin dan memastikan pulsasi jantung
janin yang menghilang. Jika belum padat dipastikan dengan menggunakan USG, maka
pemeriksaan dengan menggunakan USG harus diulang lagi dan harus dipastikan hasil
pemeriksaanya oleh orang yang lebih berkompeten (Silver, 2007).
Wanita dengan IUFD akan mencari pertolongan atau mengunjungi pusat perawatan atau
rumah sakit ketika menyadari tidak adanya pergerakan janin, dan juga adanya kontraksi,
hilangnya cairan dan adanya perdarahan vaginal. Tetapi beberapa kasus dapat asimtomatis, dapat
dikatakan sebagai suspect IUFD bila pemeriksa tidak terdengar suara detak jantung janin (DJJ).
Diagnosis ditegakkan dengan hilangnya DJJ dengan USG, jika pada pemeriksaan pertama DJJ
sudah tidak terlihat tetap dapat dilakukan pemeriksaan kedua untuk lebih memastikan lagi
diagnosis IUFD ini (Temple & Smith, 2014).

2.4. Pemeriksaan Klinis


Pemeriksaan janin, plasenta, dan membran secara cermat harus dilakukan saat kelahiran
dan dicatat pada status. Rincian kejadian pranatal yang relevan juga disertakan. Pencitraan MRI
dan sonografi juga dapat dipertimbangkan (ACOG, 2009). Evaluasi laboratorium juga
seharusnya dilakukan, ACOG (2009) merekomendasikan karyotyping secara ideal pada semua
kelahiran mati. Persetujuan yang sesuai harus didapatkan untuk mengambil sampel jaringan
fetus, termasuk cairan yang didapatkan pasca-mnoterm oleh aspirasi jarum. Darah janin sebanyal
3 mL, yang diambil dari arteri umbilikalis (pilihan utama) atau pungsi kardiak, diletakkan di
dalam tabung steril yang di heparinisasi untuk pemeriksaan sitogenik. Jika sampel darah tidak
didapatakan direkomendasikan setidaknya satu dari beberapa sampel dibawah ini : (1) blok
plasenta 1 x 1 cm yang diambil dibawah insersi tali pusat pada spesimen yang terpisah; (2)
Segmen korda umbilikalis sepanjang sekitar 1,5 cm; atau (3) spesimen jaringan internal janin
seperti taut kostokondral atau patela. Jaringan dicuci bersih dengan salin steril sebelum diberikan
Ringer Laktat atau medium sitogenik yang steril (ACOG, 2009).
Pasien juga harus ditawarkan atau dimotivasi untuk mengizinkan autopsi lengkap, tetapi
informasi yang berharga sudah dapat diperoleh dari pemeriksaan sederhana. Pemeriksaan
eksternal lengkap, pencitraan MRI, kultur bakterial, pemeriksaan kromosomal, dan
histopatologis selektif umumnya dapat membantu menentukan penyebab kematian (Silver,
2007). Tanpa anomali morfologis, hingga lima persen kelahiran mati memiliki abnormalitas
kromosomal (Korteweg et al., 2008).

Tabel 2.2 Protokol untuk Pemeriksaan Kelahiran Mati (Cunningham et al., 2013)
Protokol untuk Pemeriksaan Kelahiran Mati

Deskripsi bayi
Malformasi
Pewarnaan pada kulit
Derajat Maserasi
Warna – pucat, pletorik
Korda Umbilikalis
Prolapsus
Lilitan – leher, lengan, kaki
Hematoma atau striktur
Jumlah pembuluh darah
Panjang
Wharton jelly – normal, tidak ada
Cairan amnionik
Warna – mekonium, darah
Konsistensi
Volume
Plasenta
Berat
Pewarnaan – mekonium
Bekuan yang melekat
Abnormalitas struktural- lobus circumvallata
atau lobus accessorius, insersi velementosa
Edema – perubahan hidropik
Membran
Terwarnai – mekonium, berkabut
Menebal

2.5. Penanganan
Bila diagnosis kematian janin telah di tegakkan, penderita segera diberi informasi.
Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penetalaksanaannya serta rekomendasikan
untuk segera diintervensi. Bila kematian janin lebih dari 3 – 4 minggu kadar fibrinogen menurun
dengan kecendrungan terjadinya koagulopati, dan masalah menjadi semakin rumit jika kematian
janin terjadi pada salah satu dari bayi kembar. Bila diagnosis sudah ditegakkan lakukan
pemeriksaan tanda vital ibu; dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula
darah (Soewarto, 2010).
Pada 84 – 90% wanita, persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan setelah 2
minggu, umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif dengan induksi
persalinan dengan oksitosin atau misoprostol dan tindakan perabdominal bila janin letak lintang
serta beberapa indikasi lain untuk dilakukan pengeluaran janin dengan segera seperti pada kasus
koagulopati, infeksi intauterin, dan preeklamsia. Hati-hati pada induksi dengan uterus
pascaseksio sesarea ataupun miomektomi, bahaya terjadinya ruptur uteri. Pada Kematian janin
24 – 28 minggu dapat digunakan misoprostol untuk unduksi kelahiran (Soewarto, 2010; Temple
& Smith, 2014).
Tabel 2.3 Protokol Misoprostol untuk Induksi Persalinan (Dodd & Crowther, 2010)
Dosis Rute Frekuensi
< 28 minggu
200 mg Vaginal Tiap 4 jam
200 – 400 mg Oral Tiap 2 – 4 jam
>28 minggu
25 mg Vaginal Tiap 4 jam
25 mg Oral Tiap 4 jam

IUFD berhubungan dengan postraumatic stress disorder (PTSD) dan ansietas pada
kehamilan berikutnya. Pada 21% wanita menunjukkan kriteria PTSD pada trimester tiga
kehamilan berikutnya setelah IUFD. Gejala PTSD dan ansietas lebih terlihat berat pada wanita
yang kurang memiliki teman atau keluarga yang dapat memberikan support. Sehingga pada
edukasi keluarga pasien sangat perlu dijelaskan untuk terus memberi support pada pasien pasca
IUFD untuk tidak merasa takut pada kehamilan berikutnya (Temple & Smith, 2014).

2.6. Pencegahan

Upaya mencegah kematian janin khususnya yang sudah mendekati aterm adalah dengan
memeriksakan diri dan janin melalui ultrasonografi. Hal ini bila ibu merasakan gerakan janin
menurun, tidak bergerak, atau gerakan janin menjadi terlalu keras. Perhatikan adanya solusio
plasenta. Pada gemelli dengan T+T (Twin to twin transfusion), pencegahan dilakukan dengan
koagulasi pembuluh anastomosis (Soewarto, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

ACOG. (2009). Management of Stillbirth. The American College of Obstetricians and


Gynecologysts. no. 102.

ACOG. (2002). Prevention of early-onset group streptococcus disease in newborns. Committee


opinions no. 129.

Adeniran, A. J., & Stanek J. (2007). Amnion nodusum revisited: Clinicopathologic and placental
corelations. Arch Pathol Lab Med, 131: 1829.

Angsar, M. D. (2010). Hipertensi Dalam Kehamilan. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp.


530-561). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham, G. F., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., & Spong, C. Y.
(2013). Obstetri Williams (23 ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.
Cunningham, G. F., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., & Spong, C. Y.
(2013). Obstetri Williams (23 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

Hector, M. F., Joshua, D., Roxanne, A., & Dwight, J. (2013). Trauma in pregnancy: an updated
systematic review. American Journal of Obstetrics and Gynecology: 01-10.

Korteweg, F. J., Gordijn, S. J., Timmer, A., Holm, J. P., Ravise, J., & Erwich, J. (2008). A
Placental Cause of Intra-uterine Fetal Death Depends on the Perinatal Mortality
Classification System Used. Placenta, 29: 71-80.

MacDorman, M. F., & Kirmeyer, S. (2009). Fetal and perinatal mortality, United States, 2005.
Natl Vital Stat Re 57: 1-19.

Manuaba, I. B., Manuaba, C., & Manuaba, F. (2012). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC.

Saifuddin, A. B. (2010). Pencegahan Infeksi Maternal dan Neonatal. In S. Prawirohardjo, Ilmu


Kebidanan (pp. 414-418). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Silver, R. M. (2007). Fetal death. Obstet Gynecol, 109:153-167.

Soewarto, S. (2010). Kematian Janin. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp. 732-735).


Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sukarya, W. S. (2010). Kehamilan dan gangguan Endokrin. In S. Prawirohardjo, Ilmu


Kebidanan (pp. 846-847). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Surya, I. G. P. (2010). Penyakit Infeksi. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp. 903-920).


Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Syamsuri, A. K., & Bernolian, N. (2010). Kehamilan dengan Penyakit Ginjal. In S.
Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp. 829-845). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Tamrakar, S. R., & Chawla, C. D. (2012). Intrauterine Foetal Death and its Probable Causes:
Two year Experience in Dhulikhel Hospital – Kathmandu University Hospital.
Kathmandu Univ med J, 10(4):44-48.

Temple, R., & Smith, S. (2014). Intrauterine fetal demise: Care in the aftermath, and beyond.
The Journal of Family Practice, 63(6): E9-13.

Wijayanegara, H. (2010). Prolaps Tali Pusat. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp. 625-
628). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai