Anda di halaman 1dari 43

Laboratorium Obgyn Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

Intra Uterine Fetal Death (IUFD) Pada Pasien Dengan Stenosis Mitral

Oleh
Balya Ibnu Maula
Dyah Anugrah Pratama
Fanytha Libra Karmila
Maliya Agustin
Muhammad Mirza
Nurhasanah
Winda Ayu Purnamasari

Pembimbing
dr. Erwin Ginting, Sp. OG

LAB / SMF OBGYN


Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie
2016

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmatNya


penyusun dapat menyelesaikan Makalah Tutorial Klinik tentang “Intra Uterine Fetal
Death (IUFD) Pada Pasien dengan Stenosis Mital”. Makalah ini disusun dalam
rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Obstertri dan Ginekologi Rumah
Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Erwin Ginting, Sp. OG,
selaku dosen pembimbing Tutorial Klinik yang telah memberikan bimbingan kepada
penyusun dalam penyelesaian makalah ini. Penyusun menyadari terdapat
ketidaksempurnaan dalam makalah ini, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan
saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga makalah ini berguna bagi penyusun
sendiri dan para pembaca.

Samarinda, 14 September 2016

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ 1


DAFTAR ISI ....................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 4
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 4
1.3. Manfaat ......................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 4
2.1.IUFD................................................................................................................ 4
2.2. Stenosis Mitral ............................................................................................... 28
BAB III LAPORAN KASUS ............................................................................. 29
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................
BAB V KESIMPULAN ......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung yang paling sering ditemukan
pada wanita hamil. Penyakit jantung katup terbagi menjadi 2 pembagian umum, yaitu
penyakit jantung katup obstruktif (stenosis katup) dan penyakit jantung katup
regurgitatif (regurgitasi katup). Penyakit jantung katup yang ada sebelum kehamilan
akan menoleransi perubahan hemodinamik yang mengalami perubahan drastis saat
kehamilan (Hadijono, 2010).
Penyakit jantung katup terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang.
Di negara berkembang, penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung yang
paling banyak ditemui dan lebih sering disebabkan oleh penyakit jantung reumatik.
Sedangkan di negara maju, penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung
nomor dua setelah penyakit jantung bawaan (Hadijono, 2010). Di negara maju,
penyakit jantung reumatik juga merupakan penyebab utama penyakit jantung katup,
meskipun demam reumatik jarang dijumpai akibat lingkungan yang tidak padat,
ketersediaan penisilin yang memadai, serta evolusi galur streptokokus non-
reumatogenik (Cunningham et.al., 2010).

1.2 Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Mengetahui tentang IUFD pada pasien dengan stenosis mitral dan perbandingan
antara teori dengan kasus nyata mioma IUFD pada pasien dengan stenosis mitral.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui teori tentang IUFD yang mencakup:
a. Definisi
b. Etiologi

4
c. Diagnosis
d. Pemeriksaan Klinis
e. Penanganan
f. Pencegahan
2. Mengetahui teori tentang penuakit stenosis mitral pada kehamilan
a. Definisi
b. Patofisiologi
c. Manifestasi Klinis
d. Diagnosis
e. Penatalaksanaan
f. Komplikasi
3. Mengetahui perbandingan antara teori dengan kasus nyata IUFD pada pasien
dengan stenosis mitral yang terjadi di Ruang Mawar Nifas RSUD Abdul Wahab
Syahranie.

1.3 Manfaat
1.3.1. Manfaat Ilmiah
Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran terutama
bidang Obstetri dan Ginekologi, khususnya tentang IUFD pada pasien dengan
stenosis mitral .
1.3.2. Manfaat bagi Pembaca
Makalah ini diharapkan menjadi sumber pengetahuan bagi pembaca mengenai
IUFD pada pasien dengan stenosis mitral

BAB II

5
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Intra Uterine Fetal Death (IUFD)


2.1.1 Definisi
IUFD adalah kehilangan kehamilan yang terjadi setelah usia gestasi genap 20
minggu (Silver, 2007). IUFD merupakan kematian janin yang terjadi setelah 20
minggu (MacDorman & Kirmeyer, 2009; ACOG, 2009), atau bila usia gestasional
tidak diketahui, berat sama dengan atau lebih dari 350 gram (MacDorman &
Kirmeyer, 2009). Menurut WHO, yang disebut kematian janin dalam kandungan
adalah janin yang mati dalam Rahim dengan berat badan 500 gram atau lebih, atau
kematian janin dalam Rahim ada kehamilan 20 minggu atau lebih (Soewarto, 2010).

2.1.2 Etiologi
Kematian janin dapat disebabkan oleh faktor maternal, fetal, atau kelainan
patologik plasenta. Kematian janin dapat pula merupakan hasil akhir dari gangguan
pertumbuhan janin, gawat janin, atau infeksi (Soewarto, 2010). Penyebab kematian
janin dapat diketahui melalui autopsi yang dilakukan oleh ahli patologi dibidang
gangguan plasenta dan fetal, serta dibantu oleh tim kedoteran maternal-janin, genetik,
dan juga kedokteran anak (Cunningham et al, 2013).

Tabel 2.1 Kategori dan Penyebab Kematian Janin (Cunningham et al., 2013; Silver,
2007).

Kategori dan Penyebab Kematian Janin

Fetal – 24 sampai 40 %
Anomali kromosom
Defek lahir non-kromosomal
Hidrops nonimun

6
Infeksi-virus, bakteri, protozoa
Plasenta – 25 sampai 35 persen
Ketuban Pecah Dini
Solusio
Perdarahan fetomateral
Gangguan tali pusat
Insufisiensi plasenta
Asfiksia intrapartum
Previa
Twin-twin transfusion
Korioamnionitis
Maternal – 5 sampai 10 persen
Diabetes
Penyakit hipertensif
Obesitas
Usia > 35 tahun
Penyakit tiroid
Penyakit ginjal
Antibodi antifosfolipid
Thrombofilia
Merokok
Obat terlarang dan alkohol
Infeksi dan sepsis
Persalinan kurang bulan

7
Persalinan abnormal
Ruptur uterine
Kelahiran post-term

2.1.2.1 Penyebab Fetal

Tipe abnormalitas janin menyumbang sekitar 25 – 40% dari seluruh kelahiran


mati. Sepertiga kematian janin disebabkan oleh anomali struktural, dengan penyebab
tersering defek tabung-saraf, hidrops, hidrosefalus, dan penyakit jantung kongenital
(Cunningham et al., 2013). Faktor fetal lainnya yang juga menjadi penyebab
kematian janin antara lain kehamilan kembar, hamil tumbuh terhambat, kelainan
kongenital, kelainan genetik, dan infeksi (Soewarto, 2010).

a) Kondisi genetik

Dari pemeriksaan genetik, penyebab kematian janin terbanyak adalah anomali


kromosom. Abnormalitas yang banyak ditemukan meliputi monosomi X (23%),
trisomi 21 (21%), dan trisomi 13 (8%). Banyak kasus kematian janin memiliki
abnormalitas genetik yang tidak terdeteksi oleh analisis sitogenetik. Melalui otopsi
perinatal dilaporkan sebanyak 35% kejadian malformasi, deformasi, sindrom, dan
displasia pada kematian janin. Tetapi dalam beberapa kasus abnormalitas genetik
dapat menyebabkan kematian janin tanpa ditemukannya malformasi pada janin.
Gangguan gen tunggal seperti kondisi autosom resesif, termasuk glycogen storage
diseases, gangguan metabolik lainnya dan hemoglobinopati, dapat menyebabkan
kematian janin. Kondisi X-linked dapat menyebabkan kematian pada janin laki-laki
(Silver, 2007).

Terdapat kelainan atau ganguan gen tunggal yang akan menyebabkan


kematian janin terutama pada usia gestasional muda, dimana pernyataan ini didukung
oleh sebuah penelitian eksperimental yang membuktikan adanya gangguan gen

8
tunggal dapat menyebabkan kematian janin. Abnormalitas angiogenesis, plasenta,
jantung atau neurologik, dapat menyebabkan kematian janin pada pertengahan
kehamilan. Kondisi genetik tertentu juga dapat mengganggu fungsi plasenta yang
berhubungan dengan kejadian kematian janin dan abnormalitas obstetri lainya seperti
Intra Uterine Growth Retardation (IUGR) (Silver, 2007). Fetal Growth Restriction
(FGR), keadaan dimana janin tidak bertumbuh ke ukuran yang semestinya yang dapat
mejadi penyabab kematian janin yang berhubungan dengan adanya defek genetik,
infeksi janin, ibu yang merokok, hipertensi, penyakit autoimun, obesitas, dan diabetes
(ACOG, 2009).

1) Infeksi Janin

Kasus infeksi pada janin dilaporkan menjadi penyebab kematian janin pada
negara maju sebanyak 10 – 25% dan angka ini lebih tinggi lagi pada negara
berkembang. Dimana keadaan infeksi ini dibuktikan melalui pemeriksaan kultur yang
positif dan histologi yang memperlihatkan adanya inflamasi dan infeksi pada jaringan
yang diambil dari janin (Silver, 2007). Infeksi janin digolongkan menjadi infeksi in
utero (transplasenta), sewaktu melalui jalan lahir (transmisi vertikal), atau sewaktu
masa neonatal (28 hari pertama kelahiran). Infeksi in utero disebabkan oleh virus
(sitomegalovirus, varisela, HIV, parovirus), protozoa (Toksoplasma gondii), dan
bakteri (sifilis kongenital). Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan imunisasi
maternal, pengobatan saat antenatal terhadap infeksi yang ada pada ibu, dan
pengobatan profilaksis bagi perempuan hamil yang berisiko lebih mudah untuk
mengalami infeksi (Saifuddin, 2010).

2) Infeksi Virus
Infeksi sitomegalovirus (CMV) merupakan infeksi tersering yang
menyebabkan kematian pada janin dan neonatus (Silver, 2007). CMV dapat
ditularkan dari ibu ke janin dan juga plasenta, yang kemudian dapat
menyebabkan IUGR dan kerusakan sistem organ termasuk otak yang berakhir

9
pada kematian janin. Infeksi primer CMV pada ibu hamil ditularkan ke janinnya
sebanyak 40% dan menyebabkan morbiditas yang berat (Cunningham et al,
2013).
Infeksi virus coxsackie grup A dan B dilaporkan dapat terjadi melalui
transplasenta (Ornoy & Tenanbaum, 2006). Virus ini menyebabkan inflamasi
plasenta, miokarditis, dan hidrops. Malformasi kongenital yang berhubungan
dengan kematian janin banyak ditemukan pada wanita hamil yang
memperlihatkan bukti serologis virus coxsackie. Parvovirus manusia B19 juga
berhubungan dengan kematian janin, dimana terjadi penularan vertikal janin pada
sekitar sepertiga infeksi parvovirus pada ibu hamil (de Jong et al., 2006). Dimana
infeksi ini sangat erat hubungannya dengan abortus, hidrops non-imun dan
kematian janin (McClure & Goldenberg, 2009).
Infensi virus lainnya yang berhubungan dengan kematian janin meliputi
echo virus, entero virus, chickenpox, measles, rubella, dan mumps. Dimana dapat
dilakukan vaksinasi sebagai langkah preventif untuk mencegah infeksi pada ibu
yang kemudian dapat ditularkan ke janin. Human immunodeficiency virus (HIV)
dapat melalui plasenta dan menyebabkan kematian janin (Silver, 2007).

3) Infeksi Bakteri
Sebagian besar infeksi bakteri berhubungan dengan kematian janin, dimana
organisme ini sampai kepada janin secara asenden dari traktus genitalia ke dalam
desidua dan korion hingga ke dalam cairan amnion. Janin mungkin menelan
cairan amnion, dan menyebabkan infeksi. Beberapa organisme yang dapat
menyebabkan infeksi intra-amnion meliputi Escherishia coli, Klebsiella,
Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, dan Bacteroides (Silver, 2007).
Penelitian yang dilakukan di RS DR. Hasan Sadikin Bandung menunjukkan
adanya hubungan infeksi bakteri pada ibu, dimana infeksi ini berjalan asenden
sehingga menyebabkan korioamnionitis. Ditemukan Escherishia coli dan
Staphylococcus aureus sebagai penyebab terbanyak yang korioamnionitis pada

10
penelitian ini. Pemeriksaan swab vagina dapat dilakukan pada ibu dengan
kontraksi prematur untuk mengetahui adanya bakteri atau tidak sehingga dapat
dilakukan pemberian pengobatan preventif untuk mencegah infeksi yang dapat
menyebabkan kelahiran prematur bahkan kematian pada janin (Drisma, Handono,
& Anwar 2012).
4) Infeksi lainnya
Infeksi spirochete, protozoa, dan jamur dapat juga menjadi penyebab
kematian janin. Treponema pallidum, organisme yang dapat menyebabkan sipilis,
dapat melewati plasenta pada trimester kedua dan ketiga kehamilan dan
menyebabkan infeksi langsung pada janin. Risiko meningkat dengan semakin
tuanya usia gestasional. Kematian janin mungkin terjadi oleh karena infeksi
langsung karena vakulopati plasenta yang berhubungan dengan infeksi plasenta.
Spirochete lainnya yang dapat menyebabkan kematian janin yaitu Borrelia
burgdorferi yang dapat menyebabkan Lyme disease, leptospirosis, dan African
tick one relapsing fever (Silver, 2007).

Toxoplasma gondii juga dapat melaui plasenta yang berhubungan dengan


infeksi akut maternal. Toxoplasma gondii memiliki daur hidup yang kompleks
dengan 3 bentuk: (1) takizoit, yang menginvasi dan bereplikasi di dalam sel
selama infeksi, (2) bradizoit, yang membentuk kista dijaringan selama infeksi
laten, (3) sporozoit, yang ditemukan dalam ookista yang tahan terhadap pengaruh
lingkungan. Protozoa ini dapat ditemukan dimana-mana, ditularkan melalui
konsumsi daging mentah atau setengah matang yang telah terinfeksi oleh kista
jaringan atau melalui kontak dengan ookista tinja kucing yang terinfeksi dalam
air, tanah, atau sampah yang tercemar (Cunningham et al., 2013).

Parasitemia berkadar tinggi di plasenta berkolerasi dengan peningkatan


angka lahir mati, persalinan kurang bulan, dan hambatan pertumbuhan janin.
Dimana keadaan parasitemia ini disebabkan oleh infeksi malaria, yang
insidensinya semakin meningkat bermakna pada duatrimester terakhir dan

11
pascapartum. Malaria simtomatik maupun malaria asimtomatik, keduanya
menyebabkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada kehamilan (Nosten
et al., 2007).

Upaya pencegahan dapat megurangi risiko terinfeksinya janin pada negara-


negara berkembang. Pencegahan yang dilakukan meliputi imunisasi maternal
(tetanus, rubela, varisela, hapatitis B), pegobatan antenatal terhadap sifilis maternal,
gonorea, klamidia, penggunaan obat profilaksis pada perempuan hamil yang berisiko
tinggi terhadap grup B streptokokus, dan pengobatan dengan antiretroviral (ARV)
maternal (Saifuddin, 2010).

2.1.2.2 Penyebab Plasenta

Banyak kematian janin akibat abnormalitas plasenta juga dikategorikan


sebagai penyebab maternal atau fetal, sebagai contoh, solusio plasenta yang berkaitan
dengan penyakit hipertensif pada sekitar separuh kasus dan dengan demikian dapat
dikategorikan sebagai penyebab maternal. Insufisiensi plasenta akibat aneuploidi
dapat dianggap sebagai penyebab fetal. Solusio plasenta merupakan penyebab
kematian janin tunggal yang paling sering teridentifikasi (Cunningham et al., 2013).
Solusio plasenta dapat berhubungan dengan trauma yang terjadi pada ibu selama
masa kehamilan. Sebuah penelitian meunjukkan trauma yang dialami oleh ibu selama
masa kehamilan seperti, kecelakaan motor, jatuh dan terpeleset, dapat meningkatkan
insiden kematian janin. Dimana sebagian besar kasus kecelakaan motor pada ibu
hamil berujung pada terjadinya solusio plasenta dan menyebabkan kematian janin
(Hector et al., 2013).

Kelainan pada plasenta dapat berupa bentuk dan implantasi abnormal,


gangguan sirkulasi, kalsifikasi plasenta, lesi villosa hipertrofi, serta tumor pada
plasenta. Gangguan lain yang dapat terjadi pada plasenta yaitu kelainan pada
membran plasenta berupa pewarnaan mekonium dan korioamnionitis. Kelainan pada
tali pusat juga dapat menyebabkan kematian janin akibat gangguan perfusi nutrisi dan

12
oksigen ke janin yang dapat dipengaruhi oleh ukuran tali pusat, gulungan tali pusat
(cord coiling), dan jumlah pembuluh darah dalam tali pusat (Cunningham et al.,
2013).

Penyebab kematian dapat dijelaskan melalui anormalitas patologi plasenta


yang didukung dengan temuan klinis sebagai berikut (Korteweg, 2008):

a) Placental bed pathology. Remodeling arteri spiral yang tidak adekuat dan atau
gangguan arteri spiral yang menyebabkan insufisiensi vaskular uteroplasenta
sehingga terjadi infark plasenta dan solusio plasenta.
b) Placental pathology. Gangguan plasenta yang terjadi semasa perkembangan
dari plasenta itu sendiri, abnormalitas dapat terjadi di parenkim atau lokasi
dari plasenta.
 Perkembangan: abnormalitas morfologi yang menyebabkan proses
perkembangan yang abnormal, misalnya: plasenta sirkumvalata, vasa
previa, villus imatur, dan plasenta hipoplasia.
 Parenkim: termasuk gangguan vili dan jarak antar vili pada parenkim
plasenta, misalnya, fetal trombotik vaskulopati, infark bagian dasar pada
ibu, villitis of unknown origin, endapan fibrinoid perivillus, dan
perdarahan fetomaternal dengan penyebab yang tidak diketahui.
c) Komplikasi tali pusat
d) Tidak dapat di spesifikkan (temuan klinis tidak dapat dispesifikkan ke dalam
tiga kelompok yang disebutkan diatas).

a) Bentuk atau Implantasi Abnormal


Sebagian besar plasenta berbentuk bulat atau oval, tetapi variasinya sering
terjadi. Plasenta membranasea dan plasenta berbentuk anular atau cincin yang
lengkap berkaitan dengan kemungkinan perdarahan antepartum dan pascapartum
yang lebih besar dan hambatan pertumbuhan janin, yang berhubungan dengan IUFD

13
(Faye, Heller, & Joshi, 2006). Plasenta akreta, inkreta dan perkreta yang merupakan
variasi yang serius dengan jaringan trofoblastik menginvasi miometrium, keadaan ini
kemungkinan besar disertai dengan plasenta previa. Ganguan perfusi plasenta juga
dapat terjadi dan dibagi menjadi gangguan aliran darah ibu menuju atau di dalam
plasenta dan aliran darah janin melalui villi. Lesi pada villi kemungkinan besar
menyebabkan pertumbuhan janin sangat terhambat. Adanya kalsifikasi pada plasenta,
lesi villosa hipertrofi, dan tumor plasenta atau metastasis tumor ke plasenta juga dapat
terjadi pada ibu dan akhirya menghambat pertumbuhan janin dan menyebabkan IUFD
(Cunningham et al., 2013).

b) Kelainan Membran
Pewarnaan cairan ketuban terlihat jelas dalam waktu satu hingga tiga jam
setelah keluarnya mekonium. Keadaan ini terjadi akibat pasase mekonium yang dapat
terjadi akibat kompresi kepala atau tali pusat. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan
pasase mekonium meliputi: insufisiensi plasenta, hipertensi ibu, preeklampsia, ibu
dengan penyakit jantung, oligohidroamnion, penggunaan obat-obatan pada ibu
misalnya drug abuse (kokain), ibu merokok, ibu dengan infeksi uterin, sepsis
maternal dan penyakit paru kronik. Keadaan-keaadaan tersebut diatas dapat
menyebabkan aliran darah maternal ke janin terganggu sehingga janin dalam
keadaaan hipoksia dan terjadi pengeluaran mekonium sehingga air ketuban
bercampur mekoniu. Aspirasi mekonium oleh janin dapat menyebabkan sumbatan
jalan napas janin, peradangan dan infeksi berat bahkan sampai kematian janin.
Korioamnionitis yang biasa ditandai oleh kesuraman membran dapat terjadi melalui
jalur infeksi asenden dari genitalia bagian bawah, penyebaran hematogen dari darah
ibu, penyebaran langsung dari endometrium atau tuba uterina, dan kontaminasi
iatrogenik selama tindakan invasif (Cunningham et al., 2013). Keadaan lain yang
pernah ditemukan yaitu amnion nodosun yang merupakan lesi plasenta yang terdiri
dari sejumlah nodul kecil berwarna coklat terang, pada amnion yang membentang di
plasenta dimana hal ini dianggap sebagai ciri khas oligohidramnion yang lama dan

14
berat (Adeniran & Stanek, 2007).

c) Kelainan Tali Pusat


Tali pusat memiliki fungsi vital dan sebagian besar tali pusat memiliki pajang
50 – 60 cm, tali yang terlalu panjang lebih sering menyebabkan prolapsus atau belitan
tali pusat, distres, anomali, dan kematian janin. Pembuluh darah umbilikal melingkar
melalui tali pusat, dan perkiraan jumlah gulungan (cord coiling) per satuan panjang
dapat ditentukan melalui ultrasonography (USG). Secara klinis hipocoiling dikaitkan
dengan kematian janin. Prolapsus tali pusat merupakan kondisi yang jarang terjadi
namun mengakibatkan tingginya kematian janin. Prolaps tali pusat dapat
diklasifikasikan sebagai berikut (Wijayanegara, 2010):
a) Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada di bawah bagian terendah janin
dan ketuban masih intak.
b) Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah
pecah, ke serviks, dan turun ke vagina.
c) Occult prolapse, tali pusat berada di samping bagian terendah janin turun ke
vagina. Tali pusat dapat teraba atau tidak, ketuban dapat pecah atau tidak.

2.1.2.3 Penyebab Materal


Soewarto (2010), menyebutkan beberapa faktor maternal yang menjadi
penyebab kematian janin yaitu, post term (> 42 minggu), diabetes melitus tidak
terkontrol, sistemik lupus eritematous, infeksi, hipertensi, pereeklamsia, eklamsia,
hemoglobinopati, usia ibu yang tua, penyakit rhesus, ruputur uteri, antifosfolipid
sindrom, hipotensi akut ibu, kamatian ibu. Silver (2007) menyebutkan faktor risiko
IUFD meliputi, usia meternal yang meningkat (>35 tahun), obesitas (BMI >30),
infeksi pada ibu selama kehamilan dan penyakit yang diderita ibu seperti hipertensi
dan diabetes.

a) Usia maternal

15
Peningkatan usia ibu lebih dari 35 tahun berhubungan dengan meningkatnya
risiko IUFD. Hal ini sudah banyak dibuktikan oleh banyak penelitian. Wanita yang
berusia 35 tahun atau lebih meningkat risikonya dalam masalah-masalah seperti
tekanan darah tinggi, gestasional diabetes (diabetes yang berkembang pada saat
kehamilan) dan komplikasi selama kehamilan. Pada usia kurang dari 20 tahun, organ-
organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, sehingga bila terjadi kehamilan
dan persalinan akan mudah mengalami komplikasi. Selain itu, kekuatan otot-otot
perineum dan otot-otot perut belum bekerja secara optimal.

b) Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup
diluar rahim (28 minggu). Sedangkan menurut Manuaba (2012), paritas adalah wanita
yang pernah melahirkan bayi aterm.

Klasifikasi Paritas:

a) Nullipara
Wanita yang belum pernah melahirkan janin yang viabilitas untuk pertama
kali atau belum pernah menyelesaikan kehamilannya melewati gestasi 20
minggu. Ia mungkin pernah atau belum pernah hamil atau pernah mengalami
abortus spontan atau elektif atau kehamilan ektopik.
b) Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup
besar untuk hidup di dunia luar.
c) Multipara
Multipara adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih.
Presentase kejadian IUFD berangsur menurun seiring meningkatnya paritas,
gravida dua (22,78%), gravida tiga (21,11%), gravida empat dan lima (5,56%)
(Tamrakar & Chawla, 2012).

16
c) Obesitas
Sejumlah sistem telah digunakan untuk mendefinisikan dan
mengklasifikasikan obesitas. Saat ini yang digunakan adalah Indeks Massa Tubuh
(IMT), yang juga dikenal dengan indeks Quetelet. IMT dihitung sebagai berat dalam
kilogram dibagi tinggi dalam meter persegi (kg/m2). Menurut National Heart, Lung,
and Blood Institute, IMT normal adalah 18,5 sampai 24,9 kg/m 2; kelebihan berat
badan adalah IMT 25 sampai 29,9 kg/m2; dan obesitas adalah IMT 30 kg/m2 atau
lebih. Angka kematian janin juga menigkat pada wanita dengan obesitas. Sebagian
besar penelitian telah memperlihatkan faktor risiko penyebab kematian janin akibat
obesitas maternal (BMI ≥30). Meningkatnya BMI meningkatkan faktor risiko
terjadinya IUFD, seperti diabetes, hipertensi yang meliputi preeklamsi-eklamsi,
penyakit kandung empedu, disfungsi paru, peyakit paru, dan penyakit jantung koroner
(Silver, 2007; ACOG, 2009; Cunningham et al., 2013). Risiko IUFD pada wanita
dengan BMI 30 – 39,9 adalah delapan per 1000 kelahiran dan meningkat menjadi
sebelas per 1000 kelahiran pada wanita dengan BMI >40 (ACOG, 2009).

d) Infeksi pada ibu


Ibu hamil sangat peka terhadap terjadinya infeksi dari berbagai
mikroorganisme. Secara fisiologik sistem imun pada ibu hamil menurun,
kemungkinan sebagai akibat dari toleransi sistem imun terhadap bayi yang
merupakan jaringan semi-alogenik, meskipun tidak memberikan pengaruh secara
klinik. Secara anatomik dan fisiologik ibu hamil juga mengalami perubahan,
misalnya pada ginjal dan saluran kencing sehingga mempermudah terjadinya infeksi.
Infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit, sedangkan penularannya
dapat terjadi intrauterin, pada waktu persalinan atau pascalahir. Transmisi bisa terjadi
transplasenta ataupun melalui aliran darah atau cairan amnion (Surya, 2010).
1. Infeksi Virus
a) Parvovirus
Parvovirus B19 merupakan single stranded DNA yang mengadakan

17
replikasi pada sel yang berproliferasi dengan cepat. Karena itu, pada perempuan
dengan anemia hemolitik infeksi parvovirus dapart menyebabkan aplastik krisis.
Manifestasi klinisnya sendiri ringan dan pada orang dewasa 20 - 30% tanpa
gejala, tetapi dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan. Infeksi
virus ini pada kehamilan juga dapat menyebabkan abortus, hidrop nonimun dan
secara total menyebabkan kegagalan kehamilan sebesar 10%. Pada ibu hamil
dengan IgM antibodi Parvovirus positif, pemeriksaan USG untuk menentukan
adanya hidrops pada bayi perlu dilakukan. Disamping itu, perlu dihitung
Median Cerebral Arteri (MCA), karena jika terjadi anemia pda bayi, maka peak
systolic velocity akan meningkat. Tindakan transfusi intrauterin pada bayi
dikatakan dapat meningkatkan kemungkinan hidup janin dengan hidrop (Surya,
2010).
b) Varisela – Zoster
Virus ini merupakan kelompok DNA Herpes Virus dan hidup laten pada
ganglion bagian belakang setelah infeksi primer. Sebagian besar orang dewasa
(80 - 90%) pernah terinfeksi virus ini sehingga sudah memiliki kekebalan. Pada
kehamilan infeksi varisela terjadi lebih parah dan terjadi komplikasi penumonia.
Infeksi primer varisela bisa mengalami reaktivasi setelah beberapa tahun dalam
bentuk infeksi Herpes Zoster. Infeksi varisela pada ibu hamil trimester I
mungkin menyebabkan cacat bawaan seperti korioretinitis, atrofi korteks
serebri, hidronefrosis, dan kelainan pada tulang dan kulit (Surya, 2010).
c) Virus Hepatitis
Infeksi virus hepatitis yang bisa memberikan pengaruh khusus pada
kehamilan adalah infeksi oleh Virus Hepatitis B (VHB), Virus Hepatitis D
(VHD), dan Virus Hepatitis E (VHE). Jika terjadi infeksi VHB, VHA akut pada
kehamilan bisa mengakibatkan terjadinya hepatitis fulminan yang dapat
menyebabkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi. Pada ibu dapat menyebabkan
abortus, perdarahan pascapersalinan karena adanya gangguan pembekuan darah
akibat gangguan fungsi hati. Bila terjadi super infeksi (dimana pada awalnya

18
terjadi infeksi VHB, kemudian baru terinfeksi oleh VHD) akan berakhir seperti
halnya pada inveksi VHB, dimana 90% akan mengidap kronik dan jika terjadi
infeksi fulminan akan menyebabkan kematian sebesar 5 – 20%. Sedangkan jika
terinfeksi VHE besar kemungkinan akan terjadi hepatitis fulminan dengan
risiko kematian yang tinggi. Pada sebuah penelitian prevalensi infeksi VHE
pada kehamilan adalah 13,4% dimana infeksi ini sekitar 57% terjadi pada
trimester ketiga. Inveksi VHE akut yang terjadi ini 47,3% akan menjadi
hepatitis fulminan dan 15,8% akan mengalami kematian. Skrining HbsAg pada
ibu hamil terutama pada daerah dimana terdapat prevalensi tinggi penting
dilakukan untuk menetahui secara dini infeksi, sehingga ibu dan juga janin
dapat diselamatkan (Surya, 2010).
d) Demam Dengue
Demam Dengue merupakan infrksi dari Virus Dengue (Sero tipe 1, 2, 3,
dan 4) yang merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menonjol di Asia
Tenggara terutama Indonesia. Secara umum penyakit ini disebut Dengue
Syndrome yang dibagi menjadi 3 sesuai dengan gejala, dimana pada awal
ketiganya sukar dibedakan:
 Dengue fever (DF)
 Dengue hemorragic fever (DHF)
 Dengue shock syndrome (DSS)
Gejala klinik secara umum akan terjadi fase febril dimana terjadi panas
tinggi mendadak dan berkesinambungan 2 – 7 hari, kemudian terjadi fase afebril
yang merupakan fase kesembuhan DF, tetapi masih merupakan fase kritis DHF.
Berdasarkan gejala klinik dari penyakit ini, pengaruh yang mungkin terjadi pada
kehamilan yaitu terjadinya IUFD. Jika infeksi terjadi menjelang persalinan
dilaporkan bisa terjadi transmisi vertikal dan bayi lahir dengan gejala
trombositopenia, panas, hepatomegali, dan gangguan sirkulasi. Penanganan
kasus ini sebaiknya ditangani oleh tim dan kalau mungkin hindari persalinan

19
berlangsung pada masa kritis (Surya, 2010).
e) Infeksi HIV dan AIDS
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan
gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya
sistem kekebalan tubuh oleh inveksi virus HIV. Virus ini masuk ke dalam tubuh
melalui perantara darah, semen, dan sekret vagina, dimana 75% penularan
terjadi melalui hubungan seksual. Infeksi HIV memberikan gambaran klinis
yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar, mulai dari asimtomatik pada
stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih
lanjut. Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat terjadi intrauterin (5 – 10%), saat
persalinan (10 – 20%), dan pascapersalinan (5 – 20%). Kelainan yang dapat
terjadi pada janin adalah berat badan lahir rendah, bayi lahir mati, partus
preterm, dan abortus spontan. Terapi dianjurkan untuk semua wanita hamil yang
terinfeksi HIV. Terapi menurunkan risiko penularan perinatal berapapun jumlah
sel T CD4+ atau kadar RNA HIV (Cunningham et al., 2013).
2. Infeksi Bakterial
Grup B Streptokokus –S agalaktiae (GBS) sering terjadi pada vagina dan
rektum. Infeksi berdasarkan kolonisasi diperkirakan 20 – 30% pada kehamilan 35
minggu di seluruh dunia. Selama kehamilan kolonisasi bisa transien, intermiten, atau
kronik, dan spektrum infeksi bervariasi dari adanya kolonisasi asimtomatik sampai
sepsis. Implikasi yang ditimbulkan adalah kelahiran prematur, ketuban pecah dini,
korioamnionitis, fetal dan neonatal infeksi mendapatkan kolonisasi GBS sebesar 30%
pada Preterm PROM (premature rupture of membrane) dan 25% pada preterm labor.
ACOG (2002) merekomendasikan pencegahan dengan pemberian atibiotika pada
persalinan kurang dari 37 minggu, ketuban pecah dini. Antibiotik yang dianjurkan
adalah derivat penisilin dan jika alergi dapat digantikan oleh klindamisin atau
eritromisin (Surya, 2010).

e) Penyakit pada ibu

20
Beberapa penyakit yang baru diderita oleh ibu sewaktu hamil dan juga
penyakit yang sudah diderita oleh ibu sebelum kehamilan dapat mempengaruhi
proses kehamilan dan meningkatkan kemungkinan terjadinya IUFD (ACOG, 2009;
Sukarya, 2010).
a) Gangguan Ginjal
Penyakit ginjal dan saluran kemih banyak dijumpai pada kehamilan. Infeksi
ginjal adalah penyulit medis serius yang paling sering dijumpai pada kehamilan. Dan
kasus ini menjadi penyebab tersering syok septik selama kehamilan. Infeksi biasa
terjadi unilateral dan lebih sering terjadi pada trimester kedua dengan fakor risiko
terkait nuliparitas dan usia muda. Gejala berupa demam mendadak, mengigil, nyeri
pegal pada satu atau kedua regio lumbal, anoreksia, mual dan mntah, dapat
memperparah dehidrasi. Kreatinin plasma harus dipantau karena studi terdahulu
melaporkan bahwa 20% wanita hamil mengalami disfungsi ginjal (Cunningham et
al., 2013).
Kehamilan merupakan suatu kondisi hiperdinamik, hipovolemik, dengan
adaptasi yang tampak pada semua sistem organ utama. Perubaan fisiologik penting
yang timbul pada ginjal selama kehamilan, antara lain:
 Peningkatan aliran plasma renal (Renal Plasma Flow/RPF)
 Peningkatan tingkat filtrasi glumerulus (Glumerular Filtration Rate/GFR)
 Perubahan reabsorbsi glukosa, sodium, asam amino, dan asam urat tubular.
Peningkatan GFR terjadi selama fase luteal dari siklus menstruasi dan terus
meningkat setelah konsepsi, kemudian mencapai puncak sampai sekitar 50% di atas
kadar pada perempuan yang tidak hamil sampai akhir trimester kedua. Sejak
kehamilan trimester kedua, GFR akan meningkat sampai 30 – 50% di atas nilai
normal perempuan tidak hamil. Peningkatan GFR dapat menjelaskan mengapa
ekskresi glukosa, asam amino, dan vitamin larut air akan meningkat selama
kehamilan. Peningkatan ini menetap sampai usia gestasional 36 minggu, lalu terjadi
penurunan. Semakin tua usia gestasional efek kompresi dari pembesaran uterus pada

21
aorta – vena kava dapat menurunkan aliran darah ke ginjal yang mengakibatnya
penurunan kadar kreatinin serum dan urea nitrogen darah (Syamsuri & Bernolian,
2010).
b) Hipertensi
Penyakit hipertensi pada kehamilan dapat menyebabkan gangguan
perkembangan dan pertumbuhan janin. Hipertensi dalam kehamilan merupakan 5 –
15% penyulit kehamilan. Klasifikasi hipertensi yang di pakai di Indonesia adalah
berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Educational Program
Working Group in High Blood Pressure in Pregnancy tahun 2001 ialah:
 Hipertensi kronik: tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau
terdiagnosis sebelum kehamilan 20 minggu.
 Preeklamsia: tekanan darah ≥ 140/90 mmHg yang terjadi setelah kehamilan 20
minggu, disertai proteinuria ≥ 300 mg/24 jam.
 Eklamsia: preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/atau koma.
 Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia: hipertensi kronik disertai
dengan tanda-tanda preeklamsia atau hipertensi kronik disertai proteinuria.
 Hipertensi gestasional: tekanan darah sistolik ≥ 140 atau diastolik ≥ 90 mmHg
ditemukan pertama kali sewaktu hamil, tanpa disertai proteinuria (Angsar,
2010; Cunningham et al., 2013).
Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin
yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme,
dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak preeklamsia dan
eklamsia pada janin adalah:

 IUGR dan oligohidramnion


 Kenaikan morbiditas dan mortalitas janin, secara tidak langsung akibat IUGR,
prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta (Angsar, 2010).
c) Diabetes
Diabetes merupakan komplikasi medik yang sering terjadi pada kehamilan.

22
Ada dua macam perempuan hamil dengan diabetes, yaitu:
 Perempuan hamil dengan diabetes yang sudah diketahui sejak sebelum
perempuan tersebut hamil.
 Perempuan hamil dengan diabetes yang baru diketahui setelah perempuan
tersebut hamil (diabetes gestasional).
Diabetes gestasional adalah intoleransi glukosa yang dimulai atau baru ditemukan
waktu hamil. Setelah ibu melahirkan, keadaan diabetes gestasional sering akan
kembali ke regulasi normal. Kadar glukosa yang tinggi pada ibu hamil menimbulkan
dampak kurang baik terhadap janin yang dikandung. Bayi yang lahir dari ibu dengan
diabetes gestasional biasanya lebih besar, dan bisa terjadi juga pembesaran dari
organ-organnya (hepar, kelenjar adrenal, jantung). Ibu penderita diabetes mellitus
yang tidak terkontrol dengan baik akan meningkatkan risiko terjadinya keguguran
atau bayi lahir mati. Bila diagnosis diabetes mellitus sudah dapat ditegakkan sebelum
kehamilan, tetapi tidak terkontrol dengan baik, maka janin berisiko mempunyai
kelainan kongenital (Sukarya, 2010).

2.1.3 Diagnosis
Kematian janin mungkin berhubugan dengan berhentinya gerakan janin yang
pernah dirasakan sebelumnya atau berkuranganya gejala kehamilan seperti mual.
Pada beberapa kasus dapat terjadi perdarahan, kram perut, dan proses pelahiran.
Diagnosis pasti kematian janin adalah dengan menggunakan USG untuk memastikan
keadaan janin dan memastikan pulsasi jantung janin yang menghilang. Jika belum
padat dipastikan dengan menggunakan USG, maka pemeriksaan dengan
menggunakan USG harus diulang lagi dan harus dipastikan hasil pemeriksaanya oleh
orang yang lebih berkompeten (Silver, 2007).

Wanita dengan IUFD akan mencari pertolongan atau mengunjungi pusat


perawatan atau rumah sakit ketika menyadari tidak adanya pergerakan janin, dan
juga adanya kontraksi, hilangnya cairan dan adanya perdarahan vaginal. Tetapi

23
beberapa kasus dapat asimtomatis, dapat dikatakan sebagai suspect IUFD bila
pemeriksa tidak terdengar suara detak jantung janin (DJJ). Diagnosis ditegakkan
dengan hilangnya DJJ dengan USG, jika pada pemeriksaan pertama DJJ sudah tidak
terlihat tetap dapat dilakukan pemeriksaan kedua untuk lebih memastikan lagi
diagnosis IUFD ini (Temple & Smith, 2014).

2.1.4 Pemeriksaan Klinis


Pemeriksaan janin, plasenta, dan membran secara cermat harus dilakukan saat
kelahiran dan dicatat pada status. Rincian kejadian pranatal yang relevan juga
disertakan. Pencitraan MRI dan sonografi juga dapat dipertimbangkan (ACOG,
2009). Evaluasi laboratorium juga seharusnya dilakukan, ACOG (2009)
merekomendasikan karyotyping secara ideal pada semua kelahiran mati. Persetujuan
yang sesuai harus didapatkan untuk mengambil sampel jaringan fetus, termasuk
cairan yang didapatkan pasca-mnoterm oleh aspirasi jarum. Darah janin sebanyal 3
mL, yang diambil dari arteri umbilikalis (pilihan utama) atau pungsi kardiak,
diletakkan di dalam tabung steril yang di heparinisasi untuk pemeriksaan sitogenik.
Jika sampel darah tidak didapatakan direkomendasikan setidaknya satu dari beberapa
sampel dibawah ini : (1) blok plasenta 1 x 1 cm yang diambil dibawah insersi tali
pusat pada spesimen yang terpisah; (2) Segmen korda umbilikalis sepanjang sekitar
1,5 cm; atau (3) spesimen jaringan internal janin seperti taut kostokondral atau patela.
Jaringan dicuci bersih dengan salin steril sebelum diberikan Ringer Laktat atau
medium sitogenik yang steril (ACOG, 2009).
Pasien juga harus ditawarkan atau dimotivasi untuk mengizinkan autopsi
lengkap, tetapi informasi yang berharga sudah dapat diperoleh dari pemeriksaan
sederhana. Pemeriksaan eksternal lengkap, pencitraan MRI, kultur bakterial,
pemeriksaan kromosomal, dan histopatologis selektif umumnya dapat membantu
menentukan penyebab kematian (Silver, 2007). Tanpa anomali morfologis, hingga
lima persen kelahiran mati memiliki abnormalitas kromosomal (Korteweg et al.,
2008).

24
Tabel 2.2 Protokol untuk Pemeriksaan Kelahiran Mati (Cunningham et al., 2013)
Protokol untuk Pemeriksaan Kelahiran Mati

Deskripsi bayi
Malformasi
Pewarnaan pada kulit
Derajat Maserasi
Warna – pucat, pletorik
Korda Umbilikalis
Prolapsus
Lilitan – leher, lengan, kaki
Hematoma atau striktur
Jumlah pembuluh darah
Panjang
Wharton jelly – normal, tidak ada
Cairan amnionik
Warna – mekonium, darah
Konsistensi
Volume
Plasenta
Berat
Pewarnaan – mekonium
Bekuan yang melekat
Abnormalitas struktural- lobus circumvallata atau lobus accessorius, insersi velementosa

25
Edema – perubahan hidropik
Membran
Terwarnai – mekonium, berkabut
Menebal

2.1.4 Penanganan
Bila diagnosis kematian janin telah di tegakkan, penderita segera diberi
informasi. Diskusikan kemungkinan penyebab dan rencana penetalaksanaannya serta
rekomendasikan untuk segera diintervensi. Bila kematian janin lebih dari 3 – 4
minggu kadar fibrinogen menurun dengan kecendrungan terjadinya koagulopati, dan
masalah menjadi semakin rumit jika kematian janin terjadi pada salah satu dari bayi
kembar. Bila diagnosis sudah ditegakkan lakukan pemeriksaan tanda vital ibu;
dilakukan pemeriksaan darah perifer, fungsi pembekuan, dan gula darah (Soewarto,
2010).
Pada 84 – 90% wanita, persalinan pervaginam dapat ditunggu lahir spontan
setelah 2 minggu, umumnya tanpa komplikasi. Persalinan dapat terjadi secara aktif
dengan induksi persalinan dengan oksitosin atau misoprostol dan tindakan
perabdominal bila janin letak lintang serta beberapa indikasi lain untuk dilakukan
pengeluaran janin dengan segera seperti pada kasus koagulopati, infeksi intauterin,
dan preeklamsia. Hati-hati pada induksi dengan uterus pascaseksio sesarea ataupun
miomektomi, bahaya terjadinya ruptur uteri. Pada Kematian janin 24 – 28 minggu
dapat digunakan misoprostol untuk unduksi kelahiran (Soewarto, 2010; Temple &
Smith, 2014).

Tabel 2.3 Protokol Misoprostol untuk Induksi Persalinan (Dodd & Crowther, 2010)

Dosis Rute Frekuensi

< 28 minggu
200 mg Vaginal Tiap 4 jam

26
200 – 400 mg Oral Tiap 2 – 4 jam
>28 minggu
25 mg Vaginal Tiap 4 jam
25 mg Oral Tiap 4 jam

IUFD berhubungan dengan postraumatic stress disorder (PTSD) dan ansietas


pada kehamilan berikutnya. Pada 21% wanita menunjukkan kriteria PTSD pada
trimester tiga kehamilan berikutnya setelah IUFD. Gejala PTSD dan ansietas lebih
terlihat berat pada wanita yang kurang memiliki teman atau keluarga yang dapat
memberikan support. Sehingga pada edukasi keluarga pasien sangat perlu dijelaskan
untuk terus memberi support pada pasien pasca IUFD untuk tidak merasa takut pada
kehamilan berikutnya (Temple & Smith, 2014).

2.1.5 Pencegahan

Upaya mencegah kematian janin khususnya yang sudah mendekati aterm


adalah dengan memeriksakan diri dan janin melalui ultrasonografi. Hal ini bila ibu
merasakan gerakan janin menurun, tidak bergerak, atau gerakan janin menjadi terlalu
keras. Perhatikan adanya solusio plasenta. Pada gemelli dengan T+T (Twin to twin
transfusion), pencegahan dilakukan dengan koagulasi pembuluh anastomosis
(Soewarto, 2010).

2.2 Penyakit Jantung Katup Pada Kehamilan


2.2.1 Pendahuluan
Penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung yang paling sering ditemukan
pada wanita hamil. Penyakit jantung katup terbagi menjadi 2 pembagian umum, yaitu
penyakit jantung katup obstruktif (stenosis katup) dan penyakit jantung katup

27
regurgitatif (regurgitasi katup). Penyakit jantung katup yang ada sebelum kehamilan
akan menoleransi perubahan hemodinamik yang mengalami perubahan drastis saat
kehamilan (Hadijono, 2010).
Penyakit jantung katup terjadi baik di negara maju maupun negara berkembang.
Di negara berkembang, penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung yang
paling banyak ditemui dan lebih sering disebabkan oleh penyakit jantung reumatik.
Sedangkan di negara maju, penyakit jantung katup merupakan penyakit jantung
nomor dua setelah penyakit jantung bawaan (Hadijono, 2010). Di negara maju,
penyakit jantung reumatik juga merupakan penyebab utama penyakit jantung katup,
meskipun demam reumatik jarang dijumpai akibat lingkungan yang tidak padat,
ketersediaan penisilin yang memadai, serta evolusi galur streptokokus non-
reumatogenik (Cunningham et.al., 2010).

2.2.2 Stenosis Mitral


2.2.2.1 Definisi dan Patofisiologi
Stenosis mitral merupakan penyempitan katup mitral (bikuspid) pada jantung
bagian kiri. Normalnya, luas permukaan katup mitral adalah 4,0 cm 2. Stenosis mitral
terjadi jika luas permukaan katup mitral kurang dari nilai normal dan gejala akan
muncul jika luas katup tersebut kurang dari 2,5 cm2 (Cunningham et.al., 2010).
Respons fisiologis tubuh terhadap sistem kardiovasukler selama kehamilan adalah
terjadinya hipervolemia. Pada minggu ke-5, akan terjadi peningkatan cardiac output
dan penurunan resistensi vaskular sistemik. Antara minggu ke-10 dan 20 akan terjadi
peningkatan volume plasma sehingga preload akan meningkat. Peningkatan volume
plasma ini sebesar 40-45% dan mencapai puncak pada minggu ke-32 sampai 34.
Perubahan cariac output dan preload ini akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami
dilatasi dan hipertrofi namun dengan kontraktilitas yang tetap. Sedangkan setelah
persalinan, akan terjadi autotransfusi berupa kembalinya darah dari ektremitas bawah,
plasenta, dan uterus yang berkontraksi sehingga akan menambah preload
(Cunningham et.al., 2010; Sulin, 2010).

28
Wanita hamil dengan stenosis mitral akan sukar melakukan toleransi terhadap
perubahan fisiologis kardiovaskuler selama kehamilan. Adanya peningkatan preload
yang disertai dengan obstruksi katup mitral akan menyebabkan overloaded pressure
atau peningkatan tekanan pada atrium kiri. Takikardia juga akan memperburuk
kondisi ini akibat waktu pengisian diastolik yang memendek, sehingga volume
pengisian pada diastolik akhir menurun sehingga akan memicu kegagalan ventrikel
kiri. Peningkatan tekanan atrium kiri disertai kegagalan ventrikel kiri akan
menyebabkan peningkatan tekanan dan dilatasi vena serta kapiler-kapiler paru. Hal
ini akan memicu terjadinya hipertensi pulmoner dan edema paru sehingga akan
muncul dispnea pada pasien ini. Pasien stenosis mitral juga rentan untuk mengalami
takiaritmia atrium, khususnya fibrilasi atrium. Pasien dengan fibrilasi atrium berisiko
untuk terbentuknya trombus mural dan embolisasi serebrovaskular, sehingga berisiko
untuk terjadinya stroke (Cunningham et.al., 2010; Hadijono, 2010).

2.2.2.2 Manifestasi Klinik dan Diagnosis


Diagnosis stenosis mitral didasarkan pada gejala yang muncul, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang seperti Ekokardiografi. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan gejala yang muncul atau gejala yang baru muncul saat pasien hamil
tanpa gejala sebelumnya (Hadijono, 2010). Gejala yang muncul dapat berupa dispnea
yang muncul sebagai akibat dari hipertensi pulmoner dan edema paru. Selain itu, rasa
lelah, palpitasi, batuk, dan hemoptisis juga akan muncul sebagai efek stenosis ini
(Cunningham et.al., 2010). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya murmur
diastolik. Kehamilan dapat mempermudah munculnya murmur diastolik akibat
meningkatnya volume plasma sehingga preload juga akan meningkat. Namun,
kondisi takikardia dapat menyebabkan murmur tidak terdengar sehingga dapat
menyerupai kardiomiopati peripartum idiopatik (Hadijono, 2010; Cunningham et.al.,
2010).
Pemeriksaan penunjang dapat menggunakan Ekokardiografi untuk menentukan
derajat stenosis mitral, pengukuran area katup mitral (Mitral Valve Area/ MVA),

29
fungsi pompa ventrikel kiri, trombus, dan derajat hipertensi pulmonal dengan
mengukur tekanan arteri pulmonalis. MVA merupakan determinan kuat untuk
terjadinya edema paru akut. Nilai MVA 1 atau 1,5 cm 2 per m2 luas permukaan tubuh
merupakan batasan minimal stenosis berat. Toleransi stenosis mitral juga ditentukan
oleh compliance atrium kiri. Toleransi stenosis mitral lain yang dapat diukur dengan
Ekokardiografi Doppler adalah tekanan arteri pulmonal dan pemeriksaan regurgitasi
trikuspid (Hadijono, 2010).

2.2.2.3 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien secara umum meliputi mengurangi aktivitas fisik. Adanya
gejala kongesti paru mengindikasikan untuk semakin mengurangi aktivitas fisik,
mengurangi asupan natrium, dan memulai terapi diuretik. Terapi medikamentosa
yang dapat diberikan berupa diuretik, β-blocker, verapamil, digoksin, dan calcium
channel blocker. β-blocker diberikan untuk menumpulkan respons jantung terhadap
aktivitas dan rasa cemas. Jika terjadi fibrilasi atrium onset baru dapat diberikan
Verapamil intravena dengan dosis 5-10 mg. Fibrilasi atrium kronik dapat diterapi
dengan digoksin, calcium channel blocker, atau β-blocker. Terapi antitrombotik
dengan heparin juga diindikasikan terutama pada pasien dengan fibrilasi persisten.
Selain itu, eektrokardioversi menjadi modalitas tambahan dalam penatalaksanaan
pasien stenosis mitral dengan fibrilasi atrium (Cunningham et.al., 2010; Hadijono,
2010).
Secara umum, terminasi kehamilan pada pasien dengan stenosis mitral lebih
dianjurkan secara per vaginam. Sectio caesarea dilakukan jika terdapat indikasi
obstetri saja. Induksi persalinan spontan umumnya aman untuk dilakukan, dengan
catatan bahwa pasien harus diobservasi secara ketat. Ibu harus diposisikan dalam
posisi setengah berbaring dan agak miring. Tanda-tanda vital harus diobservasi di
antara kontraksi. Alasan dilakukannya observasi ketat ini adalah nyeri akibat
persalinan akan menjadi stressor yang berat dan akan merangsang terjadinya
takikardia sehingga kemungkinan gagal jantung akan semakin meningkat. Observasi

30
juga terus dilakukan sampai pascapartum karena adanya peningkatan preload akibat
autotransfusi pada 5-15 menit pascapartum sehingga tekanan intrapulmonar dapat
meningkat. Untuk itu, jika terdapat denyut nadi lebih dari 100 kali per menit,
frekuensi napas lebih dari 24 kali per menit, dan disertai sesak napas, maka ancaman
gagal jantung semakin besar. Pasien dengan kondisi ini membutuhkan pertolongan
medis intensif (Cunningham et.al., 2010).

2.2.2.4 Komplikasi
Penyulit berbanding lurus dengan derajat stenosis mitral. Pasien dengan stenosis
mitral kurang dari 2 cm2 memiliki risiko terbesar untuk mengalami penyulit. Penyulit
yang dapat muncul berupa gagal jantung dan aritmia. Selain itu, fibrilasi atrium
secara tidak langsung dapat memicu terjadi stroke jika mengembolisasi pembuluh
darah serebrovaskuler (Cunningham et.al., 2010).
Komplikasi pada janin dapat berupa ensefalopati janin sebagai akibat tidak
langsung dari edema paru. Edema paru akan menyebabkan hipoksemia maternal
sehingga dapat memicu ensefalopati pada janin yang dikandung oleh ibu. Selain itu,
jika luas katup kurang dari 1 cm 2, dapat menyebabkan intrauterine growth
retardation (IUGR) (Cunningham et.al., 2010).

BAB III
LAPORAN KASUS
LAPORAN KASUS
2.1 Anamnesa
a) Identitas Pasien

31
Nama : Ny.SAK
Usia : 24 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT
Alamat : Kutai Barat
Masuk Rumah Sakit pada tanggal 5 September 2016, pukul 16.00 WITA

b) Identitas Suami
Nama : Tn. S
Usia : 27 tahun
Agama : Islam
Suku : Jawa
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Kutai barat

c) Keluhan Utama:
gerak janin (-)

d) Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien mengatakan tidak ada merasakan gerakan janin sejak 3 hari
yang lalu.

e) Riwayat Haid
Menarche sejak usia 15 tahun, lamanya haid 11 hari, teratur, banyaknya
pendarahan ± 2-3 kali ganti pembalut wanita/hari

HPHT 13-3-2016

TP 20-12-2016

32
f) Riwayat Pernikahan
Menikah 1 kali sejak usia 22 tahun. Lama usia pernikahan sekarang adalah 2,5
tahun

g) Riwayat Obstetri
G1 P0 A0 Hidup: -
JK/
N Tahun Tempat Umur Jenis Penolong BB Keadaan
o Partus Partus Kehamilan Partus     Anak
1 2016 Hamil ini

h) Riwayat Penyakit Dahulu


Kista Ovarium (2015)

i) Riwayat Penyakit Keluarga


-
j) Riwayat Penggunaan Kontrasepsi
-

2.2 Pemeriksaan Fisik


a) Berat badan : 60 kg
b) Tinggi badan : 155 cm
c) Keadaan umum : baik
d) Kesadaran : komposmentis (E4V5M6)
e) Tanda vital
Tekanan darah : 100/60 mmHg
Frekuensi nadi : 60 kali/menit
Frekuensi nafas : 20 kali/menit
Suhu : 36,00C
f) Status generalisata
• Kepala : Normosefalik

33
• Mata : Konjungtiva anemis (-/-)
sklera ikterik (-/-)
• THT : Tidak ditemukan kelainan
• Leher : Pembesaran KGB (-) supraklavikuler & aksiller,
pembesaran tiroid (-)
• Thorax
– Jantung : S1 S2 tunggal reguler
– Paru : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
• Abdomen : cembung, linea nigra (+), striae albicans (+)
sikatrik (-)
• Ekstremitas
Atas : akral hangat, edema (-/-)
Bawah : akral hangat, edema (-/-)
g) Status obstetrik :
1) Inspeksi : datar
2) Palpasi
TFU : sepusat
DJJ :-
HIS :-

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium:
Hb : 11,5
L : 16.100
PLT : 215.000
HT : 33,9 %
BT : 3’
CT : 9’

34
GDS : 119
Ur : 35,9
Cr : 0,67
HbsAg : NR
112 : NR
2.4 Diagnosis Kerja
G1P0A0 gravid 23-24 minggu+IUFD+AF-NVR ec mitral stenosis

2.5 Penatalaksanaan
 Seksio sesarea

3.6 Follow up
Tanggal Follow up Penatalaksanaan
5/9/2016 Menerima pasien baru dari IGD,  Observasi KU dan TTV
16:00 rujukan parikesit  Tx dr. Sp.JP
S: gerakan janin (-) ±3 hari o Lanjut dopamine kec 3
O: TD 70/60, N 60, RR 18x,T 36 meq/kgbb/menit
TFU sepusat, DJJ (-) o Pro terminasi, tidak boleh
Lab: hb 11,5 BT 3’ mengejan
L 16.100 CT 9’ o Post terminasi rawat di ICCU
Hct 33,9% HbsAg NR
 Tx dr. Sp.OG
Tr 215.000 112 NR
o R/ SC besok
A: G1P0A0 Gravid 23-24 minggu +
o Siapkan tempat di ICCU post
IUFD + AF-NVR ec Mitral stenosis
SC
o Tx dr. Sp.JP
21.30 S: gerak janin (-)  Observasi KU, TTV
O: KU sedang, kesadaran CM, TD  Observasi keluhan pasien
90/60, N: 80, RR: 18x, Temp: 36,5 ºC,  Kolaborasi dgn dr. Sp.OG untuk terapi
A: G1P0A0 Gravid 23-24 minggu + selanjutnya
IUFD + AF-NVR ec Mitral stenosis

35
 Kolaborasi dengan dr. anastesi untuk
SC
 Drip dopamine kec 3 meq
 Infus RL

6/9/16 Telpon dr.Sp.OG  R/SC jam 10.00


07.30
S: gerak janin (-)  Observasi KU, TTV
08.00 O: KU sedang, kesadaran CM, TD  Terapi sesuai advice dr. Sp.OG
100/60, N 62, RR 24x/mnt,, Temp: 36  KIE keluarga bahwa kemungkinan
ºC, meninggal di meja operasi
A: G1P0A0 Gravid 23-24 minggu +
IUFD + AF-NVR ec Mitral stenosis
09.00 S: keluhan (-)  SP dopamine 3 meq/kgbb/menit
O: KU baik, keasadaran CM, TD  Pro SC + MOW
100/60, N 70x/mnt, RR: 18x/mnt,  Post op ICCU
Temp: 36,2 ºC, DJJ (-)  KIE keluarga kemungkinan
A: G1P0A0 Gravid 23-24 minggu + meninggal dimeja operasi
IUFD + AF-NVR ec Mitral stenosis
10.00 Memasang dopamine 3
meq/kgbb/menit
11.30 TD 100/60
11.35 Pasien diantar ke OK IGD SCTP+MOW
KIE kondisi durante post op
16.00 S: nyeri sesak , lemas  RL 10 tpm
O: KU baik, keasadaran CM, TD  O2 nasal 4 tpm
130/70, N 52x/mnt, RR: 14x/mnt,  Terpasang DC
Temp: 36,2 ºC,  Bedrest
A: post SC + IUFD + AF-NVR ec
 Mengkaji keluhan dan keadaan umum
Mitral stenosis
 Monitoring TTV

36
 Monitoring balance cairan
 inj. Cefotaxime
22.30 Hasil Lab
Hb 10,0
L 14.540
Hct 30%
Tr 191.000
7/9/16 S: mual dan muntah ±2-3x hari pagi ini  Inj furosemide 3x1 amp
O: KU baik, keasadaran CM, TD  Spirola 25 mg I-0-0
114/61, HR 59x/mnt, RR: 22x/mnt,  Rx echo (kamis 8/9/16)
SpO2 100%,  Dr. Sp.OG:
Pulmo: vesikuler, rhonki (-/-),
Infuse D5 : RL= 2 : 2  30 tpm
wheezing (-/-)
Inj cefotaxime
Cor: murmur sistolik
Metronidazole 2x500 mg
A: post SC + IUFD + suspek RHD
Inj oxytocin 3x1 amp (drips)
MR, TR, PH AF-NVR ec Mitral
Inj vit C 1x1amp
stenosis
Inj metoklopramide prn muntah
8/9/16 S: keluhan (-)  Inj furosemide 3x1 amp
O: KU lemah, kesadaran CM, TD  Spirola 25 mg I-0-0
117/62, HR 85x/mnt, RR: 20x/mnt,  R/ echo hari ini
SpO2 100%,  Inf D5:RL=2:2 30 tpm
Pulmo: vesikuler, rhonki (-/-),
 Inj cefotaxime 3x1gr
wheezing (-/-)
 Inf metronidazole 2x500mg
Cor: murmur sistolik
 Inj vit C 1x1 amp
A: post SC a/I IUFD, susp MR, AF
NVR
9/9/16 S: sesak (-), lemas (+)  Inj furosemide 3x1 amp
08.30 O: KU lemah, kesadaran CM, TD  Spirola 25 mg I-0-0
99/58, HR 101x/mnt, RR: 20x/mnt,  R/ echo hari ini

37
SpO2 100%,  Inf D5:RL=2:2 30 tpm
Pulmo: vesikuler, rhonki (-/-),  Inj cefotaxime 3x1gr
wheezing (-/-)  Inf metronidazole 2x500mg
Cor: murmur sistolik  Inj vit C 1x1 amp
A: post SC a/I IUFD, susp MR, AF
NVR
11.00 S: nyeri post op  Mengedukasi keluarga pasien
O: KU sedang, Kesadaran CS, Skala  Mendampingi pasien kekamar
nyeri 4, TD: 99/51, HR: 91, RR: 24. mandi
Mobilisasi bertahap  Mengatur posisi semi fowler
A: nyeri intoleransi aktifitas  Menciptakan lingkungan yang
P: intervensi dilanjutkan tenang
 Memberikan injeksi cefotaxime 1
gr
 Furosemide 20 mg
Konsul dr.Sp.OG
- Terapi sesuai Sp.JP
- Bila echo selesai jangan
dipulangkan dahulu, pindahkan
keruang mawar nifas untuk
evaluasi luka post op dll
- Acc pindah ruangan mawar
nifas
19.50 S: Menerima pasien dari ICCU,  Injeksi cefotaxime 3x1 gr
keluhan nyeri bekas operasi  Injeksi metronidazole 2x500ml
O: KU sedang, kesadaran CM, TD:  Injeksi vit c 1x1
110/70, HR: 254, RR: 22, T: 36C,  Spirola 25mg 1-0-0
SaO2: 96
 Metoclopramid 2x500mg
A:P1A0 post SC hari 3 a/i IUFD +

38
10/9/2016 S: nyeri bekas operasi (+) berkurang  Injeksi furosemide
Jantung berdebar debar (+) berkurang  Cefadroxyl 3x500mg caps
O: TD:90/60, HR: 85x/menit, RR: 23,  Spirola 25mg I-0-0
T: 36,6C, cor murmur sistolik (+),  Asam mefenamat 3x500
abdomen: kontraksi (+), TFU 3 jari
 Biosanbe 1x1
dibawah pusat, luka operasi kering
 R/ boleh pulang besok
A:Post SC a/i IUFD + PJB + Suspek
RHD RR, MS, Pit, TR + AF NVR
11/9/16 S: -  Furosemide 40mg I-I-0
O: KU baik, TD:100/60, HR: 67,  Cefadroxyl 1x500 mg caps
RR:24, T: 36,5C, abdomen kontraksi  Spirola 25mg I-0-0
(+), TFU 3 jari dibawah pusat  Asam mefenamat 3x500mg
A: Post SC a/i IUFD + PJB + Post
 Biosanbe 1x1
MOW + Suspek RHD RR, MS, Pit, TR
 Boleh pulang hari ini
+ AF NVR

Laporan Operasi

• Memberi informed consent kepada pasien dan keluarga mengenai operasi dan
komplikasinya

• Memposisikan pasien dalam posisi duduk kemudian dilakukan anastesi spinal

• Pasien diposisikan berbaring kemudian dicek apakah anastesi sudah bekerja


atau tidak

• Disinfeksi dinding abdomen dari dalam keluar hingga ke paha, kemudian


persempit lapangan operasi dengan duk steril

39
• Dilakukan insisi mediana pada dinding abdomen lapis demi lapis (kutis-
subkutis-lemak-fasia transversalis-m. obliqus externus-m. rectus abdominis-
m. piramidalis-m.obliqus internus-m.transversus abdominis-peritoneum)

• pisahkan plika vesica urinaria secara tumpul dengan tangan operator

• Fiksasi blast dengan menggunakan hak blast

• Dilakukan insisi ada segmen bawah rahim

• Dilakukan pemecahan ketuban kemudian di suction

• Meluksir janin mulai dari kepala, badan,kaki

• Mengusap kepala bayi dengan kasa steril kemudian mulut dan hidung bayi di
suction

• klem tali pusat,kemudian dipotong,injeksi oksitosin 1 ampul ke uterus

• Dilakukan manual plasenta untuk mengeluarkan plasenta

• Dilakukan pembersihan kavum uteri dengan kasa betadin dan pastikan tidak ada
sisa plasenta yang tertinggal

• Dilakukan penjahitan segmen bawah rahim dengan benang cat gut plain 2.0

• Bersihkan cavum abdomen dengan NaCl kemudian disuction

• Dilakukan penjahitan dinding abdomen lapis demi lapis

peritoneum dengan benang cat gut plain 2.0

otot dengan benang cat gut plain 2.0

fascia transversalis dengan benang vicryl 1.0

lemak dan subkutis dengan benang cat gut lain 2.0

40
kutis dengan benang silk 3.0

• bersihkan permukaan abdomen dengan NaCl 0.9%

• Tutup luka operasi dengan supratul dan kasa steril, kemudian tutup dengan
hipafix

• Dilakukan pemeriksaan dalam untuk mengeluarkan bekuan darah

• Monitoring cairan input-output

BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

ACOG. (2009). Management of Stillbirth. The American College of Obstetricians


and Gynecologysts. no. 102.

ACOG. (2002). Prevention of early-onset group streptococcus disease in newborns.


Committee opinions no. 129.

Adeniran, A. J., & Stanek J. (2007). Amnion nodusum revisited: Clinicopathologic

41
and placental corelations. Arch Pathol Lab Med, 131: 1829.

Angsar, M. D. (2010). Hipertensi Dalam Kehamilan. In S. Prawirohardjo, Ilmu


Kebidanan (pp. 530-561). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Cunningham, G. F., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., & Spong,
C. Y. (2013). Obstetri Williams (23 ed., Vol. 1). Jakarta: EGC.

Cunningham, G. F., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Hauth, J. C., Rouse, D. J., & Spong,
C. Y. (2013). Obstetri Williams (23 ed., Vol. 2). Jakarta: EGC.

Hector, M. F., Joshua, D., Roxanne, A., & Dwight, J. (2013). Trauma in pregnancy:
an updated systematic review. American Journal of Obstetrics and
Gynecology: 01-10.

Korteweg, F. J., Gordijn, S. J., Timmer, A., Holm, J. P., Ravise, J., & Erwich, J.
(2008). A Placental Cause of Intra-uterine Fetal Death Depends on the
Perinatal Mortality Classification System Used. Placenta, 29: 71-80.

MacDorman, M. F., & Kirmeyer, S. (2009). Fetal and perinatal mortality, United
States, 2005. Natl Vital Stat Re 57: 1-19.

Manuaba, I. B., Manuaba, C., & Manuaba, F. (2012). Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta: EGC.

Saifuddin, A. B. (2010). Pencegahan Infeksi Maternal dan Neonatal. In S.


Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp. 414-418). Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Silver, R. M. (2007). Fetal death. Obstet Gynecol, 109:153-167.

Soewarto, S. (2010). Kematian Janin. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp. 732-

42
735). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Sukarya, W. S. (2010). Kehamilan dan gangguan Endokrin. In S. Prawirohardjo, Ilmu


Kebidanan (pp. 846-847). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Surya, I. G. P. (2010). Penyakit Infeksi. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp.


903-920). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Syamsuri, A. K., & Bernolian, N. (2010). Kehamilan dengan Penyakit Ginjal. In S.


Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan (pp. 829-845). Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

Tamrakar, S. R., & Chawla, C. D. (2012). Intrauterine Foetal Death and its Probable
Causes: Two year Experience in Dhulikhel Hospital – Kathmandu University
Hospital. Kathmandu Univ med J, 10(4):44-48.

Temple, R., & Smith, S. (2014). Intrauterine fetal demise: Care in the aftermath, and
beyond. The Journal of Family Practice, 63(6): E9-13.

Wijayanegara, H. (2010). Prolaps Tali Pusat. In S. Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan


(pp. 625-628). Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

43

Anda mungkin juga menyukai