Anda di halaman 1dari 23

A.

PENGERTIAN JIWA
Jiwa adalah unsur manusia yang bersifat nonmateri, tetapi fungsi dan manifestasinya
sangat terkait pada materi. Mahasiswa yang pertama kali mempelajari ilmu jiwa dan
keperawatan jiwa sering mengalami kesulitan dengan hal yang harus dipelajari, karena jiwa
bersifat abstrak dan tidak berwujud benda. Setiap manusia memiliki jiwa, tetapi ketika ditanya,
“Mana jiwamu?” hanya sebagian kecil yang dapat menunjukkan tempat jiwanya. Hal ini karena
jiwa memang bukan berupa benda, melainkan sebuah sistem perilaku, hasil olahpemikiran,
perasaan, persepsi, dan berbagai pengaruh lingkungan sosial. Semua ini merupakan manifestasi
sebuah kejiwaan seseorang. Oleh karena itu, untuk mempelajari ilmu jiwa dan keperawatannya,
pelajarilah dari manifestasi jiwa terkait pada materi yang dapat diamati berupa perilaku
manusia.
Manifestasi jiwa antara lain tampak pada kesadaran, afek, emosi, psikomotor, proses
berpikir, persepsi, dan sifat kepribadian. Kesadaran dalam hal ini lebih bersifat kualitatif, diukur
dengan memperhatikan perbedaan stimulus (stressor) dan respons (perilaku yang ditampilkan),
serta tidak diukur dengan Glasgow Coma Scale
(GCS). Suatu saat kami (K) sedang menjenguk teman (T) yang dirawat di unit psikiatri sebuah
rumah sakit di Surabaya. Ketika kami sampai di pintu ruang perawatan, spontan dia marah dan
berteriak keras sembari menuding ke arah kami, seraya berkata seperti pada percakapan berikut.
T: “Jika kamu tidak suka dengan aku, tidak usah ke sini. Buat apa kamu datang jika tidak
suka sama aku, pergi kamu, pergiiii...”.
K : kami tertegun, kemudian menjawab “Justru aku ke sini karena aku suka kamu, kami
ada perhatian dengan kamu, kami ingin tahu bagaimana kabar dan keadaanmu”.
T : “Tapi kenapa kamu pakai baju merah?”(salah satu di antara kami ada yang memakai
baju merah).
K : “Memang kenapa? Ada apa dengan baju merah?”
T : “Merah kan artinya Stop, tidak boleh jalan, dilarang masuk. Berarti kamu tidak suka
dengan aku, pergi kamu, pergiii..”

Dari sepenggal percakapan di atas, kita dapat menganalisis betapa pasien memberikan
makna berlebihan terhadap warna merah. Pasien berkonotasi dengan hal lain yang tidak ada
kaitannya dengan pakaian warna merah. Kemudian diekspresikan dengan perilaku marah,
berteriak, dan menciptakan suasana tidak kondusif. Inilah contoh kesadaran yang terlalu tinggi,
yakni hanya dengan sedikit stimulasi (baju merah) dia memberikan makna atau reaksi
berlebihan.

Selain kesadaran terlalu tinggi, dalam keperawatan kesehatan jiwa kita sering
menemukan kesadaran terlalu rendah. Hal ini sering dialami oleh pasien depresi atau yang
tertekan. Dengan stimulasi yang banyak, pasien tetap tidak memberikan respons, seperti diajak
makan tidak mau, diajak mandi tidak mau, diajak jalan jalan tidak mau. Pasien hanya duduk
diam, tidak beranjak dari tempatnya, bahkan diajak bicara pun pasien tidak menjawab. Selain itu,
mungkin kita temukan kesadaran pasien yang fluktuatif, kadang marah, kadang
diam, sebentar marah sebentar lagi tertawa.Aspek kesadaran pada masalah kejiwaan mungkin
kita temukan kesadaran yang terlalu tinggi, terlalu rendah, atau fluktuatif. Inilah manifestasi
jiwa, tampak dari perilaku yang
diekspresikan (secara lebih detail, ekspresi perilaku pasien akan dipelajari pada komponen
pengkajian tanda dan gejala gangguan jiwa).
B. PENGERTIAN KESEHATAN JIWA

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan bugar dan nyaman
seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah relatif, karena bersifat subjektif
sesuai orang yang mendefinisikan dan merasakan. Bagi seorang kuli bangunan, kaki kejatuhan
batu, tergencet, dan berdarah-darah adalah hal biasa, karena hanya dengan sedikit
dibersihkannya, kemudian disobekkan pakaian kumalnya, lalu dibungkus, kemudian dapat
melanjutkan pekerjaan lagi. Namun, bagi sebagian orang, sakit kepala sedikit harus berobat ke
luar negeri. Seluruh komponen tubuh juga relatif, apakah karena adanya panu, kudis, atau
kurap pada kulit, seseorang disebut tidak sehat? Padahal komponen tubuh manusia bukan hanya
fisik, melainkan juga psikologis dan lingkungan sosial bahkan spiritual.Jiwa yang sehat sulit
didefinisikan dengan tepat. Meskipun demikian, ada beberapa indikator untuk menilai kesehatan
jiwa. Karl Menninger
mendefinisikan orang yang sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan
bahagia.
Michael Kirk Patrickmendefinisikan orang yang sehat jiwa adalah orang yang bebas dari gejala
gangguan
psikis, serta dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya. Clausen mengatakan bahwa
orang yang sehat jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai
stresor, serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, makna, budaya, kepercayaan,
agama, dan sebagainya.World Health Organization (WHO)pada tahun 2008 menjelaskan kriteria
orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut.

1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk.
2. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari.
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.

Di Indonesia draf rencana undang undang (RUU) kesehatan jiwa belum selesai dibahas. Pada
perundangan terdahulu, UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 tentang Upaya Kesehatan Jiwa,
memberikan batasan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah suatu kondisi dapat menciptakan
keadaan yang memungkinkan atau mengizinkan perkembangan fisik, intelektual, dan emosional
yang optimal pada seseorang, serta perkembangan ini selaras
dengan orang lain. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Bab IX tentang
kesehatan jiwa menyebutkan Pasal 144 ayat 1 “Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin
setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan
gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Ayat 2, “Upaya kesehatan jiwa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien
gangguan jiwa, dan masalah psikososial”.Batasan ini pun sulit dipenuhi, sehingga semua kriteria
dapat dipertimbangkan dalam menilai kesehatan jiwa. Oleh karenanya, orang yang sehat jiwanya
adalah orang yang sebagai berikut.
1. Melihat setiap hari adalah baik, tidak ada satu alasan sehingga pekerjaan harus ditunda,
karena setiap hari adalah baik.
2. Hari besok adalah hari yang baik.
3. Tahu apa yang diketahui dan tahu apa yang tidak diketahui.
4. Bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan membuat lingkungan menjadi lebih baik.
5. Selalu dapat mengembangkan usahanya.
6. Selalu puas dengan hasil karyanya.
7. Dapat memperbaiki dirinya dan tidak menganggap dirinya selalu benar

 PENGERTIAN KEPERAWATAN JIWA


Stuart dan Sundeen memberikan batasan tentang keperawatan jiwa, yaitu suatu proses
interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku, yang
mengontribusi pada fungsi yang terintegrasi. Sementara ANA (American Nurses Association)
mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri
secara terapeutik sebagai kiatnya (Stuart, 2007). Berdasarkan dua pengertian di atas, maka setiap
perawat jiwa dituntut mampu menguasai bidangnya dengan menggunakan ilmu perilaku sebagai
landasan berpikir dan berupaya sedemikian rupa sehingga dirinya dapat menjadi alat yang efektif
dalam merawat pasien (Depkes RI, 1998).Penggunaan diri secara terapeutik secara detail sudah
dibahas pada mata ajar ilmu dasar keperawatan pada topik komunikasi terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah suatu cara dalam berkomunikasi dengan menekankan pengalaman belajar
bersama dengan pasien untuk memperbaiki emosi pasien. Walaupun perawat atau tenaga
kesehatan lain lebih mengerti tentang masalah kesehatan, seseorang yang lebih mengerti tentang
masalah pasien adalah pasien. Oleh karenanya, perawat harus menciptakan rasa percaya (trust)
agar pasien dapat mempercayai perawat sebagai tempat berkeluh kesah tentang masalah
kesehatannya. Perawat mengkaji data secara verbal dan nonverbal sehingga dapat dirumuskan
masalah keperawatan untuk diselesaikan bersama dengan pasien. Dengan demikian, perawat
dapat menggunakan dirinya sebagai seorang penolong (helper).
Ada beberapa pertanyaan yang bisa dijawab untuk mengetahui (introspeksi) perawat
adalah orang yang layak membantu atau “penolong”, antara lain sebagai berikut (Stuart dan
Laraia, 2005).
1. Apakah saya dapat dipandang sebagai orang yang dapat dipercaya, serta dapat dijadikan
pegangan atau konsisten dalam arti yang mendalam?
2. Apakah saya cukup ekspresif?
3. Apakah saya bersikap positif, hangat, perhatian, menyukai, menaruh perhatian, dan
respek?
4. Apakah saya cukup stabil untuk berpisah dengan seseorang?
5. Apakah saya dapat membiarkan diri sepenuhnya “masuk ke dunia” orang lain (perasaan,
makna diri) dan menerima pihak lain apa adanya?
6. Apakah perilaku saya tidak dianggap sebagai ancaman pihak lain?
7. Apakah saya membebaskan pasien dari perasaan terancam oleh kritik/kecaman/penilaian
eksternal?
8. Apakah saya menerima pasien sebagai “
Beberapa pertanyaan di atas merupakan indikator yang harus dipenuhi apabila perawat ingin
menjadi seorang helper. Selain seorang helper, perawat harus menyadari bahwa kemampuan
terapeutik perawat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kualitas personal, komunikasi
fasilitatif, dimensi respons, dimensi tindakan, dan hambatan dalam komunikasi.
Kualitas personal, tercermin dari kemampuan perawat untuk melakukan menganalisis diri.
Apabila perawat mampu melakukan analisis diri. Perawat diharapkan dapat menggunakan
dirinya secara terapeutik untuk membantu dan mengembangkan pengalaman bersama pasien
dalam menyelesaikan permasalahan pasien.
Komunikasi fasilitatif merupakan cerminan kemampuan perawat untuk menerapkan prinsip
komunikasi dan berbagai faktor yang memengaruhi. Komunikasi fasilitatif meliputi perilaku
verbal, perilaku nonverbal, kemampuan perawat menganalisis masalah, dan menerapkan teknik
terapeutik.
Dimensi respons merupakan reaksi perawat terhadap komunikasi yang terjadi. Dimensi
respons ini terdiri atas sikap ikhlas, hormat, empati, dan konkret. Setelah dimensi respons,
biasanya akan diikuti oleh dimensi tindakan, seperti konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan,
emosional katarsis, dan bermain peran.

KUALITAS PERSONAL
KOMUNIKASI FASILITATIF
Kesadaran diri

Klasifikasi nilai Perilaku Verbal

Eksplorasi perasaan Perilaku Nonverbal

Model peran Analisis Masalah


Altruitis Teknik Terapeutik
Tanggung jawab

DIMENSI RESPONS DIMENSI TINDAKAN

Ikhlas Konfrontasi

Hormat Kesegeraan

Empati Keterbukaan

Konkret Emosional Katarsis

Bermain Peran

HAMBATAN TERAPEUTIK

Resistensi
Transferens
Konter Transferens
Pelanggaran Batasan
• Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa

Selain semua faktor di atas, masih ada faktor yang memengaruhi komunikasi terapeutik
yaitu hambatan terapeutik atau kebutuhan terapeutik. Hambatan terapeutik ini dapat berasal
dari perawat ataupun pasien. Hambatan terapeutik dari pasien biasanya berupa resistensi
dan transferen. Sementara hambatan terapeutik yang dari perawat dapat berupa konter
transferen dan pelanggaran batasan.
Setelah memahami konsep penggunaan diri secara terapeutik, seorang perawat jiwa
harus menggunakan ilmu perilaku untuk membantu menyelesaikan masalah. Secara umum
tidak ada seseorang menangis jika tidak ada sebabnya, tidak ada orang marah jika tidak ada
sebabnya, dan seterusnya. Pelajarilah berbagai teori perilaku, teori alasan bertindak (theory
reason action), dan teori perencanaan bertindak (theory plan behavior), sehingga dapat
dikembangkan berbagai falsafah dalam keperawatan kesehatan jiwa

 MODEL PRAKTIK KEPERAWATAN JIWA


Model adalah suatu cara untuk mengorganisasikan pengetahuan yang kompleks,
membantu
praktisi, serta memberi arah dan dasar dalam menentukan bantuan yang diperlukan. Model
praktik keperawatan jiwa mencerminkan sudut pandang dalam mempelajari penyimpangan
perilaku dan proses terapeutik dikembangkan. Model praktik dalam keperawatan kesehatan
jiwa ini menggambarkan sebuah
psikodinamika terjadinya gangguan jiwa.
Psikodinamika terjadinya gangguan jiwa menggambarkan serangkaian peristiwa,
sehingga gangguan jiwa terjadi. Oleh karenanya, diperlukan pengkajian mendalam terhadap
berbagai faktor penyebab gangguan jiwa, tanda dan gejala, serta urutan kejadian peristiwa.
Dengan demikian, akan tergambarkan sebagai masalah keperawatan yang ditemukan (pada
komponen pengkajian keperawatan jiwa), sehingga dapat disusun jejaring urutan kejadian
masalah dalam sebuah pohon masalah.
Beberapa model praktik yang dikembangkan dalam keperawatan kesehatan jiwa
antara lain model psikoanalisis, model interpersonal, model sosial, eksistensial, suportif,
komunikasi, perilaku, model medik, dan yang paling sering digunakan dalam keperawatan
jiwa adalah model stres adaptasi.
Secara singkat beberapa model dalam praktik keperawatan jiwa seperti terangkum
1. Sejarah dan Perkembangan Keperawatan Jiwa Di Dunia
Sejarah keperawatan di dunia diawali pada zaman purbakala (Primitive Culture) sampai
pada munculnya Florence Nightingale sebagai pelopor keperawatan yang berasal dari Inggris.
Perkembangan keperwatan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan
peradaban manusia.
Perkembangan keperawatan diawali pada :
1. Zaman Purbakala (Primitive Culture)
Manusia diciptakan memiliki naluri untuk merawat diri sendiri (tercermin pada seorang
ibu). Harapan pada awal perkembangan keperawatan adalah perawat harus memiliki naluri
keibuan (Mother Instinc). Dari masa Mother Instic kemudian bergeser ke zaman dimana orang
masih percaya pada sesuatu tentang adanya kekuatan mistic yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia. Kepercayaan ini dikenal dengan nama Animisme. Mereka meyakini bahwa
sakitnya seseorang disebabkan karena kekuatan alam/pengaruh gaib seperti batu-batu, pohon-
pohon besar dan gunung-gunung tinggi.
Kemudian dilanjutkan dengan kepercayaan pada dewa-dewa dimana pada masa itu
mereka menganggap bahwa penyakit disebabkan karena kemarahan dewa, sehingga kuil-kuil
didirikan sebagai tempat pemujaan dan orang yang sakit meminta kesembuhan di kuil tersebut.
Setelah itu perkembangan keperawatan terus berubah dengan adanya Diakones & Philantrop,
yaitu suatu kelompok wanita tua dan janda yang membantu pendeta dalam merawat orang sakit,
sejak itu mulai berkembanglah ilmu keperawatan.
2. Zaman Keagamaan
Perkembangan keperawatan mulai bergeser kearah spiritual dimana seseorang yang sakit
dapat disebabkan karena adanya dosa/kutukan Tuhan. Pusat perawatan adalah tempat-tempat
ibadah sehingga pada waktu itu pemimpin agama disebut sebagai tabib yang mengobati pasien.
Perawat dianggap sebagai budak dan yang hanya membantu dan bekerja atas perintah pemimpin
agama.
3. Zaman Masehi
Keperawatan dimulai pada saat perkembangan agama Nasrani, dimana pada saat itu
banyak terbentuk Diakones yaitu suatu organisasi wanita yang bertujuan untuk
mengunjungiorang sakit sedangkan laki-laki diberi tugas dalam memberikan perawatan untuk
mengubur bagi yang meninggal.
Pada zaman pemerintahan Lord-Constantine, ia mendirikan Xenodhoecim atau hospes
yaitu tempat penampungan orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan. Pada zaman ini
berdirilah Rumah Sakit di Roma yaitu Monastic Hospital.
4. Permulaan abad XVI
Pada masa ini, struktur dan orientasi masyarakat berubah dari agama menjadi kekuasaan,
yaitu perang, eksplorasi kekayaan dan semangat kolonial. Gereja dan tempat-tempat ibadah
ditutup, padahal tempat ini digunakan oleh orde-orde agama untuk merawat orang sakit. Dengan
adanya perubahan ini, sebagai dampak negatifnya bagi keperawatan adalah berkurangnya tenaga
perawat. Untuk memenuhi kurangnya perawat, bekas wanita tuna susila yang sudah bertobat
bekerja sebagai perawat. Dampak positif pada masa ini, dengan adanya perang salib, untuk
menolong korban perang dibutuhkan banyak tenaga sukarela sebagai perawat, mereka terdiri dari
orde-orde agama, wanita-wanita yang mengikuti suami berperang dan tentara (pria) yang
bertugas rangkap sebagai perawat.
Lamp”.
6. Perkembangan keperawatan di Inggris
Florence kembali ke Inggris setelah perang Crimean. Pada tahun 1840 Inggris mengalami
perubahan besar dimana sekolah-sekolah perawat mulai bermunculan dan Florence membuka
sekolah perawat modern. Konsep pendidikan Florence ini mempengaruhi pendidikan
keperawatan di dunia.
Kontribusi Florence bagi perkembangan keperawatan :
 Nutrisi merupakan bagian terpenting dari asuhan keperawatan.
 Okupasi dan rekreasi merupakan terapi bagi orang sakit
 Manajemen RS
 Mengembangkan pendidikan keperawatan
 Perawatan berdiri sendiri berbeda dengan profesi kedokteran
 Pendidikan berlanjut bagi perawat.
Negara-negara yang berpengaruh dalam perkembangan keperawatan jiwa
1. Peru
Dari zaman purbakala telah terdapat tanda- tanda yang menunjukkan bahwa pada waktu
itu manusia sudah mengenal dan berusaha mengobati gangguan jiwa. Ditemukan beberapa
tengkorak yang di lubangi, mungkin pada penderita penyakit ayan atau yang menunjukan
perilaku kekerasan dengan maksud untuk mengeluarkan roh jahat. Kepercayaan bahwa gangguan
jiwa itu timbul karena masuknya roh nenek moyang ke dalam tubuh seseorang lalu
menguasainya merupakan suatu hal yang universal.
2. Mesir
Kira –kira dalam tahun 1500 SM terdapat tulisan tentang orang yang sudah tua, sebagai
berikut: “... hati menjadi berat dan tidak dapat mengingat lagi hari kemarin”. Dalam tahun-tahun
berikutnya di sana di dirikan beberapa buah kuil yang terkenal dengan nama “Kuil Saturn” untuk
merawat orang dengan gangguan jiwa
3. Yunani
Hippocrates (460-357 SM) yang sekarang di anggap sebagai bapak ilmu kedokteran yang
terkenal karena rumus sumpah dokternya telah menggambarkan gejala- gejala melancholia dan
berpendapat bahwa penyakit ayan itu bukanlah suatu penyakit keramat akan tetapi mempunyai
penyebab alamiah seperti penyakit lain.Dalam kuil-kuil yang di pakai sebagai tempat perawatan
pasien dengan gangguan jiwa di gunakan hawa segar, air murni dan sinar matahari serta musik
yang menarik dalam pengobatan para penderita itu. Dalam jaman romawi pada waktu itu di
lakukan “pengeluaran darah dan mandi belerang”. Setelah jatuhnya kebudayaan yunani dan
romawi, dan ilmu kedokteran mengalami kemunduran. Penderita gangguan jiwa di ikat, di
kurung, di pukuli atau dibiarkan kelaparan. Ada yang di masukan ke dalam sebuah tong lalu di
gulingkan dari atas bukit ke bawah ada yang di cemplungkan ke dalam sungai secara mendadak
dari atas jembatan.
2. . Sejarah dan Perkembangan Keperawatan Jiwa di Indonesia
Sejarah dan perkembangan keperawatan di Indonesia dimulai pada masa penjajahan
Belanda sampai pada masa kemerdekaan.
1. Masa Penjajahan Belanda
Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi yaitu
pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris dan Jepang. Pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken
Oppaser sebagai penjaga orang sakit.
Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untuk memelihara kesehatan
staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial Belanda pada masa ini adalah membentuk
Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat. Daendels mendirikan rumah sakit di
Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan, karena
tujuannya hanya untuk kepentingan tentara Belanda.
2. Masa Penjajahan Inggris (1812 – 1816)
Gurbernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangat memperhatikan
kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan adalah milik manusia, ia
melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara lain :
 pencacaran umum
 cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
 kesehatan para tahanan
Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan penduduk lebih
maju. Pada tahun 1819 didirikan RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan pada tahun 1919
dipindahkan ke Salemba yaitu RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tahun 1816 – 1942 berdiri
rumah sakit – rumah sakit hampir bersamaan yaitu RS. PGI Cikini Jakarta, RS. ST Carollus
Jakarta, RS. ST. Boromeus di Bandung, RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan dengan itu berdiri
pula sekolah-sekolah perawat.
3. Zaman Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Pada masa ini perkembangan keperawatan mengalami kemunduran, dan dunia
keperawatan di Indonesia mengalami zaman kegelapan. Tugas keperawatan dilakukan oleh
orang-orang tidak terdidik, pimpinan rumah sakit diambil alih oleh Jepang, akhirnya terjadi
kekurangan obat sehingga timbul wabah.
4. Zaman Kemerdekaan
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan dibidang kesehatan yaitu rumah sakit dan balai
pengobatan. Tahun 1952 didirikan Sekolah Guru Perawat dan sekolah perawat setimgkat SMP.
Pendidikan keperawatan profesional mulai didirikan tahun 1962 yaitu Akper milik Departemen
Kesehatan di Jakarta untuk menghasilkan perawat profesional pemula. Pendirian Fakultas Ilmu
Keperawatan (FIK) mulai bermunculan, tahun 1985 didirikan PSIK ( Program Studi Ilmu
Keperawatan ) yang merupakan momentum kebangkitan keperawatan di Indonesia. Tahun 1995
PSIK FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian muncul PSIK-PSIK baru seperti di
Undip, UGM, UNHAS dll.

Model Pendekatan Keperawatan Jiwa


Berdasarkan konseptual model keperawatan diatas, maka dapat dikelompokkan ke dalam
6 model yaitu:
1. Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang apabila
ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau insting). Ketidakmampuan
seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk mematuhi tata tertib, peraturan, norma,
agama(super ego/das uber ich), akan mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of
Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik intrapsikis
terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa oral dimana anak tidak
mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya stimulus untuk belajar berkata- kata,
dilarang dengan kekerasan untuk memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan
sebagainya. Hal ini akan menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas dan analisa
mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya klien dibuat dalam keadaan
ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya pengalaman alam bawah sadarnya digali
dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal
dengan metode hypnotic yang memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.
Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan mimpinya,
sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan mimpi pasien.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian mengenai
keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada masa lalu misalnya
( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan secar kasar, diterlantarkan, diasuh
dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak), dengan menggunakan pendekatan komunikasi
terapeutik setelah terjalin trust (saling percaya).
2. Interpersonal ( Sullivan, peplau)
Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat adanya ancaman.
Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas timbul dan alami seseorang
akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang lain (interpersonal). Menurut konsep ini
perasaan takut seseorang didasari adnya ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang
sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya membangun
rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal Satisfaction (menjalin hubungan
yang saling percaya) dan membina kepuasan dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien
merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan sharing
mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh klien saat berhubungan
dengan orang lain), therapist use empathy and relationship ( perawat berupaya bersikap empati
dan turut merasakan apa-apa yang dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal
yang mendorong rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.
3. Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)
Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial dan respo
maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering sakit maag, migraine,
batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak keluhan seperti : mudah cemas, kurang
percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu, pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti :
susah bergaul, menarik diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan,
dan sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa. Fenomena
tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada masalah-masalah yang muncul
saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif, individu diupayakan
mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada pada dirinya; kekuatan mana yang
dapat dipakai alternative pemecahan masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping yang dimiliki
dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin hubungan yang hangat dan empatik
dengan klien untuk menyiapkan coping klien yang adaptif.
5. Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor yang kompleks
meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial. Sehingga focus penatalaksanaannya
harus lengkap melalui pemeriksaan diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik
interpersonal. Perawat berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan
prosedur diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi,
laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis pendekatan terapi
yang digunakan.
MODEL KONSEPTUAL KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA

a. . Pengertian Model Konseptual Keperawatan Jiwa


1. Model Konseptual
Model adalah contoh, menyerupai, merupakan pernyataan simbolik tentang fenomena,
menggambarkan teori dari skema konseptual melalui penggunaan symbol dan diafragma, dan
Konsep adalah suatu keyakinan yang kompleks terhadap suatu obyek, benda, suatu peristiwa
atau fenomena berdasarkan pengalaman dan persepsi seseorang berupa ide, pandangan atau
keyakinan. Model konsepadalah rangkaian konstruksi yang sangat abstrak dan berkaitan yang
menjelaskan secara luas fenomena-fenomena, mengekspresikan asumsi dan mencerminkan
masalah. (Hidayat, 2006, hal.42)
Model konseptual merupakan kerangka kerja konseptual, sistem atau skema yang
menerangkan tentang serangkaian ide global tentang keterlibatan individu, kelompok, situasi,
atau kejadian terhadap suatu ilmu dan perkembangannya. Model konseptual memberikan
keteraturan untuk berfikir, mengobservasi dan menginterpretasi apa yang dilihat, memberikan
arah riset untuk mengidentifikasi suatu pertanyaan untuk menanyakan tentang fenomena dan
menunjukkan pemecahan masalah (Christensen & Kenny, 2009, hal. 29).

2. Model Konseptual dalam Keperawatan


Model konseptual keperawatan merupakan suatu cara untuk memandang situasi dan
kondisi pekerjaan yang melibatkan perawat di dalamnya. Model konseptual keperawatan
memperlihatkan petunjuk bagi organisasi dimana perawat mendapatkan informasi agar mereka
peka terhadap apa yang terjadi pada suatu saat dengan apa yang terjadi pada suatu saat juga dan
tahu apa yang harus perawat kerjakan (Brockopp, 1999, dalam Hidayati, 2009).
Model konseptual keperawatan telah memperjelas kespesifikan area fenomena ilmu
keperawatan yang melibatkan empat konsep yaitu manusia sebagai pribadi yang utuh dan unik.
Konsep kedua adalah lingkungan yang bukan hanya merupakan sumber awal masalah tetapi juga
perupakan sumber pendukung bagi individu. Kesehatan merupakan konsep ketiga dimana
konsep ini menjelaskan tentang kisaran sehat-sakit yang hanya dapat terputus ketika seseorang
meninggal. Konsep keempat adalah keperawatan sebagai komponen penting dalam perannya
sebagai faktor penentu pulihnya atau meningkatnya keseimbangan kehidupan seseorang (klien)
(Marriner-Tomey, 2004, dalam Nurrachmah, 2010)
Tujuan dari model konseptual keperawatan (Ali, 2001, hal. 98) :
a. Menjaga konsisten asuhan keperawatan.
b. Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan oleh
tim keperawatan.
c. Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan.
d. Memberikan pedoman dalam menentukan kebijaksanaan dan keputusan.
e. Menjelaskan dengan tegas ruang lingkup dan tujuan asuhan keperawatan bagi setiap anggota
tim keperawatan.
Konseptualisasi keperawatan umumnya memandang manusia sebagai mahluk
biopsikososial yang berinteraksi dengan keluarga, masyarakat, dan kelompok lain termasuk
lingkungan fisiknya. Tetapi cara pandang dan fokus penekanan pada skema konseptual dari
setiap ilmuwan dapat berbeda satu sama lain, seperti penenkanan pada sistem adaptif manusia,
subsistem perilaku atau aspek komplementer (Marriner-Tomey , 2004, dalam Nurrachmah,
2010).

3. Keperawatan Jiwa
a. Pengertian Keperawatan Kesehatan Jiwa( Yosep, 2010, hal. 1-2 )
1) Menurut American Nurses Associations (ANA)
Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang menggunakan ilmu
tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara teraupetik dalam
meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental
masyarakat dimana klien berada (American Nurses Associations).
2) Menurut WHO
Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tidak ganguan jiwa, melainkan mengandung
berbagai karakteristik yang adalah perawatan langsung, komunikasi dan management, bersifat
positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan
kedewasaan kepribadian yang bersangkutan
3) Menurut UU KES. JIWA NO 03 THN 1966
Kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional secara optimal
dari seseorang dan perkembangan ini selaras dengan orang lain.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada ilmu
perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan dengan respons
psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-psiko-sosial, dengan
menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa ( komunikasi terapeutik dan terapi
modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui pendekatan proses keperawatan untuk
meningkatkan, mencegah, mempertahankan dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien
(individu, keluarga, kelompok komunitas ).Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang
berusaha untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh
sebagai manusia (Sulistiawati dkk , 2005, hal. 5)
b. Komponen Paradigma Keperawatan Jiwa
Prinsip keperawatan jiwa terdiri dari empat komponen yaitu manusia, lingkungan,
kesehatan dan keperawatan(Sulistiawati dkk, 2005, hal. 5-6)
1) Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi dan bereaksi dengan
lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai kebutuhan dasar yang sama dan
penting. Setiap individu mempunyai harga diri dan martabat. Tujuan individu adalah untuk
tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan
untuk berubahdan keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai
kapasitas koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana perilaku tersebut meliputi
persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.
2) Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan salah satu
segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk memperoleh
kesehatan yang sama melalui perawatan yang adekuat.
3) Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan menggunakan
diri sendiri secara terapeutik. Metodologi dalam keperawatan jiwa adalah menggunakan diri
sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal dengan menyadari diri sendiri,
lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan. Kesadaran ini merupakan dasar untuk
perubahan. Klien bertambah sadar akan diri dan situasinya, sehingga lebih akurat
mengidentifikasi kebutuhan dan masalah serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya.
Perawat memberi stimulus yang konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan
masalah yang merupakan modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan.
Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa bertujuan untuk mememberian asuhan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien, merupakan proses terapeutik yang melibatkan
hubungan kerja sama antara perawat dengan klien, dan masyarakat untuk mencapai tingkat
kesehatan yang optimal (Carpenito, 1989 dikutip oleh Keliat,1991).
Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi, diprioritaskan untuk dipenuhi, serta
diselesaikan. Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan
keperawatan yang bersifat rutin, intuisis, dan tidak unik bagi individu klien. Proses keperawatan
mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat
diperbaharui jika keadaan klien klien berubah. Tahap demi tahap merupakan siklus dan saling
bergantung. Diagnosis keperawatan tidak mungkin dapat dirumuskan jika data pengkajian belum
ada. Proses keperawatan merupakan sarana / wahana kerja sama perawat dan klien. Umumnya,
pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada proses sampai akhir
diharapkan sebaliknya peran klien lebih besar daripada perawat sehingga kemandirian klien
dapat tercapai. Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan sebagai kriteria kebutuhan
terpenuhi dan / atau masalah teratasi. (Keliat, 2006, hal.1-3)

c. Prinsip-Prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa


Prinsip-prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa menurut (Yosep, 2010, hal.6)
1) Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi keperawatan
jiwa : yang kompeten).
2) Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat dengan
klien).
3) Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
4) Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam keperawatan
jiwa).
5) Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam keperawatan
jiwa).
6) Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis dalam
keperawatan jiwa).
7) Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya dalam
keperawatan jiwa).
8) Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan dalam
keperawatan jiwa).
9) Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika dalam
keperawatan jiwa).
10) Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses keperawatan :
dengan standar- standar perawatan).
11) Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards (aktualisasi
peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar professional).

B. Beberapa model konsep keperawatan jiwa:


1. Model Psikoanalisa
a. Konsep
Merupakan model yang pertama yang dikemukakan oleh Sigmun Freud yang meyakini
bahwa penyimpangan perilaku pada usia dewasa berhubungan pada perkembangan pada anak.
Setiap fase perkembangan mempunyai tugas perkembangan yang harus di capai. Gejala yang
nampak merupakan simbul dari konflik.
b. Proses terapi
1) Memakan waktu yang lama
2) Menggunakan tehnik asosiasi bebas dan analisa mimpi” menginterpretasikan perilaku,
menggunakan transferens untuk memperbaiki masa lalu ,mengidentifikasi area masalah.

c. Peran pasien dan terapis


1) Pasien : mengungkapkan semua pikiran dan mimpi
2) Terapis:mengupayakan perkembangan transferens menginterpretasikan pikiran dan mimpi
pasien dalam kaitannya dengan konflik.

2. Model Perilaku
a. Konsep
Dikembangkan oleh H.J Esyenk, J.Wolpe dan B.F Skiner. Teori ini menyakini bahwa
perubahan perilaku akan merubah koognitif dan avektif.
b. Proses terapi
1) Desenlisasi / pengalihan
2) Teknik relaksasi
3) Asertif training
4) Reforcemen/memberikan penghargaan
5) Self regulation/mengamati perilaku klien : self standar ketrampilan,self observasi , self
evaluasi , self reforcemen.
c. Peran pasien dan terapis
1) Pasien :
a) Mempraktikkan teknik perilaku yang digunakan untuk mengerjakan pekerjaan rumah
b) Penggalakan latihan
2) Terapis :
a) Mengajarkan kepada klien tentang pendekatan perilaku
b) Membantu mengembangkan hirarki perilaku
c) Menguatkan perilaku yang diinginkan

3. Model Eksistensi
a. Konsep
Teori mengemukakan bahwa penyimpangan perilaku terjadi jika individu putus hubungan
dengan dirinya dan lingkungannya. Keasingan diri dan lingkungan dapat terjadi karena hambatan
pada diri individu. Individu merasa putus asa,sedih,sepi,kurang kesadaran diri yang mencegah
partisipasi dan penghargaan pada hubungan dengan orang lain. Klien sudah kehilangan/tidak
mungkin menemukan nilai-nilai yang memberi arti pada eksistensinya.

b. Proses terapi
1) Rational emotive therapy
Konfrontasi digunakan untuk bertanggung jawab terhadap perilakunya. Klien didorong
menerima dirinya sebagai mana adanya bukan karena apa yang dilakukan.
2) Terapi logo
Terapi orientasi masa depan. Individu meneliti arti dari kehidupan , karena tanpa arti berarti
eksis. Tujuannya agara induvidu sadar akan tanggung jawabnya.
3) Terapi realitas
Klien dibantu untuk menyadari target kehidupannya dan cara untuk mencapainya. Klien
didasarkan akan alternatif yang tersedia
c. Peran pasien perawat
1) Pasien : bertanggung jawab terhadap perilakunya dan berperan serta dalam suatu pengalaman
berarti untuk mempelajari tentang dirinya yang sebenarnya

2) Terapis :
a) Membantu pasien untuk mengenali diri
b) Mengklarifikasi realita dari suatu situasi
c) Mengenali pasien tentangperasaan tulus
d) Memperluas kesadaran diri pasien
A. PEDOMAN PENGGOLONGAN DIAGNOSA GANGGUAN JIWA

konsep gangguan jiwa menurut PPDGJ


Istilah yang digunakan adalah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder)
tidak mengenal istilah penyakit jiwa ( mental illness atau mental disease)
kriteria gangguan jiwa:
Adanya gangguan klinis yang bermakna
- Sindrom atau pola perilaku
- Sindrom atau pola psikologi
Gejala klinis menimbulkan distress ( rasa nyeri, tidak yaman dll)
Gejala klinis menimbulkan disability (ketidakmampuan dalam perawatan diri, dll)
PPDGJ menganut pendekatan ateoritik kecuali pada gangguan yang telah secara jelas disepakati
penyebabnya
Pengelompokan diagnosis gangguan jiwa berdasarkan gambaran klinik
PPDGJ tidak menganggap gangguan jiwa adalah satu kesatuan yang tegas dengan batas-batas
yang jelas antara gangguan jiwa tertentu dengan gangguan jiwa lainnya
Anggapan salah: semua orang yang menderita gangguan jiwa yang sama akan serupa dalam
segala hal yang penting
URUTAN HIRARKI BLOK DIANOSIS
1. gangguan mental organic dan simptomatik gangguan mental dan perilaku akibat zat psikoaktif
2. schizophrenia, gangguan schizotypal dan waham
3. gangguan suasana perasaan
4. gangguan neurotk, gangguan somatoform dan gangguan stress
5. sindrom perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis
6. gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa
7. retardasi mental
8. gangguan perkembangan psikologis
9. gangguan perilaku emosional
10. kondisi lain ang menjadi focus perhatian klinik
DIAGNOSIS MULTIAKSIAL
AKSIS I : gangguan klinis
Kondisi lain yang menjadi focus perhatian klinik
AKSIS II : gangguan kepribadian, retardasi mental
AKSIS III : kondisi medik umum
AKSIS IV : masalah psikososial dan lingkungan
AKSIS V : penilaian fungsi secara global

AKSIS I
F 00-F 09 : gangguan mental organic (+simtomatik)
F 10-F 19 : gangguan mental dan perilaku
F 20-F 29 : schizophrenia, schizotypal & gangguan waham
F 30-F 39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif)
F 40-F 49 : gangguan neurotik, somatoform >gangguan terkait stress
F 50-F 59 : sindroma prilaku gangguan fisiologis

AKSIS II

F 60 : gangguan kepribadian khas


F 60.0 : gangguan kepribadian paranoid
F 60.1 : gangguan kepribadian schizoid
F 60.2 : gangguan kepribadian disosial
F 60.3 : gangguan kepribadian emosional tak stabil \
F 60.4 : gangguan kepribadian histrionic
F 60.5 : gangguan anankastik
AKSIS III
Bab I A00-B99 : penyakit infeksi & parasite
Bab II C00-D99 : neoplasma
Bab IV E00-G99 : penyakit endokrin, nutrisi dan endokrin
Bab VI G00-G59 : penyakit susunan syaraf
Bab VII H00-H59 : penyakit mata dan adneksa
Bab VIII H60-H99 : penyakit telinga dan proses mastoid

AKSIS IV
 Masalah dengan primery support group
 Masalah berkaitan lingkungan social
 Masalah pendidikan
 Masalah pekerjaan
 Masalah perumahan
 Masalah ekonomi
 Masalah akses dan pelayanan kesehatan

AKSIS V ( Global Assesment of Functioning scale)


 100-91 : gejalah tak ada, fungsi maksimal
 90-81 : gejala minimal, fungsi baik
 80-71 : gejala sementara dan dapat diatasi
 70-61 : beberapa gejala ringan & menetap
 60-51 : gejala sedang, disabilitas sedang
 50-41 : gejala berat, disabilitas berat
 40-39 : disabilitas dalam beberapa realita, disabilitas berat dalam beberapa fungsi

Contoh : diagnose gangguan jiwa yang sering ditemukan di RSJ


GANGGUAN MENTAL ORGANIK
Gangguan Utama :
 Gangguan kognitif (memori, intelektual, learning)
 Gangguan sensorium ( kesadaran, perhatian)
 Sindrom dengan manifestasi yang menonjol spt:
 Persepsi : Halusinasi
 Isi pikir : waham
 Alam peraaan : depresi

MANFAAT PPDGJ
 Penyeragaman kode membantu dalam pencatatan, dokumentasi dan statistik kesehatan
 Keseragaman diagnose merupakan acuan untuk tata laksana therapy
 Sebagai alat komunikasi team kesehatan termasuk perawat
 Penelitian : memberikan batasan operasional diagnose gangguan jiwa

MANFAAT PPDGJ BAGI PERAWAT


 Perawat akan lebih cepat mengantisipasi respon klien berdasarkan diagnosa klien
 Membantu perawat dalam merencanakan tindakan keperawatan
 Sebagai bahan untuk memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga
 Sebagai bahan diskusi dengan team medis karena perawat mempunyai waktu interaksi
yang lebih lama, sehingga perawat dapat mengumpulkan informasi gejalah klien lebih
banyak.
 Membantu managemen perawatan dalam mendesgn ruang perawatan . contoh : Ruang
UPIP, ruang gangguan jiwa organic
 Membantu managemen perawatan dalam menyiapkan sumber daya perawat. Missal :
pelatihan
 Menjadi rujukan untuk pengembangan penelitian dan pengembangan ilmu perawatan.
Misal : RUFA = GAF
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC.
Stuart, G.W., & Sundeen, S.J. (1995). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC
Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

http://akper-alikhlas.com/wp-content/uploads/2016/02/pedoman-penggolongan-diagnosis-gangguan-
jiwa1.pdf

Stuart Gail. 2007 . buku saku keperawatan jiwa edisi 5. Jakarta:EGC


Suliswati dkk. 2005. Konsep dasar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta:EGC
Isaacs ann. 2005.panduan belajar keperawatan kesehatan jiwa dan psikiatri edisi 3. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai