Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Saat ini di Indonesia terutama di kota-kota besar bermunculan banyak pusat

perbelanjaan yang ditujukan bagi konsumen berbagai segmen. Perkembangan

gaya hidup yang semakin meningkat menggeser pusat perbelanjaan tradisional ke

arah pusat perbelanjaan modern. Para pelaku bisnis pusat perbelanjaan

berlombalomba untuk mengembangkan inovasi seperti peningkatan kualitas

layanan pelanggan, penyediaan gerai, perencanaan desain pusat perbelanjaan,

penyediaan sarana relaksasi bagi pengunjung, maupun penyediaan pusat jajanan

yang dikemas dalam sebuah penyajian konsep pusat perbelanjaan. Semua itu

adalah usaha yang dilakukan oleh para pengelola pusat perbelanjaan untuk

memperpanjang jangka waktu dan frekuensi konsumen dalam pengalaman

berbelanja.

Konsumen saat ini lebih cerdas, karena mereka akan memilih pusat

perbelanjaan dengan atmosfir yang menyenangan, aman, nyaman, serta

memberikan perasaan puas dan terhibur setiap kali melakukan aktivitas

berbelanja. Oleh karena itu perasaan senang yang dialami oleh konsumen ketika

melakukan aktivitas berbelanja merupakan sebuah peluang bagi para pengelola

gerai.

Wakefield dan Baker (1998) mengemukakan bahwa gerai-gerai di kota-kota

besar selalu berkompetisi satu sama lain untuk menciptakan kondisi-kondisi yang

menyenangkan guna memenuhi keinginan sebagian besar konsumen yang

1
menginginkan pengalaman yang menyenangkan ketika berkunjung ke sebuah

gerai. Kondisi seperti itulah yang menunjang konsumen untuk tetap tinggal dan

berlama-lama dalam sebuah gerai. Hal ini menyebabkan adanya peluang bagi

konsumen untuk melakukan pembelanjaan . Konsumen yang merasa senang

dalam sebuah gerai akan dapat lebih leluasa dalam hal melihat, mencari, dan

memutuskan mengenai produk-produk apa saja yang dibutuhkan oleh konsumen.

Perilaku konsumen terhadap lingkungan gerai lebih penting dalam

mempengaruhi respon afektif konsumen jika dibandingkan dengan perilaku

terhadap produk (Darden et al, 1983). Sebab pakar pemsaran mengemukakan

bahwa suasana gerai akan mempengaruhi inferensi pengunjung gerai terhadap

lingkungan gerai secara langsung memiliki dampak terhadap mood pengunjung

(Chebat dan Michon, 2003). Lingkungan gerai yang efektif dapat meningkatkan

nilai pembelanjaan dan membuat konsumen akan tetap betah tinggal berlama-

lama di gerai (Stoel et al, 2004).

Pada saat ini peranan belanja impulsif konsumen, yang memberikan

kontribusi bagi kinerja pendapatan toko-toko ritel dewasa ini, menjadi topik

bahasan penting pada banyak penelitian selama beberapa dekade terakhir, sebagai

contoh pada penelitian-penelitian berikut: Virvilaite, Saladiene, dan Bagdonaite

(2009); Sharma, Sivakumaran, dan Marshall (2006); Hausman (2000); Shoham

dan Brencic (2000); Beay dan Ferrell (1998); Rook dan Fisher (1995); Rook

(1987); Bellenger, Robertson dan Hirschman (1978); Cobb dan Hoyer (1986);

Stern (1962). Perilaku belanja impulsif adalah suatu perilaku konsumen yang

mengambil keputusan pembelian tanpa direncanakan sebelumnya (Stern, 1962).

2
Sewaktu masuk ke dalam toko konsumen biasanya mengambil keputusan bersifat

mendadak dan spontan karena tertarik melihat barang-barang dagangan yang

terpajang menarik, sehingga tanpa memikirkan konsekuensi selanjutnya. Hasil

penelitian POPAI (Point Of Purchase Advertising Institute, 2007) dan GMA

(Grocery Marketing Association, 2007) mengindikasikan 75% keputusan

pembelian dilakukan di dalam toko adalah keputusan impulsif. Sedangkan

penelitian di Amerika dan Eropa menemukan kontribusi belanja impulsif ini

mencapai 60 sampai 70 persen dari total penjualan toko ritel (Bell, Corsten, dan

Knox, 2007). Nilai belanja impulsif semakin meningkat searah dengan kemajuan

ekonomi dan gaya hidup masyarakat setempat. Sejalan dengan itu, maka banyak

penelitian mengamati faktor-faktor pendorong tim

Pembelian impulsif merupakan sebuah fenomena dan menjadi sebuah

kecenderungan perilaku berbelanja konsumen yang terjadi di dalam pasar.

Pembelian impulsif menjadi poin penting yang mendasari aktivitas pemasaran

(Herabadi, 2003).

Studi yang dilakukan Bellenger et al. dalam Mattila dan Wirtz (2008)

menyebutkan bahwa jumlah pembelian impulsif yang terjadi di department store

di Amerika Serikat mencapai 27 sampai 62 persen dari seluruh pembelian.

Sebagian besar keputusan konsumen dibuat saat berada di dalam gerai (Fam et al.,

2011).

Toko-toko ritel besar (hypermarket) telah merambah ke seluruh dunia

melalui jaringan distribusinya yang berperan sebagai wholesaler sekaligus sebagai

retailer di semua negara berkembang termasuk Indonesia. Sejak tahun 2000

3
sampai sekarang pertumbuhan hypermarket mencapai 30% per tahun, sedangkan

supermarket menurun dari 15% menjadi 10% pertahun (Kontan, Oktober 2009).

Pada tahun 2009 hypermart memiliki 44 gerai, Makro memiliki 19 gerai, Giant

memiliki 27 gerai, dan Carrefour, ritel dari Perancis, yang berkembang pesat satu

dekade terakhir memiliki 45 gerai di Indonesia (Majalah SWA, 16 Oktober 2009).

Dari sisi pangsa pasar, tahun 2005 saja hypermarket telah menguasai 38,5% dari

total pasar ritel Indonesia Rp.87,5 triliun (Business Intelligence Report - BIRO,

2005). Kondisi pertumbuhan hypermarket ini tidak dapat dihindarkan karena

revolusi perubahan strategi bisnis ritel modern didukung oleh organisasi mutahir

yang menyediakan jasa pelayanan mutahir dan ekstra lengkap sehingga

hypermarket menciptakan nilai tambah maksimal sebagai sarana distribusi bagi

industri manufaktur produk-produk primer, sekunder, maupun tertier dari sisi

pemasok (R.Kasali, 2007). Keadaan ini juga menciptakan nilai tambah

spektakuler bagi konsumen karena menyediakan pelayanan one stop shopping

(Bliss, 1988). Hypermarket adalah hasil evolusi alami dari toko ritel kecil

tradisional, yang tadinya hanya menjual kebutuhan pokok sehari-hari, merupakan

konsekuensi logis hasil kemajuan industri ritel modern (R.Kasali, 2007). Pada sisi

lain, kondisi ini juga disebabkan oleh tuntutan permintaan pasar yang meningkat

terhadap layanan terbaik, terlengkap dan paling efisien dari sisi harga dan waktu

belanja bagi konsumen. Hypermarket juga memiliki keunggulan teknologi

jejaring komputer canggih yang disebut dengan Efficient Consumer Response

(ECR) untuk mengendalikan stok dan dipadukan dengan Electronic Data

Interchange (Henky, 2008).

4
Matahari Department Store merupakan perusahaan ritel tertua dan terbesar

di Indonesia. Pada tahun 2011 perusahan ritel ini menguasai pangsa pasar ritel

Indonesia (Vivanews, 2011).

Matahari Department Store Simpng Lima merupakan cabang usaha pertama

yang didirikan di Semarang. Berbagai usaha telah dilakukan manajemen Matahari

Department Store Simpang Lima untuk menciptakan atmosfer gerai yang nyaman

dan berkesan guna merangsang terjadinya pembelian oleh konsumen. Cara-cara

tersebut antara lain menyediakan musik, penyejuk udara,penataan/display produk,

pencahayaan, tata letak produk sejenis juga diletakkan berdekatan agar

memudahkan pelanggan dan Layout gerai yang memudahkan lalu lintas

konsumen.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan mendasarkan latar belakang di atas pertanyaan penelitian yang

hendak dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Adakah pengaruh store atmosfere terhadap impulsive buying?

2. Adakah pengaruh pelayanan ritel terhadap impulsive buying ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Menganalisis pengaruh store atmosphere terhadap impulsive buying

2. Menganalisis pengaruh pelayanan ritel terhadap impulsive buying

5
3. mengetahui pengaruh budaya kerja terhadap kepuasan kerja

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah :

1. memberi masukan pada manajemen mengenai faktor –faktor yang

mempengaruhi impulsive buying

2. mengembangkan ilmu pemasaran terutama mengenai faktor yang

mempengaruhi impulsive buying

6
BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Pembelian impulsif (impulsive buying)

Pembelian impulsif (impulsive buying) adalah perilaku berbelanja yang

terjadi secara tidak terencana, tertarik secara emosional, di mana proses

pembuatan keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan

pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada (Bayley dan

Nancarrow, 1998).

Pembelian impulsif timbul ketika seorang konsumen mengalami dorongan

yang seketika, seringkali kuat dan teguh untuk membeli sesuatu dengan segera

(Hausman, 2000). Pembeli impulsif tidak merefleksikan pikiran dalam berbelanja,

tetapi tertarik merupakan bentuk ketertarikan secara emosional terhadap suatu

objek. Perilaku seperti ini pada umumnya didorong oleh pemenuhan terhadap

kepuasan dengan segera. Oleh karena itu konsumen yang seperti ini pada

umumnya kurang memperhatikan dampak negatif dari tindakan yang

dilakukannya (Kacen dan Lee, 2002).

Menurut Sterns (1962) belanja impulsif adalah suatu pembelian yang

dilakukan konsumen tanpa direncanakan sebelumnya (impulsive buying is a

purchase that made by consumers without being intentionally planned before).

Perilaku konsumen ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat

pendapatan, personalitas seseorang, ketersediaan waktu, lokasi, dan faktor budaya

belanja setempat. Perilaku ini tidak hanya ditunjukkan oleh orang-orang yang

7
berbeda terhadap produkproduk yang sama, tetapi juga oleh orang-orang yang

sama pada situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Suatu pembelian yang

direncanakan secara teliti, bijaksana dan melalui evaluasi matang pada umumnya

menghasilkan hasil rasional, akurat dan merupakan keputusan baik. Kebalikannya

dari berbelanja terencana, maka belanja impulsif adalah spontanitas dan keputusan

mendadak dimana konsumen tidak secara aktif melihat lebih rinci produk-produk

yang dibeli dan tanpa rencana awal (Kollat dan Willet, 1967; Rook 1987; Rook

dan Fisher 1995; Verplanken dan Herabadi, 2001). Lebih jauh mengenai

spontanitas, Rook (1987) mendeskripsikan belanja impulsif sebagai suatu kondisi

ketegangan, melakukan aksi pembelian dalam keadaan tergesa-gesa, seolah-olah

terdesak waktu, tanpa mempertimbangkan konsekuensi selanjutnya setelah

keputusan pembelian. Rook (1987) lebih menekankan bahwa konsumen mungkin

berada dalam kondisi yang tidak rasional dalam berbelanja.

Hansen dan Olsen (2008) menekankan orientasi kenyamanan (Convenience

Orientation) dan persepsi desakan waktu (Perceived Time Pressure) adalah

sebagai anteseden dari tendensi belanja impulsif (Impulsive Buying Tendency) dan

seterusnya memengaruhi loyalitas konsumen terhadap toko (Consumer Store

Loyalty). Situasi dan kondisi dalam toko memegang peranan sangat penting dalam

upaya meningkatkan ketertarikan calon konsumen untuk berbelanja, yang

akhirnya calon konsumen mengambil keputusan melakukan belanja impulsif

spontan di tempat (Verplanken dan Herabadi 2001; Rook dan Fisher, 1995; Rook

1987; Kollat dan Willet, 1967). Penelitian ini ditujukan pada hal-hal yang

berhubungan dengan perilaku belanja impulsif konsumen, sedangkan karakteristik

8
belanja impulsif banyak diteliti dan ditulis dalam semenjak awal tahun 1962an

sampai dengan tahun 2009 ini.

2.2 Atmosfer Gerai

Atmosfer gerai merupakan salah satu elemen bauran pemasaran ritel yang

terkait dalam hal penciptaan suasana belanja. Atmosfer merupakan kunci dalam

menarik dan membuat konsumen terkesan dengan pengalaman berbelanja di

dalam gerai (Coley dan Burgess, 2003).

Atmosfer berbelanja mempengaruhi keyakinan terhadap produk dan

pelayanan yang ditawarkan oleh sebuah gerai ritel (Grayson dan McNeill, 2009).

Oleh karena itu, atmosfer gerai merupakan salah satu aspek yang penting yang

harus dipertimbangkan ketika mengelola tujuan bisnis dan ekspektasi konsumen

(Grayson dan McNeill, 2009).

Utami (2010) menyatakan terdapat dua macam motivasi berbelanja yang

menjadi perhatian peritel dalam menyediakan atmosfer dalam gerai yang sesuai.

Pertama adalah kelompok yang berorientasi pada motif utilitarian yang lebih

mementingkan aspek fungsional. Kelompok kedua adalah kelompok yang

berorientasi rekreasi, faktor ambience, visual merchandising, dan fasilitas-fasilitas

yang lengkap menjadi faktor penentu keputusan konsumen.

Konsumen akan lebih senang berbelanja jika merasa nyaman ketika

berinteraksi dengan lingkungan berbelanja dan kemungkinan besar akan

berkunjung kembali ke suatu gerai (Soars, 2009).

9
2.3 Pelayanan Ritel

Terdapat berbagai definisi mengenai pelayanan (service), Stanton dalam

Alma (2005) mendefinisikan pelayanan sebagai sesuatu yang dapat diidentifikasi

secara terpisah, tidak berwujud, ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan.

Pelayanan yang ditawarkan kepada konsumen ini biasanya tidak berwujud, namun

pelayanan dapat dihasilkan dengan menggunakan benda-benda berwujud maupun

tidak.

2.4 Hubungan pengaruh antar variabel

2.4.1 Pengaruh store atmosfer terhadap impulse buying

Semuel (2005) menemukan bahwa lingkungan berpengaruh positif terhadap

pembelian impulsif. Oleh karena itu Stimulus dalam lingkungan berbelanja dapat

diwujudkan melalui atmosfer gerai serta pelayanan (service) yang diberikan

kepada konsumen saat melakukan kegiatan berbelanja (Fam et al., 2011).

Hasil penelitian dari Youn dan Faber (2000) yang menyebutkan bahwa

ketersediaan fasilitas pelayanan dalam suatu gerai akan mendorong terjadinya

pembelian impulsif.

Ballantine et al. (2010) menyebutkan bahwa lingkungan berbelanja dapat

didesain sedemikian rupa dengan tujuan menimbulkan efek emosional dalam diri

konsumen, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya pembelian.

Oleh karena itu hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H1: store atmosphere berpengaruh positif terhadap impulsive buying

10
2.4.2 Pelayanan ritel terhadap impulse buying

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yistiani et al (2012) menunjukkan

bahwa pelayanan ritel memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pembelian

impulsif yang menandakan semakin baik atmosfer gerai yang diciptakan gerai

maka dapat mendorong terjadinya pembelian impulsif pelanggan pada gerai yang

bersangkutan. Temuan ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Youn dan Faber (2000) yang menemukan bahwa atmosfer gerai

memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku impulsif serta penelitian oleh

Soars (2009) yang menemukan adanya pengaruh positif atmosfer gerai terhadap

pembelian impulsif.

H2: pelayanan ritel berpengaruh positif terhadap impulsive buying

2.5 Kerangka Pemikiran

Store
Atmosfere

Impulsive
buying
Pelayanan
Ritel

2.7 Hipotesis

H1: Store atmosfere berpengaruh positif terhadap impulsive buying

11
H2: pelayanan ritel berpengaruh positiif terhadap impulsive buying

12
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.1.1 Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah konsep abstrak yang diukur lewat dimensi

dan elemen (Ibnu Widiyanto, 2008). Variabel-variabel penelitian meliputi:

a. Variabel dependen

Variabel dependen adalah variabel yang menjadi pusat perhatian

peneliti (Ferdinand, 2006). Variabel dependen mencerminkan

masalah dalam suatu analisis. Variabel dependen dalam

penelitian ini adalah impulsive buying.

b. Variabel independen

Variabel independen adalah variabel yang mempengaruhi

variabel dependen, baik yang pengaruhnya positif maupun yang

pengaruhnya negatif (Ferdinand, 2006). Variabel independen

adalah variabel yang menjelaskan mengenai cara sebuah masalah

dipecahkan dalam suatu analisis. Variabel independen dalam

penelitian ini adalah store atmosphere, dan pelayanan ritel.

3.1.2 Definisi Operasional

Definisi operasional yang dijelaskan adalah operasionalisasi konsep

agar dapat diteliti atau diukur melalui gejala-gejala yang ada. Definisi

13
operasional merupakan petunjuk tentang bagaimana suatu variabel diukur,

sehingga peneliti dapat mengetahui baik buruknya pengukuran tersebut.

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. store atmosphere (X1)

Yang dimaksud dengan store atmosphere disini adalah kondisi geri

(Shimp 2003 dalam Heruwati 2010). Indikator-indikator store

atmosphere yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada

penelitian Ma’ruf (2006) antara lain:

a. Tata cahaya

b. Musik

c. Lay out

2. pelayanan ritel (X2)

Yang dimaksud dengan pelayanan ritel adalah layanan karyawan

gerai. Indikator-indikator keterpercayaan selebriti yang digunakan dalam

penelitian ini mengacu pada penelitian Sopiah & Syihabuddin (2008)

antara lain:

a. Area parkir

b. Keramahan karyawan gerai

c. Kepedulian karyawan gerai

3. impulsive buying (Y)

Impulsive buying merupakan perilaku konsumen dalam berbelanja.

Indikator-indikator untuk sikap terhadap merek dalam penelitian ini

14
mengacu pada penelitian dari Bayley & Nancarrow (1998)antara lain

adalah:

a. Pembelian spontan

b. Pembelin terburu-buru

c. Pembelian tanpa perhitungan

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah kelompok atau kumpulan individu-individu atau

obyek penelitian yang memiliki standar-standar tertentu dari ciri-ciri yang

telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan kualitas dan ciri tersebut,

populasi dapat dipahami sebagai sekelompok individu atau obyek

pengamatan yang minimal memiliki satu persamaan karakteristik (Cooper

& Emory 1995). Populasi dalam penelitian ini adalah pengunjung

Matahari department store Java Supermall Semarang.

3.2.2 Sampel Penelitian

Sampel yaitu sebagian dari populasi yang diteliti. Sedangkan

sampling yaitu cara pengumpulan data yang sifatnya tidak menyeluruh,

artinya tidak mencakup seluruh obyek penelitian akan tetapi hanya

sebagian dari populasi saja, yaitu hanya mencakup sampel yang diambil

dari populasi tersebut (Supranto, 2003). Sampel penelitian ini adalah

pengunjung Matahari department store Java Supermall Semarang.

15
Adapun teknik pengambilan sampel menggunakan Metode

pengambilan sampel yang digunakan adalah Accidental Sampling Method

(pemgambilan sampel secara acak) yaitu sampel di mana pengambilan

elemen-elemen yang dijadikan sampel adalah pengunjung Matahari

department store Java Supermall Semarang yang kebetulan ditemui pada

saat melakukan pembelian di Matahari department store Java Supermall

Semarang. Pengambilan jumlah sampel menurut Rao (1996) dapat

menggunakan rumus :

Z2
n=
4(moe)2

n = 1,962
4(0,1)2

n = 96

Dimana :

n = Jumlah Sampel

Z = 1,96 dengan tingkat kepercayaan 95%

Moe = Margin of Error, atau tingkat kesalahan maksimum 10%.

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini dibulatkan menjadi

sebanyak 100 orang pengunjung di Matahari department store Java Supermall

Semarang.

16
3.3. Jenis dan Sumber Data

3.3.1 Data Primer

Data primer yaitu data penelitian yang diperoleh secara langsung dari

sumber asli (tidak melalui sumber perantara) dan data dikumpulkan secara

khusus untuk menjawab pertanyaan penelitian yang sesuai dengan

keinginan peneliti (Indriantoro dan Supomo 1999).

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang

dipersiapkan, kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berisi dua

bagian utama. Bagian yang pertama adalah tentang data responden yang

berhubungan dengan identitas responden. Sedangkan bagian kedua

berdasarkan pernyataan repsonden.

3.3.2 Data Sekunder

Indriantoro dan Supomo (1999) menyatakan bahwa data sekunder

adalah data yang merupakan sumber data penelitian yang diperoleh peneliti

secara tidak langsung melali perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak

lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis

yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan dan

yang tidak dipublikasikan.

17
3.4 Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan

adalah dengan menggunakan angket / kuesioner yang merupakan suatu

pengumpulan data dengan memberikan atau menyebarkan daftar pertanyaan

kepada responden dengan harapan memberikan respon atas daftar

pertanyaan tersebut (Umar 1999). Teknik ini dilakukan untuk

mengumpulkan data primer. Untuk menentukan nilai atas persepsi

responden dibentuk sebuah kuesioner. Setiap responden diminta

pendapatnya mengenai suatu pertanyaan atau pernyataan. Skala pengukuran

memakai skala interval. Jawaban diberi penilaian dari 1 sampai 10 karena

rentang penilaian 1-10 dipandang sebagai penilaian yang mudah dan umum

dilakukan oleh masyarakat di Indonesia.

Sangat tidak setuju Sangat setuju

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tanggapan yang paling positif (maksimal) diberi nilai paling besar

dan tanggapan paling negatif (minimal) diberi nilai paling kecil.

3.5 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data

ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara atau rumus

tertentu (Hasan, 2002). Tahap-tahap pengolahan data adalah sebagai berikut

(Hasan, 2002):

18
1. Editing

Editing adalah pengecekan atau pengoreksian data yang telah

dikumpulkan karena kemungkinan data yang masuk atau data yang

terkumpul itu tidak logis dan meragukan. Tujuan editing adalah untuk

menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di

lapangan dan bersifat koreksi.

2. Coding

Coding adalah pemberian atau pembuatan kode-kode pada tiap-tiap data

yang termasuk dalam kategori yang sama. Kode adalah isyarat yang

dibuat dalam bentuk angka-angka atau huruf-huruf yang memberikan

petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data yang

dianalisis.responden.

3. Tabulasi

Tabulasi adalah membuat tabel-tabel yang berisikan data yang telah

diberi kode sesuai dengan analisis yang dibutuhkan. Setelah proses

tabulasi selesai kemudian data-data dalam tabel tersebut akan diolah

dengan bantuan software statistik yaitu SPSS.

3.6 Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini metode analisis data yang dipakai adalah :

1. Analisis Kualitatif

19
Analisis kualitatif mempergunakan suatu kata-kata untuk

menggambarkan keadaan suatu perusahaan. Suatu definisi yang dapat di

artikan secara harfiah karena model ini di lukiskan dengan sebuah

kalimat yang bisa mewakili kualitas dari sebuah obyek yang diteliti.

2. Analisis Kuantitatif

Analisis data ini mempergunakan metode statistik yang berupa angka-

angka. Dalam penelitian ini data yang diperoleh salah satunya dengan

melakukan penyebaran kuesioner kepada para responden. Untuk

mengukur persepsi dari responden yang telah dikumpulkan digunakan

Skala Likert (Singarimbun, 1995). Pertanyaan-pertanyaan dalam

kuesioner dibuat dengan menggunakan skala 1-10 untuk mewakili

pendapat para responden.

3.6.1 Uji Kualitas Data

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau tidak sahnya suatu

kuesioner. Kuesioner dikatakan valid apabila pertanyaan pada kuesioner

mampu mengungkap sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner itu.

2. Reliabilitas

Uji reliabilitas digunakan untuk mengukur suatu kuesioner yang

merupakan indikator dari variabel. Kuesioner dikatakan reliabel jika

jawaban seseorang terhadap kuesioner stabil dari waktu kewaktu.

20
3.6.2 Uji Asumsi Klasik

1. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah pada model

regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel independen. Untuk

mendeteksinya dengan cara menganalisis nilai toleransi dan Variance

Inflation Factor (VIF).

2. Uji Heteroskedastisitas

Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model

regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan

ke pengamatan yang lain. Jika variance dari residual suatu

pengamatan ke pengamatan yang tetap, maka disebut

Homoskedastisitas dan jika berbeda disebut Heteroskedastisitas atau

yang terjadi Heteroskedastisitas kebanyakan data cross section

mengandung situasi Heteroskedastisitas karena data ini menghimpun

data yang mewakili berbagai ukuran (kecil, sedang, dan besar). Cara

menganalisis asumsi Heteroskedastisitas dengan melihat grafik scatter

plot dimana :

o Jika penyebaran data pada scatter plot teratur dan membentuk

pola tertentu (naik turun, mengelompok menjadi satu) maka

dapat disimpulkan terjadi problem Heteroskedastisitas.

o Jika penyebaran data pada scatter plot tidak teratur dan tidak

membentuk pola tertentu (naik turun, mengelompok menjadi

21
satu) maka dapat disimpulkan tidak terjadi problem

Heteroskedastisitas.

3. Uji Normalitas

Tujuan dilakukannya uji ini adalah untuk menguji apakah dalam

sebuah model regresi, variabel independen, variabel dependen, atau

keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi

yang baik adalah distribusi normal atau mendekati normal. Data

distribusi normal dapat dilihat dari penyebaran data (titik) pada sumbu

diagonal dari grafik dari pengambilan keputusan. Jika data menyebar

disekitar garis diagonal atau mengikuti arah garis diagonal, maka

model regresi memenuhi normalitas. Begitu pula sebaliknya jika data

yang menyebar jauh dari garis diagonal dan tidak mengikuti arah garis

diagonal, maka model regresi tidak memenuhi normalitas.

3.6.3 Analisis Regresi Linear Berganda

Analisis regrsi linier berganda digunakan untuk mengetahui apakah

variabel bebas secara bersama mempengaruhi variabel terikat.

Y = β1X1 + β2X2 + e

Dimana :

Y = Sikap terhadap merek

b1 = Koefisien regresi daya tarik selebriti

b2 = Koefisien regresi keterpercayaan selebriti

b3 = Koefisien regresi keahlian selebriti

22
X1 = daya tarik selebriti

X2 = keterpercayaan selebriti

X3 = keahlian selebriti

e = Varians pengganggu

3.6.4 Pengujian Hipotesis

1. Uji statistik t

Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu

variabel independen secara individual dalam menerangkan variabel

dependen. Hipotesis nol (H0) yang hendak diuji adalah apakah suatu

parameter ( ) sama dengan nol, atau H0 : = 0 yang artinya adalah

apakah suatu variabel independen bukan merupakan penjelas yang

signifikan terhadap variabel dependen. Hipotesis alternatifnya ( ),

parameter suatu variabel tidak sama dengan nol, atau H0 : ≠ 0 yang

artinya adalah variabel tersebut merupakan penjelas yang signifikan

terhadap variabel dependen (Kuncoro, 2001).

Pengambilan keputusan dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05

ditentukan sebagai berikut:

a. Jika tingkat signifikansi t hitung > 0,05 atau t hitung < t tabel,

maka H0 diterima.

b. Jika tingkat signifikansi t hitung < 0,05 atau t hitung > t tabel,

maka H0 ditolak.

Keterangan:

23
t hitung diperoleh dengan menggunakan  = 0,05 (satu sisi) dengan dk

= n-k-1 (100-3-1) = 96.

Berdasarkan nilai  = 0,05 dan dk = 96 diperoleh t tabel = 1,661

(Sugiyono, 2004).

2. Uji statistik F

Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel

bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara

bersama-sama terhadap variabel terikat. Hipotesis nol (H0) yang hendak

diuji adalah apakah semua parameter dalam model sama dengan nol

atau H0 : = =……= = 0 yang artinya adalah apakah semua

variabel independen bukan merupakan penjelas yang signifikan

terhadap variabel dependen. Hipotesis alternatifnya ( ), tidak semua

parameter simultan sama dengan nol, atau H0 : ≠ ≠……≠ ≠0

yang artinya adalah semua variabel independen secara simultan

merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen

(Kuncoro, 2001).

Kriteria pengujian :

a. Jika tingkat signifikansi F > 0,05 atau F hitung < F tabel,

maka H0 diterima.

b. Jika tingkat signifikansi F < 0,05 atau F hitung > F tabel,

maka H0 ditolak.

24
Keterangan: F hitung diperoleh dengan menggunakan dk1 = 3 (variabel

bebas) dengan dk2 = n-k-1 (100-3-1) = 96.

Berdasarkan dk1 = 3 = 0,05 dan dk2 = 96 diperoleh F tabel = 2,70

(Sugiyono, 2004).

3. Koefisien Determinasi

Koefisien Determinasi (R2) pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen. Nilai

koefisien determinasi adalah antara nol dan satu. Nilai R2 yang kecil

berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan

variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai yang mendekati satu

berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua

informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi-variasi dependen

(Kuncoro, 2001).

25
DAFTAR PUSTAKA

Yistiani, Ni Nyoman Manik, Ni Nyoman Kerti Yasa, & I G. A. Ketut Gede


Suasana, 2012, Pengaruh Atmosfer Gerai Dan Pelayanan Ritel Terhadap
Nilai Hedonik Dan Pembelian Impulsif Pelanggan Matahari Department
Store Duta Plaza Di Denpasar, Jurnal Manajemen, Strategi Bisnis, dan
Kewirausahaan Vol. 6, No. 2 Agustus 2012

Ainslie, G. 1975, “Specious reward: a behavioral theory of impulsiveness and


impulse control”, Psychological Bulletin, Vol. 82 No. 4, pp. 463-96.

Alma, B. 2005. Manajemen Pemasaran, Jilid II, Edisi Kesebelas. Jakarta: PT.
Indek Kelompok Gramedia.

Astuti, R. D., dan Fillippa, M. 2008. Perbedaan pembelian secara impulsif


berdasarkan tingkat kecenderungan, kategori produk dan pertimbangan
pembelian, Jurnal Ichsan Gorontalo Volume 3 No.1, pp.1441-1456.

George, B.P. and Yaoyuneyong,G., 2010,Impulse buying and cognitive


dissonance: a study conducted among the spring break student shoppers,
Young Consumers: Insight and Ideas for Responsible Marketers, Vol. 11
Iss: 4 pp. 291 - 306.

Ballantine, P. W., Jack, R., and Parsons, A. G. 2010. Atmospheric cues and their
effect on the hedonic retail experience, International Journal of Retail
and Distribution Management Vol. 38 No. 8, pp. 641-653.

Bayley, G. and Nancarrow, C. 1998. Impulse purchasing: a qualitative exploration


of the phenomenon, Qualitative Market Research: An International
Journal Volume 1 Number 2, pp. 99-114

Beatty, S. E., and Ferrell, M. E. 1998. Impulse buying: modeling its precusors,
Journal of Retailing, Vol. 74 No. 2. Pp. 169-191.

Coley, A. and Burgess, B. 2003. Gender differences in cognitive and affective


impulse buying, Journal of Fashion Marketing and Management, Vol. 7
No.3, pp. 282-295.

Cottet, P., Lichtle, M. C., and Plichon, P. 2006. The role of value in services: a
study in retail environment. Journal of Consumer Marketing, Vol. 23,
No. 4, pp. 219-227.

Fam, K. S., Merrilees, B., Richard, J. E., Jozca, L., Li, Y., and Krisjanous, J.
2011. In-store marketing: a strategic perspective, Asia Pasific Journal of
Marketing and Logistics, Vol. 23 No.2, pp. 165-176.

26
Grayson, R. A. S. and McNeill, L. S. 2009. Using atmospheric elements in service
retailing: understanding the bar environment, Journal of Services
Marketing, Vol. 23, No. 7, pp. 517-527.

Hausman, A. 2000. A multi-method investigation of consumer motivations in


impulse buying behavior. Journal of Consumer Marketing, Vol. 17 No.5,
pp. 403-419.

Harmancioglu, N., Finney, R. Z., and Joseph, M. 2009. Impulse purchases of new
product: an empirical analysis, Journal of Product and Brand
Management, Vol. 18, No. 1, pp. 27-37.

Herabadi, A. G. 2003. Buying Impulses: A Study on Impulsive Consumption,


Disertasi, Social Psychological Department, Catholic University of
Nijmegen, Belanda.

Kacen, J. J., and Lee, J. A. 2002. The influence of culture on consumer impulsive
buying behavior, Journal of Consumer Psychology, Vol. 12, No. 2, pp.
163-176.

Kang, J. and Poaps, H. P. 2010. Hedonic and utilitarian shopping motivations of


fashion leadership, Journal of Fashion Marketing and Management,
Vol.14 No.2, pp. 312-328.

Levy, M. . 1976, Deferred gratification and social class, The Journal of Social
Psychology,Vol. 100, pp. 123-35.

Ma’ruf, H. 2006. Pemasaran Ritel. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Mattila, A. S. and Wirtz, J. 2008. The role of store environmental stimulation and
social factors on impulse purchasing, Journal of Services Marketing, Vol.
22, No. 7, pp. 562-567.

Neeley, C.R., Min, K.S., Pamela A. Kennett-Hensel, 2010, Contingent consumer


decision making in the wine industry: the role of hedonic orientation,
Journal of Consumer Marketing, Vol. 27 Iss: 4 pp. 324 – 335

Park, E. J., Kim, E. Y., and Forney, J. C. 2006. A structural model of fashion-
oriented impulse buying behavior, Journal of Fashion Marketing and
Management, Vol. 10 No. 4, pp. 433-446.

Park, J. and Lennon, S. J. 2006. Psychological and environmental antecedents of


impulse buying tendency in the multichannel shopping context, Journal
of Consumer Marketing, Vol. 23, No. 2, pp. 58–68.

27
Rintamaki, T., Kanto, A., Kuusela, H., and Spencer, M. T. 2006. Decomposing
the value of department store shopping into utilitarian, hedonic and social
dimensions, International Journal of Retail & Distribution Management
Vol .34 No.1, pp. 6-21.

Rook, D.W. and Fisher, R.J. 1995, Trait and normative aspects of impulsive
buying behavior, Journal of Consumer Research, Vol. 22, No. 3, pp.
305-13.

Scarpi, D. 2006. Fashion stores between fun and usefulness, Journal of Fashion
Marketing and Management, Vol. 10, No. 1, pp. 7-24.

Semuel, H. 2005. Respon lingkungan berbelanja sebagai stimulus pembelian tidak


terencana pada toko serba ada (toserba): studi kasus carrefour surabaya,
Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 7 No. 2, hal. 152-170.

Semuel, H. 2006. Dampak respon emosi terhadap kecenderungan perilaku


pembelian impulsif konsumen online dengan sumberdaya yang
dikeluarkan dan orientasi belanja sebagai variabel mediasi, Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 8 No.2, hal. 101-115.

Silvera, D. H., Lavack, A. M., and Kropp, F. 2008. Impulse buying: the role of
affect, social influence, and subjective wellbeing, Journal of Consumer
Marketing, Vol. 25, No. 1, pp. 23–33.

Soars, B. 2009. Driving sales through shopper’s sense of sound, sight, smell, and
touch, International Journal of Retail and Distribution Management,
Vol. 37 No.3, pp. 286-298.

Solnick, J.V., Kannenberg, C.H., Eckerman, D.A. and Waller, M.B. 1980, An
experimental analysis of impulsivity and impulse control in humans,
Learning and Motivation, Vol. 11, pp. 61-77.

Sopiah dan Syihabudhin. 2008. Manajemen Bisnis Ritel. Yogyakarta: ANDI

Tirmizi, M. A., Rehman, K. U., and Saif, M. I. 2009. An empirical study of


consumer impulse buying behavior in local markets, European Journal
of Scientific Research, Vol. 28 No. 4, pp. 522-532.

Thompson, M. 2011, Chinese hedonic values and the Chinese classical virtues:
managing the tension, Journal of Management Development, Vol. 30 Iss:
7 pp. 709 – 723

Utami, C. W. 2010. Manajemen Ritel: Strategi dan Implementasi Operasional


Bisnis Ritel Moderen di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

28
Yang, K. and Lee, H.J., 2010, Gender differences in using mobile data services:
utilitarian and hedonic value approaches, Journal of Research in
Interactive Marketing, Vol. 4 Iss: 2 pp. 142 – 156

Youn, S. and Faber, R. J. 2000. Impulse buying: its relation to personality traits
and cues, Advances in Consumer Research, Vol. 27, pp. 179-185.

Zhang, Y., Sirion, C., and Combs, H. 2011. The influence of the mall environment
on shopper’s values and consumer behavior in China, ASBBS Annual
Conference, Vol. 18 No. 1, pp. 214-224.

29

Anda mungkin juga menyukai