Anda di halaman 1dari 5

MASALAH KESEHATAN JIWA

TINJAUAN DAN DEFINISI

masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat. Secara garis besar
masalah kesehatan jiwa terdiri dari masalah psikososial dan masalah gangguan jiwa. Masalah
psikososial adalah masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau
kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Orang yang mengalami
masalah psikososial ini disebut dengan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Masalah
gangguan jiwa adalah masalah dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna , serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Orang yang mengalami gangguan jiwa disebut dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).

DSM V (American psychiatric assotiation (APA) 2013), mengklasifikasikan gangguan


jiwa dan kriteria diagnostik pada lebih dari 300 gangguan mental. Anak dengan gangguan
psikososial sering disebut sebagai anak dengan gangguan emosional berat (severe emotional
disorder/SED). Gangguan SED mengindikasikan rentang perilaku yang luas yang mungkin
menghasilkan klasifikasi anak dengan SED yang membutuhkan edukasi/pendidikan secara
khusus. Anak dengan SED mungkin menunjukkan gangguan emosional dengan halusinasi,
memiliki gangguan pemusatan perhatian, dapat menyakiti orang lain secara fisik,
menghancurkan barang-barang di sekitarnya, atau dapat memperlihatkan gejala depresi, marah
atau ketakutan yang berat.

MASALAH KESEHATAN JIWA YANG UMUM DI INDONESIA

Masalah kesehatan jiwa di Indonesia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih
perlu perhatian. Dampak dari permasalahan kesehatan jiwa adalah penurunan status kesehatan
fisik, produktifitas kerja dan kualitas sumber daya manusia yang secara signifikan menghambat
pembangunan bangsa. Masalah kesehatan jiwa yang umum ditemukan di Indonesia adalah
sebagai berikut:

1. Skizofrenia (F20)
Skizofrenia merupakan penyakit kejiwaan yang paling parah dan berat dari seluruh
gangguan jiwa lainnya, skizofrenia terjadi pada sekitar 1% dari populasi. Dampak
penyakit ini pada masyarakat sangatlah besar terutama dari segi beban sosial dan
ekonomi. Bagi individu dan keluarga yang menderita skizofrenia, dampak tersebut tidak
bisa diperhitungkan. Seseorang yang menderita skizofrenia dapat menunjukkan gejala
positif seperti halusinasi, delusi/waham, disorganisasi bicara dan berfikir, dan perilaku di
luar kebiasaan/aneh, atau gejala negative seperti afek datar, tidak fokus, kurang motivasi,
apatis/tidak peduli dengan lingkungan sekitar, kurang rasa senang/bahagia, serta kurang
bertenaga.
Gejala ini sering kali muncul selama masa remaja akhir atau dewasa muda pada laki-laki
dan muncul agak belakangan pada wanita. Terdapat peningkatan risiko konsumsi alcohol,
depresi, keinginan bunuh diri, dan diabetes pada penderita skizofrenia. Faktor-faktor ini
mempersulit masalah terkait hidup dengn gangguan psikotik.
Diantara orang yang terdiagnosa skizofrenia, diperkirakan 20% hingga 40% memiliki
keinginan bunuh diri, diantara 5% dan 13% nya berhasil melakukannya. Pasien dengan
skizofrenia mungkin memiliki anogsinosia (treatment advocacy center, 2012), yaitu
ketidakmampuan mengenali penyakit sehingga mereka mungkin tidak menyadari bahwa
mereka memiliki penyakit ini (Amador 2007). Ketidakmampuan mengenali penyakit ini
dialami hamper 50% pasien dengan skizofrenia. Anosignosia menyebabkan
ketidakpatuhan pasien skizofrenia terhadap pengobatan dan tata laksana medis.
Pengobatan skizofrenia harus intensif dan pada tahap awal membutuhkan hospitalisasi,
obat-obatan antipsikotik, serta konseling/psikoterapi. Tindak lanjut jangka panjang oleh
tenaga kesehatan khususnya kesehatan jiwa sangat dibutuhkan untuk mengawasi efek
samping dan komplikasi yang mungkin saja menjadi berat dan mengancam hidup, selain
itu juga untuk mengevaluasi kemampuan klien dalam hidup di tengah masyarakat.
2. Depresi
Depresi merupakan salah satu jenis gangguan kesehatan yang paling sering didiagnosa
dan dapat mengakibatkan terjadinya gangguan jiwa. Gangguan ini termasuk gejala
depresi umum, gangguan disritmia, serta kelainan seperti bipolar. Depresi sering terjadi
bersamaan dengan gangguan/masalah kesehatan fisik yang serius seperti serangan
jantung, stroke, diabetes, dan kanker. Sekitar 25% wanita dan 12% pria setidaknya
mengalami 1 peristiwa yang membuatnya depresi selama hidupnya. Walaupun sudah
tersedia pengobatan yang efektif, sebagian besar orang yang memiliki penyakit depresif
(hampir 2/3 nya) tidak berusaha mencari bantuan pengobatan. Memiliki riwayat keluarga
atau pribadi dengan depresi, percobaan bunuh diri, kekerasan seksual atau
penyalahgunaan obat atau sedang memiliki penyakit kronik akan meningkatkan risiko
depresi (APA, 2013). Pemberian pendidikan kesehatan untuk klien dengan depresi harus
mencangkup identifikasi faktor risiko sekaligus menetapkan kapan dan bagaimana agar
klien memenuhi program terapi/pengobatan. Terapi/pengobatan untuk depresi
mencangkup terapi farmakologi, psikoterapi, terapi perilaku, terapi electrokonvulsif, atau
kombinasi dari semua terapi tersebut APA, 2013; NIMH, 2014). Secara umum, yang
paling efektif terapi/pengobatan tahap awal adalah kombinasi dari obat-obatan
antidepresan dan psikoterapi.
3. Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar merupakan suatu kelompok gangguan perasaan yang
dikarakteristikkan dengan perubahan mood/perasaan yang cepat dari depresi ke mania.
Fase depresi dicirikan dengan gejala seperti gejala mayor depresi. Fase mania memiliki
karakteristik seperti perubahan abnormal sensitivitas perasaan yang menetap,
ketidakmampuan dalam menentukan pilihan, hilang fokus, penekanan pada cara bicara,
membesar-besarkan, mudah terdistraksi, aktivitas yang terlalu ambisius, hanya tidur
dalam waktu singkat, dan mudah tersinggung. Gejala ini terjadi bersamaan dengan gejala
khas pada gangguan psikotik seperti halusinasi dan delusi/waham.
Seseorang dengan gangguan bipolar memiliki potensi besar dalam peningkatan risiko
konsumsi alcohol dan penyalahgunaan zat/obat-obatan yang pada akhirnya berisiko
bunuh diri Adanya gangguan bipolar ini merupakan hasil dari fungsi sosial dan pekerjaan
yang tidak baik.
Penatalaksanaan pada gangguan bipolar harus berkesinambungan dan dilakukan
monitoring secara ketat. Pengobatan umumnya meliputi penggunaan obat-obatan untuk
stabilisasi perasaan, seringkali dikombinasikan dengan antipsikotik dan antidepresan.
Ketika mengenai klien dengan gangguan bipolar, perawat harus memantau tanda dan
gejala serta respon terhadap pengobatan farmakologi.
4. Gangguan Ansietas
gangguan ansietas merupakan kumpulan dari kondisi yang dikarakteristikkan sengan
perasaan cemas. Gangguan ansietas bisa didapatkan seseorang karena keturunan atau
genetic dan pengalaman hidup individu itu sendiri. Beberapa gangguan ansietas yang
umumnya dijumpai adalah gangguan ansietas umum, panic (kadang-kadang disertai
dengan agoraphobia), fobia, Obsessive-Compulsive Disorder (OCD), dan Post Traumatic
Stress Disorder (PTSD)
a. Gangguan Ansietas Umum
Gangguan ansietas umum dicirikan sebagai gangguan kronik, tidak nyata dan
perasaan ketakutan/kecemasan dan tekanan yang dibesar-besarkan tentang suatu
kejadian dan berlangsung selama 6 bulan atau lebih. Hampir setengah dari kasus
GAD dimulai sejak seseorang masih berusia anak-anak atau remaja, dan
gangguan/kelainan ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria.
Gejala yang ditimbulkan dari GAD yaitu gemetar, gugup, kaku pada otot, sakit
kepala, mudah tersinggung, berkeringat atau tampak kemerahan pada pipi yang terasa
hangat, sesak napas, dan perasaan kurang sehat. Periode peningkatan gejala ini
biasanya disertai dengan stressor kehidupan atau kekhawatiran akan masa depan.
GAD mungkin saja menjadi gangguan yang luput dari diagnosis gangguan mental.
b. Gangguan Panik
Panik dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya terjadi pada usia dewasa
muda (17-30 tahun). Serangan panic terdiri dari periode kekuatan yang sangat hebat
dan terjadi dengan tiba-tiba dan tidak dapat diperkirakan. Serangan pertama mungkin
dapat terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat diperkirakan ketika seseorang sedang
melakukan kegiatan sehari-hari. Biasanya, orang tersebut akan mengalami takikardi,
sesak napas, pusing, nyeri dada, lemas, mati rasa atau kesemutan pada area tangan
dan kaki, tremor, berkeringat, tersedak atau merasa seperti akan mati, melakukan
sesuatu di luar kewajaran dan tidak dikontrol. Hal tersebut bisa saja dianggap sangat
menakutkan atau mengkhawatirkan. Diagnosis gangguan panik ini dapat ditegakkan
ketika seseorang mengalami serangan panik dengan intensitas yang berat dan
frekuensi yang sering.
Seiring dengan perkembangan gangguan ini, frekuensi terjadinya serangan cemas
semakin meningkat dan parah serta antisipasi terjadinya hal inipun ikut berkembang.
Selama fase ini, peristiwa dan lingkungan sekitar yang berhubungan harus dihindari,
yang akhirnya menyebabkan perilaku fobia. Dengan demikian kehidupan klien
menjadi semakin terbatas/tertekan.
Sehubungan dengan perilaku menghindar yang semakin meningkat, klien mulai
menarik diri untuk menghindari berada pada tempat atau situasi tersebut, melepaskan
diri merupakan hal yang sangat sulit dilakukan atau memaliukan atau tidak ada orang
yang mampu menolong saat ia berada pada situasi panik (seperti gereja, lift, bioskop).
Ketakutan pada situasi tersebut dapat mengakibatkan agrofobia (ketakutan pada
tempat-tempat umum seperti tempat perbelanjaan atau tempat berduka). Seseorang
dengan agrofobia seringkali mencapai pada titik dimana mereka bahkan tidak dapat
meninggalkan rumah tanpa perasaan cemas. Angka kejadian depresi mayor terjadi
bersamaan dengan gangguan panik adalah 10% hingga 65% (APA, 2013). Terapi
perilku kognitif dan benzodiapines dapat digunakan dalam program penatalaksanaan
pada gangguan panik.
c. Fobia

Anda mungkin juga menyukai