Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN TUTORIAL SKENARIO A

BLOK 21 TAHUN 2019

Disusun oleh:

Kelompok A1

Tutor: dr. Ella Amalia, M. Kes

Anggun Fitri Utami 04011181621013


Selvia Rahayu 04011181621014
Pratiwi Karolina 04011181621015
Melros Trinita Tampubolon 04011181621023
Dwi Putri Tania 04011181621024
Utami Dian Rana 04011181621041
Nurunnisa Arsyad 04011181621052
Siti Aisyah 04011181621061
Sheren Oktaviani 04011181621065
Ghita Rahma Putri 04011281621120
Afifah Salshabila Radiandina 04011281621122

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya laporan tutorial
A Blok 21 ini dapat diselesaikan dengan baik.

Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan laporan tutorial C ini.

Tim menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mohon maaf apabila terdapat maksud atau penulisan kata yang salah ataupun yang kurang
berkenan dalam laporan ini. Maka dari itu, pendapat, kritik, dan saran akan sangat membantu
dalam penyempurnaan laporan ini.

Palembang, 9 Januari 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2

DAFTAR ISI........................................................................................................................ 3

KEGIATAN TUTORIAL.................................................................................................... 4

HASIL TUTORIAL DAN BELAJAR MANDIRI

Klarifikasi Istilah.................................................................................................................. 5
Identifikasi Masalah............................................................................................................. 6
Analisis Masalah.................................................................................................................. 7
Sintesis................................................................................................................................. 15
Kerangka Konsep................................................................................................................. 41
Kesimpulan………………………………………………………………........................... 42
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ .................. 42

3
KEGIATAN TUTORIAL

Moderator : Melros Trinita Tampubolon

Sekretaris I : Selvia Rahayu

Sekretaris 2 : Siti Aisyah

Peraturan selama tutorial:

1. Jika mau berbicara, angkat tangan terlebih dahulu.


2. Saling mendengarkan pendapat satu sama lain.
3. Izin ke toilet maksimal dua orang dalam satu waktu.
4. Diperbolehkan minum selama tutorial berlangsung.
5. Diperbolehkan membuka gadget selama masih berhubungan dengan tutorial.

4
Skenario A Blok 21

Ny. M seorang wanita berusia 55 tahun dikirim dari RS Kabupaten datang ke IGD
RSMH dengan keluhan utama badan lemas, keluhan tambahan mata kuning sejak 1 bulan yang
lalu. Pasien juga merasa sering pusing, mata berkunang-kunang, keringat dingin, sering
merasakan jantung berdebar-debar, mual dan tidak demam. Pasien dinyatakan menderita
penyakit anemi. Menurut keluarga pasien di RS Kabupaten direncanakan ditambah darah akan
tetapi beberapa kali terjadi reaksi ketidak cocokan antara pasien dan donor sehingga pasien
dirujuk. Riwayat perdarahan tidak ada. Riwayat umum obat-obatan tidak ada. Riwayat transfusi
darah sebelumnya tidak ada, BAB biasa, BAK kuning tua. Riwayat keluarga tidak ada sakit
seperti ini.

Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum: Sens cm, TD: 110/80 mmHg, Nadi: 92 x/menit, reguler, teratur, RR: 26x/menit.
Temp 36,7 0C .

Keadaan Spesifik:

Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (+), bibir pucat (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : Jantung dbn, Paru dbn
Abdomen : Lien teraba SII, hepar tak teraba
Ekstremitas : palmar pucat (+), pembesaran kelenjar limfe (-)
Pemeriksaan Laboratorium: Hb 6,7 gr%, leukosit; 8600/mm3, Trombosit: 200.000/uL, MCV 80 fl,
MCH 28 pg, MCHC 34 g/dL, retikulosit; 24%. Bilirubin indirect 3,5 mg/dL. Bilirubin direct 1,5
mg/dL. Tes comb direct dan indirect (+)

I. Klarifikasi Istilah

No ISTILAH PENGERTIAN
1. Mata kuning Perubahan warna menjadi kekuningan
akibat deposit bilirubin
(MedicalDictionary).
2. Badan lemas Perasaan subjektif akibat terkurasnya tenaga
dan energi dalam onset gradual.
(merriamwebster).
3. Pusing, Perasaan seperti ingin pingsan, lemah atau
tidak stabil (MedLineplus).
4. Mata berkunang-kunang, Lightheadedness, rasa tidak menyenangkan
dari pusing dan atau perasaan akan pingsan

5
(dictionary.cambridge).
5. Keringat dingin (diaporesis) Keringat berlebihan yang biasanay
diakibatkan karena penyakit atau obat
(Healtline).
6. Jantung berdebar-debar (Palpitasi) Sensasi/ perasaan denyut jantung yang tidak
teratur yang sifatnya subjektif (Dorlan).
7. Penyakit anemi Keadaan saat jumlah sel darah merah atau
Hb dalam sel darah merah berada dibawah
normal (MedicalDictionary).
8. Transfusi darah Proses pemindahan atau pemberian darah
dari seseorang (donor) kepada orang lain
(resipien) (medicinenet).
9. MCV (Mean corpuscular Volume) Volume rata-rata sel darah merah dalam
spesimen (Webmd).
10. MCH (Mean corpuscular Hemoglobin) Massa rata-rata hemoglobin per sel darah
merah dalam sempel darah (MedLine).
11. MCHC (Mean corpuscular Hemoglobin Konsentrasi hemoglobin rata-rata sel hidup
Concentration) yang dilaporkan sebagai bagian dari hitung
darah lengkap standar, angka ini digunakan
untuk menilai kemungkinan dari jenis
anemia (Dorlan).
12. Retikulosit Eritrosit muda yang menunjukan retikulum
basofilik pada pewarnaan vital (Dorlan).
13. Bilirubin indirect Bilirubin yang berasal dari pemecahan sel
darah merah yang akan ditransportasi ke
hati (webmd).
14. Bilirubin direct Bilirubin yang telah mencapai hati dan telah
terjadi perubahan kimia, yang akan
ditransportasi ke usus sebelum dikeluarkan
melalui feses dan urin (webmd).
15. Tes coomb’s Pemeriksaan yang digunakan untuk
mendeteksi adanya antibody pada
permukaan eritrosit (medlineplus).

II. Identifikasi Masalah

No MASALAH KETERANGAN
.
1. Ny. M seorang wanita berusia 55 tahun dikirim dari RS Keluhan Utama
Kabupaten datang ke IGD RSMH dengan keluhan utama
badan lemas
2. Keluhan tambahan mata kuning sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan Tambahan
Pasien juga merasa sering pusing, mata berkunang-kunang,
keringat dingin, sering merasakan jantung berdebar-debar,
mual dan tidak demam.

6
3. Menurut keluarga pasien di RS Kabupaten direncanakan Riwayat Pengobatan
ditambah darah akan tetapi beberapa kali terjadi reaksi
ketidak cocokan antara pasien dan donor sehingga pasien
dirujuk.
4. Pasien dinyatakan menderita penyakit anemi. Diagnosis
5. Riwayat perdarahan tidak ada. Riwayat umum obat-obatan Informasi Tambahan
tidak ada. Riwayat transfusi darah sebelumnya tidak ada,
BAB biasa, BAK kuning tua. Riwayat keluarga tidak ada
sakit seperti ini.
6. Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: Sens cm, TD: 110/80 mmHg, Nadi: 92
x/menit, reguler, teratur, RR: 26x/menit. Temp 36,7 0C .
Keadaan Spesifik:
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (+),
bibir pucat (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : Jantung dbn, Paru dbn
Abdomen: Lien teraba SII, hepar tak teraba
Ekstremitas: palmar pucat (+), pembesaran kelenjar limfe (-)
7. Pemeriksaan Laboratorium: Hb 6,7 gr%, leukosit; 8600/mm3, Pemeriksaan Laboratorium
Trombosit: 200.000/uL, MCV 80 fl, MCH 28 pg, MCHC 34
g/dL, retikulosit; 24%. Bilirubin indirect 3,5 mg/dL.
Bilirubin direct 1,5 mg/dL. Tes comb direct dan indirect (+).

III. Analisis Masalah

1. Ny. M seorang wanita berusia 55 tahun dikirim dari RS Kabupaten datang ke IGD
RSMH dengan keluhan utama badan lemas
a. Apa hubungan usia, jenis kelamin pada keluhan utama (lemas) pada kasus?

Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan insiden anemia
di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua
anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per tahun, dengan
prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka kematian AIHA berkisar antara
20-50%, bergantung kepada penyakit yang mendasari munculnya penyakit
AIHA (Zanella dan Barcellini, 2014; Michel, 2011). AIHA bisa terjadi pada
semua usia, namun lebih sering terjadi pada individu setengah baya dan lebih tua
(Michel, 2014).

b. Apa etiologi dari keluhan badan lemas secara umum?


Dehidrasi, kehamilan, gangguan tidur seperti insomnia, sleep apnea, atau tidur
terlalu lama. Flu, kehilangan banyak darah selama periode menstruasi, kadar gula
darah yang rendah (hipoglikemia), kurang gizi, Anemia, kadar hormon tiroid yang
7
rendah (hipotiroidisme), Fibromyalgia, rheumatoid arthiritis, Diabetes tipe 2,
Stroke, Gangguan jantung, kanker, rhinitis alergi, kebiasaan mengonsumsi
alkohol, efek samping obat-obatan, seperti obat flu, obat alergi, obat penenang,
dan obat bius.

c. Apa indikasi rujuk pada kasus?

a. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 6 mg%).


b. Untuk anemia hemoliik pada kasus tidak termasuk kompetensi
dokter umum, dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam.
c. Ada gelaja gagngguan hemodinamik
d. Ada reaksi ketidakcocokan darah untuk transfuse
e. Untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan
f. Ditakutkan komplikasi melibatkan organ-organ vital

d. Bagaimana mekanisme badan lemas pada kasus?


Autoantibodi terhadap eritrosit → aktivasi sistem komplemen dan mekanisme
seluler → membran sel eritrosit lisi → penurunan eritrosit dan Hb → penurunan
pengangkutan oksigen → meabolisme sel menurun → energi menurun → lemas.

2. Keluhan tambahan mata kuning sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga merasa sering pusing,
mata berkunang-kunang, keringat dingin, sering merasakan jantung berdebar-debar,
mual dan tidak demam.
a. Apa hubungan keluhan utama dengan keluhan tambahan pada kasus?

Keluhan utama pada kasus ini adalah lemas berarti kurangnya energi pada pasien
yang bisa disebabkan karena AIHA. Pada AIHA, terjadi penghancuran eritrosit
sebelum waktunya (masa hidup rata-rata eritrosit yaitu 120 hari) yang terus
menerus dan dalam jumlah banyak, ini menyebabkan terjadinya peningkatan
billirubin, sehingga pada mata tampak sklera ikterik (kuning).
b. Bagaimana mekanisme mata kuning pada kasus?

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel


darah merah berlebihan atau keduana. Kegagalan sumsum (missal karna
berkurangnya eritropoesis) dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanann
toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel
darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemolysis (destruksi). Lisis
sel darah merah terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system

8
retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses
ini, bilirubin yang terbentuk dalam fagosit akan memasuki aliran darah. Setiap
kenaikan destruksi sel darah merah (hemolysis) segera direfleksikan dengan
peningkatan bilirubin plasma (kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada
sclera)

c. Bagaimana mekanisme keluhan pada kasus?


Terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit→ destruksi (hemolisis) eritrosit →
↓ eritrosit → gangguan pengangkuatn O2 di tubuh → sindroma anemia (pusing,
mata berkunang-kunang, keringat dingin, sering merasakan jantung berdebar-
debar, mual).

3. Menurut keluarga pasien di RS Kabupaten direncanakan ditambah darah akan tetapi


beberapa kali terjadi reaksi ketidak cocokan antara pasien dan donor sehingga pasien
dirujuk.
a. Apa indikasi transfusi darah pada kasus?

 Anemia pada perdarahan akut


 Anemia kronis jika hb tidak bias ditingkatkan dengan cara lain
 Memiliki gangguan pembekuan darah
 Hipoalbumin
 Ada gangguan hemodinamik
 Hb < 10 gr%

b. Mengapa terjadi reaksi ketidak cocokan darah antara pasien dan donor pada kasus?
Kemungkinan terjadi ketidakcocokan golongan darah resipien dan pendonor
yang akan mengakibatkan adanya reaksi penghancuran sel darah pendonor
oleh antibodi resipien.

c. Apa saja penyebab terjadi ketidak cocokan darah antara pasien dan donor secara
umum?

 Perbedaan golongan darah


 Perbedaan rhesus
 Reaksi antara antibody dan antigen

d. Apa pemeriksaan yang dilakukan sebelum transfusi darah?

9
Test Coomb dan pemeriksaan keadaan umum

- Sehat jasmani dan rohani.


- Berusia 17-65 tahun.
- Memiliki berat badan minimal 45 kg.
- Tekanan darah sistolik minimal 100-170, dan tekanan darah diastolik 70-
100.
- Kadar hemoglobin berkisar antara 12,5 g/dl sampai 17 g/dl.
- Interval donor minimal 12 minggu atau 3 bulan sejak donor darah
sebelumnya dan maksimal 5 kali dalam 1 tahun.

4. Pasien dinyatakan menderita penyakit anemi


a. Apa saja etiologi anemia?

Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar


tubuh (perdarahan) dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum
waktunya (hemolisis).

b. Bagaimana mekanisme eritropoesis normal?

Mekanisme eritropoiesis atau pembentukan eritrosit berasal dari sel


hemositoblast yang secara kontinyu dibentuk dari sel induk primordial terdapat
di sumsum tulang (Guyton, 1997).Hemositoblast membentuk eritroblast basofil
yang mulai mensintesis hemoglobin, kemudian menjadi eritroblast
polikromatofilik yang mengandung campuran zat basofilik dan hemoglobin
sehingga inti sel menyusut menjadi normoblast karena sitoplasma normoblast
terisi hemoglobin.
Siklus Eritropoesis

c. Bagaimana patofisiologi anemia pada kasus?

10
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:

1. Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang,


sumsum tulang masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi
anemia. Keadaan ini disebut dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika
derajat hemolisisnya berat, sumsum tulang tidak mampu
mengompensasinya, sehingga terjadi anemia hemolitik.
2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:
Hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem
retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel
ini mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit
mengalamai kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun
fleksibilitasnya.
Hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit
mengalami lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma, namun
haptoglobin dan hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke
sistem retikuloendotelial untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya
berat, jumlah haptoglobin maupun hemopektin tentunya akan menurun.
Akibatnya, beredarlah hemoglobin bebas dalam darah (hemoglobinemia).
Jika hal ini terjadi, Hb tsb akan teroksidasi menjadi methemoglobin,
sehingga terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin juga bisa lewat di
glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa
hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-sel epitel,
dan besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat
epitel ini mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke
urin sehingga terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis
intravaskuler kronis.
Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer
akan memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang
eritropoiesis di sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan ‘dipaksa’

11
untuk dimatangkan sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit
muda) dalam darah, mengakibatkan polikromasia.

d. Bagaimana patogenesis anemia pada kasus?

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme, atau kombinasi keduanya.
a. Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi
C1, suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. Protein C1
akan berikatan dengan komplek imun antigen antibodi dan menjadi
aktif serta mampu mengkatalis reaksi-reaksi pada jalur klasik.
Fragmen C1 akan mengkatifkan C4 dan C2 menjadi suatu
kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami
perubahan konformasional sehingga mampu berikatan secara
kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah
merah berlabel antibodi). C3 juga membelah menjadi C3d,g, dan
C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan dengan membran sel darah
merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilaktosis) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur
membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b, C6, C7, C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan
menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan
terganggu. Air dan ion akan masuk kedalam sel sehingga sel
membengkak dan ruptur.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivator jalur alternatif
akan mengaktifkan C3 dan C3b yang terbentuk akan berikatan
dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat
pada C3b, dan faktor B dipecah oleh D menjadi Ba dan Bb. Bb

12
merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b.
Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi
C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam
penghancuran membran.
Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel
darah disensitisasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan
oleh sel-sel retikuloendotelial. Prose immune adherence ini sangat penting
bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

5. Riwayat perdarahan tidak ada. Riwayat umum obat-obatan tidak ada. Riwayat transfusi
darah sebelumnya tidak ada, BAB biasa, BAK kuning tua. Riwayat keluarga tidak ada
sakit seperti ini.
a. Apa makna klinis dari keterangan di atas?

 Riwayat perdarahan tidak ada: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang
biasanya didapat, misalnya karena autoimun, pengaruh obat infeksi dll.
 Riwayat umum obat-obatan tidak ada: tidak disebabkan oleh drug induce
(misal:obat malaria.
 Riwayat transfusi darah sebelumnya tidak ada: penyakit tidak disebabkan
karena transfusi darah.
 BAK kuning tua: terajadi peningkatan bilirubin.
 Riwayat keluarga tidak ada sakit seperti ini: bukan penyakit keturunan.

6. Pemeriksaan Fisik:

Keadaan umum: Sens cm, TD: 110/80 mmHg, Nadi: 92 x/menit, reguler, teratur, RR:
26x/menit. Temp 36,7 0C .

Keadaan Spesifik:

Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (+), bibir pucat (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : Jantung dbn, Paru dbn

13
Abdomen: Lien teraba SII, hepar tak teraba
Ekstremitas: palmar pucat (+), pembesaran kelenjar limfe (-)

a. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik pada kasus?

No Hasil Pemeriksaan Interpretasi


.
1 Sensorium CM Normal
2 TD : 110/80 mmHg Normal (batas bawah)
3 Nadi: 92 x/menit, reguler, teratur Normal
4 RR: 26x/menit Meningkat (N : 16-
24x/menit)
5 Temp 36,7 0C Meningkat
6 Kepala : Konjungtiva palpebra Abnormal
pucat (+), sklera ikterik (+), bibir pucat
(+)
7 Leher : JVP (5-2) cmH2O, Normal
pembesaran kelenjar limfe (-)
8 Thoraks : Jantung dbn, Paru dbn Normal
9 Abdomen : Lien teraba SII, hepar tak Lien teraba SII :
teraba Abnormal
Hepar tak teraba :
Normal
10 Ekstremitas : palmar pucat (+), Palmar pucat (+) :
pembesaran kelenjar limfe (-) Abnormal
Pembesaran kelenjar
linfe (-) : Normal

b. Bagaimana mekanisme abnormal pada pemeriksaan fisik pada kasus?

 RR: 26x/menit → meningkat

14
Terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit→ destruksi (hemolisis)
eritrosit → ↓ eritrosit → gangguan pengangkuatn O2 di tubuh →
kompensasi dengan meningkatkan frekuensi nafas

 Konjungtiva palpebra pucat (+), Bibir pucat (+), palmar pucat (+)

Terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit→ destruksi (hemolisis)


eritrosit → ↓ aliran darah → Konjungtiva palpebra pucat, bibir pucat,
palmar pucat

 Sklera ikterik (+)

Terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit→ destruksi (hemolisis)


eritrosit → hiperbilirubinemia → sklera ikterik

 Lien teraba SII

Lien merupakan tempat utama penghancuran eritrosit. Jika penghancuran


eritrosit terjadi terus menerus dan dalam jumlah banyak → kerja lien ↑ →
Splenomegali (Lien teraba SII)

7. Pemeriksaan Laboratorium: Hb 6,7 gr%, leukosit; 8600/mm3, Trombosit: 200.000/uL,


MCV 80 fl, MCH 28 pg, MCHC 34 g/dL, retikulosit; 24%. Bilirubin indirect 3,5 mg/dL.
Bilirubin direct 1,5 mg/dL. Tes comb direct dan indirect (+).
a. Apa interpretasi dari pemeriksaan Laboratorium pada kasus?

Pemeriksaan Laboratorium Nilai normal interpretasi


Hb 6,7 gr% Lk:13-16 gr% abnormal
Pr:12-14gr%
Leukosit 8600/mm3 5000-10.000/mm3 Normal
Trombosit 200 000/ul 150.000-450.000/mm3 Normal
MCV 80 fl 80-100 fl Normal
MCH 28 pg 25-33 pg Normal
MCHC 34 gr/dl 32-36% Normal
Retikulosit 24% 0,5-1,5% Abnormal
Bilirubin direct 0-0,3 mg/dl abnormal
Bilirubin indirect 0,1-1,0 mg/dl abnormal

b. Bagaimana mekanisme abnormal pada pemeriksaan Laboratorium pada kasus?

15
 Hb 6,7 gr% (menurun)
Terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit→ destruksi (hemolisis)
eritrosit → ↓ eritrosit → sum-sum tulang tidak mampu mengkompensasi
→ Hb ↓

 Retikulosit; 24% (meningkat)


Hb ↓ → merangsang eritropoesis → retikulosit di sum-sum tulang cepat
dikeluarkan → Retikulositosis

 Bilirubin indirect 3,5 mg/dL dan Bilirubin direct 1,5 mg/dL → meningkat

Karena pemecahan yang sangat cepat menyebabkan bilirubin 1 (indirect/


unconjugted) banyak di darah sehingga belum sempat diambil hati untuk
dijadikan bilirubin 2 (direct/ conjugated) atau hati tidak mampu lagi
mengubah bilirubin 1 menjadi bilirubin 2 karena jumlahnya yang banyak.

 Tes coomb direct dan indirect (+)


Menunjukkan darah memiliki antibodi yang melawan ertirosit.

IV. Keterbatasan Masalah dan Learning Issues

What I What I Have How I Will


No. Learning Issue What I Know
Don’t Know to Prove Learn

Autoimun Anatomi , Histologi


Jurnal
1. Hemolitik fisiologi Traktus Traktus Tatalaksana
Buku
Anemia urinarius Urinarius

16
Definisi,
2. Eritropoesis Mekanisme Mekanisme
Tahapan
Metabolisme
3. Definisi Mekanisme Mekanisme
Bilirubin

V. Sintesis

1. Autoimun Hemolitik Anemia


a. Definsi

Anemia hemolitik adalah penurunan jumlah sel darah merah akibat


destruksi sel darah merah yang berlebihan. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit
menjadi lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari), atau anemia hemolitik
adalah kurangnya kadar hemoglobin akibat kerusakan pada eritrosit yang lebih
cepat daripada kemampuan sumsum tulang untuk menggantinya kembali. Sel darah
merah yang tersisa bersifat normositik dan normokromik. Pembentukan sel darah
merah di sumsum tulang akan meningkat untuk mengganti sel-sel yang mati, lalu
mengalami peningkatan sel darah merah yang belum matur atau retikulosit yang
dipercepat masuk ke dalam darah.

b. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan
terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan
limfosit autoreaktif residual. Sebagian besar anemia hemolitik autoimun adalah
penyakit sekunder akibat penyakit virus, penyakit autoimun lain, keganasan atau
karena obat. Beberapa penyakit yang disertai dengan AIHA adalah lekimia
limfositik kronik, limfoma non hodgkin, gamopati IgM, limfoma hodgkin, tumor
solid, kista dermoid ovarium, SLE, kolitis ulseratif, Common Variable Immune
Deficiency, Autoimmune Lymphoproliferative Disease, setelah terapi transplantasi
sel punca alogenik, pasca transplantasi organ. Beberapa jenis obat yang digunakan
pada kasus leukimia limfositik kronik bisa menginduksi AIHA, begitu pula
interferon-ɑ, levofloksasin, lenalidomid dan juga transfusi darah.

c. Epidemiologi

17
Anemia hemolitik meliputi 5% dari keseluruhan kasus anemia. AIHA akut sangat jarang
terjadi,insidensnya 1-3 kasus per 100.000 individu per tahun. Lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki dan umumnya terjadi di usia pertengahan (middle-aged).

d. Faktor Resiko

1. riwayat keluarga anemia hemolitik


2. menderita leukemia atau kanker lainnya
3. infeksi virus
4. memiliki penyakit autoimun tertentu
5. konsumsi obat yang diketahui menyebabkan AIHA

e. Klasifikasi

a. AIHA Tipe hangat


 Idiopatik
 Sekunder (karena CLL, limfoma, SLE)
b. AIHA Tipe dingin
 Idiopatik
 Sekunder (infeksi mikroplasma, mononukleosis, virus, keganasan
limforetikuler)
c. Paroxysmal Cold hemoglobinuri
 Idiopatik
 Sekunder (viral, dan sifillis)
d. AIHA Atipik
 AIHA tes antiglobin negatif
 AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin

f. Manifestasi Klinis

Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah konjungtiva
pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegali, urin berwarna merah gelap.
Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis,
peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan Direct
Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.

g. Patofisiologi

18
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:

1. Turunnya kadar Hemoglobin. Jika hemolisisnya ringan atau sedang, sumsum


tulang masih bisa mengkompensasinya sehingga tidak terjadi anemia. Keadaan
ini disebut dengan hemolitik terkompensasi. Tapi jika derajat hemolisisnya berat,
sumsum tulang tidak mampu mengompensasinya, sehingga terjadi anemia
hemolitik.

2. Meningkatnya pemecahan eritrosit. Untuk hal ini ada tiga mekanisme:


 Hemolitik ekstravaskuler. Terjadi di dalam sel makrofag dari sistem
retikuloendotelial, terutama di lien, hepar dan sumsum tulang karena sel ini
mengandung enzim heme oxygenase. Lisis terjadi jika eritrosit mengalamai
kerusakan, baik di membrannya, hemoglobinnya maupun fleksibilitasnya. Jika sel
eritrosit dilisis oleh makrofag, ia akan pecah menjadi globin dan heme. Globin ini
akan kembali disimpan sebagai cadangan, sedangkan heme nanti akan pecah lagi
menjadi besi dan protoporfirin. Besi diangkut lagi untuk disimpan sebagai
cadangan, akan tetapi protoforfirin tidak, ia akan terurai menjadi gas CO dan
Bilirubin. Bilirubin jika di dalam darah akan berikatan dengan albumin membentuk
bilirubin indirect (Bilirubin I), mengalami konjugasi di hepar menjadi bilirubin
direct (bilirubin II), dieksresikan ke empedu sehingga meningkatkan
sterkobilinogen di feses dan urobilinogen di urin.
 Hemolitik intravaskuler. Terjadi di dalam sirkulasi. Jika eritrosit mengalami
lisis, ia akan melepaskan hemoglobin bebas ke plasma, namun haptoglobin dan
hemopektin akan mengikatnya dan menggiringnya ke sistem retikuloendotelial
untuk dibersihkan. Namun jika hemolisisnya berat, jumlah haptoglobin maupun
hemopektin tentunya akan menurun. Akibatnya, beredarlah hemoglobin bebas
dalam darah (hemoglobinemia). Jika hal ini terjadi, Hb tsb akan teroksidasi
menjadi methemoglobin, sehingga terjadi methemoglobinemia. Hemoglobin juga
bisa lewat di glomerulus ginjal, hingga terjadi hemoglobinuria. Namun beberapa
hemoglobin di tubulus ginjal nantinya juga akan diserap oleh sel-sel epitel, dan
besinya akan disimpan dalam bentuk hemosiderin. Jika suatu saat epitel ini

19
mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke urin sehingga
terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis.

 Peningkatan hematopoiesis. Berkurangnya jumlah eritrosit di perifer akan


memicu ginjal mengeluarkan eritropoietin untuk merangsang eritropoiesis di
sumsum tulang. Sel-sel muda yang ada akan ‘dipaksa’ untuk dimatangkan sehingga
terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit muda) dalam darah, mengakibatkan
polikromasia.

h. Patogenesis

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui


aktivasi sistem komplemen, aktivasi mekanisme, atau kombinasi keduanya.
Aktivasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan
menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis
intravaskular yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah
IgM, IgG1, IgG2, IgG3. Imunoglobulin M disebut sebagai aglutinin tipe dingin,
sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah
merah pada suhu dibawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat
karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.
a. Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi C1, suatu
protein yang dikenal sebagai recognition unit. Protein C1 akan berikatan dengan
komplek imun antigen antibodi dan menjadi aktif serta mampu mengkatalis
reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan mengkatifkan C4 dan C2
menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami perubahan
konformasional sehingga mampu berikatan secara kovalen dengan partikel yang
mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel antibodi). C3 juga
membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan dengan
membran sel darah merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan

20
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5
convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilaktosis) dan C5b yang
berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur
membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8 dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan
ion akan masuk kedalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivator jalur alternatif akan
mengaktifkan C3 dan C3b yang terbentuk akan berikatan dengan membran sel
darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan faktor B dipecah oleh D
menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada
C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan
C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b.
Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah
disensitisasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Prose immune adherence ini sangat penting bagi perusakan
sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai
IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

i. Komplikasi
Salah satu padakasus ini : pembentukan batu empedu.

j. Algoritma Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis sistematis mengenai adanya rasa


lelah, mudah mengantuk, sesak napas, cepatnya perlangsungan gejala, riwayat
pemakaian obat, dan riwayat sakit sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan pucat,
ikterik, splenomegali, dan hemoglobulinuri. Pemeriksaan fisik juga dilakiukan
untuk mencari kemungkinan penyakit primer yang mendasari AIHA. Pemeriksaan
hematologi menunjukkan adanya kadar hemoglobin yang rendah (biasanya sekitar

21
7-10 g/dl), MCV normal atau meningkat, bilirubin indirek yang meningkat, LDH
meningkat, dan retikulositosis. Serum haptoglobin tidak secara rutin dilakukan di
Indonesia.

Morfologi darah tepi menunjukkan adanya proses fragmentasi pada eritrosit (sferosit,
skistosit, helmet cell dan retikulosit). Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.

22
k. Diagnosis Banding
Perbedaan klinis Perbedaan hasil pemeriksaan

Anemia due to blood Terdapat riwayat perdarahan  Haptoglobin, bilirubin, dan


LDH normal
loss
 Microcytic anemia

 Iron deficiency

 Tes darah samar pada feses


mungkin positif

Underproduction Terjadi karena penurunan Jumlah retikulosit rendah, tanda-


anemia produksi sel darah merah tanda hemolisis biasanya tidak
dari berbagai penyebab, ada
seperti kegagalan sumsum
tulang (myelofibrosis,

23
sindrom myelodysplastic,
myelosupresi, anemia
aplastik), anemia penyakit
kronis, dan keadaan
defisiensi (zat besi, vitamin
B12, folat)

Transfusion reaction  Reaksi akut terjadi  Tes antiglobulin langsung


selama atau segera (Coombs) mungkin positif
setelah transfusi darah. dan serum haptoglobin
 Gejala reaksi akut dapat rendah, seperti untuk
meliputi: menggigil; hemolisis secara umum.
demam; sakit kepala;  Inspeksi visual sampel pasca
muka pucat; rasa sakit transfusi dapat menunjukkan
di sepanjang situs infus; warna merah muda ke
sakit perut, punggung merah.
atau dada. Tanda-tanda  Pengujian dapat
reaksi akut dapat menunjukkan
meliputi: pruritus; ketidakcocokan ABO antara
pembilasan; dispnea; penerima dan donor.
urtikaria; hipotensi;  Dalam kasus reaksi
hemoglobinuria; mengi; anafilaksis, kadar IgA serum
dan stridor. mungkin rendah dan
antibodi anti-IgA mungkin
positif.

Hemolisis karena Terdapat riwayat konsumsi Penyerapan/adsorpsi protein


obat obat-obatan dengan efek nonimunulogis terkait obat
hemolisis akanmenyebabkan tes Coomb
positif tanpa kerusakan eritrosit.
Antibodi terhadap obat akan
dibentuk dan bereaksi

24
denganobat pada permukaan
eritrosit. Eritrosit yang
teropsonisasi oleh obattersebut
akan dirusak di limpa. Antibodi
ini bila dipisahkan dari
eritrosithanya bereaksi dengan
reagen yang mengandung
eritrosit berlapis obatyang sama
(misalnya penisilin).

l. Pemeriksaan Penunjang

- Darah lengkap
- Haptoglobin
- Retikulosit
- LDH
- C3

Pemeriksaan untuk mendeteksi Autoantibodi pada eritrosit


Direct Antiglobulin Test (direct Coomb's test): sel eritrosit pasien dicuci dari
protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibody
monoklonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama IgG
dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan CdB
maka akan terjadi aglutinasi.
Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb's test): untuk mendeteksi autoantibodi
yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan dengan sel-sel reagen.
Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan
dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan terjadinya aglutinasi.

m. Tatalaksana

25
 Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2minggu menunjukan respons
klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positif
lemah, tes coomb indirect negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada
hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis
diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid
dosis < 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah. Namun, bila dosis
perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu
segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
 Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
penurunan dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.
Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah.
Hemolisis masih terus bisa berlangsung seteleah splenektomi, namun akan
dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah jauh lebih besar
untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca
splenektomi mencapai 50-75 %, namun tidak bersifat permanen.
Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
 Rituximab dan alemmtuzumab pada beberapa kasus dilaporkan
memperlihatkan respons yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapy.
Dosis rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan
luas permukaan tubuh. Beberapa literatur menganjurkan rituximab 375/m2 hari
1, 8, 15, 21.
 Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2, siklofosfamid 50-150
mg/hari (60 mg/m2)

n. KIE

Pada pasien yang mengalam cold type: usahakan jangan berada di tempat yang terlalu
dingin. Konsumsi obat steroid dengan benar, jangan sampai timbul komplikasi akibat obat.

o. SKDI
3A sebagai dokter umum harus mampu mendiagnosis dan memberikan tata laksana
awal kemudian rujuk ke dokter spesialis penyakit dalam
26
p. Prognosis
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronis namun terkendali.

2. Eritropoesis

1. Definisi Eritropoesis

Eritropoesis adalah proses pembuatan eritrosit, pada janin dan bayi


proses ini berlangsung di limfa dan sumsum tulang, tetapi pada orang
dewasa terbatas hanya pada sumsum tulang. (Dorland edisi 31)

2. Mekanisme Eritropoesis

Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada
pada sumsum tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam
macam sel darah tepI. Asal sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel
stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk koloni
eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas
sesuai dengan rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali
menghasilkan banyak sel darah merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel
ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan
berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi
dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan
basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan
menjadi eritrosit matur.

27
3. Sel Seri Eritropoesis

Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel
termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan
kromatin yang halus. Dengan pulasan Romanowsky inti berwarna biru
kemerah-merahan sitoplasmanya berwarna biru. Ukuran sel rubriblast
bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam
sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti

Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik.
Pada pewarnaan kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau
tidak tampak, sitoplasma sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna
biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukuran
lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari
seluruh sel berinti.

Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast
polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara
tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini
sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit
tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena kandungan
asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena kandungan
28
hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini dalam
sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.

Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik.
Inti sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma
telah mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah
walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan
normal adalah 5-10 %.

Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan
sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan
sebagian lagi dalam darah tepi. Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain
mengandung sisa-sisa RNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria
dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit
polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam sel ini hanya dapat dilihat dengan
pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum ini juga dapat terlihat segai
bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus biasa.
Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan
dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan
ribosom ini. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar
sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama
120 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit.

Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran
diameter 7-8 um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis
daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna
kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan

29
sangat berubah bentuk selama beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah
sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.
Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama beredar dalam darah, baik
mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di
makan oleh Parasit.

Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi di luar
sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai eritropoesis ekstra
meduler

4. Faktor yang Mempengaruhi Eritropoesis

Keseimbangan jumlah eritrosit yang beredar di dalam darah mencerminkan adanya


keseimbangan antara pembentukan dan destruksi eritrosit. Keseimbangan ini sangat penting,
karena ketika jumlah eritrosit turun akan terjadi hipoksia dan ketika terjadi kenaikan jumlah
eritrosit akan meningkatkan kekentalan darah.

30
Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru
diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang yang
sehat. Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai dari besi,
asam amino dan vitamin B tertentu.

 Hormonal Control

Stimulus langsung untuk pembentukan eritrosit disediakan oleh hormone eritropoetin


( EPO ) dan hormon glikoprotein. Ginjal memainkan peranan utama dalam produksi EPO.
Ketika sel-sel ginjal mengalami hipoksia ( kekurangan O2 ), ginjal akan mempercepat pelepasan
eritropoetin. Penurunan kadar O2 yang memicu pembentukan EPO :

1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan

2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada defisiensi besi )

3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita pneumonia.

31
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran O2 ke
jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi eritropoetin
dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan langsung sumsum
tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan stimulus hormone
yang akan mengaktifkan sumsum tulang.

Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone
sex wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita
lebih rendah daripada pria.

 Eritropoeitin

- Dihasilkan oleh: sel interstisial peritubular ginjal,hati


- Stimulus pembentukan eritroprotein: tekanan O2 dalam jaringan ginjal.
- ↓ penyaluran O2 ke ginjal merangsang ginjal mengeluarkan hormon eritropoetin ke dalam darah
→ merangsang eritropoiesis di sumsum tulang dengan merangsang proliferasi dan pematangan
eritrosit →jumlah eritrosit meningkat→kapasitas darah mengangkut O2 ↑ dan penyaluran O2 ke
jaringan pulih ke tingkat normal → stimulus awal yang mencetuskan sekresi eritropoetin hilang
sampai diperlukan kembali.
- Pasokan O2 ↑ ke jaringan akibat peningkatan massa eritrosit/Hb dapat lebih mudah melepaskan
O2 : stimulus eritroprotein turun
- Fungsi: mempertahankan sel-sel precursor dengan memungkin sel-sel tsb terus berproliferasi
menjadi elemen-elemen yg mensintesis Hb.
- Bekerja pada sel-sel tingkat G1
- Hipoksia: rangsang fisiologis dasar untuk eritropoeisis karena suplai O2 & kebutuhan mengatur
pembentukan eritrosit.

3. Metabolisme Bilirubin

32
Proses metabolisme pemecahan heme sangatlah kompleks. Setelah kurang lebih 120 hari,
eritrosit diambil dan didegradasi oleh sistem RES terutama di hati dan limpa. Sekitar 85% heme
yang didegradasi berasal dari eritrosit dan 15% berasal dari jaringan ekstraeritroid. Bilirubin
terbentuk akibat terbukannya cincin karbon- dari heme yang berasal dari eritrosit maupun
ekstraeritroid.
Tahap awal proses degradasi heme dikatalisis oleh enzim heme oksigenase mikrosom di
dalam sel RE. Dengan adanya NADPH dan O2, enzim ini akan menambahkan gugus hidroksil ke
jembatan metenil diantara dua cincin pirol, bersamaan dengan oksidasi ion ferro (Fe+2) menjadi
Fe+3 (ferri). Oksidasi selanjutnya oleh enzim yang menyebabkan pemecahan cincin porfirin. Ion
ferri dan dan CO di lepaskan, sehingga menyebabkan pembentukan biliverdin yang berpigmen

33
hijau. Biliverdin kemudian direduksi sehingga membentuk bilirubin yang bewarna merah jingga.
Bilirubin dan turunannya bersama-sama disebut pigmen empedu.
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma, sehingga diangkut ke hati dengan berikatan
dengan protein albumin secara nonkovalen. Bilirubin teruarai dari molekul pembawa albumin
dan masuk ke dalam hepatosit, tempat bilirubin akan berikatan dengan protein intrasel, terutama
protein liganin. Di dalam hepatosit, kelarutan bilirubin meningkat karena penambahan dua
molekul asam glukoronat. Reaksi ini dikatalisis oleh bilirubin glukoniltransferase dengan
menggunakan asam glukoronat UDP sebagai donor glukoronat. Bilirubin diglukoronid
ditransport secara aktif dengan melawan gradien konsentrasi ke dalam kanalikuli biliaris dan
kemudian ke dalam empedu. Proses ini memerlukan energi, merupakan tahapan yang membatasi
laju dan rentan mengalami gangguan pada penyakit hepar. Bilirubin yang tidak terkonjugasi
normalnya diekskresikan.
Bilirubin diglukoronid dihidrolisis dan direduksi oleh bakteri di usus untuk menghasilkan
urobilinogen, senyawa yang tidak bernyawa. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri
usus menjadi sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa urobilinogen
direabsorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen ini berperan
dalam siklus urobilinogen intrahepatik yang akan di uptake oleh hepar kemudian diekskresikan
kembali ke dalam empedu. Sisa urobilinogen diangkut oleh darah ke dalam ginjal, tempat
urobilinigen diubah menjadi urobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan sehingga
memberikan warna yang khas pada urin.

34
VI. Kerangka Konsep

Kerusakan
Reaksi antigan
Anemia membran
dan antibodi
eritrosit

Indikasi transfusi darah


Distribusi O2 ↓
Destruksi RBC ↑
Reaksi/ crossmatch (+)

Sindrom anemia
Hb ↓
AIHA

↑ bilirubin
Pusing Pucat Palpitasi

Lemas Mual muntah Urobilin ↑

↑eritropoeies
is BAK kuning tua

Retikulositosis

Spleen teraba S II

35
VII. Kesimpulan
Ny. M usia 55 tahun mengalami lemas dan mata kuning et causa Autoimmune
Hemolytic Anemia.

DAFTAR PUSTAKA

Metika, Rahmasari Irza (2017) Perbedaan Rerata Kadar Hemoglobin dan Retikulosit Dengan
Gradasi Direct Coombs Test pada Pasien Anemia Hemolitik Autoimun. Diploma thesis,
Universities Andalas.
Price, Sylvia (2010) Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Rokim, Khoirul Fahrizal and Yudhanto, Eka and Wahyudi , Firdaus (2014) Hubungan Usia dan
Status Nutrisi Terhadap Kejadian Anemia pada Pasien Kanker
Kolorektal. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine Diponegoro University.
Setiani, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing

36

Anda mungkin juga menyukai