Disusun oleh:
Kelompok A1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya laporan tutorial
A Blok 21 ini dapat diselesaikan dengan baik.
Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan laporan tutorial C ini.
Tim menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami
mohon maaf apabila terdapat maksud atau penulisan kata yang salah ataupun yang kurang
berkenan dalam laporan ini. Maka dari itu, pendapat, kritik, dan saran akan sangat membantu
dalam penyempurnaan laporan ini.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... 2
DAFTAR ISI........................................................................................................................ 3
KEGIATAN TUTORIAL.................................................................................................... 4
Klarifikasi Istilah.................................................................................................................. 5
Identifikasi Masalah............................................................................................................. 6
Analisis Masalah.................................................................................................................. 7
Sintesis................................................................................................................................. 15
Kerangka Konsep................................................................................................................. 41
Kesimpulan………………………………………………………………........................... 42
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ .................. 42
3
KEGIATAN TUTORIAL
4
Skenario A Blok 21
Ny. M seorang wanita berusia 55 tahun dikirim dari RS Kabupaten datang ke IGD
RSMH dengan keluhan utama badan lemas, keluhan tambahan mata kuning sejak 1 bulan yang
lalu. Pasien juga merasa sering pusing, mata berkunang-kunang, keringat dingin, sering
merasakan jantung berdebar-debar, mual dan tidak demam. Pasien dinyatakan menderita
penyakit anemi. Menurut keluarga pasien di RS Kabupaten direncanakan ditambah darah akan
tetapi beberapa kali terjadi reaksi ketidak cocokan antara pasien dan donor sehingga pasien
dirujuk. Riwayat perdarahan tidak ada. Riwayat umum obat-obatan tidak ada. Riwayat transfusi
darah sebelumnya tidak ada, BAB biasa, BAK kuning tua. Riwayat keluarga tidak ada sakit
seperti ini.
Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: Sens cm, TD: 110/80 mmHg, Nadi: 92 x/menit, reguler, teratur, RR: 26x/menit.
Temp 36,7 0C .
Keadaan Spesifik:
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (+), bibir pucat (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : Jantung dbn, Paru dbn
Abdomen : Lien teraba SII, hepar tak teraba
Ekstremitas : palmar pucat (+), pembesaran kelenjar limfe (-)
Pemeriksaan Laboratorium: Hb 6,7 gr%, leukosit; 8600/mm3, Trombosit: 200.000/uL, MCV 80 fl,
MCH 28 pg, MCHC 34 g/dL, retikulosit; 24%. Bilirubin indirect 3,5 mg/dL. Bilirubin direct 1,5
mg/dL. Tes comb direct dan indirect (+)
I. Klarifikasi Istilah
No ISTILAH PENGERTIAN
1. Mata kuning Perubahan warna menjadi kekuningan
akibat deposit bilirubin
(MedicalDictionary).
2. Badan lemas Perasaan subjektif akibat terkurasnya tenaga
dan energi dalam onset gradual.
(merriamwebster).
3. Pusing, Perasaan seperti ingin pingsan, lemah atau
tidak stabil (MedLineplus).
4. Mata berkunang-kunang, Lightheadedness, rasa tidak menyenangkan
dari pusing dan atau perasaan akan pingsan
5
(dictionary.cambridge).
5. Keringat dingin (diaporesis) Keringat berlebihan yang biasanay
diakibatkan karena penyakit atau obat
(Healtline).
6. Jantung berdebar-debar (Palpitasi) Sensasi/ perasaan denyut jantung yang tidak
teratur yang sifatnya subjektif (Dorlan).
7. Penyakit anemi Keadaan saat jumlah sel darah merah atau
Hb dalam sel darah merah berada dibawah
normal (MedicalDictionary).
8. Transfusi darah Proses pemindahan atau pemberian darah
dari seseorang (donor) kepada orang lain
(resipien) (medicinenet).
9. MCV (Mean corpuscular Volume) Volume rata-rata sel darah merah dalam
spesimen (Webmd).
10. MCH (Mean corpuscular Hemoglobin) Massa rata-rata hemoglobin per sel darah
merah dalam sempel darah (MedLine).
11. MCHC (Mean corpuscular Hemoglobin Konsentrasi hemoglobin rata-rata sel hidup
Concentration) yang dilaporkan sebagai bagian dari hitung
darah lengkap standar, angka ini digunakan
untuk menilai kemungkinan dari jenis
anemia (Dorlan).
12. Retikulosit Eritrosit muda yang menunjukan retikulum
basofilik pada pewarnaan vital (Dorlan).
13. Bilirubin indirect Bilirubin yang berasal dari pemecahan sel
darah merah yang akan ditransportasi ke
hati (webmd).
14. Bilirubin direct Bilirubin yang telah mencapai hati dan telah
terjadi perubahan kimia, yang akan
ditransportasi ke usus sebelum dikeluarkan
melalui feses dan urin (webmd).
15. Tes coomb’s Pemeriksaan yang digunakan untuk
mendeteksi adanya antibody pada
permukaan eritrosit (medlineplus).
No MASALAH KETERANGAN
.
1. Ny. M seorang wanita berusia 55 tahun dikirim dari RS Keluhan Utama
Kabupaten datang ke IGD RSMH dengan keluhan utama
badan lemas
2. Keluhan tambahan mata kuning sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan Tambahan
Pasien juga merasa sering pusing, mata berkunang-kunang,
keringat dingin, sering merasakan jantung berdebar-debar,
mual dan tidak demam.
6
3. Menurut keluarga pasien di RS Kabupaten direncanakan Riwayat Pengobatan
ditambah darah akan tetapi beberapa kali terjadi reaksi
ketidak cocokan antara pasien dan donor sehingga pasien
dirujuk.
4. Pasien dinyatakan menderita penyakit anemi. Diagnosis
5. Riwayat perdarahan tidak ada. Riwayat umum obat-obatan Informasi Tambahan
tidak ada. Riwayat transfusi darah sebelumnya tidak ada,
BAB biasa, BAK kuning tua. Riwayat keluarga tidak ada
sakit seperti ini.
6. Pemeriksaan Fisik: Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: Sens cm, TD: 110/80 mmHg, Nadi: 92
x/menit, reguler, teratur, RR: 26x/menit. Temp 36,7 0C .
Keadaan Spesifik:
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (+),
bibir pucat (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : Jantung dbn, Paru dbn
Abdomen: Lien teraba SII, hepar tak teraba
Ekstremitas: palmar pucat (+), pembesaran kelenjar limfe (-)
7. Pemeriksaan Laboratorium: Hb 6,7 gr%, leukosit; 8600/mm3, Pemeriksaan Laboratorium
Trombosit: 200.000/uL, MCV 80 fl, MCH 28 pg, MCHC 34
g/dL, retikulosit; 24%. Bilirubin indirect 3,5 mg/dL.
Bilirubin direct 1,5 mg/dL. Tes comb direct dan indirect (+).
1. Ny. M seorang wanita berusia 55 tahun dikirim dari RS Kabupaten datang ke IGD
RSMH dengan keluhan utama badan lemas
a. Apa hubungan usia, jenis kelamin pada keluhan utama (lemas) pada kasus?
Riset kesehatan dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 melaporkan insiden anemia
di Indonesia adalah 21,7 %. Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua
anemia. Insiden AIHA berkisar 1-3 kasus per 100.000 orang per tahun, dengan
prevalensi 17/100.000 orang pertahun. Angka kematian AIHA berkisar antara
20-50%, bergantung kepada penyakit yang mendasari munculnya penyakit
AIHA (Zanella dan Barcellini, 2014; Michel, 2011). AIHA bisa terjadi pada
semua usia, namun lebih sering terjadi pada individu setengah baya dan lebih tua
(Michel, 2014).
2. Keluhan tambahan mata kuning sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga merasa sering pusing,
mata berkunang-kunang, keringat dingin, sering merasakan jantung berdebar-debar,
mual dan tidak demam.
a. Apa hubungan keluhan utama dengan keluhan tambahan pada kasus?
Keluhan utama pada kasus ini adalah lemas berarti kurangnya energi pada pasien
yang bisa disebabkan karena AIHA. Pada AIHA, terjadi penghancuran eritrosit
sebelum waktunya (masa hidup rata-rata eritrosit yaitu 120 hari) yang terus
menerus dan dalam jumlah banyak, ini menyebabkan terjadinya peningkatan
billirubin, sehingga pada mata tampak sklera ikterik (kuning).
b. Bagaimana mekanisme mata kuning pada kasus?
8
retikuloendotelial terutama dalam hati dan limpa. Sebagai hasil samping proses
ini, bilirubin yang terbentuk dalam fagosit akan memasuki aliran darah. Setiap
kenaikan destruksi sel darah merah (hemolysis) segera direfleksikan dengan
peningkatan bilirubin plasma (kadar diatas 1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada
sclera)
b. Mengapa terjadi reaksi ketidak cocokan darah antara pasien dan donor pada kasus?
Kemungkinan terjadi ketidakcocokan golongan darah resipien dan pendonor
yang akan mengakibatkan adanya reaksi penghancuran sel darah pendonor
oleh antibodi resipien.
c. Apa saja penyebab terjadi ketidak cocokan darah antara pasien dan donor secara
umum?
9
Test Coomb dan pemeriksaan keadaan umum
10
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:
11
untuk dimatangkan sehingga terjadi peningkatan retikulosit (sel eritrosit
muda) dalam darah, mengakibatkan polikromasia.
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi
sistem komplemen, aktivasi mekanisme, atau kombinasi keduanya.
a. Aktivasi komplemen jalur klasik. Reaksi diawali dengan aktivasi
C1, suatu protein yang dikenal sebagai recognition unit. Protein C1
akan berikatan dengan komplek imun antigen antibodi dan menjadi
aktif serta mampu mengkatalis reaksi-reaksi pada jalur klasik.
Fragmen C1 akan mengkatifkan C4 dan C2 menjadi suatu
kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-convertase). C4b,2b akan
memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b mengalami
perubahan konformasional sehingga mampu berikatan secara
kovalen dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah
merah berlabel antibodi). C3 juga membelah menjadi C3d,g, dan
C3c. C3d dan C3g akan tetap berikatan dengan membran sel darah
merah dan merupakan produk final aktivasi C3. C3b akan
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5
convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi C5a
(anafilaktosis) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur
membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul
C5b, C6, C7, C8 dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan
menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan
terganggu. Air dan ion akan masuk kedalam sel sehingga sel
membengkak dan ruptur.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivator jalur alternatif
akan mengaktifkan C3 dan C3b yang terbentuk akan berikatan
dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat
pada C3b, dan faktor B dipecah oleh D menjadi Ba dan Bb. Bb
12
merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada C3b.
Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi
C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah
menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam
penghancuran membran.
Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel
darah disensitisasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen atau
berikatan dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi
komplemen lebih lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan
oleh sel-sel retikuloendotelial. Prose immune adherence ini sangat penting
bagi perusakan sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence,
terutama yang diperantarai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
5. Riwayat perdarahan tidak ada. Riwayat umum obat-obatan tidak ada. Riwayat transfusi
darah sebelumnya tidak ada, BAB biasa, BAK kuning tua. Riwayat keluarga tidak ada
sakit seperti ini.
a. Apa makna klinis dari keterangan di atas?
Riwayat perdarahan tidak ada: hemolitik akibat faktor-faktor dari luar yang
biasanya didapat, misalnya karena autoimun, pengaruh obat infeksi dll.
Riwayat umum obat-obatan tidak ada: tidak disebabkan oleh drug induce
(misal:obat malaria.
Riwayat transfusi darah sebelumnya tidak ada: penyakit tidak disebabkan
karena transfusi darah.
BAK kuning tua: terajadi peningkatan bilirubin.
Riwayat keluarga tidak ada sakit seperti ini: bukan penyakit keturunan.
6. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum: Sens cm, TD: 110/80 mmHg, Nadi: 92 x/menit, reguler, teratur, RR:
26x/menit. Temp 36,7 0C .
Keadaan Spesifik:
Kepala : Konjungtiva palpebra pucat (+), sklera ikterik (+), bibir pucat (+)
Leher : JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar limfe (-)
Thoraks : Jantung dbn, Paru dbn
13
Abdomen: Lien teraba SII, hepar tak teraba
Ekstremitas: palmar pucat (+), pembesaran kelenjar limfe (-)
14
Terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit→ destruksi (hemolisis)
eritrosit → ↓ eritrosit → gangguan pengangkuatn O2 di tubuh →
kompensasi dengan meningkatkan frekuensi nafas
Konjungtiva palpebra pucat (+), Bibir pucat (+), palmar pucat (+)
15
Hb 6,7 gr% (menurun)
Terbentuknya autoantibodi terhadap eritrosit→ destruksi (hemolisis)
eritrosit → ↓ eritrosit → sum-sum tulang tidak mampu mengkompensasi
→ Hb ↓
Bilirubin indirect 3,5 mg/dL dan Bilirubin direct 1,5 mg/dL → meningkat
16
Definisi,
2. Eritropoesis Mekanisme Mekanisme
Tahapan
Metabolisme
3. Definisi Mekanisme Mekanisme
Bilirubin
V. Sintesis
b. Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan
terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan
limfosit autoreaktif residual. Sebagian besar anemia hemolitik autoimun adalah
penyakit sekunder akibat penyakit virus, penyakit autoimun lain, keganasan atau
karena obat. Beberapa penyakit yang disertai dengan AIHA adalah lekimia
limfositik kronik, limfoma non hodgkin, gamopati IgM, limfoma hodgkin, tumor
solid, kista dermoid ovarium, SLE, kolitis ulseratif, Common Variable Immune
Deficiency, Autoimmune Lymphoproliferative Disease, setelah terapi transplantasi
sel punca alogenik, pasca transplantasi organ. Beberapa jenis obat yang digunakan
pada kasus leukimia limfositik kronik bisa menginduksi AIHA, begitu pula
interferon-ɑ, levofloksasin, lenalidomid dan juga transfusi darah.
c. Epidemiologi
17
Anemia hemolitik meliputi 5% dari keseluruhan kasus anemia. AIHA akut sangat jarang
terjadi,insidensnya 1-3 kasus per 100.000 individu per tahun. Lebih sering terjadi pada
perempuan daripada laki-laki dan umumnya terjadi di usia pertengahan (middle-aged).
d. Faktor Resiko
e. Klasifikasi
f. Manifestasi Klinis
Lemas, mudah capek, sesak napas adalah gejala yang sering dikeluhkan oleh
penderita anemia hemolitik. Tanda klinis yang sering dilihat adalah konjungtiva
pucat, sklera berwarna kekuningan, splenomegali, urin berwarna merah gelap.
Tanda laboratorium yang dijumpai adalah anemia normositik, retikulositosis,
peningkatan lactate dehydrogenase, peningkatan serum haptoglobulin, dan Direct
Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.
g. Patofisiologi
18
Pada proses hemolisis akan terjadi dua hal berikut:
19
mengalami deskuamasi, maka hanyutlah hemosiderin tersebut ke urin sehingga
terjadi hemosiderinuria, yg merupakan tanda hemolisis intravaskuler kronis.
h. Patogenesis
20
membentuk kompleks dengan C4b2b menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5
convertase akan memecah C5 menjadi C5a (anafilaktosis) dan C5b yang
berperan dalam kompleks penghancur membran. Kompleks penghancur
membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8 dan beberapa molekul C9.
Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel sebagai suatu aluran
transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan terganggu. Air dan
ion akan masuk kedalam sel sehingga sel membengkak dan ruptur.
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif. Aktivator jalur alternatif akan
mengaktifkan C3 dan C3b yang terbentuk akan berikatan dengan membran sel
darah merah. Faktor B kemudian melekat pada C3b, dan faktor B dipecah oleh D
menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu protease serin, dan tetap melekat pada
C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan
C3b. C5 akan berikatan dengan C3b dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b.
Selanjutnya C5b berperan dalam penghancuran membran.
Aktivasi seluler yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular. Jika sel darah
disensitisasi dengan igG yang tidak berikatan dengan komplemen atau berikatan
dengan komponen komplemen namun tidak terjadi aktivasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel
retikuloendotelial. Prose immune adherence ini sangat penting bagi perusakan
sel eritrosit yang diperantarai sel. Immunoadherence, terutama yang diperantarai
IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
i. Komplikasi
Salah satu padakasus ini : pembentukan batu empedu.
j. Algoritma Diagnosis
21
7-10 g/dl), MCV normal atau meningkat, bilirubin indirek yang meningkat, LDH
meningkat, dan retikulositosis. Serum haptoglobin tidak secara rutin dilakukan di
Indonesia.
Morfologi darah tepi menunjukkan adanya proses fragmentasi pada eritrosit (sferosit,
skistosit, helmet cell dan retikulosit). Direct Antiglobulin Test menunjukkan hasil positif.
22
k. Diagnosis Banding
Perbedaan klinis Perbedaan hasil pemeriksaan
Iron deficiency
23
sindrom myelodysplastic,
myelosupresi, anemia
aplastik), anemia penyakit
kronis, dan keadaan
defisiensi (zat besi, vitamin
B12, folat)
24
denganobat pada permukaan
eritrosit. Eritrosit yang
teropsonisasi oleh obattersebut
akan dirusak di limpa. Antibodi
ini bila dipisahkan dari
eritrosithanya bereaksi dengan
reagen yang mengandung
eritrosit berlapis obatyang sama
(misalnya penisilin).
l. Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap
- Haptoglobin
- Retikulosit
- LDH
- C3
m. Tatalaksana
25
Kortikosteroid 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2minggu menunjukan respons
klinis baik (Hmt meningkat, retikulosit meningkat, tes coombs direk positif
lemah, tes coomb indirect negatif). Nilai normal dan stabil akan dicapai pada
hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap steroid, dosis
diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 10-20 mg/hari. Terapi steroid
dosis < 30 mg/hari dapat diberikan secara selang sehari. Beberapa pasien akan
memerlukan terapi rumatan dengan steroid dosis rendah. Namun, bila dosis
perhari melebihi 15 mg/hari untuk mempertahankan kadar Hmt, maka perlu
segera dipertimbangkan terapi dengan modalitas lain.
Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan
penurunan dosis selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi.
Splenektomi akan menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah.
Hemolisis masih terus bisa berlangsung seteleah splenektomi, namun akan
dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat antibodi dalam jumlah jauh lebih besar
untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang sama. Remisi komplit pasca
splenektomi mencapai 50-75 %, namun tidak bersifat permanen.
Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
Rituximab dan alemmtuzumab pada beberapa kasus dilaporkan
memperlihatkan respons yang cukup menggembirakan sebagai salvage therapy.
Dosis rituximab 100 mg per minggu selama 4 minggu tanpa memperhitungkan
luas permukaan tubuh. Beberapa literatur menganjurkan rituximab 375/m2 hari
1, 8, 15, 21.
Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari (80 mg/m2, siklofosfamid 50-150
mg/hari (60 mg/m2)
n. KIE
Pada pasien yang mengalam cold type: usahakan jangan berada di tempat yang terlalu
dingin. Konsumsi obat steroid dengan benar, jangan sampai timbul komplikasi akibat obat.
o. SKDI
3A sebagai dokter umum harus mampu mendiagnosis dan memberikan tata laksana
awal kemudian rujuk ke dokter spesialis penyakit dalam
26
p. Prognosis
Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit dan sebagian besar
memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronis namun terkendali.
2. Eritropoesis
1. Definisi Eritropoesis
2. Mekanisme Eritropoesis
Sel darah berasal dari sel stem hemopoetik pluripoten yang berada
pada sumsum tulang. Sel ini kemudian akan membentuk bermacam
macam sel darah tepI. Asal sel yang akan terbentuk selanjutnya adalah sel
stem commited, Sel ini akan dapat meghasilkan Unit pembentuk koloni
eritrosit (CFU-E) dan Unit granulosit dan monosit (CFU-GM).
Pada eritropoesis, CFU-E membentuk banyak sel Proeritroblas
sesuai dengan rangsangan. Proeritroblas akan membelah berkali-kali
menghasilkan banyak sel darah merah matur ya itu Basofil Eritroblas. Sel
ini sedikit sekali mengumpulkan hemoglobin. Selanjutnya sel ini akan
berdifferensiasi menjadi Retikulosit dengan sel yang sudah dipenuhi
dengan hemoglobin. Retikulosit masih mengandung sedikit bahan
basofilik. Bahan basofilik ini akan menghilang dalam waktu 1-2 hari dan
menjadi eritrosit matur.
27
3. Sel Seri Eritropoesis
Rubriblast
Rubriblast disebut juga pronormoblast atau proeritrosit, merupakan sel
termuda dalam sel eritrosit. Sel ini berinti bulat dengan beberapa anak inti dan
kromatin yang halus. Dengan pulasan Romanowsky inti berwarna biru
kemerah-merahan sitoplasmanya berwarna biru. Ukuran sel rubriblast
bervariasi 18-25 mikron. Dalam keadaan normal jumlah rubriblast dalam
sumsum tulang adalah kurang dari 1 % dari seluruh jumlah sel berinti
Prorubrisit
Prorubrisit disebut juga normoblast basofilik atau eritroblast basofilik.
Pada pewarnaan kromatin inti tampak kasar dan anak inti menghilang atau
tidak tampak, sitoplasma sedikit mengandung hemoglobin sehingga warna
biru dari sitoplasma akan tampak menjadi sedikit kemerah-merahan. Ukuran
lebih kecil dari rubriblast. Jumlahnya dalam keadaan normal 1-4 % dari
seluruh sel berinti.
Rubrisit
Rubrisit disebut juga normoblast polikromatik atau eritroblast
polikromatik. Inti sel ini mengandung kromatin yang kasar dan menebal secara
tidak teratur, di beberapa tempat tampak daerah-daerah piknotik. Pada sel ini
sudah tidak terdapat lagi anak inti, inti sel lebih kecil daripada prorubrisit
tetapi sitoplasmanya lebih banyak, mengandung warna biru karena kandungan
asam ribonukleat (ribonucleic acid-RNA) dan merah karena kandungan
28
hemoglobin, tetapi warna merah biasanya lebih dominan. Jumlah sel ini dalam
sumsum tulang orang dewasa normal adalah 10-20 %.
Metarubrisit
Sel ini disebut juga normoblast ortokromatik atau eritroblast ortokromatik.
Inti sel ini kecil padat dengan struktur kromatin yang menggumpal. Sitoplasma
telah mengandung lebih banyak hemoglobin sehingga warnanya merah
walaupun masih ada sisa-sisa warna biru dari RNA. Jumlahnya dalam keadaan
normal adalah 5-10 %.
Retikulosit
Pada proses maturasi eritrosit, setelah pembentukan hemoglobin dan
penglepasan inti sel, masih diperlukan beberapa hari lagi untuk melepaskan
sisa-sisa RNA. Sebagian proses ini berlangsung di dalam sumsum tulang dan
sebagian lagi dalam darah tepi. Pada saat proses maturasi akhir, eritrosit selain
mengandung sisa-sisa RNA juga mengandung berbagai fragmen mitokondria
dan organel lainnya. Pada stadium ini eritrosit disebut retikulosit atau eritrosit
polikrom. Retikulum yang terdapat di dalam sel ini hanya dapat dilihat dengan
pewarnaan supravital. Tetapi sebenarnya retikulum ini juga dapat terlihat segai
bintik-bintik abnormal dalam eritrosit pada sediaan apus biasa.
Polikromatofilia yang merupakan kelainan warna eritrosit yang kebiru-biruan
dan bintik-bintik basofil pada eritrosit sebenarnya disebabkan oleh bahan
ribosom ini. Setelah dilepaskan dari sumsum tulang sel normal akan beredar
sebagai retikulosit selama 1-2 hari. Kemudian sebagai eritrosit matang selama
120 hari. Dalam darah normal terdapat 0,5-2,5 % retikulosit.
Eritrosit
Eritrosit normal merupakan sel berbentuk cakram bikonkav dengan ukuran
diameter 7-8 um dan tebal 1,5-2,5 um. Bagian tengah sel ini lebih tipis
daripada bagian tepi. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna
kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit sangat lentur dan
29
sangat berubah bentuk selama beredar dalam sirkulasi. Umur eritrosit adalah
sekitar 120 hari dan akan dihancurkan bila mencapai umurnya oleh limpa.
Banyak dinamika yang terjadi pada eritrosit selama beredar dalam darah, baik
mengalami trauma, gangguan metabolisme, infeksi Plasmodium hingga di
makan oleh Parasit.
Apabila sumsum tulang mengalami kelainan, misalnya fibrosis, eritropoesis akan terjadi di luar
sumsum tulang seperti pada lien dan hati maka proses ini disebut juga sebagai eritropoesis ekstra
meduler
30
Untuk mempertahankan jumlah eritrosit dalam rentang hemostasis, sel-sel baru
diproduksi dalam kecepatan yang sangat cepat yaitu lebih dari 2 juta per detik pada orang yang
sehat. Proses ini dikontrol oleh hormone dan tergantung pada pasokan yang memadai dari besi,
asam amino dan vitamin B tertentu.
Hormonal Control
1. Kurangnya jumlah sel darah merah atau destruksi eritrosit yang berlebihan
2. Kurang kadar hemoglobin di dalam sel darah merah ( seperti yang terjadi pada defisiensi besi )
3. Kurangnya ketersediaan O2 seperti pada daerah dataran tinggi dan pada penderita pneumonia.
31
Peningkatan aktivitas eritropoesis ini menambah jumlah sel darah merah dalam darah,
sehingga terjadi peningkatan kapasitas darah mengangkut O2 dan memulihkan penyaluran O2 ke
jaringan ke tingkat normal. Apabila penyaluran O2 ke ginjal telah normal, sekresi eritropoetin
dihentikan sampai diperlukan kembali. Jadi, hipoksia tidak mengaktifkan langsung sumsum
tulang secara langsung, tapi merangsang ginjal yang nantinya memberikan stimulus hormone
yang akan mengaktifkan sumsum tulang.
Selain itu, testosterone pada pria juga meningkatkan produksi EPO oleh ginjal. Hormone
sex wanita tidak berpengaruh terhadap stimulasi EPO, itulah sebabnya jumlah RBC pada wanita
lebih rendah daripada pria.
Eritropoeitin
3. Metabolisme Bilirubin
32
Proses metabolisme pemecahan heme sangatlah kompleks. Setelah kurang lebih 120 hari,
eritrosit diambil dan didegradasi oleh sistem RES terutama di hati dan limpa. Sekitar 85% heme
yang didegradasi berasal dari eritrosit dan 15% berasal dari jaringan ekstraeritroid. Bilirubin
terbentuk akibat terbukannya cincin karbon- dari heme yang berasal dari eritrosit maupun
ekstraeritroid.
Tahap awal proses degradasi heme dikatalisis oleh enzim heme oksigenase mikrosom di
dalam sel RE. Dengan adanya NADPH dan O2, enzim ini akan menambahkan gugus hidroksil ke
jembatan metenil diantara dua cincin pirol, bersamaan dengan oksidasi ion ferro (Fe+2) menjadi
Fe+3 (ferri). Oksidasi selanjutnya oleh enzim yang menyebabkan pemecahan cincin porfirin. Ion
ferri dan dan CO di lepaskan, sehingga menyebabkan pembentukan biliverdin yang berpigmen
33
hijau. Biliverdin kemudian direduksi sehingga membentuk bilirubin yang bewarna merah jingga.
Bilirubin dan turunannya bersama-sama disebut pigmen empedu.
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma, sehingga diangkut ke hati dengan berikatan
dengan protein albumin secara nonkovalen. Bilirubin teruarai dari molekul pembawa albumin
dan masuk ke dalam hepatosit, tempat bilirubin akan berikatan dengan protein intrasel, terutama
protein liganin. Di dalam hepatosit, kelarutan bilirubin meningkat karena penambahan dua
molekul asam glukoronat. Reaksi ini dikatalisis oleh bilirubin glukoniltransferase dengan
menggunakan asam glukoronat UDP sebagai donor glukoronat. Bilirubin diglukoronid
ditransport secara aktif dengan melawan gradien konsentrasi ke dalam kanalikuli biliaris dan
kemudian ke dalam empedu. Proses ini memerlukan energi, merupakan tahapan yang membatasi
laju dan rentan mengalami gangguan pada penyakit hepar. Bilirubin yang tidak terkonjugasi
normalnya diekskresikan.
Bilirubin diglukoronid dihidrolisis dan direduksi oleh bakteri di usus untuk menghasilkan
urobilinogen, senyawa yang tidak bernyawa. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri
usus menjadi sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa urobilinogen
direabsorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen ini berperan
dalam siklus urobilinogen intrahepatik yang akan di uptake oleh hepar kemudian diekskresikan
kembali ke dalam empedu. Sisa urobilinogen diangkut oleh darah ke dalam ginjal, tempat
urobilinigen diubah menjadi urobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan sehingga
memberikan warna yang khas pada urin.
34
VI. Kerangka Konsep
Kerusakan
Reaksi antigan
Anemia membran
dan antibodi
eritrosit
Sindrom anemia
Hb ↓
AIHA
↑ bilirubin
Pusing Pucat Palpitasi
↑eritropoeies
is BAK kuning tua
Retikulositosis
Spleen teraba S II
35
VII. Kesimpulan
Ny. M usia 55 tahun mengalami lemas dan mata kuning et causa Autoimmune
Hemolytic Anemia.
DAFTAR PUSTAKA
Metika, Rahmasari Irza (2017) Perbedaan Rerata Kadar Hemoglobin dan Retikulosit Dengan
Gradasi Direct Coombs Test pada Pasien Anemia Hemolitik Autoimun. Diploma thesis,
Universities Andalas.
Price, Sylvia (2010) Patofisiologis : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC
Rokim, Khoirul Fahrizal and Yudhanto, Eka and Wahyudi , Firdaus (2014) Hubungan Usia dan
Status Nutrisi Terhadap Kejadian Anemia pada Pasien Kanker
Kolorektal. Undergraduate thesis, Faculty of Medicine Diponegoro University.
Setiani, Siti, dkk. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Jakarta: Interna Publishing.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing
36