Sebagian besar guru dan pembuat kebijakan pendidikan kita mengalami apa yang disebut
gagap sosiologis. Mereka cenderung melihat kegagalan murid sebagai persoalan psikologi dan
perilaku, seperti malas belajar, kurang motivasi dan sebagainya. Sebagai lanjutannya, pembelajaran
di kelas dikelola dengan model hadiah dan hukuman (reward and punishment), model yang persis
sama dipergunakan untuk melatih binatang untuk sirkus. Di sinilah perlunya guru mengenal
pemikiran-pemikiran sosilogi pendidikan, seperti Paulo Freire dan Pierre Bourdieu. Pedagogi kiritis
dengan tokohnya paling terkenal Paulo Freire yang menulis buku Pedagogy of The Opressed tidak
banyak dikenal kalangan guru di Indonesia, apalagi pemikiran Bourdieu tentang pendidikan.
Perbandingan dan pejelasan inti pemikiran Freire dan Bourdiue dalam tulisan ini diambil dari
bab V buku Michael Buroway Conversation with Pierre Bourdieu: The Johanesburg Moment dengan
subjudul “Pedagogy of The Oppressed: Friere Meets Bourdieu”. Bahan ini diangkat menjadi tema
diskusi ICW-Sekolah Tanpa Batas di Jakarta, Rabu 20 Februari 2013, dengan narasumber Jimmy Paat,
aktivis Sekolah Tanpa Batas dan dosen Universitas Negeri Jakarta.
Freire dan Bourdieu memiliki kemiripan dalam memandang pedagogi konvensional dan
institusi sekolah formal yang dilihat sebagai bentuk dominasi kultural dan berfungsi untuk
melanggengkan dominasi kelas dominan. Bagi Bourdieu pendidikan adalah dominasi simbolik yang
sempurna. Previlese kelas dominan itu, kata Bourdieu, tidak bisa diwariskan melalui hubungan darah
tetapi dilakukan melalui sertifikat akademik yang dipergunakan untuk menjustifikasi dan
mentransmisikan dominasi mereka.
Paulo Freire dalam Pedagogi Kaum Tertindas, buku tentang pedagogi kritis yang
paling terkenal, muncul pada 1970 di tahun yang sama buku Reproduction terbit di Perancis.
Keduanya berangkat dari kritisisme terhadap pedagogi konvensional dan optimisme bahwa
pendidikan dapat memberikan kontribusi progresif terhadap perubahan sosial. Freire
bertolak dari asumsi bahwa kelompok yang didominasi menginternalisasikan penindasan
mereka dan dominasi itu dilakukan melalui sistem pendidikan ala bank di mana guru
meuangkan pengetahuan pada otak murid yang dianggap kosong. Akan tetapi Friere
menawarkan pedagogi alternatif. Menurut Freire, berdasarkan dialog yang dilandaskan
kasih antara guru dan murid dalam pengajaran yang bertolak dari persoalan-persoalan dan
pengalaman yang ada dalam murid. Kerja itu harus melampaui batas-batas kelas formal,
membawa pendidikan ke komunitas, lingkungan rumah tangga, dan desa.
Pedagogi alternatif semacam itu yang dikecam oleh Bourdieu dan Passeron dengan
menyebut bahwa pedagogi populis seperti itu menyesatkan. Di mata Bourdieu, Pedagogi
Kaum Tertindas merupakan fantasi berbahaya kaum intelektual yang berpikir bahwa mereka
dapat melampaui pertama, habitus mereka sendiri sebagai intelektual (sebagai pecahan dari
kelompok dominan); dan kedua, mendorong transformasi habitus kelompok yang
didominasi. Pedagogi kritis merupakan ilusi intelektualis yang menikmati previlese
penyadaran. Pandangan ini dilihat sebagai kegagalan memahami kedalaman penindasan.
Pandangan ini lebih berfokus pada relasi pedagogis yang membuatnya mengaburkan
persoalan kelas.
Bourdieu menyebut pedagogi kritis sebagai soft pedagogy (pedagogi lembek), yang
justru akan menyempurnakan dominasi, membuat kelas yang didonominasi tetap berada di
kelas yang didominasi. Ilusi kaum populis iotu hanya meliaht fungsi sosial pendidikan tetapi
gagal memahami fungsi teknis pendidikan. Sebagai akibatnya pekerjaaan untuk kelas
pekerja tidak tersedia untuk kelas pekerja yang tidak mengikuti pendidikan dasar. Pedagogi
popular akan menyebabkan kelompok yang dirugikan tetap berada di lapis bawah
masyarakat.
Pandangan Bourdieu dan Friere tentang sekolah reproduksi budaya dominan akan
membantu memperkaya guru dan aktivis pendidikan dalam melihat sekolah. Bourdieu di
satu pihak begitu tajam dalam mengritik pedagogi konvensional dan sekolah formal tetapi di
lain pihak sangat lunak dalam memberikan respon. Dengan menanamkan budaya dominan
pada murid-murid yang berasal dari kelompok yang didominasi berarti memberikan
pengakuan terhadap budaya dominan tetap berkuasa sekaligus menyangkal kebudayaan
kelompok yang didominasi. Bukankah itu akan mencerabut anak-anak dari kelompok
tertindas dari kelompoknya? Bukan tidak mungkin setelah mengalami mobilitas vertikal
mereka pada giliriannya akan menjadi penindas.
Tan Malaka dalam bukunya SI Schools and Onderwijks mengatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah membekali anak didik supaya bisa hidup dalam dunia kemodalan tetapi
juga sekaligus kelak mesti memiliki komitmen pada kaum kromo. Implisit dalam pandangan
ini pendidikan bukan semata-mata alat untuk mentransmisikan budaya dominan tetapi
justru harus selalu mengingatkan anak pada akar kelasnya supaya mereka kelak tidak jadi
penindas tetapi justru memiliki pemihakan pada kelasnya. Ki Hadjar Dewantara juga
berpandangan serupa. Ia mengritik sistem pendidikan kolonial (bentuk lain dari dominasi
simbolik) bertujuan melestarikan ekonomi dan budaya kolonial yang membuat murid
tercerabut dari akar budayanya, semata-mata hanya mempersiapkan murid agar
mendapatkan kedudukan nyaman dalam pemerintahan atau perusahaan-perusahaan
Belanda.
Solusi yang ditawarkan Bourdieu dengan pedagogi rasional mirip dengan yang
dilakukan sekolah-sekolah zending pada zaman Belanda, yang berusaha mengangkat anak-
anak dari kelompok masyarakat bawah menjadi kelompok kelas menengah atas. Ini pula
yang dilakukan dengan model pemberian beasiswa atau jatah kursi sekolah elite untuk
anak-anak miskin. Itupun dengan catatatan, beasiswa yang sekedar memberikan akses
tanpa mendampingi anak-anak itu untuk menguasai modal kapital tidak akan menolong
mobilitas vertikal mereka. Pedagogi rasional juga mensyaratkan guru-guru yang memiliki
modal kapital, guru-guru yang memiliki repertoar yang kuat, dan guru-guru yang punya
kesadaran keharusan untuk memberikan aksi-aksi afirmatif pedagogis maupun
nonpedagogis pada murid-muridnya.