Program Pengendalian Resistensi Antimikr
Program Pengendalian Resistensi Antimikr
PENDAHULUAN
Keselamatan pasien di rumah sakit adalah sistem pelayanan dalam suatu RS yang
memberikan asuhan pasien menjadi lebih aman. Risiko terjadinya kesalahan medis yang
dialami pasien di rumah sakit sangat besar. Besarnya risiko dipengaruhi oleh beberapa
faktor antara lain lamanya pelayanan, keadaan pasien, kompetensi dokter, serta prosedur
dan kelengkapan fasilitas. Kesalahan medis tersebut bisa saja terjadi pada saat komunikasi
dengan pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, diagnosis maupun terapi dan
tindak lanjut, namun bukan disebabkan oleh penyakit underlying diseases. Risiko klinis
tersebut bisa berakibat cedera, kehilangan/kerusakan atau bisa juga karena faktor kebetulan
atau ada tindakan dini tidak berakibat cedera.
Kejadian risiko yang mengakibatkan pasien tidak aman sebagian besar dapat dicegah
dengan beberapa cara. Antara lain meningkatkan kompetensi diri, kewaspadaan dini, dan
komunikasi aktif dengan pasien. Salah satu yang bisa dilakukan untuk mendukung program
patient safety tersebut adalah penggunaan antibiotik secara bijak dan penerapan
pengendalian infeksi secara benar. Diharapkan penerapan “Program Pengendalian
Resistensi Antibiotik” dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan khususnya
penanganan kasus-kasus infeksi di rumah sakit serta mampu meminimalkan risiko
terjadinya kesalahan medis yang dialami pasien di rumah sakit.
Resistansi antibiotika telah menjadi masalah di Indonesia dengan merujuk pada
Pedoman Pengendalian Resistensi Antibiotika (PPRA) yang melibatkan 20 rumah sakit
pendidikan. Permenkes no. 2406/Menkes/PER.XII/2011 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Antibiotik dan beberapa hasil penelitian telah dilakukan antara lain
Antimicrobial Resistance in: Indonesia Prevalence and Prevention (AMRIN) menyatakan
bahwa Indonesia memiliki resistensi terhadap mikroba. Akibat dari resistensi antibiotika
yaitu pengobatan pasien menjadi gagal atau tidak sembuh, biaya jadi meningkat karena
LOS (long of stay) lebih lama dan jenis antibiotika beragam serta keberhasilan program
kesehaan masyarakat dapat terganggu.
Badan Eksekutif WHO telah merekomendasikan untuk memasukkan resistensi
antibiotika ke resolusi EB134.R13 pada World Health Assembly 2014 bulan Mei lalu,
dengan penyusunan Rencana Aksi Global untuk Resistensi Antibiotika. World Health Day
2011 mengusung tema Antimicrobial Resistance (AMR). Hal ini kemudian dilanjutkan
oleh penandatanganan “Jaipur Declaration on Antimicrobial Resistance 2011” oleh
1
Menteri-menteri Kesehatan dari negara-negara anggota WHO Regional Asia Tenggara.
Dimana pada Deklarasi Jaipur tersebut ditekankan pentingnya pemerintah menempatkan
prioritas utama untuk mempertahankan efikasi antibiotik dan menghindari resistensi
antimikroba. Mengatasinya dengan melakukan rencana aksi yang melibatkan multisektor
Untuk mendukung kegiatan PPRA di rumah sakit perlu kesiapan infrastruktur rumah
sakit melalui kebijakan pimpinan rumah sakit yang mendukung penggunaan antibiotic
secara bijak (prudent use of antibiotics), pelaksanaan pengendalian infeksi secara optimal,
pelayanan mikrobiologi klinik dari pelayanan farmasi klinik seara professional. Hal ini
sesuai dengan hasil rekomendasi Lokakarya Nasional Kedua ‘Staregy to Combat the
Emergence and Spread of Antimikrobial Resistant Bacteria in Indonesia’ di Jakarta tanggal
6-7 Desember 2006 bahwa setiap rumah sakit diharapkan segera menerapkan PPRA.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. ANTIMIKROBA
Antimikroba adalah bahan-bahan atau obat-obat yang digunakan untuk
memberantas/membasmi infeksi mikroba, khususnya yang merugikan manusia,terbatas
yang bukan parasit diantaranya antibiotika, antiseptika, khemoterapeutika, preservative.
Antibiotika adalah suatu senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme, yang
dalam konsentrasi kecil mempunyai kemampuan menghambat atau membunuh
mikroorganisme lain. Antibiotik bersifat toksik secara selektif pada bakteri, namun tidak
toksik pada sel inang (host).
Penggolongan antimikroba
Berdasarkan mekanisme kerjanya
1. Bersifat sebagai antimetabolit/ penghambatan metabolisme sel.
Koenzim asam folat di perlukan untuk sintesis purin dan pirimidin (prekursor DNA dan
RNA) dan senyawa-senyawa lain yang dipelukan untuk pertumbuhan seluler dan
replikasi. Untuk banyak mikroorganisme, asam p-amino benzoate (PABA) merupakan
metabolit utama. Antimikroba seperti sulfonamide secara struktur mirip dengan PABA,
asam folat, dan akan berkompetisi dengan PABA untuk membentuk asam folat, Jika
senyawa antimikroba yang menang bersaing dengan PABA maka akan terbentuk asam
folat non fungsional yang akan mengganggu kehidupan mikroorganisme. Contoh obat:
Sulfonamid, trimetoprim, asam p-aminosalisilat
2. Penghambatan sintesis dinding sel
Antimikroba golongan ini dapat menghambat biosintesis peptidoglikan, sintesis
mukopeptida atau menghambat sintesis peptide dinding sel, sehingga dinding sel
menjadi lemah dank arena tekanan turgor dari dalam, dinding sel akan pecah atau lisis
sehingga bakteri akan mati. Contoh obat: penisilin, sefalosforin, sikloserin, vankomisin,
basitrasin, dan antifungi gol. Azol.
3. Penghambatan fungsi permeabilitas membrane sel
Antimikroba bekeja secara langsung pada membrane sel yang mempengarui
permeabilitas dan menyebabkan keluarnya senyawa intraseluler mikroorganisme,
sehingga sel mengalami kerusakan bahkan mati. Contoh Obat : polimiksin, nistatin, dan
amfoteresin B .
3
4. Penghambatan sintesis protein yang reversible
Mempengaruhi fungsi sub unit 50S dan 30S. Antimikroba akan menghambat reaksi
transfer antara donor dengan aseptor atau menghambat translokasi t-RNA peptidil dari
situs aseptor kesitus donor yang menyebabkan sitesis protein terhenti.
Contoh obat : kloramfenikol, gol. Tetrasiklin, eritromisin, klindamisin, dan
pristinamisin
5. Pengubahan sintesis protein
Berikatan dengan subunit ribosom 30S dan mengubah sintesis protein, yang pada
akhirnya akan mengakibatkan kematian sel. Contoh obat : aminoglikosida
6. Penghambatan asam nukleat
Antimikroba mempengaruhi metabolis asam nukleat bakteri, contoh obat : gol.
Rifamisin, yang menghambat RNA polimerase , dan yang menghambat topoisomerase
Contoh obat : golongan kuinolon
7. Seny. Antivirus yang terdiri beberapa gol :
Analog asam nukleat, secara selektif menghambat DNA polimerase virus
(asiklovir ),
menghambat transkriptase balik (zidovudin)
Inhibitor transkriptase balik non-nukleosida (nevirapin)
Inhibitor enzim2 esensial virus lainnya, mis.inhibitor protease HIV atau
neuranidase
influenza.
Berdasarkan spektrumnya
1. Antibiotik dengan spektrum sempit, efektif terhadap satu jenis mikroba
2. Antibiotik dengan spektrum luas, efektif baik terhadap gram positif maupun gram
negatif. Contoh obat: tetrasiklin, amfenikol, aminoglikosida, makrolida, rifampisin,
turunan penisilin (ampisilin, amoksisilin, bakampisilin, karbanesilin, hetasilin,
pivampisilin, sulbenisilin, dan tirkasilin), dan sebagian besar turunan sefalosporin
3. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap gram positif. Contoh obat:
basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan penisilin sprt benzilpenisilin, penisilin
G prokain, penisilin V, fenetilisin K, metisilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat,
dan beberapa turunan sefalosporin.
4. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri gram negatif. Contoh
obat: kolkistin, polimiksin B sulfat, dan sulfomisin
4
5. Antibiotik yang aktivitasnya lebih dominan thdp Mycobacteriae (antituberkulosis).
Contoh obat: streptomisin, kanamisin, sikloserin, rifampisin, viomisin, dan
kapreomisin
6. Antibiotik yang aktif terhadap jamur (antijamur). Contoh obat: griseofulvin, dan
antibiotik polien seperti nistatin, amfoterisin B, dan kandisidin
7. Antibiotik yang aktif terhadap neoplasma (antikanker). Contoh obat: aktinomisin,
bleomisin, daunorubisin, mitomisin, dan mitramisin
Berdasarkan Struktur kimianya
1. Antibiotik β-laktam
2. Turunan amfnikol
3. Turunan tetrasklin
4. Aminoglikosida
5. Makrolida
6. Polipeptida
7. Linkosamida
8. Polien
9. Ansamisin
10. Antrasiklin
5
2. Membran sel, fungsi dan integritas membran sel, Contoh obat: nistatin, amfoteresin,
polimiksin B.
3. Asam nukleat, menghambat biosintesis DNA, mRNA, biosintesis DNA dan mRNA
Contoh obat: mitomisin C, rifampisin, griseofilvin
4. Ribosom, menghambat biosintesis protein (subunit 30S prokariotik contoh:
aminosiklitol, tetrasiklin, subunit 50S prokariotik contoh: amfenicol, makrolida,
linkosamida.
B. RESISTENSI ANTIMIKROBA
Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba
oleh antimikroba. Sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk bertahan hidup.
Pembagian resistensi :
a. Resistensi genetic
1. Mutasi spontan
gen mikroba berubah karena pengaruh AM terjadi seleksi, galur resisten
bermultiplikasi, yang peka terbasmi, tersisa populasi resisten
2. Resistensi dipindahkan
- Transformasi
- Transduksi
- Konjugasi
6
b. Resistensi silang
Keadaan resistensi terhadap Antimikroba tertentu yang juga memperlihatkan resistensi
terhadap Antimikroba yang lain terjadi :
- antara Antimikroba dengan struktur kimia yang mirip
- antara Antimikroba beda struktur tapi mekanisme kerja mirip
Mekanisme resistensi :
1. Perubahan tempat kerja (target site) obat antimikroba
2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk kedalam sel
3. Inaktivasi obat oleh mikroba
4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh mikroba
5. Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba
Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia, yaitu
Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant
Enterococci (VRE), Penicillin-Resistant Pneumococci, Klebsiella pneumoniae yang
menghasilkan Extended-Spectrum BetaLactamase (ESBL), Carbapenem-Resistant
Acinetobacter baumannii dan Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blanco
et al. 2000; Stevenson et al. 2005). Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat
penggunaan antibiotik yang tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard
precaution) yang tidak benar di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian
Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2494 individu di
masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain:
ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781
pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap
berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol
(43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%).
Resistensi adalah kemampuan bakteri untuk menetralisir dan melemahkan daya kerja
antibiotik. Hal ini dapat terjadi dengan beberapa cara, yaitu (Drlica & Perlin, 2011):
1) Merusak antibiotik dengan enzim yang diproduksi.
2) Mengubah reseptor titik tangkap antibiotik.
3) Mengubah fisiko-kimiawi target sasaran antibiotik pada sel bakteri.
4) Antibiotik tidak dapat menembus dinding sel, akibat perubahan sifat dinding sel bakteri.
5) Antibiotik masuk ke dalam sel bakteri, namun segera dikeluarkan dari dalam sel melalui
mekanisme transport aktif ke luar sel.
7
Satuan resistensi dinyatakan dalam satuan KHM (Kadar Hambat Minimal) atau
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu kadar terendah antibiotik (µg/mL) yang
mampu menghambat tumbuh dan berkembangnya bakteri. Peningkatan nilai KHM
menggambarkan tahap awal menuju resisten.
Enzim perusak antibiotik khusus terhadap golongan beta-laktam, pertama dikenal pada
Tahun 1945 dengan nama penisilinase yang ditemukan pada Staphylococcus aureus dari
pasien yang mendapat pengobatan penisilin. Masalah serupa juga ditemukan pada pasien
terinfeksi Escherichia coli yang mendapat terapi ampisilin (Acar and Goldstein, 1998).
Resistensi terhadap
golongan beta-laktam antara lain terjadi karena perubahan atau mutasi gen penyandi
protein (Penicillin Binding Protein, PBP). Ikatan obat golongan beta-laktam pada PBP akan
menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga sel mengalami lisis.
Peningkatan kejadian resistensi bakteri terhadap antibiotik bisa terjadi dengan 2 cara,
yaitu:
1) Mekanisme Selection Pressure.
Jika bakteri resisten tersebut berkembang berbiak secara duplikasi setiap 20-30 menit
(untuk bakteriyang berbiak cepat), maka dalam 1-2 hari, seseorang tersebut dipenuhi
oleh bakteri resisten. Jika seseorang terinfeksi oleh bakteri yang resisten maka upaya
penanganan infeksi dengan antibiotik semakin sulit.
2) Penyebaran resistensi ke bakteri yang non-resisten melalui plasmid.
Hal ini dapat disebarkan antar kuman sekelompok maupun dari satu orang ke orang
lain.
Ada dua strategi pencegahan peningkatan bakteri resisten:
1) Untuk selection pressure dapat diatasi melalui penggunaan antibiotik secara bijak
(prudent use of antibiotics).
2) Untuk penyebaran bakteri resisten melalui plasmid dapat diatasi dengan
meningkatkan ketaatan terhadap prinsip-prinsip kewaspadaan standar (universal
precaution).
8
disingkat KPRA adalah komite yang dibentuk oleh Kementerian Kesehatan dalam rangka
mengendalikan penggunaan antimikroba secara luas baik di fasilitas pelayanan kesehatan
dan di masyarakat.
9
4. Membantu kepala/direktur rumah sakit dalam mengawasi dan mengevaluasi
pelaksanaan program pengendalian resistensi antimikroba
5. Menyelenggarakan forum kajian kasus pengelolaan penyakit infeksi terintegrasi
6. Melakukan surveilens pola mikroba penyebab infeksi dan kepekaanya terhadap
antibiotik
7. Melakukan surveilens pola penggunaan antibiotik
8. Menyebarluaskan serta meningkatkan pemahaman dan kesadaran tentang prinsip
pengendalian resistensi antimikroba, pengunaan antibiotik secara bijak, dan ketaatan
terhadap pencegahan pengendalian infeksi melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan
9. Mengembangkan penelitian di bidang pengendalian resistensi antimikroba
10. Melaporkan kegiatan program pengendalian resistensi antimikroba kepada
Kepala/Direktur rumah sakit
10
dan menyebarnya mikroba multiresisten di rumah sakit dilakukan melalui surveilans
mikroba multiresisten. Evaluasi terhadap pelaksanaan program pengendalian resistensi
antimikroba di rumah sakit dilakukan melalui:
d. Penurunan angka kejadian infeksi di rumah sakit yang disebabkan oleh mikroba
multiresisten
e. Peningkatan mutu penanganan kasus infeksi secara multidisiplin melalui forum kajian
kasus infeksi terintegrasi
11
pembatasan dalam penerapannya. Antibiotik dibedakan dalam kelompok antibiotik
yang bebas digunakan oleh semua klinisi (non-restricted) dan antibiotik yang dihemat
dan penggunaannya memerlukan persetujuan tim ahli (restricted dan reserved).
Peresepan antibiotik bertujuan mengatasi penyakit infeksi (terapi) dan mencegah
infeksi pada pasien yang berisiko tinggi untuk mengalami infeksi bekteri pada tindakan
pembedahan (profilaksis bedah) dan beberapa kondisi medis tertentu (profilaksis
medik). Antibiotik tidak diberikan pada penyakit non-infeksi dan penyakit infeksi yang
dapat sembuh sendiri (self-limited) seperti infeksi virus.
Pemilihan jenis antibiotik harus berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi atau
berdasarkan pola mikroba dan pola kepekaan antibiotik, dan diarahkan pada antibiotik
berspektrum sempit untuk mengurangi tekanan seleksi (selection pressure).
Penggunaan antibiotik empiris berspektrum luas masih dibenarkan pada keadaan
tertentu, selanjutnya dilakukan penyesuaian dan evaluasi setelah ada hasil pemeriksaan
mikrobiologi (streamlining atau de-eskalasi). Beberapa masalah dalam pengendalian
resistensi antimikroba di rumah sakit perlu diatasi. Misalnya, tersedianya laboratorium
mikrobiologi yang memadai, komunikasi antara berbagai pihak yang terlibat dalam
kegiatan perlu ditingkatkan.
Kebijakan penggunaan antibiotik (antibiotic policy) ditandai dengan pembatasan
penggunaan antibiotik dan mengutamakan penggunaan antibiotik lini pertama.
Pembatasan penggunaan antibiotik dapat dilakukan dengan menerapkan pedoman
penggunaan antibiotik, penerapan penggunaan antibiotik secara terbatas (restricted),
dan penerapan kewenangan dalam penggunaan antibiotik tertentu (reserved
antibiotics).
Indikasi ketat penggunaan antibiotik dimulai dengan menegakkan diagnosis
penyakit infeksi, menggunakan informasi klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium
seperti mikrobiologi, serologi, dan penunjang lainnya. Antibiotik tidak diberikan pada
penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus atau penyakit yang dapat sembuh sendiri
(self-limited). Pemilihan jenis antibiotik harus berdasar pada:
a. Informasi tentang spektrum kuman penyebab infeksi dan pola kepekaan kuman
terhadap antibiotik.
b. Hasil pemeriksaan mikrobiologi atau perkiraan kuman penyebab infeksi.
c. Profil farmakokinetik dan farmakodinamik antibiotik.
d. Melakukan de-eskalasi setelah mempertimbangkan hasil mikrobiologi dan
keadaan klinis pasien serta ketersediaan obat.
12
e. Cost effective: obat dipilih atas dasar yang paling cost effective dan aman.
13
Antibiotik Profilaksis Bedah adalah penggunaan antibiotik sebelum, selama, dan
paling lama 24 jam pascaoperasi pada kasus yang secara klinis tidak
memperlihatkan tanda infeksi dengan tujuan mencegah terjadinya infeksi luka
daerah operasi.
d. Pemberian antibiotik pada prosedur operasi terkontaminasi dan kotor tergolong
dalam pemberian antibiotik terapi sehingga tidak perlu ditambahkan antibiotik
profilaksis
2. Kebijakan Khusus
a. Pengobatan awal
1) Pasien yang secara klinis diduga atau diidentifikasi mengalami infeksi bakteri
diberi antibiotik empirik selama 48-72 jam.
2) Pemberian antibiotik lanjutan harus didukung data hasil pemeriksaan
laboratorium dan mikrobiologi.
3) Sebelum pemberian antibiotik dilakukan pengambilan spesimen untuk
pemeriksaan mikrobiologi.
b. Antibiotik empirik ditetapkan berdasarkan pola mikroba dan kepekaan antibiotik
setempat.
c. Prinsip pemilihan antibiotik.
1) Pilihan pertama (first choice).
2) Pembatasan antibiotik (restricted/reserved).
3) Kelompok antibiotik profilaksis dan terapi.
d. Pengendalian lama pemberian antibiotik dilakukan dengan menerapkan automatic
stop order sesuai dengan indikasi pemberian antibiotik yaitu profilaksis, terapi
empirik, atau terapi definitif.
e. Pelayanan laboratorium mikrobiologi.
1) Pelaporan pola mikroba dan kepekaan antibiotik dikeluarkan secara
berkala/tahun.
2) Pelaporan hasil uji kultur dan sensitivitas harus cepat dan akurat.
3) Bila sarana pemeriksaan mikrobiologi belum lengkap, maka diupayakan
adanya pemeriksaan pulasan gram dan KOH.
c. Pencegahan Penyebaran Mikroba Resisten
Pencegahan penyebaran mikroba resisten di rumah sakit dilakukan melalui upaya
Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI). Pasien yang terinfeksi atau membawa koloni
mikroba resisten dapat menyebarkan mikroba tersebut ke lingkungan, sehingga perlu
14
dilakukan upaya membatasi terjadinya transmisi mikroba tersebut, terdiri dari 4 (empat)
upaya berikut ini :
1. Meningkatkan kewaspadaan standar (standard precaution), meliputi:
a. kebersihan tangan
b. alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung),
face shield (pelindung wajah), dan gaun
c. dekontaminasi peralatan perawatan pasien
d. pengendalian lingkungan
e. penatalaksanaan linen
f. perlindungan petugas kesehatan
g. penempatan pasien
h. hygiene respirasi/etika batuk
i. praktek menyuntik yang aman
j. praktek yang aman untuk lumbal punksi
2. Melaksanakan kewaspadaan transmisi
a. Melalui kontak
b. Melalui droplet
c. Melalui udara (airborne)
d. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat, peralatan)
e. Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus)
Pada kewaspadaaan transmisi, pasien ditempatkan di ruang terpisah. Bila tidak
memungkinkan, maka dilakukan cohorting yaitu merawat beberapa pasien dengan pola
penyebab infeksi yang sama dalam satu ruangan.
3. Dekolonisasi
Dekolonisasi adalah tindakan menghilangkan koloni mikroba multiresisten pada
individu pengidap (carrier). Contoh: pemberian mupirosin topikal pada carrier
MRSA.
4. Tata laksana Kejadian Luar Biasa (KLB) mikroba multiresisten atau Multidrug-Resistant
Organisms (MDRO) seperti Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA),
bakteri penghasil Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL), atau mikroba
multiresisten yang lain.
15
jawab pasien, agar segera dilakukan tindakan untuk membatasi penyebaran strain mikroba
multiresisten tersebut.
Cara pengujian resistensi mikroba terhadap suatu jenis antibiotik dapat dilakukan
dengan uji resistensi. Teknik ini menggunakan zat kimia untuk mengurangi dan membunuh
mikroorganisme, terutama mikroba yang patogen. Metode yang biasa dipakai adalah
metode Metode Kirby-Bauer yang merupakan cara untuk menentukan sensitifitas
antibiotik untuk bakteri. Sensitifitas suatu bakteri terhadap antibiotik ditentukan oleh
diameter zona hambat terbentuk. Semakin besar diameternya maka semakin terhambat
pertumbuhannya.
Faktor-faktor yang berpengaruh pada metode Kirby-Bauer adalah:
a. Ketebalan media agar: Dapat mempengaruhi penyebaran dan difusi antibiotik yang
digunakan.
b. Umur bakteri: Bakteri yang berumur tua (fase stationer) tidak efektif untuk diuji karena
mendekati kematian dan tidak terjadi pertumbuhan lagi sehingga yang dipakai bekteri
berumur sedang (fase eksponential) karena aktivitas metabolitnya tinggi, pertumbuhan
cepat sehingga lebih peka terhadapa daya kerja obat dan hasilnya lebih akurat.
c. Waktu inkubasi: Waktu yang cukup supaya bakteri dapat berkembang biak dengan
optimal dan cepat. Waktunya minimal 16 jam.
d. pH, temperature: Bakteri memiliki pH dan temperature optimal untuk tumbuh yang
berbeda-beda sehingga sebaiknya dilakukan saat pH dan temperature yang optimal.
e. Konsentrasi antibioti: Semakin besar konsentrasinya semakin besar diameter
hambatannya..
f. Jenis antibiotic: setiap bakteri memiliki respon yang berbeda-beda terhadap
antibiotiknya, tergantung sifat antibiotik tersebut (berspektrum luas/berspektrum sempit).
16
BAB III
KESIMPULAN
17
DAFTAR PUSTAKA
18
DAFTAR ISI
Daftar Isi I
………………………………………………………………………
Bab I Pendahuluan 2
……………………………………………………………
Bab II Pembahasan 3
…………………………………………………………..
a. Antimikroba 3
………………………………………………………….
b. Resistensi Antimikroba 7
……………………………………………....
c. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba 10
………………………
Bab III Kesimpulan 18
…………………………………………………………..
Daftar Pustaka 19
………………………………………………………………..
19