Anda di halaman 1dari 6

Menurut ketentuan dalam Perpres No. 70 Tahun 2012 Pasal 61 ayat (1) b.

Kontrak ditandatangani paling


lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterbitkannya SPPBJ. Sehingga paling lambat tanggal 1
Oktober 2013 harus sudah penandatanganan kontrak. Namun, Kontrak belum bisa ditandatangani
karena lokasi proyek belum siap. bagaimana kelanjutan penandatanganan Kontrak pekerjaan konstruksi
karena sudah melewati batas akhir penandatanganan kontrak dan akhir tahun anggaran 2013 semakin
mendesak?

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 61 ayat (1) j bahwa
kontrak ditandatangani paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterbitkannya SPPBJ;
Mengacu kepada uraian di atas, proyek pembangunan gedung dimana penandatanganan kontrak paling
lama dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2013 namun terhambat karena permasalahan relokasi
gedung maka penandatanganan kontrak dapat dilaksanakan setelah adanya kesepakatan terkait relokasi
gedung; Dalam hal menunggu adanya kesepakatan terkait relokasi gedung maka PPK dapat memeriksa
dan meminta untuk memperpanjang surat penawaran serta jaminan penawaran dari penyedia sehingga
surat penawaran serta jaminan penawaran tidak berakhir masa berlakunya pada saat penandatangan
kontrak; Penandatangan kontrak harus mempertimbangkan waktu pelaksanaan. Apabila waktu
pelaksanaan tidak mencukupi maka PPK harus melaporkan kepada PA/KPA terkait proyek pembangunan
gedung yang tidak dapat dilanjutkan karena keterbatasan waktu pelaksanaan untuk dinyatakan proses
pelelangan batal oleh PA/KPA dan anggarannya dikembalikan kepada negara.

Dalam hal paket pekerjaan Pembangunan Gedung bertingkat dimana pelaksanaan pekerjaan kontruksi
dilapangan tidak sama dengan hasil perencanaan konsultan sehingga memerlukan penambahan dana
yang melebihi 10% dari nilai kontrak, apakah untuk pelaksanaan penambahan dananya menggunakan
proses addendum kontrak atau pengadaan jasa konstruksi? Apabila menggunakan pengadaan jasa
konstruksi, apakah pelaksanaan menggunakan pelelangan umum atau penunjukan langsung?

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012: a. Pasal 87 ayat (2) : Pekerjaan tambah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan : tidak melebihi 10 % (sepuluh
perseratus) dari harga yang tercantum dalam perjanjian/kontrak awal; dan tersedianya anggaran. b.
Pasal 36 ayat (1) : Pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya pada prinsipnya
dilakukan melalui metode pelelangan umum dengan pascakualifikasi. c. Pasal 38 ayat (5) huruf b :
Penunjukan Langsung terhadap 1 (satu) penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dapat
dilakukan dalam hal pekerjaan konstruksi khusus yaitu pekerjaan konstruksi bangunan yang merupakan
satu kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggungjawab atas resiko

kegagalan bangunan yang secara keseluruhan tidak dapat dirancanakan/diperhitungkan sebelumnya


(unforeseen condition). Penjelasan Pasal 38 ayat (5) huruf b : Yang dimaksud unforeseen condition
adalah kondisi yang tidak terduga yang harus segera diatasi dalam pelaksanaan konstruksi bangunan,
misalnya penambahan jumlah atau panjang tiang pancang akibat kondisi tanah yang tidak terduga
sebelumnya. Mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka : a. Perubahan (addendum)
kontrak tidak boleh mengakibatkan penambahan harga kontrak melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari
harga yang tercantum dalam kontrak awal dan juga harus tersedia anggarannya. Dalam hal pekerjaan
yang harus ditambah mengakibatkan penambahan harga kontrak melebihi 10 % (sepuluh perseratus)
dari harga yang tercantum dalam kontrak awal, maka pekerjaan tambah tersebut secara prinsip harus
dilakukan oleh penyedia pekerjaan konstruksi yang dipilih kembali melalui metode pelelangan umum
dengan pascakualifikasi. b. Dalam hal pekerjaan yang akan ditambahkan tersebut merupakan satu
kesatuan sistem konstruksi dan satu kesatuan tanggungjawab atas resiko kegagalan bangunan yang
secara keseluruhan tidak dapat dirancanakan/diperhitungkan sebelumnya (unforeseen condition), maka
pemilihan penyedia pekerjaan konstruksinya dapat dilakukan melalui Penunjukan Langsun

yarat Pemberian Uang Muka Kontrak Pekerjaan Konstruksi - Pembayaran uang muka pekerjaan
konstruksi harus memperhatikan ketentuan berikut :

1. Nilai besaran uang muka paling tinggi sesuai dengan yang ditetapkan dalam Kontrak.
2. Besarnya Jaminan Uang Muka adalah senilai uang muka yang diterima Penyedia.
3. Jaminan Uang Muka diterbitkan oleh Bank Umum, perusahaan penjaminan atau
perusahaan asuransi.
4. Penyedia dapat mengajukan permohonan pengambilan uang muka secara tertulis kepada
PPK disertai dengan rencana penggunaan uang muka untuk melaksanakan pekerjaan
sesuai Kontrak.
5. PPK mengajukan surat permintaan pembayaran untuk permohonan tersebut setelah
Jaminan Uang Muka diterima dari Penyedia.
6. Pengembalian uang muka diperhitungkan berangsur-angsur secara proporsional pada
setiap pembayaran prestasi pekerjaan dan paling lambat harus lunas pada saat pekerjaan
mencapai prestasi 100% (seratus perseratus).
7. Untuk Kontrak tahun jamak, nilai Jaminan Uang Muka secara bertahap dapat dikurangi
sesuai dengan pencapaian prestasi pekerjaan.

1. Kode Rekening/ Mata Anggaran Kegiatan


2. SBU
3. Referensi Bank
4. Permohonan Uang Muka
5. Rincian Penggunaan Uang Muka
6. Jaminan Uang Muka
7. NPWP
8. Akte Pendirian
9. RAB
10. Harga Satuan Upah, Bahan dan Alat
11. Analisa Pekerjaan
12. Surat Pemberitahuan Penyediaan Barang dan Jasa (SPPBJ)
13. Jaminan Pelaksanaan
14. Kontrak dan Ringkasan Kontrak
15. Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK)
1. Uang Muka dapat diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa untuk:
1. mobilisasi alat dan tenaga kerja;
2. pembayaran uang tanda jadi kepada pemasok barang/ material; dan/atau
3. persiapan teknis lain yang diperlukan bagi pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa.
2. Uang Muka dapat diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa dengan ketentuan sebagai
berikut:
1. PPK menyetujui Rencana Penggunaan Uang Muka yang diajukan oleh Penyedia
Barang/Jasa;
2. untuk Usaha Kecil, uang muka dapat diberikan paling tinggi 30% (tiga puluh
perseratus) dari nilai Kontrak Pengadaan Barang/Jasa;
3. untuk usaha non kecil dan Penyedia Jasa Konsultansi, uang muka dapat
diberikan paling tinggi 20% (dua puluh perseratus) dari nilai Kontrak
Pengadaan Barang/Jasa;
4. untuk Kontrak Tahun Jamak, uang muka dapat diberikan:
1. 20% (dua puluh perseratus) dari Kontrak tahun pertama; atau
2. 15% (lima belas perseratus) dari nilai Kontrak.
3. Uang Muka yang telah diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa, harus segera
dipergunakan untuk melaksanakan pekerjaan sesuai dengan Rencana Penggunaan Uang
Muka yang telah mendapat persetujuan PPK.
4. Nilai Jaminan Uang Muka secara bertahap dapat dikurangi secara proporsional sesuai
dengan pencapaian prestasi pekerjaan.

Pasal ini jelas menegaskan bahwa uang muka adalah fasilitasi yang diberikan oleh PPK. Artinya
yang uang muka adalah hak PPK bukan hak penyedia. Untuk itulah kata yang dipakai dalam
Perpres 54/2010 sebagaimana diubah melalui Perpres 70/2012 adalah “dapat” bukan “wajib”.
Lebih jauh dari itu keputusan diberikan atau tidaknya fasilitasi uang muka harus tertuang dalam
rancangan kontrak yang disusun PPK. Rancangan ini kemudian dituangkan dalam SSKK yang
tertuang dalam Dokumen Pemilihan/Pengadaan.

Demikian juga dengan nilai uang muka ini adalah hak preogatifnya PPK dalam memberikan
fasilitasi. Kalimat pasal 88 ayat 2 jelas berbunyi …dapat diberikan paling tinggi 30% (tiga puluh
perseratus).. dan …dapat diberikan paling tinggi 20% (tiga puluh perseratus)… ini menandakan
30% untuk usaha kecil dan 20% untuk usaha non kecil adalah batas tertinggi. Sehingga PPK
dapat saja memberikan besaran uang muka lebih kecil dari itu, dan penyedia tidak berhak
menuntut lebih.

Semoga ini menjadi penegasan kepada PPK dan Penyedia dalam memahami pemberian uang
muka. Bahwa uang muka adalah hak PPK memberikan atau tidak. Sehingga penyedia tidak
berhak menuntut uang muka pada kontrak yang tidak memberikan fasilitasi uang muka.

Masa Keterlambatan

Pasal 93
(1) PPK dapat memutuskan Kontrak secara sepihak apabila:

a.1. berdasarkan penelitian PPK, Penyedia Barang/Jasa tidak akan mampu


menyelesaikan keseluruhan pekerjaan walaupun diberikan kesempatan sampai dengan
50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan untuk
menyelesaikan pekerjaan;

Pasal 93 ini dapat dikatakan sebagai sumber istilah “keterlambatan” dengan kalimat,
“kesempatan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan
pekerjaan”. Yang kemudian dipertegas salah satunya melalui pasal 120 tentang denda
keterlambatan.

Yang harus menjadi catatan pasal 93 nomenklaturnya jelas menggunakan kalimat PPK
“dapat” bukan Penyedia “dapat”. Struktur kata ini menunjukkan bahwa keterlambatan yang
terkandung dalam pasal ini adalah Hak preogatif PPK untuk memberikan atau tidak memberikan.
Diperkuat pada ayat 1a didahului dengan kalimat, “berdasarkan penelitian PPK…”

PPK harus tahu, sadar dan mengerti bahwa pemberian masa keterlambatan adalah Hak-nya.
Sehingga ketika fasilitas ini sudah diberikan kepada penyedia, yang jelas-jelas bersalah tidak
mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai yang diperjanjikan, semua risiko dan tanggungjawab
ada di PPK. Kesalahan penilaian PPK atas motivasi, dan kapabilitas penyedia baik dari sisi
teknis bahkan finansial yang menyebabkan permasalahan dikemudian hari, mau tidak mau akan
menyeret PPK keranah hukum baik perdata maupun pidana.

Penyedia juga harus tahu, sadar dan mengerti bahwa masa keterlambatan adalah fasilitasi yang
tidak bisa dituntut jika tidak diberikan oleh PPK untuk itu hal ini jangan sampai dijadikan bagian
dari perhitungan pelaksanaan pekerjaan. Artinya dilapangan jangan sampai adanya kemungkinan
pemberian masa keterlambatan dijadikan salah satu bagian dari perencanaan. Jika ini dilakukan
sama saja penyedia telah merencanakan kegagalan. Jangan sekali-sekali masa keterlambatan
dijadikan batas toleransi dalam manajemen pelaksanaan kontrak. Risikonya besar. PPK punya
kewenangan memutus kontrak secara sepihak. Dan seluruh risiko dari pencairan jaminan hingga
blacklist pasti mengiringi.

Dari uraian diatas maka perlu ditegaskan lagi bahwa Uang Muka dan Keterlambatan adalah
hak PPK bukan hak penyedia. Wewenang dan tanggungjawab memberikan sepenuhnya ada
ditangan PPK.

Anda mungkin juga menyukai