Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keluarga menjadi bagian yang sangat diutamakan dari kepentingan lainnya,
karena didalam keluarga individu dapat menemukan ketenangan dan kebahagiaan.
Kehidupan berkeluarga yang nyaman dan bahagia merupakan keinginan dari setiap
anggota keluarga baik anak-anak maupun orang dewasa. Bagi orang dewasa dalam
keluarga terutama pasangan suami dan istri, mewujudkan kehidupan keluarga yang
bahagia merupakan salah satu alasan mereka untuk membangun keluarga dengan
ikatan pernikahan. Perkawinan adalah akad yang disepakati oleh kedua belah pihak
yaitu antara seorang pria dan seorang wanita untuk sama-sama mengikat diri,
bersama dan saling kasih mengasihi demi kebaikan keduanya dan anak-anak mereka
sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh hukum (Murtadho, 2009 hlm. 30).
Selain pasangan suami dan istri keinginan untuk mendapatkan kehidupan
keluarga yang ideal juga dimiliki orang dewasa lainnya dalam keluarga seperti halnya
anak yang telah memasuki usia dewasa. Bagi anak-anak yang telah memasuki usia
dewasa mereka juga memiliki keinginan tentang bagaimana konsep hidup bahagia
bersama orang tua dan saudara mereka. Selain interaksi dengan orang tua, pola
hubungan saudara pada anak memberikan warna tersendiri dalam kehidupan
keluarga. Berbeda dengan hubungan antara suami-istri dan orang tua – anak,
hubungan antar saudara jarang dibahas dalam literatur tentang keluarga. Adanya
pandangan bahwa kontak yang lebih sering terjadi antara anak dewasa dan orang tua
mereka, bisa disebut sebagai penyebab kurangnya kajian ini (Adams, 1971).
Menambahkan kajian tentang bagaiamana anak yang telah memasuki usia dewasa
untuk mendapatkan kehidupan keluarga yang nyaman dan bahagia dirasakan perlu
penulisan makalah ini.
Konsep yang harus disadari juga oleh anggota keluarga bahwa tidak selamanya
dalam kehidupan keluarga mengalami hubungan yang harmonis dan bahagia. Pada
saat-saat tertentu dalam keluarga akan merasakan ketidaknyamanan yang terjadi
karena timbulnya masalah-malasah yang tidak terselesaikan dan berakibat pada
keretakan hubungan keluarga. Pada kontek hubungan orang dewasa dalam keluarga,
beragam permasalahan yang akan akan ditemui. Dalam hubungan suami istri s umber
masalah selama pernikahn dapat tejadi seperti hubungan kasihsayang, seks,
perbedaan pola budaya, peran sosial, kesulitan ekonomi, dan tidak
adanyapersahabatan yang saling menguntungkan. Sementara pada anak-anak

1
yang telah dewasa masalah-masalah baru akan mereka hadapi seperti
hubungan komunikasi yang semakin tertutup dengan orang tua, pemilihan
tempat tinggal dengan orang tua, serta terjadi persaingan yang tidak sehat
antar saudara di usia dewasa.
Beragam permasalahan yang terjadi pada orang dewasa dalam keluarga,
menuntut perlunya setiap anggota keluarga memiliki kemampuan pemecahan
masalah/problem solving yang tengah mereka hadapi. Setiap manusia dituntut untuk
mampu mengembangkan dan menyesuaikan diri dengan berbagai potensi secara
optimal, agar dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dalam keluarga. Akan tetapi
kondisi permasalahan yang rumit dalam keluarga juga membutuhkan bantuan pihak
lain seperti seorang ahli konseling yang dapat membantu untuk menyelesaikan
masalah keluarga agar mempertahankan keluarganya (Prayitno, 1999 hlm. 25).
Program konseling/terapi keluarga menjadi salah satu pilihan layanan bimbingan dan
konseling bagi konselor untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang berfokus
pada orang dewasa/adult-focused problemdalam keluarga. Selain itu, pemilihan
teknik yang tepat dan sesuai sebagai intervensi membantu menyelesaikan masalah
yang dihadapi orang dewasa dalam keluarga akan menentukan keberhasilan kegiatan
konseling/terapi keluarga dengan pendekatan masalah berfokus pada orang
dewasa/adult-focused problems models. Konseling/terapi keluarga yang efektif dan
tepat akan memberikan sumbangsih untuk mengembalikan kehidupan harmonis dan
bahagia dalam keluarga.

B. Identifikasi Masalah

Setiap keluarga memiliki indikator masing-masing dalam membentuk kehidupan


yang harmonis dan bahagia. Setiap anggota keluarga baik orang tua, anak, dan
pasangan juga memiliki pandangan dan konsep yang berbeda tentang kehidupan yang
harmonis dan bahagia. Upaya penyatuan perbedaan pandangan tersebut akan
dihadapakan kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan sehingga menimbulkan
konflik dan masalah pada anggota keluarga. Masalah-masalah yang dirasakan oleh
orang tua, anak dan pasangan suami istri sangat beragam dan terjadi pada pola
hubungan yang berbeda. Dengan demikian dibutukan upaya bantuan untuk
memberikan pemahaman tentang kehidupan berkeluarga yang ideal bagi anggota
keluarga. Salah satunya upaya konseling/terapi keluarga dengan berbagai pendekatan
dan teknik konseling yang telah banyak dikembangkan.

27
C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah, maka rumusan


masalah pada makalah ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep orang dewasa dalam keluarga?
2. Bagaimana masalah yang dihadapi oleh orang dewasa dalam keluarga?
3. Bagaimana pendekatan family therapy adult-focusedproblems untuk
menyelesaikan masalah pasangan paska perselingkuhan?

D. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penulisan makalah ini untuk
mengetahui:
1. Bagaimana konsep orang dewasa dalam keluarga
2. Bagaimana Masalah yang dihadapi oleh orang dewasa dalam keluarga
3. Pendekatan family therapy adult-focusedproblems untuk menyelesaikan
masalah pasangan paska perselingkuhan

E. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi referensi secara
teoritis bagi ilmuan, mahasiswa, dan penggiat keilmuan bimbingan dan
konseling, untuk menambah wawasan, pengetahuan serta pengembangan ilmu
konseling keluarga dengan pendekatan berfokus pada masalah orang dewasa/
adult-focussed problems.
Selain itu sebagai referensi praktis bagi para praktitisi bimbingan dan
konseling keluarga untuk menerapkan konseling keluarga berfokus pada
masalah orang dewasa/adult-focussed problems sebagai salah satu pendekatan
konseling keluarga sesuai dengan masalah yang ditemukan dilapangan.

F. Sistematika Penulisan
Terdapat empat bab dalam penyusunan makalah ini. Bab I Pendahuluan, terdiri
dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan
makalah, manfaat penulisan makalah, dan sistematika penulisan makalah. Bab II
Kajian Teori mengenai konseling keluarga melalui pendekatan Adult-
FocusedProblems. Bab III Pembahasan, terdiri dari pembahasan dan aplikasi kasus.
Bab IV terdiri dari Implikasi, Kesimpulan, dan Rekomendasi

27
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konseling/Terapi Keluarga
Minat terhadap konseling dalam kaitan relasi antar-anggota keluarga dimulai
sejak diterbitkannya karya Gregory Bateson di Palo Alto, California. Dia meneliti
proses-proses komunikasi dalam keluarga, sistem kekeluargaan bagi para anggota
keluarga yang didiagnosis menderita skizofrenia (Geldard, K., Geldard, D., 2011).
Kehadiran konseling keluarga sangat dibutuhkan bagi individu yang tidak dapat
memecahkan masalah yang sedang dihadapinya, maka perlu bantuan orang lain atau
bimbingan dan konseling keluarga yang berperan membantu mengarahkan ataupun
memberikan pandangan kepada individu yang bersangkutan. Apalagi sekarang ini
perkembangan masyarakat sangat mempengaruhi pola kehidupan seseorang baik
sebagai individu maupun anggota masyarakat. Individu saat ini dihadapkan pada
perubahan-perubahan yang begitu kompleks, sehingga menimbulkan berbagai macam
tantangan atau tuntutan terhadap kebutuhan individu (Walgito, B, 2002 hlm. 7-9)
1. Pengertian Konseling/Terapi Keluarga
Konseling keluarga adalah upaya bantuan yang diberikan kepada
individu anggota keluarga melalui sistem keluarga (pembenahan komunikasi
keluarga) agar potensinya berkembang seoptimal mungkin dan masalahnya dapat
diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua anggota keluarga berdasarkan
kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga.(Willis, S.S, 2008 hlm. 83.)
Pengertian tentang konseling keluarga yang dikemukakan oleh Golden
dan Sherwood (Latipun,2003) merupakan metode yang dirancang dan difokuskan
pada keluarga dalam usaha untuk membantu memecahkan masalah perilaku
klien. Masalah ini pada dasarnya bersifat pribadi karena dialami oleh klien
sendiri. akan tetapi, konselor menganggap permasalahan yang dialami klien tidak
semata disebabkan oleh klien sendiri melainkan dipengaruhi oleh sistem yang
terdapat dalam keluarga klien sehingga keluarga diharapkan ikut serta dalam
menggali dan menyelesaikan masalah klien.Terapi atau konseling ini secara
khusus memfokuskan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan situasi
keluarga dan penyelenggaraanya melibatkan anggota keluarga. Stanton, D
(Latipun, 2003 hlm. 149) mengatakan sebagai terapi khusus karena sebagaimana
yang selalu dipandang oleh konselor, yang di dalam proses terapi atau konseling
melibatkan keluarga inti.

27
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, peneliti menyimpulkan bahwa
family therapy merupakan suatu bentuk bantuan untuk menangani suatu masalah
dalam keluarga yang melibatkan keluarga inti untuk mencapai keseimbangan dan
merasakan kebahagian dalam rumah tangga.

2. Tujuan Konseling/Terapi Keluarga


Tujuan konseling/terapi keluargaoleh para ahli dirumuskan secara
berbeda. Glick dan Kessler (Latipun, 2003) mengemukakan tujuan umum
konseling keluarga adalah untuk:
a. Memfasilitasi komunikasi pikiran dan perasaan antar anggota keluarga.
b. Mengganti gangguan, ketidakfleksibelan peran dan kondisi.
c. Memberi pelayanan sebagai model dan pendidikan peran tertentu yang
ditunjukan kepada anggota lainnya
Sedangkan tujuan khusus konseling keluarga menurut Willis (2008, hlm.
89) sebagai berikut:
a. Untuk meningkatkan toleransi dan dorongan anggota-anggota keluarga
terhadap cara-cara yang istimewa/idiocyncratic ways atau keunggulan-
keunggulan anggota lain.
b. Mengembangkan toleransi terhadap anggota-anggota keluarga yang
mengalami frustasi atau kecewa, konflik, dan rasa sedih yang terjadi karena
faktor sistem keluarga atau di luar system keluarga
c. Mengembangkan motif dan potensi-potensi, setiap anggota keluarga dengan
cara mendorong, memberi semangat, dan mengingatatkan anggota tersebut
d. Mengembangkan keberhasilan persepsi diri orang tua secara realistik dan
sesuai dengan anggota-anggota lain.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan konseling keluarga
ialah agar klien atau anggota keluarga yang memiliki problem dalam rumah
tangga bisa mengatasi masalah dan bisa menyesuaikan diri dengan baik dan bisa
mengambil keputusan secara bijak.

B. Konsep Orang Dewasa


1. Pengertian Orang Dewasa
Secara etimologi, istilah dewasa (adult) berasal dari bahasa latin, bentuk
lampau partisipel dari kata kerja adultus yang berarti “telah tumbuh menjadi
kekuatan dan ukuran yang sempurna (grown to full size and strength) “atau’ telah
menjadi dewasa (matured) (Hurlock, E.B, 1980 hlm. 265). Seseorang dikatakan

27
dewasa apabila telah sempurna pertumbuhan fisiknya dan mencapai kematangan
psikologis sehingga mampu hidup dan berperan bersama-sama orang dewasa
lainnya (Mubin & Cahyadi, 2006). Selain itu orang dikatakan telah dewasa
menurut Elida, P (2006) mampu untuk mempertanggungjawabkan semua yang
dilakukan, bekerja memenuhi kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga sebagai
wujud cinta terhadap istri dan anak-anaknya.
Elizabeth B. Hurlock (1980) membagi rentang usia dewasa awal menjadi
tiga tahapan, yakni:
a. Masa Dewasa Awal (muda, dini). Masa ini dimulai pada usia 18 tahun
sampai kira-kira umur 40 tahun dimana perubahan fisik dan psikologis telah
mencapai kematangannya. Batasan usia 18 tahun diambil karena di usia ini
seseorang dianggap telah dewasa menurut hukum yang berlaku di Amerika
sejak tahun 1970.
b. Masa Dewasa Madya, dimulai pada usia 40 tahun hingga usia 60 tahun.
Rentang usia ini ditandai dengan terjadinya penurunan kemampuan fisik dan
psikologis yang nampak jelas pada semua orang.
c. Masa dewasa Lanjut, Masa ini dimulai saat seseoang menginjak usia 60
tahun sampai meninggal dunia, di mana kemampuan fisik maupun psikologis
dirasakan semakin cepat menurun pada setiap orang.
Sementara itu Erikson sebagaimana dikutip oleh F.J. Monks (2001)
menyebutkan ciri-ciri setiap tahapan usia dewasa sebagai berikut:
a. Usia dewasa awal di tandai oleh penemuan intimitas ataupun isolasi diri.
Artinya, ia dapat berkembang menjadi pribadi yang dapat menemukan
keakraban dengan pasangannya, atau sebaliknya, menjadi pribadi yang selalu
mengisolasi dirinya. Haltersebut tergantung dari sikap dan pola asuh orangtua
serta lingkungan keluarga yang membentuknya.
b. Masa dewasa pertengahan ditandai dengan perkembangannya seseorang ke
arah generativitas atau stagnasi. Artinya dalam fase ini seseorang dapat
menjadi produktif dan kreatif, yakni memiliki kesempatan untuk mendidik
generasi selanjutnya dan mengembangkan kultur budaya yang telah ada, atau
sebaliknya bersikap kaku dan egois terhadap perubahan dan sesuatu yang
baru.
c. Masa tua atau lanjut usia merupakan masa akhir kehidupan seseorang, yang
ditandai dengan perkembangannya seseorang ke arah integritas ego ataupun
putus asa

27
Sampai saat ini, belum ditemukan sebuah batasan yang konkrit dan sama
pada pakar psikologi mengenai batasan usia dewasa. Hal tersebut patut
dimaklumi, karena mengartikan kedewasaan dan memberi batasannya merupakan
sesuatu yang sulit, karena tergantung dari segi kultur kebudayaan mana
kedewasaan tersebut dipandang.

2. Hubungan Orang Dewasa dalam Keluarga


Pembahasan sebelumnya telah dijelaskan defenisi tentang orang dewasa
dari berbagai sudut pandang literatur. Maka konteks dalam lingkugan keluarga
orang dewasa dapat ditujukan pada pasangan suami istri dan pada anak yang
telah memasuki usia dewasa. Jadi, hubungan orang dewasa yang terjadi dalam
keluarga juga akan meliputi bagaimana hubungan antara pasangan suami dan
istri, serta hubungan antara anak yang telah memasuki usia dewasa dengan orang
dewasa lainnya dalam keluarga (dapat terjadi dengan saudara yang telah dewasa
atau dengan orang tua).
a. Hubungan antara Pasangan Suami Istri
Perubahan status dan peran dari dewasa singlemenjadi berkeluarga
menuntut suami dan istri untuk menyesuaikan diri. Perubahan ini
mengakibatkan perubahan perkembangan tugas yang semakin kompleks.
Setelah menikah, maka masing-masing individu mempunyai perkembangan
tugas (development of tasks) baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya
(sebagai suami atau istri). Dalam melakukan tugas tersebut, pasangan suami-
istri memulainya dengan perundingan akan identitas yang akan dibawa dalam
kehidupan rumah tangga. Blumstein (dalam Strong, DeVault, & Cohen,
2008) menjelaskan perundingan tentang identitas adalah proses interaksi
untuk penyesuaian peran. Cara melakukan perundingan identitas dibagi
menjadi tiga tahap, yaitu: masing-masing pasangan mengidentifikasi peranan
yang dilakukannya, masing-masing pasangan harus memperlakukan yang
lain sesuai dengan peranannya, dan pasangan harus saling membicarakan
untuk perubahan peranan. Selanjutnya, setelah pasangan suami istri
mempunyai anak, status, peran dan tugas semakin berkembang untuk
keperluan masing-masing individu suami istri, keluarga beserta anak-
anaknya.
Scanzoni, L dan Scanzoni, J (1981) menjelaskan hubungan suami-istri
dapat dibedakan menurut pola perkawinan yang ada. Mereka menyebut ada 4

27
macam pola perkawinan yaitu owner property, head complement, senior
junior partner, dan equal partner.
1) Pola perkawinan owner property
Pola ini istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang
berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri
adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak dan
menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga yang lain karena suami telah
bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Dalam pola
perkawinan seperti ini berlaku norma :
a) Tugas istri adalah untuk membahagiakan suami dan memenuhi
semua keinginan dan kebutuhan rumah tangga suami.
b) Istri harus menurut pada suami dalam segala hal.
c) Istri harus melahirkan anak-anak yang akan membawa nama suami.
d) Istri harus mendidik anak-anaknya sehingga anak-anaknya bisa
membawa nama baik suami.
Pada pola perkawinan ini, istri dianggap bukan sebagai pribadi
melainkan sebagai perpanjangan suaminya saja. Ia hanya merupakan
kepentingan, kebutuhan, ambisi, dan cita-cita dari suami.Istri juga
bertugas untuk memberikan kepuasan seksual kepada suami. Adalah hak
suami untuk mendapatkan hal ini dari istrinya. Bila suami ingin
melakukan hubungan seksual, istri harus menurut meskipun ia tidak
menginginkannya. Pola relasi sering terjadi pada masa lalu.....
2) Pola perkawinan head-complement,
Pola ini istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami diharapkan
untuk memenuhi kebutuhan istri akan cinta dan kasih sayang, kepuasan
seksual, dukungan emosi, teman, pengertian dan komunikasi yang
terbuka. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan
bersamanya secara bersama-sama. Tugas suami masih tetap mencari
nafkah untuk menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap
mengatur rumah tangga dan mendidik anak-anak. Tetapi suami dan istri
kini bisa merencanakan kegiatan bersama untuk mengisi waktu luang.
Pola perkawinan ini secara sosial istri menjadi atribut sosial
suami yang penting. Istri harus mencerminkan posisi dan martabat
suaminya, baik dalam tingkah laku sosial maupun dalam penampilan

27
fisik material. Misalnya, seorang istri pejabat harus juga menjadi panutan
bagi para istri anak buah suaminya.
3) Pola perkawinan senior-junior partner
Pola ini posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi
sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan
sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami.
Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya tergantung
pada suami untuk hidup. Kini istri memiliki kekuasaan yang lebih besar
dalam pengambilan keputusan. Menurut teori pertukaran, istri
mendapatkan kekuasaan dan suami kehilangan kekuasaan. Tetapi suami
masih memiliki kekuasaan yang lebih besar dari istri karena posisinya
sebagai pencari nafkah utama. Artinya, penghasilan istri tidak boleh lebih
besar dari suami. Dengan begitu suami juga menentukan status sosial istri
dan anak-anaknya. Ini berarti, istri yang berasal dari status sosial yang
lebih tinggi, akan turun status sosialnya karena status sosialnya kini
mengikuti status sosial suami.Ciri perkawinan seperti inilah yang banyak
terdapat sekarang ini.
4) Pola perkawinan equal partner
Pola ini tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara
suami-istri. Istri mendapat hak dan kewajibannya yang sama untuk
mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumah
tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri. Dengan
demikian istri bisa pencari nafkah utama, artinya penghasilan istri bisa
lebih tinggi dari suaminya. Dalam hubungan ini, alasan bekerja bagi
wanita berbeda dengan alasan yang dikemukakan dalam pola perkawinan
sebelumnya. Alasan untuk bekerja biasanya menjadi “sekolah untuk
kerja” atau “supaya mandiri secara penuh.”
Dalam pola perkawinan ini, norma yang dianut adalah baik istri
atau suami mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang, baik
di bidang pekerjaan maupun secara ekspresif. Segala keputusan yang
diambil di antara suami istri, saling mempertimbangkan kebutuhan dan
kepuasaan masing-masing. Istri mendapat dukungan dan pengakuan dari
orang lain karena kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan
suami. Dalam pola perkawinan seperti ini, perkembangan individu
sebagai pribadi sangat diperhatikan.

27
Penelitian Gottman (Santrock, 2011) menemukan tujuh prinsip yang
menentukan apakah pernikahan akan lestari atau tidak.
1) Membuat peta cinta.
Individu-individu yang berhasil dalam pernikahannya memiliki
pandangan personal dan peta yang mendetail mengenai kehidupan dan
dunia satu sama lain. Dalam pernikahan yang baik, pasangan bersedia
saling berbagi perasaannya satu sama lain. Pasangan menggunakan “peta
cinta” untuk mengekspresikan tidak hanya pemahamannya terhadap satu
sama lain namun juga kasih sayang dan kekaguman mereka.
2) Memelihara kasih sayang dan kekaguman.
Dalam pernikahan yang berhasil, pasangan akan saling
memberikan pujian. Lebih dari 90 persen jika pasangan membuat sejarah
pernikahan yang positif, maka pernikahan mereka juga cenderung
memiliki masa depan yang posistif.
3) Mengarahkan diri pada pasangan, bukan berpaling
Dalam pernikahan yang baik, pasangan mahir untuk
mengarahkan diri satu sama lain secara teratur. Pasangan saling
menghormati satu sama lain dan menghargai sudut pandang satu sama
lain meskipun terjadi perbedaan pendapat.
4) Membiarkan pasangan memberikan pengaruh
Dalam pernikahan yang buruk, sering kali individu tidak bersedia
membagikan kekuasaan pada pasangannya. Kesedian membagi kekuasan
dan menghormati pandangan yang lain merupakan prasyarat untuk
mencapai kompromi.
5) Memecahkan konflik-konflik yang dapat dipecahkan
Ada dua tipe tipe masalah yang terjadi dalam pernikahan.
Pertama masalah terus-menerus mencakup perbedaan pandangan tentang
apakah ingin memiliki anak atau tidak serta seberapa sering melakukan
hubungan seks. Kedua, masalah yang dapat dipecahkan mencakup tidak
saling membantu mengurangi stress harian serta tidak berbicara dengan
hangat.
b. Hubungan anak yang Telah Dewasa dengan Dewasa Lainnya dalam Keluarga
Anak dalam keluarga tidak selamanya berada pada usia anak-anak atau
remaja. Namun perkembangannya pun akan mencapai pada usia dewasa.
Arnet (Santrock, 2011 hlm. 6) mengatakan kebanyakan individu, menjadi

27
orang dewasa melihat periode transisi yang panjang. Transisi dari masa
remaja ke dewasa disebut sebagai beranjak dewasa (emerging adulthood)
yang terjadi dari usia 18 sampai 25. Tahap memasuki usia dewasa tentu anak
sudah mengalami perubahan dan perkembangan baik secara fisiologis
maupun psikologis. Bentuk hubungan mereka di dalam keluargapun mulai
berubah dan berbeda ketika pada usia anak-anak dan remaja. Orang tua pun
dalam posisi mendapati perkembangan anak mereka telah memasuki usia
dewasa akan menyesuaikan bentuk hubungan dan pola komunikasi sesuai
dengan usia mereka.
Perubahan dan perkembangan anak memasuki usia dewasa bukan berarti
menghilangkan nilai-nilai hubungan antara anak dan orang tua, hanya saja
dengan penerapan yang berbeda. Nur’ ianah (2017) menjelaskan bentuk pola
relasi yang baik dari orang tua dan anaksebagai berikut:
1) Mengajarkan kebaikan.
Orang tua harus mengajari kebaikan kepada anaknya. Kebaikan
ini dengan cara menasehati mereka, mengajarkan etika, meninggalkan
maksiat dan taat kepada Tuhan. Pengajaran ini dimulai sejak dini dan
berlangsung sepanjang masa serta dimulai dari orang tua mereka
(parenting practices).
2) Merawat dan mendidik.
Merawat dan mendidik anak dilakukan sejak kecil hingga ia
besar. Orang tua juga harus melatih anaknya menjalankan kewajiban
yang harus dilakukannya seperti kewajiban agama, baik yang moral
maupun seremonial. Sebagai lembaga informal keluarga perlu dibina
agar dapat menciptakan keharmonisan, memahami kependidikan, mampu
berkomunikasi, menyampaikan pesan dengan baik dan mampu mengatasi
konflik orang tua-anak.
3) Memberi pengarahan dalam berumah tangga.
Bentuk ketiga ini akan lebih dirasakan ketika anak berusia
dewasa. Orang tua harus memberikan pengarahan untuk melanjutkan
kehidupannya dengan berumah tangga. Dari pengarahan untuk memilih
calon, kesepakatan hingga mempunyai anak, orang tua harus memberi
pengarahan. Apalagi orang tua yang sudah banyak pengalaman dalam
berumah tangga bisa berbagi pengalamantentang persoalan rumah tangga
dan cara menghadapinya.

27
Lebih lanjut Nur’ ianah (2017) memberi gagasan tentang nilai birr al-
walidainuntuk diimplementasikan ke dalam berbagai nilai kebajikan
hubungan orang tua dan anak, antara lain:
1) Mengasihi dan menyayangi orang tua.
Secara ideal, birr alwalidain mengandung nilai kasih sayang
terhadap orang tua. Kasih sayang anak kepada orang tua tidak dapat
digeneralisasi berupa perbuatan yang sama bagi setiap anak. Bagi anak
pada usia dewasa akan menunjukan cara kasih sayang yang berbeda
dengan saudara mereka yang masih usia anak-anak atau remaja. Rasa
empati anak dewasa pada orang tua juga memiliki tersendiri.
2) Patuh dan hormat kepada orang tua.
Kepatuhan ini didasarkan atas asas arahan dan pendidikan orang
tua kepada anak. Anak harus taat dan patuh kepada orang tua selama
orang tua tersebut memberi arahan dan pendidikan yang baik. Kebaikan
tersebut bukanlah kembali kepada orang tuanya, tetapi kepada anak dan
masa depannya. Anak juga harus menghormati orang tuanya dengan
tidak menghina dan memaki mereka.
3) Berbuat baik kepada orang tua.
Berbuat baik kepada orang tua diwujudkan dengan tidak durhaka
serta tidak berkata kasar kepada mereka (al-Jauzi, 1993; Bosmans,
Poiana, Van Leeuwen, Dujardin, De Winter, Finet, C.,Van de Walle,
2016).
4) Mengamalkan dan melestarikan tinggalan orang tua (yang sudah
meninggal).
Mengamalkan dan melestarikan tinggalan orang tua wujudnya
sangat beragam, di antaranya adalahmenyambung silaturrahim kepada
orang yang dulu sering disilaturrahimi oleh kedua orang tuanya, menjaga
barang wasiat orang tua, merawat keluarga, meneruskan perjuangan
orang tua dan berbuat baik sebagaimana diajarkan orang tua.

3. Masalah-masalah Orang Dewasa dalam Hubungan Keluarga


Masalah terjadi ketika adanya kesenjangan antara keinginan yang ideal
dengan kenyataan yang telah terjadi. Willis, S (2009, hlm. 152) mengatakan
dalam kehidupan keluarga di zaman kemajuan industri dan teknologi mengalami
berbagai masalah. Masalah dimaksud bukan hanya karena faktor ekonomi, akan
tetapi lebih banyak pada faktor sosial-psikologis. Kalau faktor sosial dan

27
psikologis tersebut tidak terpenuhi maka hal inilah yang akan menimbulkan
masalah. Pola hubungan antara anggota keluarga menjadi salah satu timbulnya
masalah dalam keluarga tersebut. Secara spesifik masalah yang terjadi pada
orang dewasa dalam keluarga. Bagaimana bentuk masalah-masalah tersebut,
berikut akan dijelaskan sesuai dengan bentuk hubungan orang dewasa yang telah
dibahas pada pembahasan sebelumnya.
a. Masalah pada Pasangan Suami Istri
Pernikahan harmonis merupakan dambaan setiap pasangan. Kehidupan
pernikahan merupakan pintu awal pasangan untuk beradaptasi dan saling
memahami. Perbedaan latar belakang, usia, tingkat pendidikan menjadi tidak
berarti jika penerimaan pada masuknya siklus kehidupan berkeluarga di
terima dan di pahami dengan baik. Kondisi inilah yang menjadi dasar
menarik untuk membangun keluarga berkualitas. Undang-undang Nomor 52
tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pem-bangunan
Keluarga, Pasal 1 menyebutkan bahwa perkembangan kependudukan dan
pembangunan keluarga adalah upaya terencana untuk mewujudkan penduduk
tumbuh seimbang dan mengembangkan kualitas penduduk pada seluruh
dimensi penduduk. Pasal tersebut tentu mendorong untuk memperhatikan
kualitas pernikahan dan harmoni yang terbangun di dalamnya. Namun tidak
semua pasangan mampu melakukan persiapan pertanggungjawaban pribadi
saat menikah dan berkeluarga secara baik. Bahkan dalam penelitian Doss,
Rhoades, Stenly, & Markman (2009) disebutkan bahwa pasangan dengan
usia pernikahan lima tahun akan mengalami berbagai masalah yang
timbul.Perubahan kondisi pernikahan banyak terjadi setelah memasuki usia
pernikahan lima tahun ke atas. Hal ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan
pernikahan setalah lima tahun pasangan suami-istri mengalami guncangan
dan beberapa permasalahan. Penelitian Doss, dkk. (2009) mengungkapkan
bahwa 36% dari 213 pasangan mengalami masa sulit dan mencari
penyelesaian dari buku-buku mengenai hubungan pasangan suami istri, 41
pasangan mengikuti workshop dan 49 pasangan membaca buku-buku tema
meningkatkan hubungan.
Konflik antara pasangan selama pernikahannya memberikan dampak
besar pada hubungan suami dan istri. Sadarjoen (2005) menyatakan bahwa
konflik perkawinan adalah konflik yang melibatkan pasangan suami istri di
mana konflik tersebut memberikan efek atau pengaruh yang signifikan

27
terhadap relasi kedua pasangan. Lebih lanjut Sadarjoen (2005) menyatakan
bahwa konflik tersebut muncul karena adanya persepsi-persepsi, harapan-
harapan yang berbeda serta ditunjang oleh keberadaan latar belakang,
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan
untuk menjalin ikatan perkawinan.tidak sesuai atau bertentangan. Scanzoi
(dalam Sadarjoen, 2005) menyatakan bahwa area konflik dalam perkawinan
antara lain menyangkut beberapa persoalan. Persoalan yang serign muncul
adalah (1) keuangan (perolehan dan penggunaanya), pendidikan anakanak
(misalnya jumlah anak dan penanaman disiplin), hubungan pertemanan,
hubungan dengan keluarga besar, pertemanan, rekreasi (jenis, kualitas dan
kuantitasnya), aktivitas yang tidak disetujui oleh pasangan, pembagian kerja
dalam rumah tangga, dan berbagai macam masalah (agama, politik, seks,
komunikasi dalam perkawinan dan aneka macam masalah sepele).
Berdasarkan hasil penelitian Imrani, K., Kasih, F., dan Adison, J (2015)
permasalahan pasangan suami istri dalam keluarga dijabarkan sebagai berikut
1) Permasalahan pasangan suami istri dilihat dari masalah ekonomi bahwa
bentuk-benuk permasalahan pasangan suami istri yang dialami oleh
pasangan suami istri adalah permasalahan ekonomi keluarga yang belum
memadai dan belum mencukupi serta pendapatan atau penghasilan
pasangan suami istri yang belum memadai dan belum mencukupi.
2) Permasalahan pasangan suami istri dilihat dari masalah pendidikan
adalah bahwa sebuah pendidikan sangat besar pengaruhnya dalam
mengarungi sebuah keluarga. Tanpa pendidikan yang kuat oleh suami
ataupun istri maka dalam mengayomi sebuah keluarga akan mudah
mengalami hambatan, perselisihan dan pertengkaran.
3) Permasalahan pasangan suami istri dalam keluarga dilihat dari masalah
penyesuaian diri adalah hasil temuan melalui wawancara di lapangan
dapat diketahui bahwa masing-masing pasangan mengatakan mereka
masih sulit untuk menyesuaikan diri dengan pasangannya. Begitupun
juga dengan pihak keluarga pasangan. Kesulitan yang mereka rasakan
adalah dalam hal menyatukan pendapat dan menyatukan prinsip serta
dalam menjalin komunikasi yang baik.

27
Carr, A (2018) memberikan kemungkinan berbagai masalah terkuat yang
yang berfokus pada orang pasangan suami istri sebagai berikut
1) Relationship Distress(distress hubungan)
Tekanan dalam hubungan, ketidakpuasan dan konflik adalah
masalah yang sangat umum dan saat ini dalam masyarakat industri Barat,
di mana 40 sampai 50 persen dari pernikahan berakhir dengan perceraian.
Dalam budaya Barat, pada usia 50 sekitar 85 persen orang telah menikah
setidaknya sekali. Sekitar sepertiga hingga setengah pasangan berpisah
atau bercerai. Sekitar setengah dari semua perceraian terjadi dalam tujuh
tahun pertama pernikahan. Dari pasangan yang tetap menikah, sekitar 20
persen mengalami kesulitan hubungan. Dibandingkan dengan pasangan
yang putus asa atau berpisah, mereka yang mempertahankan hubungan
yang saling memuaskan memiliki kesehatan fisik dan mental yang lebih
baik, hidup lebih lama, dan memiliki kemakmuran keuangan yang lebih
baik. Mereka juga terlibat dalam praktik pengasuhan yang lebih baik, dan
anak-anak mereka memiliki prestasi akademik dan penyesuaian
psikologis yang lebih baik
2) Psychosexual Problems(Masalah Psikoseksual)
Hasrat seksual hipoaktif pada pria dan wanita, gangguan
orgasmik dan vaginismus pada wanita, dan gangguan ereksi dan ejakulasi
dini pada pria adalah beberapa masalah psikoseksual utama di mana
pasangan mencari bantuan. Survei epidemiologi internasional
menunjukkan bahwa prevalensi keseluruhan masalah psikoseksual, yang
meningkat seiring bertambahnya usia, berkisar antara 20 hingga 30
persen untuk pria dan 40 hingga 45 persen untuk wanita. Tekanan
dalamhubungan biasanya menyertai kesulitan seksual yang signifikan
secara klinis.
a) Gangguan orgasme wanita. Gangguan orgasme pada wanita mengacu
pada orgasme yang tidak ada, jarang, atau tertunda, atau secara nyata
mengurangi sensasi orgasme
b) Vaginismus. Vaginismus mengacu pada kontraksi involunter otot-otot
di sepertiga bagian luar vagina yang mengganggu atau mencegah
hubungan seksual, dan yang menyebabkan rasa sakit dan/atau
kesusahan

27
c) Gangguan ereksi laki-laki. Gangguan ereksi mengacu pada kesulitan
yang ditandai dalam memperoleh dan / atau mempertahankan ereksi,
atau penurunan kekakuan ereksi
d) Ejakulasi dini. Ejakulasi dini didiagnosis ketika ada kesulitan
ditandai dalam menunda ejakulasi di luar interval yang sangat
singkat selama bersenggama.
Gangguang hubungan seksual tidak jika dibiarkan berlarut-larut,
tentu akan membahayakan kelangsungan rumah tangga. Tidak adanya
keharmonisan seksual selalu menjadi biang keladi dari setiap pasangan
yang mengalami kegagalan dalam berumah tangga.
3) Intimate Partner Violence(Kekerasan pasangan intim)
Kekerasan pasangan intim mengacu pada kekerasan fisik dan
seksual oleh pasangan intim. Ini memasukkan kasus-kasus 'kekerasan
rumah tangga' dan 'pemukulan istri'. Perbedaan dibuat antara yang ringan
hingga sedang, dan kekerasan pasangan intim yang sangat serius. Yang
pertama mengacu pada agresi sementara, tergantung konteks, dan yang
terakhir ke kekerasan yang gigih. Sebagian besar, tetapi tidak semua,
korban kekerasan pasangan intim adalah perempuan, dan prevalensi
global seumur hidup dari pasangan intim kekerasan fisik atau seksual
terhadap perempuan.
Dengan tingginya kejadian kekerasan dalam pernikahan dapat
memberi dampak buruk bagi kesehatan istri selaku korban. Dampak
tersebut meliputi rasa takut, cemas, letih, kelainan, stress post traumatic,
serta gangguan makan dan tidur yang merupakan reaksi panjang dari
tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan terhadap
istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis
yang pada akhirnya mengakibatkan terganggunya secara sosiologis. Pada
perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dapat
menyebabkan terganggunya kesehatan reproduksi, diantaranya gangguan
menstruasi seperti menorhagia, hipomenorhagia atau metrorhagia,
bahkan wanita tersebut dapat mengalami menopause lebih awal,
mengalami penurunan libido, dan ketidakmampuan mendapatkan
orgasme sebagai akibat tindak kekerasan yang dialaminya (Sutrisminah
E, 2010).

27
4) Alcohol Problems (Masalah Alkohol)
Penggunaan alkohol yang berbahaya merupakan masalah
kesehatan mental yang signifikan, terutama di negara-negara maju.
Pengaruh buruk alkohol dalam hubungan pernikahan biasanya dirasakan
oleh para suami ketika mereka mengalami disfungsi ereksi. Seorang pria
disebut mengalami disfungsi ereksi jika sering atau selalu tidak mampu
mencapai atau mempertahankan ereksi untuk melakukan hubungan
seksual yang memuaskan (B Windu S C, 2009).
5) Chronic Physical Illness(Penyakit Fisik Kronis)
Permasalahn penyakit kronis menjadi penyebab
ketidakseimbangan pada perkawinan dan bisa menjadi bayangan
kehancuran. Beberapa keluarga dapat menyesuaikan diri dengan baik
kepada kondisi anggota keluarga yang menderita penyakit kronis, tetapi
beberapa keluarga lainnya tidak mampu menyesuaikan diri dengan baik
pada perubahan hubungan, dan harmonisasi perkawinan selalu menurun.
Kondisi pasangan penderita penyakit kronis ini membuat pasangannya
mendapatkan dampak dari kondisi fisik dan kondisi psikologis, dimana
pasangan yang menderita mengalami kesulitan dalam bekerja karena
mengalami kelumpuhan, kesulitan dalam komunikasi, gangguan kognitif
dan kesulitan dalam penyesuaian emosi (Sarafino, 2006).
Dengan penyakit kronis seperti penyakit jantung, kanker atau
nyeri kronis, intervensi sistemik ditawarkan sebagai salah satu unsur
program multimodal yang melibatkan perawatan medis (Hodgson et al.,
2014; McDaniel et al., 2013; Rolland, 1994).
Masalah yang terjadi orang dewasa dalam keluarga atau lebih spesifiknya
bagi pasangan suami dan istri dalam keluarga menurut Geldard, K., Geldard,
D (2011) timbul karena adanya faktor yang menghambat relasi antara kedua
pasangan. Faktor tersebut ada dalam sebuah konteks:
1) Pengaruh dari tiap keluarga asal pasangan
Harapan-harapan setiap pasangan atas kehidupan keluarga
berasal dari informasi yang dikumpulkan sedikit demi sedikit dari
pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari keluarga asal. Karena tiap
keluarga asal bersifat unik dan mempunyai cara berfungsinya sendiri,
sering terjadi kasus bahwa para pasangan akan mempunyai ide yang

27
berbeda satu sama lain tentang cara berfungsi keluarga yang mereka
harapkan
2) Tahap perkembangan relasi
Relasi pasangan tidak akan statis, namun berubah sebagai
konsekuensi dari tahap perkembangan relasi. Tahap perkembangan relasi
pasangan terjadi seperti, cara belajar hidup bersama, menikah, kelahiran
seorang anak, masa pendidikan anak, masa anak mulai remaja sampai
memasuki usia pernikahan. Dalam tahap ini kedua pasangan akan
dihadapkan dengan tantanga-tantangan baru yang mengharuskan
perubahan-perubahan di bidang perilaku. Tantangan-tantangan baru yang
dihadapi pasangan memiliki kecenderungan datangnya masalah-masalah
baru jika pasangan tidak mampu membangun pengertian dan membentuk
aturan-aturan relasi yang baru.
3) Sistem keluarga
Sebagai hasil perubahan, perilaku yang sebelumnya bisa diterima
menjadi tidak dapat diterima lagi. Penolakan tersebut karena pasangan
adalah sub sistem dari sistem keluarga yang lebih luas. Relasi
pengasuhan tidak terhindarkan dipengaruhi oleh perilaku-perilaku para
anggota keluarga.
4) Gagasan pasangan atas relasi yang intim
Freedman dan Combs (Geldard, K., Geldard, D, 2011)
menunjukkan bahwa ada wacana-wacana yang kuat yang membentuk
pengertian orang tentang seperti apa sesuatu relasi yang intim itu.
Wacana ini memengaruhi relasi-relasi pasangan mengenai masalah-
masalah seperti keintiman yang pantas, lamanya berhubungan, cara-cara
berkomunikasi, derajat percintaan, dan banyak hal praktis lainnya.
Masalah-masalah akan timbul saat wacana kedua pasangan berbeda satu
sama lain secara signifikan.
b. Masalah pada anak dewasa dengan dewasa lainnya
Jika hubungan orang tua dan anak dewasanya paling baik ketika orang
tua yang tinggal bersama dengan anaknya, maka hubungan antara orang tua
dan anak dewasanya menunjukkan kualitas paling buruk adalah ketika orang
tua yang tinggal di Rumah Orang Tua (panti jompo). Keberadaan orang tua
di Panti Sosial menurut Nevid, Rathus dan Greene (2005, hlm. 245) tingkat
depresi tetap lebih tinggi diantara orang tua penghuni rumah perawatan.

27
Hidup jauh dengan keluarga atau sanak saudara tentunya dapat menimbulkan
perasaan kesepian, karena tidak ada lagi orang-orang yang selama ini hidup
bersama dan berbagi segala sesuatu. Orang tua yang memilih ataupun anak
yang menempatkan untuk tinggal di panti jompo akan berdampak langsung
pada intensitas interaksi mereka yang semakin berkurang. Tingkat dukungan
sosial anak juga tidak dirasakan lagi oleh orang tua.
Permasalahan lainnya biasa ditemui dalam hubungan antara anak dewasa
dengan orang tua mereka ketika timbulnya konflik memilih pasangan.
Konflik yang terjadi biasanya tidak dapat dihindari. Namun, dalam
budaya tertentu seperti budaya kolektif, ada kecenderungan konflik tidak
terjadi. Pada pemilihan pasangan sendiri terdapat berbagai karakteristik.
Dalam hal ini, akan terdapat kecenderungan orangtua dan anak memiliki
kesamaan dalam karakteristik yang diinginkan untuk pemilihan
pasangan. Namun, orangtua dan anak juga dapat memiliki perbedaan
mengenai karakteristik yang diinginkan dalam pemilihan pasangan
(Agustina, S., Budiarto, Y., dan Hastuti, R., 2017)
Anak yang telah memasuki usia dewasa dalam keluarga, pasti ada
ketidaksamaan ide, pikiran dan pendapat, juga terjadi dengan saudara
mereka. Hubungan antar saudara yang sudah tumbuh menjadi dewasa
terkadang banyak menimbulkan permasalahan yang tak jarang malah
menimbulkan akibat fatal, yaitu terputusnya hubungan di antara keduanya
atau bahkan bertingkah seperti orang yang tidak saling mengenal satu sama
lain.
Sibling rivalry menjadi permasalahan yang sering terjadi dalam
hubungan antara saudara. Haritz (2008) mengatakan bahwa persaingan antar
saudara kandung biasa terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu
berangsur-angsur berkurang seiring dengan meningkatkan kedewasaan.
Namun, tidak menutup kemungkinan berlanjut hingga dewasa jika orang tua
tidak segera mengatasinya. Apalagi jika pemahaman keagamaan anak lemah,
perselisihan saudara kandung bisa berkelanjutan sepanjang hidup anak.
Puncaknya adalah ketika orang tua anakanak meninggal maka anak-anak ini
memperebutkan warisan dengan tidak jarang melukai saudaranya sendiri.
Maka sikap mengabaikan persaingan antar saudara kandung sama sekali
tidak dapat dibenarkan. Bentuk sibling rivalry juga dijelaskan Barus, R.O
(Nova, 2015) bahwa menjelang dewasa anak dihadapkan pada perubahan dan

27
tantangan lainnya. Memilih jurusan diperguruan tinggi, merencanakan
pekerjaan memulai mandiri secara finansial dan sebagainya. Persaingan bisa
berbentuk usaha untuk ‘lebih’ dari saudara kandungnya, saling
memperlihatkan apa yang telah dicapai masing-masing, menunjukkan
keunikan diri, bahwa ia berbeda dengan saudara kandungnya.
Mengabaikan ketidakakuran antara saudara sama saja dengan mendorong
anak-anak berperilaku demikian. Persaingan antar saudara pada usia remaja
hingga dewasa terjadi akibat tidak tuntasnya orang tua dalam menyelesaikan
atau mengatasi persaingan antar saudara kandung pada masa kanak-
kanaknya. Sehingga rasa persaingan dan permusuhan terus berlanjut.

C. Konseling Keluarga dengan Pendekatan Adult-Focused Problems


1. Latar belakang pendekatan
Kajian tentang konseling keluarga yang berfokus pada masalah orang
dewasa banyak memberikan referensi tentang hubungan pasangan dalam
keluarga atau hubungan perkawinan. Walgito, B (2002) menjelaskan ada
beberapa hal yang melatarbelakangi diperlukannya konseling keluarga pada
orang dewasa terutama bagi pasangan suami istri selama usiapernikahan, sebagai
berikut :
a. Masalah perbedaan individu. Telah menjadi pemahaman umum bahwa
masing-masing individu memiliki perbedaan baik fisiologis maupun
psikologis, meskipun saudara kembar sekalipun. Masing-masing individu
memiliki kemampuan untuk berpikir, namun kualitasnya antara satu dengan
yang lainnya berbeda, ada yang cepat dan ada yang lambat dalam mensikapi
dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya. Bahkan ada yang tidak
mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, sehingga membutuhkan bantuan
dari orang lain, berupa konseling pernikahan.
b. Masalah kebutuhan individu. Manusia merupakan makhluk hidup yang
mempunyai kebutuhan tertentu. Kebutuhan merupakan pendorong munculnya
tingkah laku manusia. Sehingga tingkah laku manusia ditujukan untuk
memenuhi kebutuhannya. Sementara, perkawinan juga merupakan suatu usaha
untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun kadangkadang ditemukan
pasangan suami-istri tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana caranya.
Maka dalam hal ini pasangan tersebut membutuhkan bantuan dari orang lain
atau konselor.

27
c. Masalah perkembangan individu. Manusia merupakan makhluk yang
berkembang dari masa ke masa, sehingga terjadi perubahan-perubahan dalam
diri manusia tersebut. Dalam mengarungi perkembangan ini, kadang-kadang
seseorang mengalami hal-hal yang tidak dimengertinya, hususnya yang
berkaitan dengan hubnungan antara pria dan wanita dalam sebuah pernikahan.
Maka bantuan dari orang yang ahli dalam konseling pernikahan menjadi
sangat berarti
d. Masalah latar belakang sosio-kultural. Perubahan keadaan menimbulkan
banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, seperti perubahan social,
ekonomi, politik, budaya, nilai dan seterusnya. Kondisi demikian tentunya
sedikit banyak akan mempengaruhi kehidupan seseorang dalam masyarakat,
dan ini merupakan tantangan yang tidak mudah untuk dihadapi. Maka bagi
orang-orang tertentu sangat membutuhkan bantuan dari orang lain atau
konselor untuk menghadapi berbagai tantangan tersebut.

2. Tujuan Konseling Keluarga dengan Pendekatan Adult-Focused Problems


Konseling/terapi keluarga yang berfokus pada masalah orang dewasa
banyak menemui masalah-masalah mengenai hubungan pernikahan suami dan
istri. Adapun tujuan dari konseling pernikahan adalah untuk membantu pasangan
suami-istri agar saling memahami dan saling menghargai perbedaan, dapat
menyelesaikan permasalahan yang ada secara sehat, dan dapat meningkatkan
hubungan dan komunikasi yang positif bagi suami-istri. Selain itu, konseling atau
terapi dalam pernikahandapat meningkatkan stabilitas pernikahan, mengurangi
konflik dan mencegah perceraian (Kertamuda, 2009: 128).
Tujuan konseling pernikahan/keluarga menurut Corey (Kertamuda, 2009:
124-125) adalah agar setiap pasangan suami-istri atau anggota keluarga mampu
melakukan hal-hal sebagai berikut :
a. Dapat belajar mempercayai satu sama lain.
b. Mencapai pengetahuan diri (self knowledge) dan mengembangkan keunikan
yang ada dalam diri masing-masing.
c. Meyakini bahwa setiap orang memiliki kebutuhan dan masalah yang biasa
dan mengembangkan rasa kebersamaan.
d. Meningkatkan penerimaan diri (self acceptance), kepercayaan diri (self
confidence), rasa hormat pada diri (self respect), sehingga dapat mencapai
pandangan dan pemahaman baru tentang diri.

27
e. Menemukan alternative dalam mengatasi masalah-masalah perkembangan
dan pemecahan terhadap konflik-konflik.
f. Meningkatkan pengarahan diri (self dirention), kemandirian, tanggungjawab
terhadap anggota satu dengan yang lainnya.
g. Menjadi peduli dengan pilihan-pilihan dari setiap anggota dalam keluarga
dan dapat membuat pilihan yang bijaksana.
h. Membuat rencana khusus untuk perubahan perilaku dan berkomitmen kepada
anggota keluarga atau pasangan agar rencana dapat terlaksana sesuai dengan
yang diharapkan.
i. Belajar lebih efektif tentang kemampuan sosial.
j. Menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain.
k. Belajar menghadapi masalah dengan baik, perhatian, jujur dan langsung.
l. Menjauhi harapan yang berasal dari orang lain dan belajar untuk dapat hidup
dengan harapan yang ada dalam diri sendiri.
m. Menjelaskan nilai-nilai yang dimiliki dan bagaimana nilai tersebut dapat
dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan.

3. Peran konselor
Konseling keluarga untuk pasangan suami istri, Kessler (Geldard, K.,
Geldard, D 2011, hlm. 360) mengatakan bahwa konseling pasangan menghendaki
agar konselor aktif dan terlibat langsung dalam suasana konseling. Peran ini perlu
karena banyak pasangan yang mencari konseling mendapatkan pola-pola yang
merusak dan tidak bisa dipungkiri mereka akan akan mengulangi pola-pola ini
dalam proses konseling. Dengan terlibat aktif, konselor menyertai dalam
kegiatan-kegiatan yang membantu memungkinkan klien mempelajari
keterampilan-keterampilan interaktif yang baru, bagaimana meredakan
perdebatan, bagaimana memberi dan menerima informasi tentang satu sama lain,
bagaimana mengubah permainan menyalahkan, dan menentukan cara-cara
berelasi yang baru.
4. Teknik konseling
Dalam proses konseling keluarga yang berfokus pada orang dewasa,
teknik-teknik yang digunakan oleh konselor dapat bervariasi, melihat kebutuhan
dan permasalahan yang dihadapi. Jika ditinjau dari permasalahan yang alami
orang dewasa terutama pada pasangan suami istri, Carr, A (2018) memberikan
rekomendasi pendekatanbehavioralcoupel therapy dan emotionally focused
couple therapypada masing-masing permasalahan.

27
a. Behavioural Couple Therapy(Terapi pasangan perilaku)
Terapi pasangan perilaku tradisional, terapi pasangan perilaku kognitif
dan terapi pasangan perilaku integratif adalah tiga model praktik berbasis
bukti yang terkait di bawah label terapi perilaku yang menyeluruh.
Terapi pasangan perilaku tradisional bertumpu pada anggapan bahwa
tawar-menawar hubungan tidak adil mendasari distress hubungan dan konflik
dalam hubungan. Pasangan yang gagal menegosiasikan pertukaran
pandangan yang disukai dengan adil satu sama lain, dan rasa ketidakadilan
ini memicu konflik hubungan kronis. Tujuan terapi pasangan perilaku
tradisional adalah untuk membantu pasangan mengembangkan komunikasi
dan keterampilan pemecahan masalah dan prosedur pertukaran perilaku
sehingga mereka dapat menegosiasikan hubungan yang lebih adil.
Sumbu dari intervensi terapi pasangan perilaku tradisional adalah
pertukaran perilaku dengan keterampilan komunikasi dan pemecahan
masalah, yang menekankan pentingnya perubahan positif dalam dinamika
pasangan. Komponen ini saling mengikuti secara kronologis, karena
ditemukan bahwa pasangan dengan masalah pertama harus meningkatkan
iklim relasional mereka (melalui pertukaran perilaku) agar nantinya dapat
bernegosiasi dan mencapai kesepakatan yang memuaskan bagi kedua
pasangan (menggunakan keterampilan komunikasi, dan akhirnya, pemecahan
masalah). Terapi Ini adalah intervensi singkat (yang berlangsung sekitar dua
puluh sesi) dengan protokol yang jelas, dengan tujuan "mikro" (misalnya,
berapa kali pasangan pergi keluar untuk makan malam) dan " makro
"(misalnya, seberapa banyak kemesraan telah pulih). Selain dapat
diimplementasikanpada masalah sehari-hari yang nyata dengan keterampilan
yang diperoleh selama sesi terapi (Mairal, J.B., 2015).
Pada terapi pasangan perilaku kognitif, komponen kognitif telah
ditambahkan ke model dasar ini untuk membantu pasangan menantang
keyakinan destruktif dan harapan yang berkontribusi terhadap distres
hubungan, dan menggantikannya dengan alternatif yang lebih ramah.
Terapi pasangan perilaku integratif, yang berevolusi dari terapi pasangan
perilaku tradisionalberasal dari integrasi perubahan dan penerimaan, dalam
keseimbangan yang akan ditemukan untuk setiap pasangan. dapat dikatakan
bahwa terapi pasangan perilaku integratif menunjukkan bahwa penerimaan
dipromosikan sebagai langkah penting menuju perbaikan pada pasangan yang

27
bermasalah, sedangkan terapi perilaku tradisional akan mendalilkan bahwa
pertukaran perilaku dan pengembangan keterampilan yang efektif adalah
jalan untuk menyelesaikan kesulitan (Cordova dalam Mairal, J.B., 2015).
b. Emotionally focused couple therapy(Terapi pasangan emosional terfokus)
Dalam terapi pasangan yang terfokus secara emosional, diasumsikan
bahwa ikatan kelekatan yang tidak aman mendasari distress hubungan dan
konflik dalam hubungan. Pasangan khawatir bahwa kebutuhan keintiman
mereka tidak akan terpenuhi dalam hubungan mereka. Emosi utama yang
“lembut” berupa kecemasan dan kesedihan memunculkan emosi-emosi
sekunder yang “keras” seperti kemarahan dan permusuhan. Tujuan terapi
pasangan yang berfokus secara emosional adalah membantu pasangan
memahami ini dan mengembangkan cara untuk memenuhi kebutuhan
keintiman satu sama lain, sehingga mereka mengalami keintiman yang aman
dalam hubungan mereka.
Jenis terapi ini juga mengarah pada peningkatan kepuasan seksual.
Terapi pasangan berfokus emosional mengarah pada peningkatan gejala dan
kualitas hubungan pada pasangan di mana satu pasangan memiliki diagnosis
depresi atau gangguan stres pasca trauma atau di mana pasanganmengatasi
penyakit fisik kronis, seperti kanker
Seperti pada terapi humanistik lainnya, di EFT, terapis berkolaborasi
dengan klien dalam pemrosesan ulang berkelanjutan dan rekonstruksi
pengalaman masing-masing pasangan dan membantu menghasilkan makna
baru dalam pengalaman mereka yang kemudian dapat memberdayakan
mereka dan memfasilitasi perkembagan hubungan mereka. EFT adalah terapi
sistemik dalam masalah yang dilihat sebagai hasil dari cara yang terbatas atau
kaku untuk menanggapi isyarat konteks dan berinteraksi dengan orang lain.
Dari sudut pandang sistemik, emosi adalah elemen "memimpin" atau yang
mengatur pola interaksi yang membentuk sistem relasional. Respons empatik
terapis atau konselor kepada klien adalah sebagai “penerjemah” emosi klien.
(Elliot, Watson, Goldman, & Greenberg, 2004, hlm. 113).
Terapi berkembang melalui tahap awal penurunan intensitas pola
interaksi destruktif pengejar-penghalang; tahap tengah memfasilitasi ekspresi
otentik dari para pasangan, dan menanggapi emosi primer dan kebutuhan
keintiman masing-masing pasangan; dan fase penutupan di mana pola
perilaku kelekatan yang lebih adaptif ini bisa dipersatukan.

27
Teori Experiential, pendekatan sistemik, dan teori kelekatan
diintegrasikan ke dalam keseluruhan teoritis di EFT dan memberikan
panduan untuk pengobatan. Johnson, S.M dan Greenman, P.S (2006)
menjelaskan tahapan dan langkah EFT adalah sebagai berikut.
1) Tahap 1: Deescalation/penurunan intensitas Siklus
a) Langkah 1. Penilaian: Menciptakan aliansi dan menjelaskan isu-isu
inti dalam konflik perkawinan dengan menggunakan perspektif
kelekatan.
b) Langkah 2. Identifikasi masalah siklus interaksional yang
mempertahankan ketidakamanan kelekatan hubungan dan distress
hubungan.
c) Langkah 3. Mengakses emosi yang tidak diakui yang mendasari
posisi interaksional.
d) Langkah 4. Membingkai ulang masalah dalam hal siklus, emosi yang
mendasarinya, dan kebutuhan lampiran.
2) Tahap 2: Restrukturisasi Posisi Interaksional
e) Langkah 5. Mempromosikan identifikasi dengan kebutuhan dan
aspek diri yang tidak diketahui dan mengintegrasikannya ke dalam
interaksi hubungan.
f) Langkah 6. Mempromosikan penerimaan konstruksi hubungan baru
pasangan dan perilaku interaksional baru.
g) Langkah 7. Memfasilitasi ekspresi kebutuhan dan keinginan khusus
dan menciptakan keterlibatan emosional.
3) Tahap 3: Konsolidasi / Integrasi
h) Langkah 8. Memfasilitasi munculnya solusi baru untuk masalah
hubungan lama.
i) Langkah 9. Mengkonsolidasikan posisi baru dan siklus baru perilaku
kelekatan pasangan.
Kunci utama EFT adalah berfokus pada emosi. Terapis/konselor EFT
berfokus pada emosi inti yang diidentifikasi dalam bentuk universal:
kemarahan, ketakutan, kejutan, rasa malu, sukacita, kesedihan, sakit
hati/kesedihan, dan kejutan. Setiap emosi memiliki isyarat, penilaian umum
seketika (negatif / positif, aman / tidak aman), gairah psikologis dalam tubuh,
dan kecenderungan tindakan yang menarik yang "menggerakkan" seseorang
ke dalam respons tertentu. Dengan cara ini, emosi adalah pelaku utama

27
perilaku, terutama dalam hubungan dekat di mana sinyal-sinyal emosional
adalah musik dari tarian di antara pasangan (Johnson, S.M dan Greenman,
P.S, 2006).
c. Implikasi layanan untuk masalah psikoseksual
Hasil tinjauan ini menunjukkan bahwa dalam mengembangkan layanan
untuk pasangan dengan kesulitan psikoseksual, terapi seks berbasis pasangan
harus diberikan dalam konteks yang memungkinkan program multimodal
yang melibatkan terapi seks dan obat-obatan yang akan ditawarkan untuk
gangguan seperti disfungsi ereksi dan ejakulasi dini, dan itu juga
memungkinkan pasangan untuk menerima terapi untuk gangguan hubungan.
Program untuk masalah psikoseksual cenderung singkat (hingga sepuluh sesi)
selama tiga bulan, dengan intensitas masukan sesuai dengan kebutuhan
pasangan, terutama di mana ada stress hubungan bersifat bawaan.

27
BAB III
PEMBAHASAN KONSELING KELUARGA DENGAN PENDEKATAN ADULT-
FOCUSSED PROBLEM PADA KASUS PASANGAN YANG MENGALAMI
TEKANAN PASCA-PERSELINGKUHAN

Konseling/terapi keluarga yang merujuk pada permasalah orang dewasa akan


melibatkan beberapa pihak seperti, pasangan, orangtua dan saudara-saudara.
Pendekatan konseling keluarga adult-fokused problems banyak diterapkan pada
permasalahan hubungan pasangan pernikahan. Konseling/terapi pasangan adalah
bentuk psikoterapi yang dirancang untuk memodifikasi secara psikologis interaksi antara
dua orang yang berada dalam konflik dalam satu atau lebih parameter (sosial, emosional,
seksual, ekonomi). Bentuk konseling/terapi ini secara langsung memfokuskan pada
perubahan interaksi antara anggota keluarga dan mencari hal-hal yang dapat
meningkatkan fungsi dari keluarga seperti jumlah dan masing-masing subsistem dan atau
fungsi dari masing- masing individu sebagai anggota keluarga tersebut.
Pada pembahasan ini, pendekatan konseling/terapi keluarga dengan pendekatan
adult-focused problems akan diterapkan pada permasalahan tekanan yang dialami
pasangan pasca perselingkuhan. Kasus dalam permasalahan ini di ambil dari penelitan
(Wardani, N.D., 2017) sebagai bahan analisi yang nyata. Pasangan suami dan istri
terjebak dalam siklus interaksi negatif satu sama lain setelah perselingkuhan yang terjadi.
Istri menjadi pihak yang menuntut dan suami semakin menarik diri. Lebih lanjut interaksi
negatif yang terjadi menyebabkan ketegangan dalam hubungan komunikasi dan juga
masalah dalam hubungan seksual dimana istri yang menuntut merasa tidak puas secara
emosional dan suami yang menarik diri hanya fokus pada interaksi fisik saja.

A. Contoh Kasus
Pada kasus ini menceritakan sepasang konseli yang memiliki masalah pasca
perselingkuhan. Istri berusia 35 tahun dan sang suami berusia 30 tahun. Sebelum
menikah Istri dan suami ini awalnya rekan satu pekerjaan, dari pertemanan dekat
kemudian mereka mulai berpacaran. Saat memulai hubungan pacaran, suami baru
saja putus dengan pacarnya dan menurutnya berpacaran dengan sang istri adalah
pelarian dari perasaan sakit hati ditinggal pacar saat itu. Selama pacaran suami sering
bergonta ganti pacar dan istri mengetahui hal itu namun akhirnya selalu kembali ke
istrinya. Suami memiliki keinginan menikah muda sehingga mengajak istri menikah.
Istri berusaha mempertahankan hubungan mereka karena sudah pernah berhubungan
intim dan akhirnya bersedia menikah dengan suami hingga saat ini.

27
Selama pernikahan suami sudah tiga kali berselingkuh dan istri mengetahui
perselingkuhan yang dilakukan suami dari teman-temannya serta dari telepon
genggam suami. Saat mengetahui hal itu istri marah dan suami langsung meminta
maaf. Istri memaafkan suami karena ingat anak-anaknya dan tidak ingin
pernikahannya hancur. Istri menganggap perselingkuhan yang dilakukan suami yang
terdahulu hanya keisengan belaka, namun perselingkuhan terakhir dengan mantan
pacar suami membuat istri sangat marah dan cemburu karena istri merasa suami
sepenuh hati mencintai mantannya tersebut. Perselingkuhan dengan mantan pacar itu
membuat istri semakin sedih.
Istri juga mencoba kembali berhubungan intensif dengan mantan pacar.
Hubungan yang dilakukan itu kemudian diketahui suami yang melihat telepon seluler
istri. Sejak itu istri menyesal dan tidak lagi berhubungan dengan mantan pacarnya.
Suami merasa sakit hati kemudian mulai berhubungan lagi dengan mantan pacar
suami hingga berhubungan intim. Sejak itu istri sedih dan mempertanyakan apa yang
membuat suami tega melakukan hal tersebut dengan mantan pacar. Istri menyesalkan
suami yang tidak memikirkan keluarganya dan dua anak mereka yang masih kecil.
Sejak itu istri takut kehilangan suami dan ingin ikut suami berangkat bekerja. Istri
merasa tidak berani sendiri di rumah sehingga ada kecemasan, dada berdebar-debar,
sesak nafas dan ketakutan terutama ketika suaminya berangkat bekerja. Bila ditemani
iparnya ini istri baru bisa tenang. Suami mulai merasa jengah dengan perilaku istri
yang mudah cemas, sehingga suami makin sering berhubungan kembali dengan
mantan pacar yang sudah menikah.
Saat istri pergi dengan keluarga besarnya ke Jakarta, suami pergi ke Bandung
menemui mantan pacarnya. Kunjungan suami menemui mantan pacarnya diketahui
oleh istri, sehingga Istri semakin marah dan memukul suami ketika pulang bahkan
mengusir suami dari rumah. Setelah diusir, suami pergi ke Bandung untuk meminta
maaf pada keluarga besar mantan pacarnya dan berjanji pada mereka untuk tidak
akan berhubungan lagi.
Setelah suami meminta maaf kepada keluarga mantan pacarnya dan istri tidak
lagi mendapat serangan panik, kedua pasangan ini menjalani sesi terapi pasangan
bersama terapis (Wardani, N.D., 2017).

B. Proses Konseling Keluarga


Dalam kasus tekanan pasca perselingkuhan konselor bisa menggunakan
teknik Emotionally focused couple therapy. Teknik terapi ini mengarah pada

27
peningkatan gejala dan kualitas hubungan pada pasangan di mana satu pasangan
memiliki diagnosis depresi atau gangguan stres pasca trauma. Konselor/terapis
berkolaborasi dengan klien dalam pemrosesan ulang berkelanjutan dan rekonstruksi
pengalaman masing-masing pasangan dan membantu menghasilkan makna baru
dalam pengalaman mereka yang kemudian dapat memberdayakan mereka dan
memfasilitasi perkembagan hubungan mereka.
Tahapan kegiatan konseling/terapi pada masalah pasangan paska
perselingkuhan dengan teknik EFCT dapat di alurkan sebagai berikut;
1. Tahap 1: Deescalation/penurunan intensitas Siklus
a. Langkah 1. Penilaian: Menciptakan aliansi dan menjelaskan isu-isu inti
dalam konflik perkawinan dengan menggunakan perspektif kelekatan.
(konselor membangun suasana konseling dengan pasangan dan
mendengarkan masalah-masalah yang disampaikan oleh suami dan istri
tentang gejala-gejala kecemasan istri paska perselingkuhan)
b. Langkah 2. Identifikasi masalah siklus interaksi yang mempertahankan
ketidakamanan kelekatan hubungan dan distress hubungan.
(konselor bersama pasangan mengidentifikasi masalah-masalah pokok
bagaimana bentuk siklus interaksi negatif yang terjadi dengan pasangan)
c. Langkah 3. Mengakses emosi yang tidak diakui yang mendasari posisi
interaksional.
(konselor mengakomodasi pasangan untuk mengungkapkan emosi masing-
masing terhadap masalah yang di alami)
d. Langkah 4. Membingkai ulang masalah dalam hal siklus, emosi yang
mendasarinya, dan kebutuhan kelekatan.
(konselor mencoba menafsirkan kembali masalah-masalah interaksi yang
terjadi ketika pasangan pra dan paska kejadian perselingkuhan serta
merefleksikan emosi yang rasakan pasangan)
2. Tahap 2: Restrukturisasi Posisi Interaksional
a. Langkah 5. Mempromosikan identifikasi dengan kebutuhan dan aspek diri
yang tidak diketahui dan mengintegrasikannya ke dalam interaksi hubungan.
(konselor mencoba mengulas kembali keinginan masing-masing pasangan
yang disadari oleh pasangannya sebelum dan paska kejadian
perselingkungan)
b. Langkah 6. Mempromosikan penerimaan konstruksi hubungan baru pasangan
dan perilaku interaksional baru.

27
(konselor membantu pasangan untuk saling menerima dan mehami bahwa
keinginan dan kebutuhan pasanganya bagian dari tanggung jawab dan peran
seorang suami dan istri)
c. Langkah 7. Memfasilitasi ekspresi kebutuhan dan keinginan khusus dan
menciptakan keterlibatan emosional.
(konselor memberikan kesempatan pada masing-masing pasangan untuk
menyampaikan secara langsung keinginan dan kebutuhan terhadap pasangan
mereka paska perselingkuhan)
3. Tahap 3: Konsolidasi / Integrasi
a. Langkah 8. Memfasilitasi munculnya solusi baru untuk masalah hubungan
lama.
(konselor memberikan saran rekomendasi untuk solusi pemecahan masalah
yang dihadapi pasangan, atau memberian kesempatan kepada pasangan
mendiskusikan solusi pemecahan masalah mereka sendiri)
b. Langkah 9. Mengkonsolidasikan posisi baru dan siklus baru perilaku
kelekatan pasangan.
(Berdasarkan hasil kesepatakan tentang solusi yang telah dipilih, konselor
memperteguh dan memperkuat keyakinan pasangan. Secara langsung dengan
cara interaksi yang pada antara pasangan saat sesi konseling).
Perubahan interaksi bisa dilakukan dengan mengubah siklus interaksi
negatif dan pengalaman emosional yang mendasari dari masing-masing
pasangan. Pendekatan ini lebih memperhatikan interaksi saat ini dan proses
pengalaman saat ini yang dialami individu. Perubahan bisa terjadi dengan
mengubah pandangan mereka tentang diri mereka sendiri dan merubah
konteks komunikasi pasangan (Johnson, S.M. dan Greenberg, L.S, 2010).
Dengan memahami respon emosional yang mendasari pola interaksi
negatif dan membawanya ke kesadaran pasangan, pelan-pelan interksi negatif
bisa diubah menjadi lebih positif. Konflik dan tidak adanya kelekatan
mempengeruhi kepuasan dan kebutuhan seksual. Teori komprehensif tentang
cinta orang dewasa menyatakan membantu pasangan memiliki kelekatan cinta
akan membuat satu sama lain semakin kuat

27
BAB IV
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan

Kesimpulan isi makalah ini disusun berdasarkan sistematika penulisan


makalah sebagai berikut:
1. Tujuan membangun berkeluarga agar memperoleh kehidupan yang
sejahtera, harmonis, dan bahagia akan menemui kondisi-kondisi tidak
menyenangkan sehingga menimbulkan masalah dan konflik dalam
keluarga
2. Masalah-masalah orang dewasa dalam keluarga terbentuk dari pola relasi
yang terjadi antara pasangan suami dan istri, relasi antara anak yang
memasuki usia dewasa dengan orang tua, dan relasi saudara yang telah
dewasa.
3. Bentuk masalah yang terjadi antara pasangan suami dan istri seperti
masalah ekonomi, tekanan dalam hubungan, masalah psikoseksual,
masalah kekerasan dalam rumah tangga, dan masalah tekanan bersasal dari
penyakit klinis.
4. Tujuan konseling/terapikeluarga berfokus pada masalah orang dewasa untuk
membantu orang dewasa agar saling memahami dan saling menghargai
perbedaan, dapat menyelesaikan permasalahan yang ada secara sehat, dan dapat
meningkatkan hubungan dan komunikasi yang positif.
5. Konselor berperan aktif menyertai dalam kegiatan-kegiatan membantu
memungkinkan klien mempelajari keterampilan-keterampilan interaktif yang
baru, bagaimana meredakan perdebatan, bagaimana memberi dan menerima
informasi tentang satu sama lain, bagaimana mengubah permainan menyalahkan,
dan menentukan cara-cara berelasi yang baru.
6. Pendekatankonseling/terapi keluarga berfokus pada masalah orang dewasa
menggunakan teknik behavioralcoupel therapy dan emotionally focused couple
therapy pada masing-masing permasalahan.

27
B. Implikasi

Berdasarkan kesimpulan makalah dapat dijelaskan adanya implikasi konseptual


tentang pentingnya konseling/terapi keluarga dengan pendekatan masalah orang
dewasa/adult-focussed problems untuk meningkatkan kehidupan sejahtera, harmonis,
dan bahagia dalam keluarga. Dengan kata lain berimplikasi untuk mereduksi
masalah-masalah orang dewasa yang menghambat kesejahteraan dan keharmonisan
kehidupan berkeluarga.
Secara teoritis bahwa ada beragam masalah yang dialami orang dewasa seperti
perbedaan pandangan individu, keinginan kebutuhan yang tidak terpenuhi, masalah
perkembangan individu, dan masalah perbedaan sosio-kultural yang melatar
belakangi keberadaan pendekatan konseling/terapi keluarga berfokus pada masalah
orang dewasa memberikan implikasi penting dalam kehidupan keluarga. Kehidupan
keluarga meliputi pentingnya kesadaran anggota keluarga tentang adanya perbedaan
pandangan, nilai, budaya asala akan mempengaruhi pola relasi dalam keluarga. Selain
itu berimplikasi untuk membawa anggota keluarga kembali pada tujuan awal
kehidupan keluarga yang sakinah, mawadah, waarrahmah.
Konseling keluarga dengan pendekatan adult-focussed problems memberikan
keluarga keterampilan berkomunikasi, pemecahan masalah dengan negosiasi
hubungan yang adil, serta mampu meluapkan dan menanggapi setiap emosi yang
ditampilkan di keluarga. Proses konseling yang dilakukan memfasilitasi keluarga
untuk melatihkan cara berkomunikasi yang efektif dan merekontruksikan
pengalaman-pengalaman anggota keluarga sebagai cara menanggapi emosi primer
untuk menumbuhkan kelekatan yang lebih adaptif dalam keluarga. Proses konseling
tersebut berimplikasi secara praktis untuk mengupayakan setiap anggota keluarga
dapat menerapkan setiap hasil yang diperoleh dari kegiatan konseling/terapi kedalam
kehidupan berkeluarga. Perilaku yang dilatihkan dalam konseling memberikan
pemahaman dan pedoman bagi keluarga untuk menghadapi dan mencegah masalah
datang kembali.

27
C. Rekomendasi

Rekomendasi yang dapat diberikan kepada pihak-pihak tertentu berkaitan


dengan family therapy untuk remaja antara lain:
1. Bagi Konselor
Pendekatan berfokus pada masalah orang dewasa dapat menjadi
model bimbingan dan konseling keluarga yang dapat diberikan konselor
kepada permasalahan orang-orang dewasa seperti pasangan suami istri,
antar saudara, antar anak dan saudara, masalah dalam diri sendiri, masalah
dengan keluarga besar, konflik dengan besan dan ipar.
Konselor dapat mengembangkan pendekatan bimbingan dan
konseling keluarga ini dengan penggunaan teknik lainnya sebagai upaya
menyelesaikan masalah pada orang dewasa.
2. Mahasiswa dan Ilmuan Bimbingan dan Konseling
Pendekatan berfokus pada masalah orang dewasa dapat dijadikan rujukan
penelitian dan pengembangan Ilmu bagi mahasiswa dan ilmuan Bimbingan dan
Konseling Keluarga yang memiliki minat membahas dan meniliti permasalahan
dalam keluarga khususnya pada masalah orang dewasa.

27

Anda mungkin juga menyukai