Disusun oleh :
Nabilla Azzahratussuroya ( 010001600258)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2019
PENGANTAR
Pola hidup masyarakat suku sunda adalah berladang. Komunitas peladang ini hidupnya
cenderung berpindah-pindah atau nomaden, dan budaya bersawah memang kemudian dikenal
pada masa pajajaran. Dimana pada masa itu para petani menggarap sawah mereka untuk
keperluan orang-orang kota Pakuan semacam bangsawan, bukanlah untuk diri mereka pribadi.
Masyarakat hanyalah patut dan tunduk oleh para bangsawan.
Selain bekerja sebagai peladang, masyarakat sunda juga ada yang bekerja sebagai penggali
saluran untuk menangkap ikan, dan untuk masyarakat yang hidup di pesisir pantai atau pun
laut mereka akan mencari nafkah dengan menjala, menarik jaring, memasang jaring,
menangguk ikan, merentang jaring. Pola hidup bertani dan berladang itu pasti dilakukan oleh
masyarakat sunda, biasanya masyarakat peladang bertani di perbukitan dan masyarakat petani
(persawahan) bertani di daerah yang lebih lembab.
Pertanian sebagai mata pencaharian utama dalam kehidupan manusia di beberapa bagian
dunia telah mengalami proses perkembangan yang cukup panjang dalam sejarah kebudayaan
manusia. Hal itu sejalan dengan tahap perkembangan pengetahuan manusia tentang jenis-
jenis tanaman pangan dan cara penanamannya.
Di tanah sunda banyak kelompok masyarakat yang memiliki kecenderungan ke arah bercocok
tanam karena di daerah sana biasanya tinggal dalam lingkungan alam yang memiliki curah
hujan cukup banyak, sehingga pertumbuhan tanaman terus terjamin. Oleh karena itu, daerah
yang didiami oleh tipe masyarakat tersebut terdiri dari areal hutan lebat, tanahnya basah dan
mungkin pula berawa-rawa.
Daerah tanah sunda atau yang dikenal juga dengan daerah Jawa Barat yang beriklim antara
tropis dan subtropis merupakan daerah agraris yang subur. Dahulu daerah ini, terutama daerah
pedalaman, memiliki banyak hutan lebat serta daerah rawa. Keadaan ini memungkinkan
timbulnya cara-cara bercocok tanam yang dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di daerah
pedalaman berupa pertanian di ladang. Dan biasanya masyarakat sunda mengenal dengan
istilah “Ngahuma” dan pola pertanian menetap, yaitu bersawah. Hingga sekarang pola
pertanian sawah merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Jawa Barat, khususnya
di daerah pedesaan.
PEMBAHASAN
Pengertian dari “Ngahuma” (berladang) itu sendiri adalah suatu sistem/pola pertanian yang
mengubah hutan alam menjadi hutan garapan, dengan tujuan menghasilkan kebutuhan pangan
yang direncanakan. Dari segi sejarah munculnya sistem/pola pertanian, ngahuma merupakan
suatu tahapan dalam evolusi budaya manusia dari budaya berburu dan meramu ke budaya
bercocok tanam. Masyarakat Jawa Barat, khususnya masyarakat Sunda sebagai masyarakat
pedalaman telah mengenal sistem ngahuma sejak beberapa abad yang lampau, paling tidak
sejak jaman neolitikum. Oleh karena itu masyarakat Sunda di Jawa Barat semula adalah
masyarakat peladang.
Berladang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Sunda yang tidak
dipisahkan dari tata ruang kawasan bermukim dan perlu diatur serta direncanakan dengan
perhatian terhadap kekuatan alam yang ada. Jadi, dengan sistem pengelolaan tata ruang lokal
yang bijaksana, kawasan hutan lebat milik masyarakat adat Sunda akan terpelihara cukup baik
dan harmonis dengan kehidupan masyarakat yang bergantung dengan kegiatan ngahuma.
Dan di tanah sunda atau daerah jawa barat, masyarakatnya dalam melakukan bercocok tanam
biasanya memakai alat-alat pertanian orang sunda. Antara lain:
1. Pacul. Pacul dalam bahasa Indonesia sama dengancangkul, Pacul ini berfungsi untuk
membalikkan, memindahkan, dan meratakan tanah persawahan. Pada jaman dahulu
sebelum adanya Traktor, pacul menjadi andalan para petani dikala musim tanam
dimulai, namun pada jaman sekarang pacul lebih berfungsi untuk membalikan,
memindahkan, dan meratakan galengan sawah, yaitu batas antara sawah satu dengan
yang lain.
2. Arit. Arit atau sejenis celurit merupakan alat yang digunakan untuk memotong batang
padi pada saat musim panen tiba. Keberadaan Arit ini sebagai pengganti dari
terdahulunya yaitu Etem, yang sekarang sudah sulit ditemukan.
3. Parang. Parang biasanya digunakan sebagai alat potong atau alat tebas (terutama selak
belukar) yang ada di galengan/pematang sawah.
4. Garokan. Garokan merupakan alat untuk meratakan tanah pesawahan sebelum ditanam
oleh padi, kadang juga digunakan dalam proses pengeringan padi. Garokan ini biasanya
terbuat dari papan, dan diberi gagang, bentuknya menyerupai huruf T.
5. Lencod. Lencod ini adalah alat yang terbuat dari besi dengan bentuk mirip dengan
sendok garpu. Fungsinya untuk menggali tanah yang keras.
6. Garitan. Garitan merupakan alat bantu pertanian, yang berfungsi sebagai pembuat garis
di areal pesawahan agar proses penanaman mudah, serta jarak tanaman satu dengan
yang lain sama. Biasanya garitan ini memiliki semacam gigi, antara gigi satu dengan
lainnya mempunyai jarak yang sama,ada yang memakai 25 Cm dan ada juga yang 30
Cm. Jumlah Gigi-gigi ini biasanya tergantung si pembuat, disesuaikan dengan areal
pesawahan yang ia miliki serta panjangnya garitan.
7. Etem. Etem atau ani-ani merupakan alat tradisional yang digunakan untuk memotong
padi.
8. Giribig. Giribig merupakan alas untuk mengeringkan padi. Giribig sendiri lebih mirip
dengan bilik.
9. Halu. Halu merupakan alat tumbuk sejenis tongkat yang biasanya terbuat dari kayu atau
pohon kelapa dan sejenisnya yang mempunyai ukuran kurang lebih 1,5 meter dengan
lingkarannya sebesar pergelangan tangan orang dewasa. Halu digunakan untuk
menumbuk padi pada jaman dahulu, karena tidak ada penggilingan padi. Padi yang
ditumbuk biasanya ditaruh di lisung.
10. Lisung. Lisung merupakan alat menumbuk padi yang berpasangan dengan Halu. Lisung
mirip dengan perahu, yang terbuat dari kayu dengan diameter besar, ada yang bentuknya
panjang dan ada juga yang persegi, dan dilobangi ditengahnya.
11. Leuit. Leuit merupakan tempat untuk menyimpan padi hasil dari panen di sawah. Jaman
dahulu leuit biasanya berbentuk panggung, yang terbuat dari papan kayu. Namun untuk
jaman sekarang orang lebih suka membuatnya dengan bahan dari batu bata, dan
bentuknya tak lagi seperti panggung.
12. Saron. Saron adalah alat bantu untuk memisahkan padi dari tangkainya dengan cara di
pukul-pukulkan.
Selain itu ada upacara adat panen dalam proses bercocok tanam di tanah sunda, yaitu “upacara
adat Seren Taun”. “Seren Taun” adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang
dilakukan setiap tahun. Upacara ini berlangsung sangat ramai dan dihadiri ribuan masyarakat
sekitar di berbagai desa di daerah Sunda. Tidak hanya dari daerah sekitar saja tapi masyarakat
dari berbagai daerah dan wisatawan mancanegara datang untuk menyaksikan upacara adat
tersebut. Upacara adat Seren Taun konon sudah dilakukan secara turun-menurun sejak zaman
Kerajaan Sunda purba seperti kerajaan Pajajaran.
Seren Taun berasal dari kata dalam Bahasa Sunda yaitu, ‘’Seren’’ yang berarti Serah,
Seserahan (menyerahkan) dan ‘’Taun’’ yang berarti Tahun. Sehingga Seren Taun memiliki
makna serah terima dari tahun lalu ke tahun yang akan datang sebagai penggantinya. Bisa
diartikan juga sebagai bagian dari rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
semua hasil pertanian yang mereka dapatkan. Dan berharap agar kedepannya hasil pertanian
yang mereka dapatkan akan meningkat atau lebih baik dari sebelumnya. Spesifiknya upacara
ini merupakan cara penyerahan hasil bumi berupa padi yang dihasilkan warga selama satu
tahun dan kemudian disimpan ke dalam lumbung atau dalam bahasa Sunda ‘’Leuit’’.
Beberapa Desa yang masih melakukan upacara ini diantaranya adalah Desa Cigugur di
Kabupaten Kuningan, Desa Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, Desa Pasir Eurih di Kabupaten
Bogor, dan Kampung Naga di Tasikmalaya. Setiap Desa memiliki tata cara ritual yang berbeda
dan beraneka ragam, tapi masih memiliki makna yang sama yaitu menyerahkan hasil panen
berupa padi kepada ketua adat. Masyarakat pemeluk kepercayaan Sunda Wiwitan tetap
menjalankan upacara ini namun saat ini kebanyakan masyarakat Sunda memeluk agama Islam,
sehingga di beberapa desa adat Sunda ritual Seren Taun tetap digelar hanya bedanya dengan
doa-doa sesuai agama Islam.
Upacara ini bukan hanya suatu perayaan tapi juga sebagai tuntunan tentang bagaimana
menunjukkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, terlebih pada saat masa panen tiba.
Selain itu dimaksudkan juga agar Tuhan senantiasa selalu memberikan perlindungan di musim
tanam mendatang.
Ritual diawali dengan mengambil air suci dari tujuh mata air yang telah dikeramatkan,
disatukan kedalam satu wadah, dan diokan. Air ini lalu dicipratkan ke semua orang yang hadir
dalam upacara tersebut agar membawa berkah. Berikutnya adalah ritual sedekah kue, warga
yang hadir berebut mengambil kue di dongdang (pikulan) atau tampah, bagi yang berhasil
mendapatkan kue ini dipercaya akan mendapat berkah. Kemudian dilanjutkan dengan
menyembelih kerbau, makan tumpeng bersama, dan malam harinya diisi dengan pertunjukkan
wayang golek. Puncak Seren Taun dimulai sejak pukul 08.00, diawali
prosesi ngajayak (menyambut atau menjemput padi), lalu diteruskan dengan tiga pergelaran
kolosal, yakni tari buyung, angklung baduy, dan angklung buncis-dimainkan berbagai pemeluk
agama dan kepercayaan yang hidup di Cigugur. Dikukuhkan oleh tokoh-tokoh agama dengan
membacaka doa-doa secara bergantian. Upacara ini juga diramaikan dengan kesenian-kesenian
adat. Ritual ini berlangsung sejak tanggal 18 Rayagung.