Anda di halaman 1dari 13

CRITICAL REVIEW DAN OPINI JURNAL

PERENCANAAN PAJAK MELALUI METODE PENYUSUTAN AKTIVA


TETAP UNTUK MENGHITUNG PPH BADAN PADA PT. BANK SULUT

Disusun Untuk Memenuhi Tugas UAS Mata Kuliah


Tax Planning

Dosen:
Dr. H. Heru Tjaraka. Drs, Ak, Msi, BKP, CA

Disusun Oleh:
Istiyanatul Mahbubah 17062020006

MAGISTER AKUNTANSI
ANGKATAN XXV
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
JAWA TIMUR
2018
CRITICAL REVIEW

Judul :
PERENCANAAN PAJAK MELALUI METODE PENYUSUTAN
AKTIVA TETAP UNTUK MENGHITUNG PPH BADAN PADA PT.
BANK SULUT
Penulis :
Giantino A. Ratag
Reviewer :
Istiyanatul Mahbubah / 17062020006
Variabel:
a. Variabel Independen : X1 : Perencanaan Pajak
X2 : Metode Penyusutan Aktiva Tetap
b. Variabel Dependen : Y PPh Badan PT. Bank Sulut

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bagi perusahaan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan dianggap
sebagai biaya/beban dalam menjalankan atau melakukan kegiatan usaha.
Pajak sebagai biaya akan mempengaruhi besarnya laba yang diterima
maupun yang akan dikembalikan kepada pemegang saham. Jadi pada
dasarnya secara ekonomis pajak merupakan unsur pengurang laba yang
tersedia untuk dibagikan atau diinvestasikan kembali oleh perusahaan
sehingga perusahaan akan berusaha untuk meminimalkan pembayaran pajak
tersebut, untuk mengoptimalkan besarnya laba. Salah satu upaya untuk
melakukan penghematan pajak secara legal yang dapat dilakukan dengan
melalui manajemen pajak yaitu perencanaan pajak. Perencanaan pajak
terhadap pemilihan metode penyusutan dikatakan berhasil dalam
mengurangi beban pajak yang terutang, besarnya biaya penyusutan yang

2
dapat dikurangkan dari penghasilan sangat berpengaruh pada besarnya
penghasilan kena pajak yang menjadi dasar penghitungan PPh badan
terutang. Berdasarkan latar belakang maka peneliti tertarik mengadakan
penelitian tentang perencanaan pajak melalui metode penyusutan aktiva
tetap untuk menghitung PPh badan pada PT. Bank Sulut.

1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perencanaan pajak melalui
metode penyusutan aktiva tetap untuk menghitung PPh badan pada PT.
Bank Sulut.

BAB II
Tinjauan Pustaka
Pajak menurut Widyaningsih (2011:2) mendefinisikan pajak adalah
iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat
dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung.
Mardiasmo (2008:9) menyatakan ada dua fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran- pengeluarannya.
2. Fungsi Mengatur
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Pada umumnya penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah
untuk meminimumkan kewajiban pajak. Zain (2008:28) menyatakan strategi
umum perencanaan pajak yaitu sebagai berikut:
 Tax saving,
Tax saving merupakan upaya efisiensi beban pajak melalui pemilihan
alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah.
 Tax avoidance

3
Tax avoidance merupakan upaya efisiensi beban pajak dengan
menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan
objek pajak.
 Menghindari pelanggaran atas peraturan perpajakan dengan
menguasai peraturan pajak yang berlaku
 Menunda pembayaran kewajiban pajak tanpa melanggar peraturan
yang berlaku dapat dilakukan melalui penundaan pembayaran PPN.
 Mengoptimalkan kredit pajak yang diperkenankan
IAI melalui PSAK No.16 (2012) mengemukakan pengertian aset tetap
sebagai berikut: “Aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk
digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa untuk
direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
diharapkan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.”
Suandy (2011:33) menyatakan mulai tahun 1995 [sampai Kini] wajib
pajak diperkenankan untuk memilih metode penyusutan fiskal, untuk aset
tetap berwujud bukan bangunan, yaitu saldo menurun ganda atau metode
garis lurus. Dalam sistem penyusutan UU PPh No.36 tahun 2008
menyatakan semua aset tetap berwujud yang memenuhi syarat penyusutan
fiskal harus dikelompokan terlebih dahulu menjadi dua golongan sebagai
berikut.
1. Harta berwujud kelompok bukan bangunan.
2. Harta berwujud kelompok bangunan.

Tabel 1. Kelompok Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan Harta


Berwujud
Kelompok harta Masa manfaat Tarif penyusutan
berwujud Garis lurus Saldo menurun

1. Bukan
Bangunan
Kelompok I 4 tahun 25% 50%
Kelompok II 8 tahun 12,5% 25%

4
Kelompok III 16 tahun 6,25% 12.5%
Kelompok IV 20 tahun 5% 10%
2. Bangunan
Permanen 20 tahun 5% -
Tidak 16 tahun 10% -
permanen

Pasal 2 ayat 1 UU PPh No.36 tahun 2008 menyatakan Subjek PPh


badan meliputi Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer (CV),
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara maupun Daerah (BUMN/D)
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi
sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya
termasuk kontrak investasi kolektif dan Bentuk Usaha Tetap
(BUT/permanent establishment).
Pasal 4 ayat 1 UU PPh No.36 tahun 2008 menyatakan objek pajak
adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, termasuk laba usaha.
Berdasarkan UU PPh No.36 tahun 2008 Tarif PPh untuk WP Badan
terdiri dari 3 (tiga) tarif, yaitu tarif sesuai Pasal 17 ayat (2a) UU PPh, tarif
sesuai Pasal 17 ayat (2b) UU PPh, dan tarif sesuai Pasal 31E UU PPh.

BAB III
Metode penelitian
Penelitian ini mengambil objek Pada PT. Bank Sulut yang
berlokasi di Jl. Sam Ratulangi No.9 Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara.
Waktu dilaksanakan penelitian pada bulan Maret s.d Mei 2013.

5
Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data sekunder,
yaitu berupa data yang diperoleh dalam bentuk yang sudah jadi, seperti
laporan keuangan dan daftar rincian aktiva tetap PT. Bank Sulut 2012.
Penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif. Dimana
peneliti akan mengumpulkan, menyusun, mengolah dan menganalisis data,
agar dapat memberikan gambaran mengenai suatu keadaan tertentu maka
dapat ditarik kesimpulan sehingga dapat diketahui apakah perusahaan sudah
melakukan perencanaan pajak melalui metode penyusutan akiva tetap.

Sampel: PT. Bank Sulut 2012.

BAB IV
Hasil Penelitian
Perbandingan Hasil Dengan Teori Yang Telah Dipelajari:

Teori yang
Perbandingan Hasil
telah dipelajari
Perpajakan Laba kena pajak PT. Bank Jika peredaran
Sulut tahun 2012 menjadi sebesar bruto > Rp4.8 M, maka
Rp.236,056,312,758 yang tarif pajaknya 1 % dari
sebelumnya berdasarkan komersial Peredaran Bruto.
laba sebelum manfaat (beban) pajak
adalah sebesar Rp.196,712,987,395. Apabila 'gross
Berdasarkan laba kena pajak income' > Rp4.8 M dan
perusahaan maka dapat dihitung < Rp50 M, tarif
PPH badan yang langsung dikalikan pajaknya {0.25 - (0.6
tarif tunggal 25% yang disebabkan Miliar/Gross Income)}
peredaran bruto PT bank sulut lebih dikali dengan
dari 50M sehingga tidak dapat Penghasilan Kena Pajak
pengurangan 50% seperti yang (PKP).
tercatat pada pasal 31E undang-
undang PPh No.36 tahun 2008. Apabila 'gross

6
Penghitungan PPh badan PT. Bank income' > Rp50 M,
Sulut yaitu sebagai berikut. maka tarif pajaknya 25%
Laba Kena Pajak x tarif PPh dari penghasilan kena
badan = Rp. 236,056,312,758 x pajak (PKP).
25% = Rp. 59,014,078,190 dan
dikurangi dengan pajak tangguhan
perusahaan sebesar
Rp.1,492,280,143. Maka besar
beban PPh perusahaan menjadi
Rp.57,521,798,047.
Ak Hasil penelitian yang Metode
untansi dilakukan, PT. Bank Sulut Penyusutan aktiva tetap
menggunakan metode saldo menggunakan metode
menurun untuk aktiva tetap non saldo menurun dan
bangunan dan metode garis lurus metode garis lurus untuk
untuk bangunan baik dalam laporan laporan komersial
komersial maupun laporan fiskal maupun fiskal

Menurut IAI ( 2007 ) dalam PSAK 2016 penyusutan adalah alokasi


sistematis jumlah yang dapat disusutkan dari suatu aset selama umur
manfaatnya. Menurut Akuntansi metode-metode penyusutan yang dapat
digunakan adalah sebagai berikut:
1. Metode garis lurus, menghasilkan pembeban yang tetap selama
umur manfaat aset jika nilai residunya tidak berubah.
2. Metode saldo menurun, menghasilkan pembebanan yang menurun
selama umur manfaat aset.
3. Metode jumlah unit, menghasilkan pembebanan berdasarkan pada
penggunaan atau output yang diharapkan dari suatu aset.
Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan fiskal adalah
sebagai berikut:
1. Garis lurus, digunakan untuk kelompok bangunan yang bukan
bangunan.

7
2. Metode saldo menurun digunakan untuk kelompok bukan
bangunan saja, dan pada saat akhir masa manfaat disusutkan sekaligus.
Menurut peraturan perpajakan penyusutan aset tetap dimulai pada saat
tahun pengeluaran.,untuk tahun 2000 dan sebelumnya ( UU PPh No. 17
Tahun 1983 ). Sementara itu untuk tahun 2001 ( UU PPh No. 17 Tahun
2000 ) Sampai dengan sekarang ( UU PPh No.36 Tahun 2008) Penyusutan
dimulai pada saat bulan pengeluaran aset tetap tersebut, kecuali apabila aset
yang masih dalam proses pengerjaan, Yaitu pada bulan selesainya
pengerjaan aset tersebut.

BAB V
Penutup
Kesimpulan
1. PT. Bank Sulut dalam menjalankan aktivitasnya belum sepenuhnya
melakukan perencanaan pajak melalui metode penyusutan aktiva tetap. Hal
ini terbukti dengan adanya koreksi fiskal atas beban penyusutan aktiva tetap
terhadap Laporan Laba/Rugi untuk periode yang berakhir pada tahun 2012.
Adapun besarnya Laba Kena Pajak PT. Bank Sulut pada periode tersebut
adalah Rp.236,056,312,758
2. Setelah melakukan penghitungan atas Laba Kena Pajak (LKP) PT.
Bank Sulut dengan menggunakan tax planning , maka besarnya LKP untuk
periode yang berakhir tahun 2012 adalah sebesar Rp.235,320,371,553 dan
3. Terdapat selisih Laba Kena Pajak yang dihemat setelah dilakukan
penghitungan dengan menggunakan tax planning untuk perode yang
berakhir pada tahun 2012 yaitu sebesar Rp.735,941,205
4. Perencanaan pajak atas aktiva tetap pada PT. Bank Sulut
sebenarnya dapat dilakukan dengan cara memilih metode penyusutan aktiva
tetap secara tepat, yaitu dengan menggunakan Metode Penyusutan garis
lurus.

8
BAB VI
KRITIK TERHADAP JURNAL

Secara umum tujuan yang ingin dicapai dari penulisan jurnal telah
tercapai, yaitu untuk mengetahui perencanaan pajak melalui metode
penyusutan aktiva tetap untuk menghitung PPh badan pada PT. Bank Sulut.
Penulisan judul telah sesuai dan mampu menggambarkan isi jurnal
secara keseluruhan serta memberitahukan nominal sebelum dan sesudah
melakukan tax plan. Namun abstrak justru hanya disajikan dalam satu bahsa
saja yaitu bahsa Indonesia. Akan lebih baik lagi jika abstrak disajikan
dengan dua bahasa yaitu bahasa inggris dan bahasa Indonesia. Selain itu
dalam pembahasan masih ada beberapa yang menggunakan istilah asing
tanpa keterangan, sehingga bias membingungkkan pembaca awam.

9
OPINI TENTANG PENGENAAN PAJAK ATAS PELAKU E-COMMERCE

Dunia perdagangan mengalami revolusi. Konvergensi teknologi informasi


dan ekonomi menawarkan efisiensi, efektivitas, dan mobilitas bisnis. Pasar
konvensional berubah cepat menjadi digital dan meniadakan konsep brick and
mortar dengan lahir dan berkembangnya e-commerce. Pesatnya pertumbuhan e-
commerce sontak menuai kegusaran di kalangan pelaku bisnis konvensional,
terutama soal keadilan pajak. Di sisi lain, rencana memajaki bisnis e commerce
ditolak para pelaku dengan alasan ini bisnis yang sedang tumbuh dan justru butuh
insentif. Pemerintah pun terkesan gagap dan lamban dengan perubahan cepat ini,
sehingga wacana kebijakan terombang ambing karena watak elusif bisnis digital
ini.
E-commerce atau perdagangan elektronik merujuk kepada jual-beli barang
dan jasa melalui sistem elektronik, yaitu jaringan internet, yang memungkinkan
transaksi dilakukan lintas batas tanpa harus ada toko secara fisik dan tatap muka
penjual dan pembeli. Bentuk e-commerce yang paling umum ditemui adalah
tempat jual beli barang online (online retail) dan pasar digital (online
marketplace). Dengan basis konsumen yang besar, Indonesia menjadi pasar
potensial bagi ekonomi digital. Menurut World Population Prospect, Indonesia
memiliki market share ekonomi digital terbesar di ASEAN, dengan kontribusi
saat ini 40,4% dan diperkirakan mencapai 41% pada 2025 dengan nilai US$ 81
miliar. Riset lain dari Brand & Marketing Institute (BMI) menyatakan bahwa
nilai transaksi e-commerce pada 2016 mecapai US$ 4,89 M atau Rp 68 triliun,
meningkat signifikan dari 2015 yang hanya Rp 50 triliun, dan diperkirakan
mampu mencapai US$ 130 miliar di 2020. Investasi e-commerce di Indonesia
hingga 2017 diperkirakan mencapai US$ 9 miliar atau Rp 120,3 triliun.

Namun pesatnya pertumbuhan ekonomi digital belum diimbangi dengan


regulasi yang memadai. Dalam konteks perpajakan, pedagang konvensional harus
bersaing dengan pelaku e-commerce dalam arena bermain yang timpang (unequal
playing field). Ada pemahaman yang keliru bahwa seolah-olah berdagang secara
elektronik belum dipajaki. Hal ini juga terjadi di antara pelaku e commerce.

10
Pelaku dan transaksi yang masih sulit terdeteksi menjadi insentif untuk
menghindari kewajiban perpajakan, terutama kebocoran Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) atas penjualan barang. Padahal sejatinya yang menjadi masalah bukanlah
apakah aktivitas mereka terutang pajak, melainkan bagaimana cara memajaki
yang paling efektif dengan distorsi minimal.
Problem mendasar bukan pada apakah e-commerce terutang pajak,
melainkan bagaimana cara paling efektif memajaki e commerce. Meski secara
normatif e commerce terutang pajak menurut Undang-undang, pemenuhan
kewajiban dan penegakan hukum tetap tidak mudah. Bahkan beberapa asumsi
dalam aturan saat ini tidak relevan dengan model bisnis digital yang berkembang
pesat. Belum ditambah dilema: memungut pajak e commerce demi penerimaan
negara dan terciptanya keadilan dengan pedagang konvensional, atau memberikan
insentif agar sektor e commerce tumbuh baru dipajaki?
Hal yang harus dipahami adalah mobilitas dan fleksibilitas bisnis e
commerce yang sensitif terhadap kebijakan. Bisnis yang berbasis digital dan padat
modal lebih mudah berpindah lokasi/domain jika kebijakan pemerintah kurang
kompetitif. Ekonomi digital juga bukan sekadar perubahan cara berdagang, tetapi
ekosistem baru dengan pola relasi, interaksi, dan transaksi yang sama sekali
berbeda. Maka penting memiliki roadmap yang jelas agar memberi kepastian bagi
investor dan pelaku. Kebijakan yang lebih moderat sebaiknya menjadi pilihan.
Pertama, Pemerintah perlu membangun sistem registrasi yang efektif, mudah, dan
murah. Hal pertama dan utama adalah memastikan para pelaku e commerce
masuk ke dalam sistem.
Kedua, Pemerintah perlu menciptakan kerangka hukum yang adil dan
berkepastian bagi pengusaha bisnis konvensional maupun e-commerce, khususnya
dalam hal perpajakan. Diperlukan dasar hukum yang kuat demi kepastian usaha.
Aturan yang diterapkan harus memiliki kejelasan (clarity), memberikan kepastian
(certainty), dan tidak cepat berubah-ubah peraturannya (concistency). Penunjukan
pemungut pajak harus mempertimbangkan compliance cost, agar tidak
menimbulkan beban baru yang memberatkan. Selain PPh, PPN adalah jenis pajak
yang paling mudah dan memungkinkan dipungut secara efektif dengan jumlah
signifikan. Perlu dipikirkan mekanisme pemungutan PPN termudah dan termurah,

11
apakah mengenakan PPN pada skema normal atau skema final (single stage)
untuk efektivitas.
Agar tidak memberatkan dan menarik sebanyak mungkin wajib pajak
baru, tarif PPN yang diterapkan jangan sampai menghambat perkembangan e-
commerce Indonesia atau justru mengakibatkan kebocoran PPN dengan
berpindahnya transaksi ke platform lain yang tidak terdeteksi (seperti messaging
apps atau social network). Beberapa negara ASEAN memanfaatkan skema PPN
final dengan tarif lebih rendah dari tarif normal. Misalnya, India sebesar 1% (PPN
tarif normal 12,5%-15%), Thailand memajaki di tarif 4% (tarif normal 7%),
Vietnam menerapkan tarif 1% khusus untuk individu yang menyelenggarakan
bisnis e-commerce (e-commerce Badan dan selain e-commerce dikenai PPN tarif
normal 10%), dan Filipina memajaki 3% final apabila omset bisnis masih di
bawah USD 37,647 (tarif normal 12% akan diterapkan apabila omset telah
melebih threshold).
Ketiga, menyiapkan sistem administrasi berbasis teknologi informasi yang
terintegrasi. Implementasi payment gateway menjadi keniscayaan karena akan
secara efektif mengintegrasikan seluruh transaksi dan memudahkan pemungutan
dan pengawasan. Kemudahan lain yang dapat ditawarkan adalah aplikasi untuk
pencatatan, pembukuan, pembayaran, dan pelaporan pajak. Di samping itu,
penyelarasan akuntansi komersial yang ramah terhadap pelaku UKM mendesak
dilakukan. Ini penting untuk memberi insentif para pelaku usaha agar biaya
administrasi dan kepatuhan tidak memberatkan.
Berkembangnya ekonomi digital menjanjikan harapan kemajuan namun
juga menimbulkan masalah fairness, baik hak negara akan pajak maupun bagi
pelaku bisnis konvensional. Pemerintah juga terkesan gamang dan jatuh dalam
dilema. Namun hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Setidaknya Pemerintah
dapat memberikan kerangka acuan dan peta jalan pengaturan bisnis e-commerce
yang berperspektif win win solution. Tanpa perlu tergesa-gesa untuk dapat
mengatur semuanya secara sempurna, dialog yang saling mendengarkan akan
menguntungkan semua pihak. Kita berkepentingan dengan pajak bagi
pembangunan, namun juga wajib menjaga kesinambungan perekonomian.

12
Semoga Pemerintah lolos dari ujian ini dan sektor ekonomi digital dapat menjadi
salah satu tumpuan harapan bagi kemajuan perekonomian Indonesia.

13

Anda mungkin juga menyukai