Anda di halaman 1dari 37

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diri

2.1.1 Definisi Konsep diri

Konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan , dan kepercayaan yang

merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya

dengan orang lain.

Konsep diri adalah gamabran yang di miliki seseorang tentang dirinya yang

di bentuk melalui pengalaman-pengalaman yang di peroleh dari interaksi dengan

lingkungan (Agustin,2009:138)

Konsep diri adalah seluruh gambaran diri yang meliputi persepsi seseorang

tentang dirinya , perasaan, keyakinan dan nilai-nilai yang berhubungan dengan

dirinya.

Jadi konsep diri adalah gagasan tentang dirinya sendiri yang mencakup

keyakinan, pandangan dan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri baik yang

bersifat fisik, sosial maupun psikologis yang dibentuk melalui pengalamannya

dengan lingkungan.

Pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat

relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak

dan bisa memberi efek negatif maupun positif. Pola asuh orang tua merupakan

6
7

gambaran tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi,

berkomunikasi selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Djamarah, 2014).

Pola asuh adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif

konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak dan bisa

memberi efek negatif maupun positif. Pola asuh orang tua merupakan gambaran

tentang sikap dan perilaku orang tua dan anak dalam berinteraksi, berkomunikasi

selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Djamarah, 2014).

2.1.2 Perkembangan Konsep diri berdasarkan Usia

Setiap manusia mengalami tumbuh dan berkembang, dimana dalam

perkembangannya manusia akan mengalami perubahan sesuai dengan usianya.

Selanjutnya pengembangan konsep diri berdasarkan usia yaitu:

a. Usia 0-1 tahun

Trust

Berhubungan dengan lingkungan.

Usia 1-3 tahaun

Belajar dan mengajar control dewasa.

b. Usia 3-6

Berinisiatif

Mengenal jenis kelamin

Meningkatkan kesadaran diri

Meningkatkan kemampuan Bahasa

c. Usia 6-12 tahun

Berhubungan dengan kelompok sebaya


8

Tumbuh harga diri dengan kemampuan barau yang dimiliki

Menyadari kekurangan dan kelebihan

d. Usia 12-20 tahun

Meneriman perubahan tubuh

Mengexsprorasi tujuan dan masa deoan

Mersa positif pada diri sendiri

Memahami hal-hal terkait seksualitas

e. Usia 20-60 tahun

Hubungan ang intim deangan pasangan, keluargan, orang-orang terpenting,.

Stabil

Positif pada diri sendiri

f. Usai 40-60 tahun

Dapat menerima kemunduran, mencapai tujuan hidup, menunjukan proses

penuaan.

g. Usia 60 tahun keatas

Prasaan postif, menemukan makna hidup

Melihat
9

Berikut tipe-tipe pola asuh menurut Djamarah (2014):

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang memaksakan kehendak. Dengan tipe orang

tua ini cenderung sebagai pengendali atau pengawas, selalu memaksakan kehendak

kepada anak, sangat sulit menerima saran dan cenderung memaksakan kehendak

dalam perbedaan, terlalu percaya pada diri sendiri sehingga menutup musyawarah.

Dalam upaya mempengaruhi anak sering menggunakan pendekatan yang

mengandung unsur paksaan dan ancaman. Kata-kata yang diucapkan orang tua

adalah hukum atau peraturan dan tidak dapat diubah, memonopoli tindak

komunikasi dan sering kali meniadakan umpan balik dari anak. Hubungan antar

pribadi di antara orang tua dan anak cenderung berpotensi antagonistik

(berlawanan) (Djamarah, 2014).

2. Pola asuh demokratis

Pola asuh demokratis adalah pola asuh yang terbaik dari semua tipe pola asuh

yang lain. Hal ini disebabkan tipe pola asuh ini selalu mendahulukan kepentingan

bersama di atas kepentingan individu anak. Tipe ini adalah tipe pola asuh orang tua

yang tidak banyak menggunakan kontrol terhadap anak. Pola asuh demokratis

mengharapkan anak untuk berbagi tanggung jawab dan mampu mengembangkan

potensi kepemimpinan yang dimilikinya. Memiliki kepedulian terhadap hubungan

antarpribadi dalam keluarga. Meskipun tampak kurang terorganisasi dengan baik,


10

namun gaya ini dapat berjalan dalam suasana yang rileks dan memiliki

kecenderungan untuk menghasilkan produktivitas dan kreativitas, karena pola asuh

demokratis ini mampu memaksimalkan kemampuan yang dimiliki anak (Djamarah,

2014).

1. Pola Asuh Permisif

Pola asuh ini ditandai dengan cara orang tua mendidik anak yang cenderung

bebas, anak dianggap sebagai orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran

seluas-luasnya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki (Hurlock, 1993 dalam

Thoha, 1996). Menurut Ormrod (2008) pola asuh ini menyediakan lingkungan

rumah yang suportif, menerapkan sedikit ekspektasi atau standar berperilaku bagi

anak, jarang memberi hukuman terhadap perilaku yang tidak tepat, membiarkan

anak mengambil keputusan secara mandiri (misalnya mengenai makanan yang

hendak dimakan dan mengenai waktu tidur).

2.1.3 Komponen konsep diri

Konsep diri terdiri atas komponen-komponen berikut ini:

1. Citra tubuh(body image)

Citra tubuh (body image) adalah kumulan sikap individu yang disadari dan

tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi serta perasaan

masalalu dan sekarang tentang ukuran, fungsi, penampilan, dan potensi.

Hal-hal penting yang terkait dengan gambaran dirinya seperti focus individu

terhadap fisiknya lebih menonjol pada usia, bentuk tubuh, tinggi badan, dan

berat badan, serta tanda-tanda pertumbuhan kelamin skunder, menjadi

gambaran diri, cara individu berdampak penting terhadap aspek psikologi,

gambaran realistik terhadap peneriman dan menyukai bagian tubuh ,akan


11

memberi rasa nyaman dalam menghindari kecemasan dan meningkatkan

harga diri serta individu stabil, realistik dan konsisten terhadap gambaran

dirinya , dan mendorong sukses dalam kehidupan.

2. Ideal diri (self ideal)

Ideal adalah persepsi individu tentang bagaimana seharusnya berprilaku

berdasarkan standar, aspirasi tujuan atau nilai personal tertentu. Seiring juga

disebut bahwa ideal diri sama dengan cita-cita, keinginan, harapan tentang

diri sendiri.

Hal ini terkait dengan ideal diri meliputi perkembangan awal terjadi pada

masa kanak-kanak, terbentuknya masa remaja melalui proses identifikasi

terhadap orang tua, guru, dan teman. Di pemgaruhi oleh orang-orang yang

di pandang penting dalam memberi tuntutan dan harapan serta mewujudkan

cita-cita dan harapan pribadi berdasarkan norma kelurga keluarga dan

sosial. Faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu menetapkan ideak diri

sebatas kemampuan, faktor kultur dibandingkan dengan orang lain, hasrat

melebih orang lain, hasrat untuk berhasil, hasrat memenuhi kebutuhan

realistik, hasrat menghindari kegagalan dan adanya prasaan cemas dan ideal

diri.

3. Identitas diri (self identifity)

Identitas diri adalah prinsip perorganisasian kepribadian yang bertanggung

jawab terhadap kesatuan, kesinambungan , konsistensi, dan keunikan individu.

Pembentukan identitas di bentuk mulai pada masa bayi dan terus berlangsung

sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa remaja. Menurut

suryono (2004) dalam Damayanti (2012) identitas diri merupakan kesadaran


12

akan diri pribadi yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai

sitensis semua aspek konsep diri dan menjadi kesatuan yang utuh. Hal-hal

penting yang terkait dengan identitas diri, yaitu:

a) Berkembang saat kanak-kanak, bersamaan dengan berkembangnya

konsep diri.

b) Individu yang memiliki prasaan identitas diri yang kuat akan

memandang dirinya tidak sama dengan orang lain, unik dan tidak ada

duanya.

c) Identitas jenis kelamin berkembang secara bertahan sejak bayi.

d) Identitas jenis kelamin dimulai dengan konsep laki-laki dan perempuan

serta banyak dipengaruhi oleh pandangan maupun keperluan

masyarakat

e) Kemandirian timbul dari prasaan berharga, menghargai diri sendiri,

kemampuan, dan penguasaan diri.

f) Individu yang dapat mengatur dan menerima dirinya.

4. Peran Diri (self role)

Menurut Stuart (2006) dalam Damaiyanti (2014), peran diri merupakan

serangkaian pola perilaku yang di harapkan oleh lingkungan sosial

berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Peran

yang diterapkan adalah peran yang dijalani dan seseorang tidak mempunyai

pilihan. Peran yang diambil adalah peran yang terpilih oleh individu.

Menurut Sunaryo (2004) dalam Damaiyanti (2014), peran diri adalah pola

perilaku, sikap, nilai, dan aspirasi yang diharapkan individu berdasarkan


13

posisisnya dai masyarakat. Setiap individu di sebutkan oleh berbagai

macam peran diri, yaitu:

a) Peran yang dibutuhkan individu sebagai akulasi diri.

b) Peran yang memenuhi kebutuhan dan sesaui dengan ideal diri,

menghasilakan harga diri yang tinggi atau sebaliknya.

c) Posisi individu di masayarakat dapat menjadi stressor terhadap

peran.

d) Stress peran timbul karena struktur sosial yang menimbulkan

kesukaran atau tuntutan posisi yang tidak mungkin dilaksanakan.

e) Stress peran, tediri dari konflik peran , peran yang tidak jelas, peran

yang tidak sesaui, dan peran yang terlalu banyak berlebih.

5. Harga diri (self Esteem)

Harga diri merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang di

peroleh dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal.

Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari penerimaan diri

sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan

kegagalan, tetapi merasa sebagai seorang yang penting dan berharga (Suart,

2006 dalam Damayanti,2014).


14

Setiap pola asuh yang diterapkan dalam keluarga oleh orangtua mempunyai

dampak masing- masing pada psikologi perkembangan anak, baik pola asuh yang

positif maupun yang negative. Oleh karena itu alangkah baiknya jika orangtua

mengetahui pola asuh yang baik buat anaknya. Diantara banyaknya pola asuh

menurut beberapa ahli, dampak pola asuh menurut Baumrind (dikutipdalam King,

2010), mengemukakan tiga macam pola asuh yang dilakukan orang tua dalam

keluarga.

1. Pola asuh otoriter

Dampak pola asuh otoriter terhadap kepribadian anak menurut Baumrind

(dikutip dalam King, 2010) menyatakan bahwa pola asuh ini akan membentuk anak

yang pendiam, tertutup, sulit berinteraksi sosial, dan cenderung menarik diri dari

kehidupan sosial. Selain itu, anak juga akan menjadi penakut, mudah tersinggung,

pemurung, dan mudah stress. Dalam berinteraksi social anak akan terlihat kurang

memiliki inisiatif untuk melakukan sesuatu dan mudah dipengaruhi (tidak memiliki

pendirian yang kuat). Anak juga bias memiliki sikap yang suka menentang,

memberontak, dan tidak mau mematuhi peraturan.

Dampak pengasuhan otoriter pada anak menurut Marcolm Hardy dan Steve

Heyes dalam Ramadhani (2013) adalah sebagai berikut:

a. Harga diri
15

Kemungkinan besar yang terjadi pada anak adalah gagal mengakui

individualitas mereka. Akhirnya anak-anak menderita rendah harga diri

karena menganggap dirinya tidak berperan penting dan tidak cukup valid

menentukan keberadaan mereka di tengah masyarakat.

b. Kepercayaan diri

Anak-anak dengan orangtua otoriter selalu mengambil keputusan

sepihak tanpa kompromi dengan anak. Anak pun akan gagal mengakui

keinginan karena naluri mereka selalu dikendalikan. Mereka juga tidak

percaya akan kemampuan diri mengambil keputusan penting.

c. Kepatuhan

Karena cenderung dibatasi individualitasnya, anak-anak akan selalu

mengikuti perintah orangtua tanpa keraguan. Mereka tidak berani

bereksperimen dalam menangani situasi. Bahkan tidak mampu

berhadapan dengan situasi stres dan tidak bisa mengekspresikan diri.

d. Menang sendiri

Orang tua otoriter selalu menetapkan aturan dan panduan agar anak

mengikutinya tanpa mempertanyakan baik dan buruknya. Bila mereka

gagal melakukan sesuatu biasanya dikenakan hukuman. Anak-anak pun

terbiasa untuk harus unggul dalam kegiatan di luar sekolah atau di

lingkungan masyarakat.

e. Kesepian

Sementara orangtua sibuk merumuskan pedoman, anak-anak mulai

merasa kesepian dan menarik diri. Kemudian menjadi pendiam dan

menutup diri. Banyak kasus anak menjadi depresi karena mereka tidak
16

mendapatkan perhatian yang layak untuk didengar dan dilihat sebagai

individu.

2. Demokratis

Dalam pola asuh ini orang tua mendorong anak untuk bersikap mandiri, tetapi

orang tua masih memberikan control terhadap perilaku anak. Anak diperbolehkan

untuk mengemukakan pendapatnya. Orang tua menanamkan nilai-nilai yang

berlaku dengan cara yang lebih hangat. Dalam menanamkan nilai, orang tua akan

menjelaskan dampak-dampak secara rasional dari suatu perbuatan yang dilakukan

oleh anak. Komunikasi antara orang tua dan anak bersifat dua arah. Kepentingan

anak menjadi prioritas utama orang tua, tetapi masih dikontrol dalam pemberian

kebebasan anaknya.

Dampak pola asuh demokratis terhadap kepribadian anak. Dengan pengasuhan

yang hangat, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang bersahabat. Selain itu,

motivasi dan komunikasi yang dilakukan oleh orang tua akan mendorong anak

untuk bersikap percaya diri, bertanggung jawab, kooperatif, dan mampu

mengontrol diri. Anak juga akan cenderung memiliki rasa ingin tahu yang tinggi

dan memiliki orientasi terhadap prestasi (Baumrind, dikutip dalam King, 2010).

3. Permisif

Orang tua memberikan kebebasan yang besar kepada anaknya (anak bebas

melakukan apa yang diinginkannya). Kebebasan diberikan dengan batasan-batasan

yang sangat sedikit. Dengan kata lain, kontrol orang tua terhadap perilaku anak

sangat sedikit. Akan tetapi, orang tua masih terlibat dalam aspek-aspek kehidupan

anaknya. Orang tua cenderung tidak menegur anaknya jika anaknya melakukan

perbuatan yang salah.


17

Dampak pola asuh permisif terhadap kepribadian anak menurut Baumrind

(dikutip dalam King, 2010), anak yang diberikan kebebasan yang berlebihan oleh

orang tuanya cenderung tumbuh dengan kepribadian yang kurang bias menghargai

orang lain. Selain itu, anak juga menjadi manja, tidak patuh, agresif, dan mau

menang sendiri. Anak kurang memiliki rasa percaya diri dan pengendalian diri

yang cukup. Anak juga kurang matang secara sosial. Prestasi pun tidak mendapat

perhatian yang cukup dari anak dengan orang tua yang permisif. Anak juga

cenderung memiliki tingkat inisiatif yang tinggi tetapi anak menuntut agar semua

permohonannya dikabulkan.

Ada kelebihan dan kekurangan yang dapat kita ambil dari pola asuh permisif ini

menurut Marcolm Hardy dan Steve Heyes dalam Ramadhani (2013) yaitu:

1. Kelebihan

Anak yang dibesarkan dengan kultur permisif, tumbuh dengan kemampuan berpikir

secara kreatif dan bisa membuat banyak inovasi. Kebebasan untuk meraih apa yang

mereka inginkan membuatnya bisa berpikir out of the box. Inilah budaya yang pada

akhirnya membentuk Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan Steve Jobs.Pola asuh

permisif menghasilkan sikap yang cenderung lebih tegas dan agresif karena mereka

tumbuh bukan sebagai pengikut yang hanya menuruti jalan yang dibuat orang lain.

Melainkan, mereka tumbuh sebagai master dari masa depannya. Anak-anak yang

dibesarkan dengan pola asuh ini umumnya lebih gembira dan potensi terkena isu

psikologisnya lebih kecil.

2. Kekurangan

Anak yang tak terbiasa ditekan oleh orangtua untuk melakukan suatu hal umumnya

tumbuh sebagai sosok yang cukup puas dan tak berambisi tinggi. Sejak kecil
18

terbiasa untuk dimanja atau diberi kebebasan, dikhawatirkan ia mudah putus asa

ketika tumbuh besar. Ketika ia harus bekerja keras untuk bertahan, ia bisa saja

memilih jalan lain yang lebih mudah.

2.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Dalam pola pengasuhan sendiri terdapat banyak faktor yang mempengaruhi

serta melatarbelakangi orang tua dalam menerapkan pola pengasuhan pada anak-

anaknya. Menurut Manurung (1995) beberapa faktor yang mempengaruhi dalam

pola pengasuhan orang tua adalah:

1. Latar belakang pola pengasuhan orang tua

Maksudnya para orang tua belajar dari metode pola pengasuhan yang pernah

didapat dari orang tua mereka sendiri.

2. Tingkat pendidikan orang tua

Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan tinggi berbeda pola

pengasuhannya dengan orang tua yang hanya memiliki tingkat pendidikan yang

rendah.

3. Status ekonomi serta pekerjaan orang tua

Orang tua yang cenderung sibuk dalam urusan pekerjaannya terkadang menjadi

kurang memperhatikan keadaan anak-anaknya. Keadaan ini mengakibatkan fungsi

dan peran diserahkan kepada pembantu/pengurus anak, yang pada akhirnya pola

pengasuhan yang diterapkanpun sesuai dengan pengasuhan yang diterapkan oleh

pembantu.
19

Sedangkan Santrock (2003) menyebutkan ada beberapa faktor

yangmempengaruhi dalam pola pengasuhan antara lain :

1. Penurunan metode pola asuh yang didapat sebelumnya. Orang tua menerapkan

pola pengasuhan kepada anak berdasarkan pola pengasuhan yang pernah didapat

sebelumnya.

2. Perubahan budaya, yaitu dalam hal nilai, norma serta adat istiadat antara dulu

dan sekarang.

Pendapat di atas juga didukung Mindel dalam Walker (1992)

yangmenyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya

polaasuh orang tua dalam keluarga, diantaranya:

1. Budaya setempat

Dalam hal ini mencakup segala aturan, norma, adat dan budaya yang

berkembang di dalamnya.

2. Ideologi yang berkembang dalam diri orangtua

Orangtua yang mempunyai keyakinan dan ideologi tertentu cenderung untuk

menurunkan kepada anak-anaknya dengan harapan bahwa nantinya nilai dan

ideologi tersebut dapat tertanam dan dikembangkan oleh anak dikemudian hari.

3. Letak geografis dan norma etis

Penduduk pada daerah perkotaan tentu memiliki perbedaan karakteristik

dengan penduduk desa sesuai tuntutan dan tradisi yang dikembangkan pada tiap-

tiap daerah.

4. Orientasi religius

Orangtua yang menganut agama dan keyakinan religius tertentu senantiasa

berusaha agar anak pada akhirnya nanti juga dapat mengikutinya.


20

5. Status ekonomi

Dengan perekonomian yang cukup, kesempatan dan fasilitas yang diberikan

serta lingkungan material yang mendukung cenderung mengarahkan pola asuh

orangtua menuju perlakuan tertentu yang dianggap orangtua sesuai.

6. Bakat dan kemampuan orangtua

Orangtua yang memiliki kemampuan komunikasi dan berhubungan dengan

cara yang tepat dengan anaknya cenderung akan mengembangkan pola asuh yang

sesuai dengan diri anak.

7. Gaya hidup

Gaya hidup masyarakat di desa dan di kota besar cenderung memiliki ragam

dan cara yang berbeda dalam mengatur interaksi orangtua dan anak.

Soekanto (2004) secara garis besar menyebutkan bahwa ada dua faktor yang

mempengaruhi dalam pengasuhan seseorang yaitu faktor eksternal serta faktor

internal. Faktor eksternal adalah lingkungan sosial dan lingkungan fisik serta

lingkungan kerja orang tua, sedangkan faktor internal adalah model pola

pengasuhan yang pernah didapat sebelumnya.

Secara lebih lanjut pembahasan faktor-faktor yang ikut berpengaruh dalam

pola pengasuhan orang tua adalah:

1. Lingkungan sosial dan fisik tempat dimana keluarga itu tinggal

Pola pengasuhan suatu keluarga turut dipengaruhi oleh tempat dimana keluarga

itu tinggal. Apabila suatu keluarga tinggal di lingkungan yang otoritas

penduduknya berpendidikan rendah serta tingkat sopan santun yang rendah, maka

anak dapat dengan mudah juga menjadi ikut terpengaruh.


21

2. Model pola pengasuhan yang didapat oleh orang tua sebelumnya

Kebanyakan dari orang tua menerapkan pola pengasuhan kepada anak

berdasarkan pola pengasuhan yang mereka dapatkan sebelumnya. Hal ini diperkuat

apabila mereka memandang pola asuh yang pernah mereka dapatkan dipandang

berhasil.

3. Lingkungan kerja orang tua

Orang tua yang terlalu sibuk bekerja cenderung menyerahkan pengasuhan anak

mereka kepada orang-orang terdekat atau bahkan kepada baby sitter. Oleh karena

itu pola pengasuhan yang didapat oleh anak juga sesuai dengan orang yang

mengasuh anak tersebut.

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang memepengaruhi

pola asuh orang tua yaitu adanya hal-hal yang bersifat internal (berasal dalam diri)

dan bersifat eksternal (berasal dari luar). Hal itu menentukan pola asuh terhadap

anak-anak untuk mencapai tujuan agar sesuai dengan norma yang berlaku.

2.1.5 Ciri-Ciri Pola Asuh Orang Tua

Ciri-ciri Pola Asuh Orang Tua menurut Yatim dan Irwanto (1991)

1. Pola Asuh Otoriter

Orang tua yang berpola asuh otoriter menurut adalah sebagai berikut:

a. Kurang komunikasi

b. Sangat berkuasa

c. Suka menghukum

d. Selalu mengatur

e. Suka memaksa

f. Bersifat kaku
22

2. Pola Asuh Demokratis

Ciri-ciri orang tua berpola asuh demokratis adalah sebagai berikut:

a. Suka berdiskusi dengan anak

b. Mendengarkan keluhan anak

c. Memberi tanggapan

d. Komunikasi yang baik

e. Tidak kaku / luwes

3. Pola Asuh Permisif

Ciri-ciri orang tua berpola asuh permisif adalah sebagai berikut :

a. Kurang membimbing

b. Kurang kontrol terhadap anak

c. Tidak pernah menghukum ataupun memberi ganjaran pada anak

d. Anak lebih berperan daripada orang tua

e. Memberi kebebasan terhadap anak

2.1.6 Kesalahan Pola Asuh Orang Tua

Dalam keluarga orang tua bertanggung jawab memberikan pendidikan

kepada anaknya dengan pendidikan yang baik berdasarkan nilai-nilai akhlak dan

spiritual yang luhur. Namun sayangnya tidak semua orang tua dapat melakukannya.

Buktinya dalam kehidupan di masyarakat sering ditemukan anak-anak nakal

dengan sikap dan perilaku menyimpang yang tidak hanya terlibat dalam pergaulan

bebas (Djamarah, 2014).

Masalah perilaku seksual anak misalnya, terutama remaja yang berpacaran,

tidak hanya ditemukan di masa lalu, sekarang juga masih ditemukan dalam

pergaulan antar remaja. Banyak diantara remaja dalam berpacaran, hal seperti
23

mencium bibir, memegang buah dada, memegang alat keamin lawan jenis bahkan

sampai melakukan senggama, sepertinya merupakan hal biasa bagi pada remaja.

Tentu saja masalah ini tidak berdiri sendiri, tetapi banyak faktor yang menjadi

penyebabnya yang antara lain karena keluarga (Djamarah, 2014).

2.2 Remaja

2.2.1 Definisi

Menurut WHO lansia adalah sesorang yang telah memasuki usia 60 tahun

keatas .Lansia merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki

tahap akhir dari fase kehidupannya .

Dari ketiga definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa remaja adalah

individu dengan batasan usia 10-20 tahun yang sesuai dengan saat lulus sekolah

menegah dan berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda

seksual sekunder serta belum menikah.


24

2.2.2 Karakteristik Remaja

Menurut Makmun (2009) karakteristik perilaku dan pribadi pada masa remaja

terbagi ke dalam dua kelompok yaitu remaja awal (11-13 dan14-15 tahun) dan

remaja akhir (14-16 dan 18-20 tahun) meliputi aspek:

1. Fisik, laju perkembangan secara umum berlangsung pesat, proporsi ukuran

tinggi, berat badan seringkali kurang seimbang dan munculnya ciri-ciri sekunder.

2. Psikomotor, gerak-gerik tampak canggung dan kurang terkoordinasikan serta

aktif dalam berbagai jenis cabang permainan.

3. Bahasa, berkembangnya penggunaan bahasa sandi dan mulai tertarik

mempelajari bahasa asing, menggemari literatur yang bernafaskan dan

mengandung segi erotik, fantastik, dan estetik.

4. Sosial, keinginan menyendiri dan bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat

temporer, serta adanya kebergantungan yang kuat kepada kelompok sebaya disertai

semangat konformitas yang tinggi.

5. Perilaku kognitif

a. Proses berfikir sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal

(asosiasi, diferensiasi, komparasi, kausalitas) yang bersifat abstrak, meskipun

relatif terbatas,

b. Kecakapan dasar intelektual menjalani laju perkembangan yang terpesat,

c. Kecakapan dasar khusus (bakat) mulai menujukkan kecenderungan-

kecenderungan yang lebih jelas.

6. Moralitas

a. Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua

dengan kebutuhan dan bantuan dari orang tua.


25

b. Sikapnya dan cara berfikirnya yang kritis mulai menguji kaidah-kaidah atau

sistem nilai etis dengan kenyataannya dalam perilaku sehari-hari oleh para

pendukungnya.

c. Mengidentifikasi dengan tokoh moralitas yang dipandang tepat dengan tipe

idolanya.

7. Perilaku Keagamaan

a. Mengenai eksistensi dan sifat kemurahan dan keadilan tuhan mulai

dipertanyakan secara kritis dan skeptis.

b. Masih mencari dan mencoba menemukan pegangan hidup.

c. Penghayatan kehidupan keagamaan sehari-hari dilakukan atas pertimbangan

adanya semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya.

8. Konatif, emosi, afektif, dan kepribadian

a. Lima kebutuhan dasar (fisiologis, rasa aman, kasih sayang, harga diri, dan

aktualisasi diri) menunjukkan arah kecenderungannya.

b. Reaksi-reaksi dan ekspresi emosionalnya masih labil dan belum terkendali

seperti pernyataan marah, gembira atau kesedihannya masih dapat berubah-ubah

dan silih berganti.

c. Merupakan masa kritis dalam rangka menghadapi krisis identitasnya yang

sangat dipengaruhi oleh kondisi psikososialnya, yang akan membentuk

kepribadiannnya.

d. Kecenderungan kecenderungan arah sikap nilai mulai tampak (teoritis,

ekonomis, estetis, sosial, politis, dan religius), meski masih dalam taraf eksplorasi

dan mencoba-coba.
26

Sedangkan menurut Sarwono (2006) karakteristik pertumbuhan dan

perkembangan remaja yang mencakup perubahan transisi biologis, transisi kognitif,

dan transisi sosial.

2.2.3 Kesehatan Reproduksi Remaja

Kesehatan Reproduksi Remaja IPCD (1995) mendefinisikan kesehatan

reproduksi sebagai keadaan sehat yang menyeluruh, meliputi aspek fisik, mental

dan sosial, bukan sekedar tidak hanya penyakit atau gangguan di segala hal yang

berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsinya, proses reproduksi itu sendiri.

1. Organ Reproduksi

a. Wanita

Organ reproduksi wanita bagian luar (Genatalia Eksternal) meliputi mons

ubis/mons veneris, bibir besar (lubia Mayor), bibir kecil (Lubia Minor), Klitoris,

Vulva, uretra (Saluran kencing), hymen(selaput dara), sedangkan organ reproduksi

wanita bagian dalam (Genetalia Internal) meliputi vagina, tuba fallopi, uterus

(rahim), cervik (leher rahim) (Wahyudi, 2000).

b. Pria

Pada pria organ reproksi meliputi penis, uretra (saluran kencing), kelenjar

prostate, viskula seminalis, vas deferens (saluran sperma), epidemis, testis (pelir)

(Wahyudi, 2000).

2. Perkembangan Seksual Remaja

Remaja dikenal sebagai periode yang berada pada tahap pekembangan fisik

dimana alat-alat kelamin manusia mencapai kematangan. Perubahan fisik yang

terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja. Sedangkan

perubahan psikologis muncul antara lain akibat dan perubahan–perubahan fisik itu.
27

Diantara perubahan fisik itu yang besar pemgaruhnya pada perkembangan jiwa

remaja adalah pertumbuhan tubuh, mulai berfungsinya alat – alat reproduksi yang

ditandai menarche(menstruasi pertama kali) pada wanita dan mimpi basah pada pria

(Rochmah, 2007).

Mentruasi adalah peristiwa luruhnya lapisan dinding dalam rahim yang banyak

mengandung pembuluh darah cendomentrium. Menstruasi umumnya mulai pada

usia 8-13 tahun. Siklus haid pada setiap wanita tidak sama biasanya berlangsung

kurang lebih 28 hari. Siklus menstrusai dapat dipengaruhi oleh kondisi tertentu,

seperti stres, pengobatan dan latihan olah raga. Pada remaja pria salah satu tanda

yang menunjukkan bahwa organ reproduksi sudah mulai berfungsi adalah mimpi

basah. Mimpi basah adalah pengeluaran cairan sperma yang tidak diperlukan secara

alamiah. Mimpi basah pertama kali terjadi pada remaja sekitar usia 9-17 tahun

(Wahyudi, 2000).

2.2.4 Tugas Perkembangan Remaja

Berikut tugas-tugas perkembangan yang harus diselesaikan oleh remaja dalam

proses perkembangan menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Anjaswarni (2014):

1. Menerima kematangan baru hubungannya dengan usia pada jenis kelamin yang

berbeda.

2. Menerima sifat maskulin atau feminim sesuai peran sosial.

3. Menerima pertumbuhan fisik dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

4. Ketidaktergantungan emosional dari orang tua dan orang dewasa lain.

5. Menyiapkan pernikahan dan kehidupan berkeluarga.

6. Menyiapkan karir untuk kehidupan yang akan datang.


28

7. Menerapkan sejumlah nilai dan sistem etik yang membimbing perilaku dan

perkembangan ideologinya.

2.2.5 Ciri-Ciri Usia Remaja

Menurut Sarwono (2015) seorang remaja berada pada batas peralihan

kehidupan anak dan dewasa. Tubuhnya kelihatan sudah dewasa, akan tetapi bila di

perlukan seperti orang dewasa, remaja gagal menunjukkan kedewasaannya.

Berikut ciri-ciri usia remaja:

1. Masa pra pubertas usia 12-13 tahun:

Peralihan dari masa kanak-kanak ke masa pubertas. Ciri-cirinya:

a. Tidak suka diperlakukan sebagai anak kecil lagi.

b. Mulai bersifat kritis

2. Masa pubertas usia 14-16 tahun: Masa remaja awal.

Ciri-cirinya:

a. Mulai cemas dan bingung dengan tentang perubahan fisiknya.

b. Memperhatikan penampilan

c. Sikapnya tidak menentu/plin plan

d. Suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib

3. Masa akhir pubertas, usia 17-18 tahun :Peralihan pada masa pubertas kemasa

adolence.

Ciri-cirinya:

a. Pertumbuhan fisik sudah mulai matang tetapi kedewasaan psikologis nya

belum tercapai

b. Proses kedewasaan jasmaniah pada remaja putri lebih awal dari remaja putra.
29

4. Periode remaja adolence usia 19-21 tahun:

Merupakan masa akhir remaja, beberapa sifat pada masa ini:

a. Perhatiannya tertutup pada hal-hal realitas

b. Mulai menyadari akan realitas

c. Sikapnya mulai jelas tentang hidup

d. Mulai tampak bakat dan minatnya.

2.3 Sikap Remaja Tentang Perilaku Seksual Remaja

2.3.1 Definisi Sikap

Menurut Alport (1935) dalam Azwar (2007) sikap adalah semacam kesiapan

untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat dikatakan

bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan kecenderungan potensial untuk

bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulua yang

menghendaki adanya respon.


30

2.1 Konsep Skematik Mengenai Sikap


Variabel Variabel dependen
Variabel interventing yang dapat diukur
independen
yang dapat
Respons
diukur
AFEK Syaraf simpatetik

Penyataan lisan
tentang afek

STIMULI
(individu, Respons
situasi, isu
SIKAP KOGNISI Perseptual
sosial,
kelompok Penyataan lisan
sosial, dan tentang keyakinan
objek sikap
lainnya).
Tindakan yang
tampak
PERILAKU
Pernyataan lisan
mengenai perilaku

Gambar 2.1 Konsep Skematik Mengenai Sikap (Azwar, 2007)

2.3.3 Komponen sikap

Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen

pokok, yaitu :

1. Kepercayaan (Keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (Tend to behive)

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh

(Totalattitude). Dalam sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan

emosimemegang peranan penting (Notoatmodjo, 2003).


31

2.3.4 Tingkatan Sikap

Sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :

1. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (objek).

2. Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas

yang diberikan adalah suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan

tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti

bahwa orang menerima ide tersebut.

3. Menghargai (valving).

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

4. Bertanggung Jawab (responsible)z

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih nya dengan

segalaresiko merupakan sikap yang paling tinggi.

2.3.5 Pengukuran Sikap

Sikap tidak bisa diukur dengan melihat secara langsung.Hanya dapat dilihat

dengan open-ended question (pengukurann sikap secara verbal) yaitu menanyakan

langsung kepada seseorang untuk mengetahui sikapnya (Azwar, 1997).


32

Berikut ini adalah uraian mengenai beberapa diantara banyak metode

pengungkapan sikap yang secara historic telah dilakukan orang yaitu :

1. Observasi Perilaku

Sikap ditafsirkan dari bentuk perilaku yang nampak. Dengan kata lain untuk

mengetahui sikap seseorang terhadap sesuatu kita dapat memperhatikan

perilakunya, sebab perilaku merupakan salah satu indikator individu

2. Penanyaan langsung

Wajar kalau banyak yang beranggapan bahwa sikap seseorang dapat diketahui

dengan menanyakan langsung pada yang bersangkutan.

3. Pengungkapan langsung

Suatu versi metode penanyaan langsung adalah pengungkapan langsung secara

tertulis yang dapat dilakukan dengan aitem tunggal maupun aitem ganda (Ajen,

1998).Prosedur pengungkapan langsung dengan aitem tunggalsangat

sederhana.Responden diminta menjawab langsung suatu pertanyaan sikap tertulis

dengan memberi tanda setuju atau tidak setuju.Dengan menggunakan aitem ganda

adalah teknik diferensi sematic dirancang untuk mengungkapkan efek atau perasaan

yang berkaitan dengan sutau objek sikap (Azwar, 1991).

2.3.6 Skala Sikap

Menurut Arikunto (2007) sikap dapat diukur dengan mempergunakan Skala

Likert, yaitu: merupakan metode penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan

distribusi responden sebagai dasar penentuan nilai skalanya. Kelompok uji coba ini

hendaknya memiliki karakteristik yang semirip mungkin dengan karakteristik individu

yang hendak diungkapkan sikapnya. Skala Likert dipergunakan untuk mengukur sikap

yang terdiri dari komponen sangat setuju, setuju, kurang setuju, dan tidak setuju.
33

2.4 Perilaku Seksual Remaja

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk

tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah

laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang

lain, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian dari tingkah laku itu memang

tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat

ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa

cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada para gadis-

gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya (Simkins, 1984 dalam Sarwono,

2015).

Akibat psikososial lainnya adalah ketegangan mental, dan kebingungan akan

peran sosial yang tiba-tiba berubah jika seorang gadi tiba-tiba hamil juga akan

terjadi cemoohan dan penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya adalah

terganggunya kesehatan dan beresiko kehamilan serta kematian bayi yang tinggi.

Selain itu, juga ada akibat-akibat putus sekolah dan akibat-akibat ekonomis karena

diperlukan ongkos perawatan dan lain lain (Sarwono, 2015).

2.4.1 Bentuk-Bentuk Perilaku Seksual

Menurut Masland (2004), bentuk tingkah laku seks bermacam-macam mulai

dari perasaan tertarik, pacaran, kissing, kemudian sampai intercourse. Tahap

perilaku seks ini meliputi:

1. Kissing

Ciuman yang dilakukan untuk menimbulkan rangsangan seksual, seperti di

bibir disertai dengan rabaan pada bagian-bagian sensitif yang dapat menimbulkan
34

rangsangan seksual. Berciuman dengan bibir tertutup merupakan ciuman yang

umum dilakukan. Ebrciuman dengan mulut dan bibir terbuka, serta menggunakan

lidah itulah yang disebut french kiss. Kadang ciuman ini juga dinamakan dengan

ciuman mendalam/soulkiss.

2. Necking

Berciuman di sekitar leher ke bawah. Necking merupakan istilah yang

digunakan untuk menggambarkan ciuman sekitar leher dan pelukan yang lebih

mendalam.

3. Petting

Perilaku menggesek-gesek bagian tubuh yang sensitif, seperti payudara dan

organ kelamin. Merupakan langkah yang lebih dalam dari necking. Ini teramsuk

merasakan dan mengusap-usao tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada,

kaki, dan kadang-kadang daerah kemaluan, baik di dalam atau di luar pakaian.

4. Intercrouse

Bersatunya dua orang secara seksual yang dilakukan oleh pasangan pria dan

wanita yang ditandai dengan penis pria yang ereksi masuk ke dalam vagina untuk

mendapatkan kepuasan seksual.

2.4.2 Faktor-Faktor Penyebab Masalah Seksualitas pada Remaja

Dalam Sarwono (2015) dari berbagai hasil studi yang dilakukan oleh beberapa

ahli, masalah seksualitas pada remaja timbul karena faktor-faktor berikut, yaitu:

a. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual (libido

seksualitas) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini membutuhkan penyaluran

dalam bentuk tingkah laku seksual tertentu.


35

b. Penyaluran ini tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia

perkawinan, baik secara hukum karena adanya undang-undang tentang perkawinan

yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya 16 tahun untuk wanita dan 19

tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang makin lama makin menuntut

persyaratan yang main tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan

mental, dan lain kain).

c. Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama tetap berlaku di mana

seseorang diarang untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan,

larangannya berkembang lebih jauh kepada tingkah laku yang lain seperti bciuman

dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat

kecenderungan untuk melanggra saja larangan-larangan tersebut.

d. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran

informasi dan rangsangan seksual melalui media massa yang dengan adanya

teknologi canggih (video cassette, fotokopi, satelit, VCD, telepon genggam,

internet, dan lain lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam

periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau

didengarnya dari media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum

pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.

e. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang

masih mentabukan pembicaraan menganai seks dengan anak, tidak terbuka

terhadap anak, malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang

satu ini.
36

f. Di pihak lain, tidak dapat dipungkiri adanya kecenderungan pergaulan yang

makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat sebagai akibat

berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita makin

sejajar dengan pria.

2.4.3 Dampak Perilaku Seksual Remaja

Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh perilaku penyimpangan seksual pada

remaja menurut Sarwono (2015) adalah:

a. Kehamilan yang tidak diinginkan, dan dampak ini akan berakibat:

1) Pengguguran/aborsi

2) Percobaan bunuh diri (namun sangat sedikit prevalensinya)

3) Membiarkan kehamilan itu terjadi merupakan aib untuk keluarga

4) Pendidikan wanita remaja itu akan terganggu.

b. Penyakit Menular Seksual (PMS)

Penyakit menular seksual yang paling ditakuti adalah penyakit HIV/AIDS.

2.4.4 Pendidikan Seks

Pendidikan seks adalah salah satu cara untuk mengurangi atau mecegah

penyalahgunaan seks. Khususnya untuk mencegah dampak-dampak negatif yang

tidak diharapkan seperti kehamilan yang tidak direncanakan, penyakit menular

seksual, depresi, dan perasaan berdosa (Sarwono, 2015).

Menurut Sarwono (2015) perbedaan pandangan tebtang perlunya pendidikan

seks bagi remaja nyata dari penelitian WHO (1979) 16 negara di Eropa yang

hasilnya sebagai berikut:

1. 5 negara mewajibkannya di setiap sekolah


37

2. 6 negara menerima dan mengharuskannya di setiap sekolah.

3. 2 negara secara umum menerima pendidikan seks, tetapi tidak

mengkukuhkannya dengan undang-undang.

4. 3 negara tidak melarang, tetapi juga tidak mengembangkannya.

Menurut Sarwono (2015) materi pendidikan seks sangat bervariasi dari satu

tempat ke lain tempat, tetapi sebuah survei oleh Margaret Terry Out (1982)

menunjukkan bahwa pada umumnya materi pendidikan sek adalah sebagai berikut:

1. Masalah-masalah yang banyak dibicarakan di kalangan remaja sendiri:

a. Perkosaan

b. Masturbasi

c. Homoseksualitas

d. Disfungsi seksual

e. Eksploitasi seksual

2. Kontrasepsi dan pengaturan kesuburan:

a. Alat KB

b. Pengguguran

c. Alternatif-alternatif dari pengguguran

3. Nilai-nilai seksual:

a. Seks dan nilai-nilai moral

b. Seks dan hukum

c. Seks dan media massa

d. Seks dan nilai-nilai religi


38

4. Perkembangan remaja dan reproduksi manusia:

a. Penyakit menular seksual

b. Kehamilan dan kelahiran

c. Anatomi dan fisiologi

d. Obat-obatan alkohol dan seks

5. Keterampilan dan perkembangan sosial:

a. Berkencan

b. Cinta dan perkawinan

6. Topik-topik lainnya:

a. Kehamilan pada remaja

b. Kepribadian dan seksualitas

c. Mitor-mitor yang dikenal oleh umum

d. Keluarga berencana

e. Menghindari hubungan seks

f. Teknik-teknik hubungan seks

2.5 Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Sikap Remaja Tentang Perilaku

Seksual

Pola asuh orang tua adalah cara yang diterapkan orang tua dalam mendidik

anak. Ada tiga pola asuh yang ada, yaitu pola asuh otoriter, pola asuh demokratis,

dan pola asuh permisif. Ketiga pola asuh ini dapat mempengaruhi sikap dan

perilaku pada remaja. Karena pada remaja terjadi perubahan-perubahan yang harus

diawasi dan dipantau oleh lingkungan terkecil yaitu keluarga atau orang tua. Salah

satu sikap atau perilaku yang dapat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua adalah

tentang seksual pada remaja. Banyak diantara orang tua tabu membicarakan tentang
39

pendidikan seks karena mereka takut malah akan membuat anaknya melakukan hal

tersebut. Sehingga kesalahan pengasuhan yang dilakukan orang tua akan

berdampak negatif pada sikap dan perilaku remaja yang salah satunya adalah

tentang penyimpangan seksual pada remaja. Dampak-dampak dari kesalahan pola

asuh yang diterapkan terhadap sikap atau perilaku seksual pada remaja adalah

kehamilan yang tidak diinginkan dan penyakit menular seksual. Sehingga pola asuh

yang diterapkan sangat berpengaruh dan diharapkan dapat membentuk karakter

remaja yang baik dan tidak terjerumus pada hal buruk seperti penyimpangan

perilaku seksual remaja.


40

2.6 Kerangka Konsep


Remaja

Transisi biologis Transisi Kognisi Transisi Sosial


(Pubertas) (Pemikiran) (Pertemanan)

SIKAP
DAMPAK
PERILAKU
BENTUK
SEKSUAL REMAJA
BENTUK
 Kehamilan yang
PERILAKU
tidak diinginkan
SEKSUAL: Seksual Remaja
1. Pacaran  PMS
2. Kissing
3. Necking
4. Petting Faktor lain yang mempengaruhi:
5. Intercrouse  Meningkatnya libido seksualitas
 Penundaan usia perkawinan
 Tabu-larangan
 Media informasi
 Pergaulan makin bebas
 Hubungan orang tua-remaja (pola asuh)

POLA ASUH POLA ASUH POLA ASUH


OTORITER DEMOKRATIS PERMISIF

 Kurang  Suka berdiskusi  Kurang


komunikasi dengan anak membimbing
 Kurang kontrol
 Sangat berkuasa  Mendengarkan
terhadap anak
 Suka keluhan anak
 Tidak pernah
menghukum  Memberi menghukum atau
 Selalu mengatur tanggapan memberi ganjaran
 Suka memaksa  Komunikasi yang pada anak
 Bersifat kaku baik  Anak lebih berperan
 Tidak kaku/luwes daripada orang tua
 Memberi kebebasan
terhadap anak

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Hubungan Pola Asuh Permisif dengan Sikap
Terhadap Perilaku Seksual Remaja
41

Ket:
: Diteliti
: Tidak Diteliti
: Berhubungan
: Berpengaruh
: Sebab-Akibat

Dari kerangka konsep diatas dapat dijelaskan bahwa remaja mengalami masa

transisi yaitu, transisi bilogis, transisi kognisi, dan transisi sosial. Ketiga transisi

tersebut mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap remaja. Salah satunya adalah

seksual remaja. Bentuk bentuk seksual ada 5, yaitu pacaran, kissing, necking,

petting, dan intercrouse. Dampak-dampak yang ditimbulkan dari perilaku seksual

remaja adalah penyimpangan seksual pada remaja yang berakibat kehamilan yang

tidak diinginkan dan penyakit menular seksual.Faktor- faktor yang mempengaruhi

seksual pada remaja yaitu libido yang meningkat, penundaan usia perkawinan,

tabu-larangan, media informasi, pergaulan yang makin bebas, dan orang tua-remaja

(pola asuh). Diantara beberapa faktor tersebut, peneliti akan meneliti lebih lanjut

tentang pola asuh orang tua. Pola asuh orang tua terdiri dari pola asuh otoriter, pola

asuh demokratis, dan pola asuh permisif.

Pola asuh otoriter memiliki ciri ciri kurang komunikasi, sangat berkuasa, suka

menghukum, selalu mengatur, suka memaksa, bersifat kaku. Pola asuh demokratis

memiliki ciri-ciri suka berdiskusi dengan anak, mendengarkan keluhan anak,

memberi tanggapan, komunikasi yang baik, tidak kaku/luwes. Pola asuh permisif

memiliki ciri ciri kurang bimbingan, kurang kontrol terhadpa anak, tidak pernah

menghukum ataupun memberi ganjaran pada anak, anak lebih berperan daripada

orang tua, membebaskan terhadpa anak.


42

2.7 Hipotesis

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini adalah hipotesis asosiatif.

Hipotesis asosiatif adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah asosiatif,

yaitu yang menanyakan hubungan antara dua variabel atau lebih (Sugiyono, 2011).

Ho : Tidak ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan sikap remaja tentang

perilaku seksual pada siswa kelas XI di SMK Widya Dharma Turen.

Ha : Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan sikap remaja tentang perilaku

seksual pada siswa kelas XI di SMK Widya Dharma Turen.

Anda mungkin juga menyukai