Anda di halaman 1dari 16

BIOSTRATIGRAFI

6.1 PENDAHULUAN

Biostratigrafi adalah cabang stratigrafi yang didasarkan pada pengetahuan tentang fosil yang ada
dalam batuan. Ilmu ini memanfaatkan kisaran kronostratigrafi dari berbagai spesies fosil untuk
(1) mengkorelasikan penampang-penampang stratigrafi; dan (2) menafsirkan lingkungan
pengendapan. Sebelum ada data seismik, metoda biostratigrafi merupakan satu-satunya cara
yang dimiliki para ahli geologi untuk meng-korelasikan bagian-bagian penampang yang
umurnya "sama" (dalam batas resolusi biostratigrafi). Walau demikian, kebanyakan fosil yang
digunakan para ahli paleontologi sebelum pertengahan abad ini bukan organisma yang hidup di
dalam kolom air laut (plankton), melainkan organisma dasar laut (bentos). Dengan demikian,
korelasi-korelasi yang dibuat waktu itu sebenarnya lebih menunjukkan kesamaan kondisi
lingkungan dan fasies pengendapan; bukan kesamaan waktu (Loutit dkk, 1988). Karena itu, tidak
mengherankan jika banyak satuan litostratigrafi lama mengandung kumpulan fosil bentonik yang
sifatnya khas. Hal inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya praktek pengkorelasian satuan-
satuan litostratigrafi. Dewasa ini, praktek korelasi dalam analisis cekungan lebih banyak
dilakukan berdasarkan seismik stratigrafi, bukan bio-stratigrafi. Walau demikian, bersama-sama
dengan metoda penanggalan lain seperti isotope stratigraphy (Emery & Robinson, 1993) dan
magnetostratigrafi, biostratigrafi memegang peranan penting dalam memberikan kontrol umur
terhadap korelasi seismik stratigrafi (Armentrout, 1987; Loutit dkk, 1988; McNeil dkk, 1990).
Selain itu, tanpa batuan biostratigrafi, seismik strati-grafi hanya akan memiliki penerapan yang
sangat terbatas dalam menganalisis daerah dengan struktur yang rumit. Bab ini akan
memperlihatkan bagaimana data biostratigrafi dapat dipadukan dengan teknik-teknik lain untuk
meningkatkan penafsiran sekuen stratigrafi.

6.2 FOSIL DAN ZONA BIOSTRATIGRAFI

6.2.1 Fosil

Semua tipe fosil sebenarnya berpotensi untuk dapat diterapkan pada sekuen stratigrafi. Walau
demikian, untuk menentukan umur batas sekuen dan maximum flooding surface secara akurat,
diperlukan adanya fossil events yang memiliki kebenaan kronostratigrafi. Hal ini dapat dicapai
melalui pengintegrasian marker taxa dari jenis fosil yang berbeda-beda. Fosil yang paling
berguna adalah fosil yang, ketika berevolusi, memperlihatkan perubahan morfologi secara cepat
dan tegas sedemikian rupa sehingga mudah dikenal tanpa keraguan. Persyaratan lain yang perlu
dimiliki oleh index fossils adalah memiliki penyebaran yang luas sehingga dapat dikorelasikan
dalam satu cekungan atau antar cekungan serta memiliki kelimpahan yang relatif tinggi.
Beberapa tipe fosil seperti amonit, goniatit, dan foraminifera besar sebenarnya memiliki
kelebihan tersendiri dibanding fosil lain. Namun, ukurannya yang relatif besar memperkecil
kemungkinannya untuk dapat terkandung dalam keratan pengeboran atau inti bor. Karena itu,
berbagai jenis fosil kecil (umumnya berukuran beberapa mikron hingga kurang dari beberapa
milimeter) saja yang biasa digunakan dalam biostratigrafi. Ada tiga kategori fosil yang paling
banyak digunakan oleh para ahli biostratigrafi: (1) mikrofosil (misalnya foraminifera, ostracoda,
diatom, calpionellida, radiolaria, ganggang kapur, dan conodonta); (2) nanofosil (misalnya
cocolith dan discoaster); serta (3) palinomorf (misalnya dinoflagelata, chitinozoa, acritarch,
tasmanitida, serbuksari, dan spora). Salah satu kelebihan utama dari mikrofosil adalah bahwa,
jika lingkungannya sesuai, akan ditemukan dalam jumlah yang melimpah. Gambar 6-1
memperlihatkan kisaran stratigrafi untuk beberapa kategori fosil yang biasa digunakan dalam
industri perminyakan. Keberadaan organisma yang kemudian menjadi fosil merupakan
fungsi dari evolusi, kondisi lingkungan, dan geografi. Terawetkan tidaknya suatu organisma
tergantung pada susunan mineral dan kimia tubuh organisma itu, pada lingkungan dimana tubuh
organisma itu terendapkan, dan pada sejarah diagenesis setelah tubuh organisma tertutup oleh
sedimen yang diendapkan kemudian. Ketidakhadiran fosil indeks tertentu, baik karena
keterbatasan biofasies atau karena tidak terawetkan, merupakan faktor pembatas bagi studi
biostratigrafi dan menjadi penghalang utama dalam usaha penafsirannya.

6.2.2 Skema-Skema Zonasi Fosil dan Resolusi Biokronostratigrafi

Organisma berevolusi, berkembang, dan kemudian punah akibat interaksi antara organisma
dengan lingkungannya. Datum pemunculan pertama (first appearance datum, FAD) dan datum
pemunculan terakhir (last appearance datum, LAD) suatu organisma dalam rekaman batuan
merupakan titik-titik penting dalam korelasi biostratigrafi. Peristiwa lain, misalnya kelimpahan
maksimum, juga sering dipakai sebagai kriteria korelasi. Walau demikian, kelimpahan
maksimum hendaknya ditangani secara hati-hati mengingat faktor-faktor lokal, misalnya laju
sedimentasi, dapat mempengaruhi kelimpahan fosil dalam rekaman batuan. Waktu
biostratigrafi diukur dalam biokronozona (biochronozone) yang didasarkan pada pemunculan
dan kepunahan fosil secara global. Bolli dkk (1985) menyusun suatu sintesis yang menyeluruh
terhadap berbagai kategori fosil bahari yang kemudian digunakan untuk menyusun skema
biokronozona. Kisaran global suatu spesies fosil mungkin tidak dapat ditemukan dalam suatu
cekungan akibat keterbatasan lingkungan atau geografi. Pada kondisi seperti itu, biozona yang
didasarkan pada pengetahuan mengenai pemunculan pertama dan pemunculan terakhir setiap
spesies fosil yang ditemukan mungkin hanya memiliki nilai korelatif lokal. Hal ini mengandung
pengertian bahwa korelasi global dari suatu tipe fosil memerlukan adanya diagram sekuen
stratigrafi seperti yang dibuat oleh Haq dkk (1987). Resolusi kronostratigrafi yang dapat
diperoleh dari fosil indeks tergantung pada waktu geologi, jumlah kategori fosil yang digunakan,
dan lingkungan pengendapan. Resolusi suatu kategori fosil dihitung dengan cara membagi
rentang waktu geologi fosil tersebut dengan jumlah biozona. Resolusi kronostratigrafi rata-rata
untuk beberapa tipe fosil diperlihatkan pada tabel 6-1. Skema-skema biozona yang
diterbitkan hingga dewasa ini menggunakan titik-titik pemunculan pertama dan pemunculan
akhir untuk menentukan biozona. Di lain pihak, puncak biozona yang dipakai dalam industri
perminyakan ditentukan ber-dasarkan titik-titik pemunculan terakhir, sedangkan
pertumpangtindihan antar biozona dijadikan dasar untuk menentukan subzona. Hal ini terjadi
karena sampel yang paling banyak dimiliki oleh para ahli biostratigrafi yang bekerja di dunia
perminyakan adalah keratan pengeboran yang ketika terangkut bersama-sama dengan lumpur
pengeboran biasanya dikenai efek sisa dan kontaminasi oleh material yang terletak di bagian atas
sumur pengeboran. Walau demikian, penelitian reservoar yang mendetil menggunakan data
pemunculan awal untuk membuat skema biozona karena inti bor dan side-wall core biasanya
dapat diperoleh. Data itu selanjutnya digunakan untuk membuat diagram korelasi yang mendetil
dengan tujuan mengetahui kesinambungan dan variasi reservoar pada arah lateral. Skema
biozona lokal biasanya lebih mendetil dan memiliki resolusi kronostratigrafi yang lebih tinggi
dibanding skema biozona global atau regional. Sebagai contoh, biozona nannofosil Miosen
Akhir–Plistosen di Teluk Meksiko memiliki resolusi rata-rata 0,375Ma. Resolusi gabungan dari
beberapa kategori fosil bahkan bernilai lebih tinggi dari itu. Sebagai contoh, resolusi gabungan
rata-rata dari nannofosil dan foraminifera untuk Miosen Akhir–Plistosen di Teluk Meksiko
adalah sekitar 0,2Ma.
6.3 ANALISIS LINGKUNGAN PURBA

6.3.1 Bentos dan Palinofasies

Organisma yang hidup di dasar laut atau dalam sedimen dasar laut disebut bentos. Dalam
industri perminyakan, foraminifera bentonik sering dipakai untuk menentukan lingkungan bahari
purba (Van Gorsel, 1988). Walau demikian, organisma lain seperti ganggang kapur bentonik,
conodonta, dan ostracoda juga tidak jarang digunakan (gambar 6-2). Foraminifera bentonik
hidup dalam lingkungan yang bervariasi, mulai dari tepi laut hingga laut-dalam (Murray, 1973,
1992). Organisma bentos juga tahan terhadap variasi kondisi lingkungan seperti temperatur,
kadar oksigen, salinitas, kondisi substrat, dan tingkat penetrasi cahaya (gambar 6-3). Pada
lingkungan batial dan abisal, sifat-sifat fisik air laut yang berlapis—misalnya akibat per-bedaan
kadar bahan makanan, oksigen, salinitas, dan temperatur—mengontrol penyebaran organisma
bentonik. Di paparan, faktor-faktor yang mengontrol penyebaran organisma bentonik adalah
energi arus, tipe substrat, salinitas, temperatur, dan intensitas cahaya. Karena itu, ada suatu
hubungan umum antara organisma bentonik dengan kedalaman (gambar 6-4). Metoda lain
untuk menentukan lingkungan adalah analisis palinofasies (palynofacies; lihat gambar 6-5).
Metoda ini terbukti cukup ampuh, khususnya pada sistem sungai-delta seperti dalam kasus di
Provinsi Brent dan Laut Utara (Denison & Fowler, 1980; Hancock & Fisher, 1981; Parry dkk,
1981; Nagy dkk, 1984). 6.3.2 Plankton Organisma yang hidup melayang-layang dalam
kolom air disebut plankton. Penyebaran plankton bahari juga dikontrol oleh parameter-parameter
lingkungan seperti salintas, pasokan oksigen, temperatur, dan ketersediaan bahan makanan.
Fitoplankton (phytoplankton) dikontrol oleh intensitas cahaya, yang nilainya akan menurun
dengan bertambahnya kedalaman atau dengan makin keruhnya air. Karena itu, fitoplankton tidak
hidup di daerah air turbid seperti di sekitar sistem delta yang berlumpur. Parameter lingkungan
bahari berbeda-beda, tergantung pada asal-usul air, iklim, geografi, dan kedalaman. Keberadaan
suatu plankton juga dipengaruhi oleh tingkat toleransi yang dimilikinya terhadap parameter-
parameter lingkungan tersebut di atas. Sebagai contoh, radiolaria dan foraminifera planktonik
jarang ditemukan di paparan, sedangkan dinoflagelata dan acritarch dapat hidup mulai dari
lingkungan laut tepi hingga laut terbuka (gambar 6-6). Karena itu, penyebaran fosil plankton
tertentu secara kasar dapat pula dikaitkan dengan massa air, kedalaman, dan jaraknya terhadap
daratan. Nisbah mikrofosil plantonik terhadap bentonik (Murray, 1976) dan nisbah dinocyst
laut-"dalam" terhadap dinocyst laut-"dangkal" memberikan informasi mengenai tingkat
"kelautan" dan upwelling. 6.3.3 Biofasies Suatu kumpulan organisma yang mencirikan
lingkungan pengendapan tertentu disebut biofasies. Komposisi fosil dalam setiap biofasies
merupakan fungsi dari kondisi lingkungan, redistribusi post-mortem oleh aliran gravitasi, dan
sejarah diagenesis batuan. Sebagian besar spesies fosil dapat digunakan untuk mencirikan
lingkungan. Walau demikian, ukurannya yang kecil, daya pengawetannya yang relatif tinggi, dan
penyebarannya yang luas menyebabkan foraminifera bentonik menjadi tipe fosil istimewa untuk
digunakan sebagai dasar penentuan biofasies. Penyebaran sedimen hanya merupakan salah satu
dari sekian parameter lingkungan yang mengontrol biofasies. Jadi, sebenarnya tidak ada
hubungan sederhana antara biofasies dengan jenis sedimen. Meskipun demikian, pada
lingkungan laut dangkal, hubungan biofasies dengan energi gelombang dan pasut demikian erat
dan, oleh karena itu, hubungan antara biofasies dengan besar butir sedimen juga cukup erat di
wilayah tersebut. Pada sistem pengendapan progradasional dan retrogradasional, parameter
lingkungan mengontrol penyebaran kumpulan fosil. Karena itu, dalam sistem tersebut, biofasies
juga berpindah-pindah ke arah laut dan ke arah darat. Dengan demikian, data fosil secara vertikal
dalam sistem pengendapan progradasional dan retrogradasional mencerminkan sejarah batimetri
suatu cekungan. Dengan data itu dapat dikesimpulkan apakah tepi cekungan telah berprogradasi,
beretrogradasi, atau beragradasi. Dalam sistem progradasional dan retrogradasional, batas
antar biofasies merupakan bidang diakron (Armentrout, 1987). Akibatnya, datum-datum
pemunculan pertama dan pemunculan terakhir yang berimpit dengan perubahan lingkungan tidak
harus diartikan sebagai sebagai titik-titik kelahiran dan kepunahan spesies tertentu, melainkan
mungkin hanya sekedar batas biofasies diakron yang berkaitan dengan proses progradasi dan
retrogradasi dalam cekungan tersebut (gambar 6-7). 6.3.3.1 Biofasies Bahari Penafsiran
lingkungan bahari purba berdasarkan biofasies bentonik dan planktonik biasanya didasarkan
pada pengetahuan kita mengenai batimetri paparan dan samudra masa sekarang. Sebenarnya
sebagian besar biofasies masa kini hanya dapat digunakan untuk menafsirkan lingkungan bahari
purba sejak masa transgresi terakhir atau sejak awal highstand systems tract terakhir, pada saat
mana garis pantai terletak cukup jauh di daratan. Sewaktu posisi muka air laut relatif rendah,
atau ketika garis pantai maju jauh hingga mendekati tekuk paparan (shelf break), biofasies
paparan dan biofasies batial atas akan terletak saling berdekatan (gambar 6-8). Pada kondisi itu,
biofasies proximal dan distal akan dicampuradukkan oleh arus. Bahkan, aliran gravitasi menuju
wilayah perairan yang lebih dalam akan menyebabkan usaha penafsiran lingkungan pengendapan
purba menjadi jauh lebih kompleks dan sukar untuk dilakukan. Penentuan indikator-indikator
lingkungan bahari yang paling dalam pada setiap kumpulan fosil akan menolong kita untuk
membedakan indikator biofasies laut-dalam dari indikator semu (hasil pengangkutan oleh aliran
gravitasi). Sayang sekali, biofasies batial memiliki resolusi batimetri yang relatif lebih rendah
dibanding resolusi batimetri yang dimiliki oleh biofasies paparan. Karena itu, rekaman
perubahan muka air laut relatif praktis tidak (atau hanya sedikit, kalau ada) terindikasikan oleh
biofasies laut-dalam. Walau demikian, pergantian dari zaman es ke zaman interglasial (dan
sebaliknya) mempengaruhi sifat-sifat massa air laut seperti kadar oksigen, temperatur, dan
pasokan bahan makanan sedemikian rupa sehingga peristiwa itu masih tampak rekamannya
dalam biofasies laut-dalam. 6.3.3.2 Biofasies Terestris Kumpulan-kumpulan fosil dari
lingkungan terestris dapat memberikan informasi mengenai kondisi iklim dan kondisi berbagai
lingkungan yang terletak di sekitar cekungan (gambar 6-9). Kumpulan mikroflora
mengindikasikan iklim kering-hangat (warm-arid), ranoff yang rendah, serta potensi
terbentuknya sistem karbonat bahari di daerah lintang rendah. Mikroflora dari lingkungan basah
(humid) mengindikasikan adanya proses pemasokan klastika yang lebih tinggi ke dalam
cekungan serta potensi ter-bentuknya sistem pengendapan fluvial dan delta. Lingkungan basah
biasanya juga memiliki vegetasi subur, yang menutupi atau menjebak sedimen, sedangkan
lingkungan kering mendorong terjadinya erosi sedimen yang cepat serta terendapkannya kembali
sedimen berbutir kasar. Kumpulan fosil daratan dan air tawar dapat diangkut menuju
lingkungan bahari didekatnya oleh aktivitas angin (khususnya untuk kasus bissacate pollen) atau,
lebih umum lagi, oleh sistem sungai (untuk miospores, charophytes, ostracoda, dan material
rombakan tumbuhan). Secara umum dapat dikatakan bahwa melimpahnya fosil asal-daratan
dalam suatu lingkungan bahari mengindikasikan bahwa lingkungan tersebut terletak dekat
dengan influx sungai. Meningkatnya kandungan miospores dan bissacate, relatif terhadap
miospores berornamen dan non-seccate pollen, dalam endapan bahari mengindikasikan bahwa
lingkungan dimana sedimen itu diendapkan terletak dekat daratan (Batten, 1974).
6.4 BIOSTRATIGRAFI DAN SEKUEN STRATIGRAFI

Pengetahuan kita mengenai biostratigrafi sekuen pengendapan masih relatif terbatas, didasarkan
pada pendapat sejumlah ahli biostratigrafi yang melakukan penelitian dengan cara memadukan
data biostratigrafi dengan data sumur dan data seismik. Sebagian besar pengetahuan kita
berasal dari hasil-hasil penelitian di Teluk Meksiko (Armentrout, 1987; Loutit dkk, 1988; Allen
dkk, 1991; Armentrout & Clement, 1991; Armentrout dkk, 1991). Walau demikian, ada juga ahli
yang mencoba melakukan penelitian biostratigrafi sekuen di tempat lain, misalnya McNeil dkk
(1990) di MacKenzie Basin, Jones dkk (1993) di Northwest Shelf (Australia), dan Partington dkk
(1993) terhadap endapan Jura di Laut Utara. Hasil-hasil penelitian yang disebut terakhir ini
banyak menambah pengetahuan kita mengenai topik yang menarik ini. 6.4.1 Batas Sekuen dan
Bidang-Bidang yang Korelatif Dengannya Batas sekuen adalah suatu bidang kronostratigrafi
penting yang terbentuk akibat penurunan muka air laut relatif yang cukup besar. Jika batas
sekuen itu merupakan bidang erosi yang cukup kuat, maka pada bidang itu akan terdapat hiatus
biostratigrafi yang dicirikan oleh penindihan fosil-fosil yang berumur relatif muda terhadap fosil-
fosil yang umurnya relatif jauh lebih tua serta oleh ketidakhadiran fosil indeks. Perbedaan umur
dan lingkungan yang diindikasikan oleh kumpulan fosil dalam batuan-batuan yang terletak di
atas dan di bawah batas sekuen merupakan fungsi dari besaran penurunan muka air laut relatif
(McNeil dkk, 1991) dan dari lokasinya di dalam cekungan. Penurunan muka air laut relatif,
sebagaimana telah dibahas pada Bab 2, berkisar mulai dari penurunan dramatis akibat aktivitas
tektonik—yang mengakibatkan terbentuknya bidang ketidakselarasan tegas—hingga penurunan
lemah yang dicirikan oleh perubahan fasies yang relatif samar. Kasus yang kedua ini
menyebabkan terbentuknya apa yang disebut sebagai batas sekuen tipe-2. Walau demikian,
terlepas dari besaran penurunan muka air laut, perubahan komposisi kumpulan fosil pada kedua
sisi batas sekuen akan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain. Di wilayah perairan yang
cukup dalam, praktis tidak terjadi perubahan biofasies. Makin ke arah darat, perubahan itu makin
jelas. Pada tempat-tempat yang terletak di atas tekuk paparan, di paparan, dan di dataran pantai,
perubahan biofasies sering disertai dengan kehadiran jejak-jejak erosi dan ketidakhadiran indeks
biokronostratigrafi. Dengan demikian, hiatus yang dipresentasikan oleh suatu batas sekuen
makin besar ke arah darat. Batas sekuen utama yang terbentuk akibat pengaruh tektonik
biasanya dicirikan pula oleh kehadiran lapisan-lapisan yang telah terputar serta oleh jejak-jejak
erosi dan penyingkapan di atas permukaan air laut. Ketikakselarasan yang menjadi batas sekuen
biasanya juga disertai oleh perubahan tiba-tiba dalam rekaman fosil: hilangnya spesies penciri
umur serta pertindihan dua biofasies yang jauh berbeda. Sebagai contoh, di atas batas sekuen itu
terdapat endapan paralik dengan kumpulan serbuk-sari dan spora, sedangkan di bagian bawahnya
terdapat sedimen hemipelagik dengan kumpulan foraminifera plankton, nannfosil, dan dinocyst.
Kemampuan untuk mengenal batas-batas sekuen, khususnya yang bersifat samar, dengan
menggunakan biostratigrafi terbatasi oleh resolusi fosil indeks yang ada. Jika tidak ada fosil
indeks, Armentrout & Clement (1991) berpendapat bahwa kelimpahan fauna minimum
berpotensi untuk dapat digunakan sebagai penciri perioda-perioda regresi maksimum dan, oleh
karena itu, dapat digunakan sebagai penciri batas sekuen. Gaskell (1991) menunjukkan bahwa
ada satu korespondensi antara peningkatan laju kepunahan foraminifera bentonik dengan
penurunan muka air laut yang cepat dan, oleh karena itu, juga ber-asosiasi dengan batas sekuen
tipe-1. Walau demikian, korespondensi seperti itu tidak akan tampak apabila proses penurunan
muka air laut berlangsung lambat. Kesukaran untuk mengenal reworked fossil merupakan
salah satu masalah utama dalam biostratigrafi. Padahal kemampuan untuk mengenal reworked
fossil sangat penting artinya mengingat kehadiran fosil seperti itu erat kaitannya dengan proses
erosi yang terjadi pada batas sekuen. Sesungguhnya reworked fossil seringkali menjadi
komponen paleontologi utama dalam sedimen yang diendapkan dengan cepat. Kehadiran
reworked fossil, bersama-sama dengan adanya peningkatan kelimpahan fosil terestris dalam
endapan laut-dalam dapat digunakan untuk mengenal batas sekuen (gambar 6-13). 6.4.2
Lowstand systems tract Penurunan muka air laut yang cukup besar menyebabkan
terbentuknya batas sekuen tipe-1 dan pergeseran fasies secara tiba-tiba ke arah cekungan
sedemikian rupa sehingga fasies laut-dangkal menindih fasies laut yang lebih dalam. Pada
dasarnya lowstand systems tract dikenali keberadaannya berdasarkan kehadiran perubahan
biofasies yang tiba-tiba, dimana biofasies itu makin ke atas mengindikasikan wilayah perairan
yang lebih dangkal, atau oleh superposisi kumpulan fosil terestris di atas kumpulan fosil bahari.
Pada cekungan yang lebih dalam, lowstand systems tract dikenal oleh adanya peningkatan laju
pasokan sedimen silisiklastik dan sedimen yang mengandung reworked fossils, namun memiliki
kelimpahan fosil setempat yang rendah (Armentrout dkk, 1991). Bidang erosi yang ada di bawah
endapan lowstand biasanya tidak tersebar luas dalam cekungan laut-dalam dan seringkali hanya
terbatas dalam sistem alur atau pada sisa-sisa lereng lokal yang tidak stabil. Bentos batial juga
tampaknya tidak cukup sensitif untuk memperlihatkan suatu tanggapan khusus terhadap
perubahan batimetri yang berasosiasi dengan penurunan muka air laut (Armentrout dkk, 1991).
Lowstand systems tract terdiri dari dua komponen: lowstand fan, dan lowstand wedge. Lowstand
fan (gambar 6-10) merupakan produk aliran gravitasi, dimana aliran gravitasi itu sendiri terjadi
akibat pasokan sedimen yang diangkut oleh sungai mem-bypass paparan dan lereng benua
bagian atas melalui lembah torehan dan ngarai bawah-laut (lihat Bab 9). Akibatnya, lowstand fan
kemungkinan banyak mengandung organisma daratan dan kumpulan reworked fossils yang
tererosi dari paparan dan lereng benua (Van Gorsel, 1988)d yang terangkut bersama-sama
dengan reworked fossil asal-daratan. Jadi, endapan lowstand fan dapat dikenal dari kehadiran
exotic fossil assemblages yang tertanam dalam serpih bahari yang mengandung fosil-fosil
setempat. Lowstand fan yang diendapkan dengan cepat umumnya tidak mengandung fosil
laut-dalam in situ (Armentrout, 1991). Hal itu mengakibatkan sulitnya menempatkan lowstand
fan ke dalam konteks kronostratigrafi. Stewart (1987), berdasarkan hasil penelitian bio- dan
sekuen-stratigrafi terpadu terhadap endapan Paleogen di Laut Utara, menyatakan bahwa
kumpulan-kumpul-an mikrofosil jarang terdapat dalam Forties lowstand fan. Sebagai gantinya,
kipas itu didominasi oleh agglutinated foraminifera yang memiliki kisaran umur panjang.
Kipas yang diendapkan dengan cepat mengandung rip-up clasts yang tererosi dari lereng
samudra sewaktu sebagian besar sedimen diangkut menuju laut-dalam. Jika terfosilkan, rip-up
clasts akan memberikan nilai umur maksimum untuk pembentukan kipas. Jika tidak mengandung
fosil setempat, umur lowstand fan dapat ditentukan umurnya dengan cara menentukan umur
serpih condensed section yang terletak di atas dan di bawah kipas. Interfan lobes dapat
mengandung fosil setempat. Reworked fossils memberikan informasi mengenai khuluk
provenansi sedimen. Informasi itu secara tidak langsung akan mengindikasikan tipe kipas yang
akan terbentuk: apakah kipas yang didominasi oleh pasir, lumpur, atau campuran pasir-lumpur.
Kipas yang kaya akan pasir biasanya terdiri dari sejumlah lapisan pasir masif, terbentuk cepat,
dan miskin akan fosil sehingga sukar ditentukan umurnya. Lowstand fan yang kaya akan lumpur
biasanya terbentuk pada rentang waktu yang cukup lama, mud prone, dan memiliki kandungan
fosil setempat yang lebih tinggi sehingga umurnya relatif mudah untuk ditentukan. Lowstand
wedge mulai terbentuk pada saat muka air laut mulai naik kembali setelah sebelumnya turun
dengan cepat. Lowstand wedge terdiri dari parasekuen progradasional dan aggradasional
(gambar 6-11) yang mengandung kumpulan fosil setempat, mulai dari kumpulan proksimal
hingga kumpulan distal. Kumpulan fosil itu berubah secara berangsur pada arah lateral. Khusus
pada penampang vertikal prograding lowstand wedge, terlihat pula gejala biofasies shallowing-
upward, mulai dari biofasies laut-dalam, laut-dangkal, laut tepi, hingga biofasies non-bahari.
Aggradational wedge tidak memperlihatkan gejala seperti itu, melainkan memperlihatkan
kesamaan biofasies dari bawah ke atas. Gejala seperti yang disebut terakhir ini terjadi baik di
bagian lereng maupun topset. Karena itu, lowstand wedge memiliki karakter biostratigrafi yang
mirip dengan prograding highstand shelf-edge systems tract atau aggrading highstand shelf-edge
systems tract. Untuk kasus cekungan yang miskin akan bahan makanan, proses sediment by-
passing pada waktu posisi muka air laut rendah menyebabkan meningkatnya kadar makanan
dalam cekungan dan, pada gilirannya, menaikkan produktivitas plankton. Jika hal ini terjadi,
maka bagian distal dari lowstand wedge dapat dikenal keberadaannya dari fakta melimpahnya
fosil planktonik dalam serpih hemipelagik yang terkondensasikan dan terletak di atas endapan
kipas dasar cekungan. Jika tidak ada kipas, kumpulan fosil dalam serpih distal lowstand wedge
akan mirip dengan kumpulan fosil highstand systems tract yang terbentuk sebelumnya.
Sewaktu lowstand systems tract terbentuk, lebar paparan mencapai nilai minimum, sedangkan
energi gelombang pada paparan waktu itu mencapai nilai maksimum. Paparan pada waktu itu
biasanya dicirikan oleh bentos epifauna dan kemungkinan akan memperlihatkan gejala
penurunan kadar plankton ke arah darat, tergantung penyebaran arus. Dekatnya jarak antara dan
cekungan laut-dalam pada waktu itu dapat dibuktikan dengan banyaknya material tumbuhan
dalam endapan cekungan. Shelf-margin systems tract berasosiasi dengan batas sekuen tipe-2
(lihat Bab 2). Endapan shelf-margin systems tract dicirikan oleh tumpukan-tumpukan parasekuen
progradasional dan aggradasional. Kumpulan fosil dalam shelf-margin systems tract memiliki
pola hubungan biofasies proksimal-distal seperti yang diperlihatkan oleh prograding- dan
aggrading highstand systems tract. Hiatus erosional dan non-depositional yang terbentuk pada
sisi-darat dari coastal onlap point tidak memiliki besaran yang cukup tinggi untuk dapat diditeksi
dalam rekaman fosil (McNeil dkk, 1990). Karena itu, shelf-margin systems tract sukar
ditentukan keberadaannya berdasarkan kumpulan fosil, bahkan mungkin akan tertukar dengan
highstand systems tract. 6.4.3 Bidang Transgresi Bidang transgresi memisahkan lowstand
systems tract dari transgressive systems tract. Bidang ini ditandai oleh jejak-jejak reworking dan
winnowing sedimen yang terjadi in situ. Kedua proses itu menyebabkan fosil sukar terawetkan
dalam urutan asli. Hardground dan endapan yang kaya akan glaukonit juga berasosiasi dengan
bidang transgresi. Proses-proses diagenesis yang menyebabkan terbentuknya hardground dan
endapan-endapan di atas makin memperkecil kemungkinan terawetkannya fosil pada bidang
transgresi. Keberadaan bidang transgresi dapat ditafsirkan berdasarkan bukti adanya
kumpulan fosil bahari di atas kumpulan fosil tepi laut atau non-bahari. Namun, bukti itu
sebenarnya kurang kuat karena peristiwa transgresi minor dapat menyebabkan timbulnya gejala
seperti itu. Sebagaimana diketahui, peristiwa transgresi minor menyebabkan terbentuknya batas-
batas parasekuen. Jika pasokan sedimen ke dalam paparan terbatas sewaktu terjadi transgresi,
maka bidang transgresi akan terletak dalam condensed section yang mengandung maximum
flooding surface. Perlu dicamkan bahwa bidang transgresi mengindikasikan batas biofasies
retrogradasional dan, oleh karena itu, merupakan bidang diakron. 6.4.4 Transgressive systems
tract Transgressive systems tract disusun oleh retrogradational parasequence sets yang
memperlihatkan gejala pendangkalan-ke-atas sebagaimana terlihat dalam data kumpulan fosil
(Armentrout, 1991). Pada retrogradational parasequence sets itu terlihat banyak kumpulan fosil
distal terletak di atas kumpulan fosil proksimal. Pada arah vertikal, biofasies dalam transgressive
systems tract berubah berturut-turut dari biofasies terestris, paya-paya, laut-dangkal, hingga
akhirnya biofasies laut-dalam. Biofasies laut dalam pada transgressive systems tract dapat berupa
kumpulan fosil dari lingkungan laut terbuka atau dari lingkungan laut tertutup, tergantung pada
paleogeografi (gambar 6-12). Transgresi yang terjadi menghasilkan ceruk (niche) baru yang
kemudian dapat diisi oleh organisma. Tingginya laju penaikan muka air laut yang disertai oleh
rendahnya pasokan sedimen menyebabkan banyak wilayah yang semula merupakan daratan
kemudian tertutup oleh massa air. Jejak-jejak daratan purba itu mungkin berupa rekaman fosil
flora daratan. Di daerah iklim hangat, wilayah seperti itu berpotensi menjadi rawa batubara (coal
swamp). Lapisan batubara akan makin menebal sejalan dengan terus berlangsungnya transgresi
(lihat Bab 11). Lingkungan air payau di dataran pantai yang tertutup dan berkembang sejalan
dengan pembentukan transgressive systems tract dicirikan oleh kumpulan-kumpulan flora dan
fauna yang hanya memiliki sedikit toleransi terhadap salinitas yang rendah. Kumpulan-kumpulan
flora dan fauna tersebut tidak terlalu beragam dan biasanya terbentuk di bawah kondisi energi
rendah serta didominasi oleh flora dan fauna yang hidup di daerah berlumpur. Kumpulan-
kumpulan flora dan fauna tersebut merupakan biofasies retrogradasional yang bersifat diakron.
Endapan shoreface dalam transgressive systems tract juga terdiri dari biofasies retrogradasional
yang bersifat diakron. Marine flooding events yang memisahkan parasekuen tidak jarang
dicirikan oleh jejak-jejak fosil bahari, walaupun periodisitas setiap individu parasekuen
kebanyakan masih berada di bawah resolusi biostratigrafi. Sejalan dengan pengurangan laju
pasokan sedimen ke arah paparan dan cekungan sewaktu terjadi transgresi, kepekatan air juga
menurun. Akibatnya, mikrofauna bahari yang biasa hidup di wilayah perairan yang bersih,
termasuk foraminifera besar dan berbagai spesies rumput laut, dapat berkembang dengan baik
(Van Gorsel, 1988). Pengurangan pasokan sedimen juga menyebabkan terbentuknya condensed
section yang luas di dalam cekungan. Condensed section itu melimpah akan kumpulan fosil,
termasuk fosil plankton penciri yang dapat dengan relatif mudah ditentukan umurnya. Shaffer
(1987) menggunakan gejala melimpahnya nannofosil, yang berkaitan dengan perioda iklim
hangat, untuk mengenal transgresi bahari pada paparan purba. Dalam cekungan laut-dalam,
kumpulan fosil bahari dalam condensed section pelagik umumnya melimpah, sangat beragam,
dan didominasi oleh taxa penciri yang memiliki penyebaran sangat luas. Pembentukan kipas
bawah-laut sewaktu ber-langsungnya transgresi bahari, seperti dikemukakan oleh Galloway
(1989), dapat dikenal keberadaannya dari hadirnya reworked microfossils laut-dangkal yang
terangkut menuju laut-dalam dan kemudian diendapkan dalam condensed shales laut-dalam.
6.4.5 Maximum flooding surface Maximum flooding surface memisahkan transgressive
systems tract dengan highstand systems tract serta merepresentasi-kan kondisi transgresi
maksimum. Pembentukan condensed section secara luas pada drowned shelf dan cekungan laut-
dalam dapat berlangsung pada waktu itu sebagai akibat relatif sedikitnya sedimen dibanding
ruang akomodasi yang ada. Condensed section itu biasanya memiliki rekaman sinar-gamma dan
sonic log yang tinggi, hal mana berasosiasi dengan konsentrat uranium dalam sedimen
berdensitas tinggi namun kaya akan material organik. Dalam penampang seismik, condensed
section akan tampak sebagai downlap surface utama. Walau demikian, perlu dipahami bahwa
tidak semua condensed section mencirikan maximum flooding surface. Condensed section dapat
terbentuk oleh banyak proses dan setiap waktu. Sebagai contoh, condensed section dapat
terbentuk pada tinggian bawahlaut (submarine high) atau akibat perpindahan cuping delta.
Kelimpahan fosil plankton juga dapat terjadi tanpa harus berkaitan dengan proses pembentukan
condensed section dan dapat dikontrol oleh efek-efek iklim lokal, misalnya upwelling (Simmons
& Williams, 1992). Maximum flooding surface merepresentasikan penyebaran paling jauh ke
arah darat dari organisma plankton laut terbuka yang beragam dan bentos laut-dalam (Loutit dkk,
1988; Allen dkk, 1991; Armentrout & Clement, 1991; Armentrout dkk, 1991) (gambar 6-12).
Condensed section yang berasosiasi dengan maximum flooding surface terdiri dari endapan yang
secara biostratigrafi bersifat khas dan biasanya kaya akan fosil plankton. Karena itu, condensed
section sangat berpotensi untuk diketahui umurnya dan dapat dikorelasikan dari satu cekungan
ke cekungan yang lain, bahkan pada skala global. Karena itu pula endapan tersebut merupakan
event yang lebih mudah dikorelasikan dibanding batas sekuen, karena yang disebut terakhir ini
kadang-kadang sukar untuk ditentukan umurnya atau bahkan sukar untuk dikenali dari kacamata
biostratigafi. Di tepi cekungan, maximum flooding surface dari suatu condensed section
dapat dikenal dari influks tiba-tiba plankton bahari yang relatif seragam dan terletak diantara
kumpulan bentos laut dangkal dan kumpulan fosil terestris. Di paparan, maximum flooding
surface dapat dikenal dari kehadiran plankton laut terbuka dan, mungkin juga, fauna bentonik
wilayah perairan yang lebih dalam. Dalam cekungan laut-dalam, kekurangan sedimen dapat
menyebabkan terbentuknya endapan yang kaya akan fosil. Jika peristiwa kekurangan sedimen itu
terjadi pada sedimen klastika, maka karbonat pelagik yang terdiri dari sisa-sisa mikrofosil
pengandung kapur, akan dapat terbentuk. Peristiwa yang disebut terakhir ini juga dapat
menyebabkan proses pengendapan berlangsung lambat dan, pada gilirannya, akan menyebabkan
terjadinya pelarutan fosil pengandung kapur. 6.4.6 Highstand systems tract Aggrading
highstand systems tract terbentuk ketika laju pasokan sedimen sama dengan laju pembentukan
akomodasi yang terjadi akibat penaikan muka air laut relatif. Paket endapan ini dicirikan oleh
tumpukan endapan yang mengandung kumpulan fosil paparan dan terestris, tanpa adanya kesan
pendangkalan ke arah atas. Progradational highstand systems tract terbentuk ketika laju
pasokan sedimen melebihi akomodasi. Akomodasi itu sendiri terbentuk akibat penaikan muka air
laut relatif. Pada dasarnya, paket endapan ini dicirikan oleh kumpulan fosil dimana makin ke atas
makin mengindikasikan wilayah perairan yang lebih dangkal (gambar 6-13). Pada penampang
melintang yang lengkap, dari bawah ke atas, paket endapan ini berturut-turut mungkin terdiri
dari endapan laut-dalam, endapan laut-dangkal, endapan transisi, hingga endapan darat. Walau
demikian, gejala perubahan seperti itu mungkin diselingi oleh sejumlah rumpang kecil yang
mencerminkan parasekuen dan bidang transgresi minor. Pada awal pembentukan highstand
systems tract, delta paparan atau pantai menempati wilayah yang luas. Pada waktu itu, lebar
paparan mencapai nilai maksimum dan energi gelombang mencapai nilai minimum. Dengan
rendahnya energi arus pasut, sebagian besar sedimen yang diendapkan di daerah itu berupa
sedimen berbutir sangat halus seperti lanau dan lempung. Kumpulan fosil pada paparan yang
kaya akan lumpur itu didominasi oleh kumpulan bentonik yang biasa menggali lubang dalam
sedimen berbutir halus. Wilayah paparan yang masih sangat dipengaruhi oleh pasut, di tempat
mana terdapat endapan sisa yang berbutir kasar, didominasi oleh kumpulan bentos epifauna dan
unsur-unsur plankton. Kumpulan fosil paparan sangat dipengaruhi oleh kehadiran delta
paparan dan berasosiasi dengan sedimentasi yang cepat, peningkatan turbiditas, dan pengurangan
salinitas. Pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan itu, banyak ditemukan kumpulan fosil
bentos yang didominasi oleh spesies infauna. Organisma planktonik jarang ditemukan, meskipun
kelompok-kelompok tertentu seperti dinocyst dan acritarch (yang dapat beradaptasi dengan
lingkungan ini) serta nanofosil (yang mudah terangkut dari laut terbuka karena sangat ringan),
juga memiliki potensi korelasi biostratigrafi yang cukup tinggi. Jika volume sedimen cukup
tinggi dan waktunya memungkinkan, progradasi highstand systems tract dapat mencapai tepi
paparan yang semula dibentuk oleh lowstand wedge. Dengan demikian, delta itu berubah
statusnya menjadi delta tepi paparan (shelf-edge delta) yang mampu memasok sedimen serta
organisma terestris dan paparan menuju cekungan wilayah yang dalam. Bagian topset dari
endapan highstand dapat terdiri dari endapan paparan, endapan paralik, dan endapan fluvial
beserta kumpulan-kumpulan fosil laut-dangkal dan terestris yang berasosiasi dengannya.
Proporsi setiap endapan dan kumpulan fosil pada bagian topset endapan highstand tergantung
pada khuluk progradasi yang terjadi. Dalam proses progradasi miring yang ekstrim, endapan
highstand sebagian besar akan berupa endapan lereng dan endapan paparan, dengan sedikitt
endapan yang mengindikasikan lingkungan paralik dan fluvial. Akomodasi yang terbentuk
sewaktu posisi muka air laut tinggi akan menyebab-kan terbentuknya endapan yang mengandung
kumpulan fosil laut-dangkal dan terestris. Prograding highstand slope terdiri dari endapan
aliran gravitasi dan endapan hemipelagik yang sering memperlihatkan jejak erosi, nendatan, dan
kortorsi. Karena itu, endapan tersebut sering mengandung kumpulan fosil yang terdiri dari fosil
asing dan fosil selingkungan. Prograding highstand slope dapat ditafsirkan keberadaannya pada
penampang vertikal, namun tidak dapat ditentukan semata-mata dari gejala pendangkalan seperti
yang terindikasi dari kumpulan-kumpulan fosil bentos maupun planton (Van Gorsel, 1988).
Perubahan vertikal, dari bawah ke atas, melaluil biofasies yang berbeda-beda akibat
berprogradasinya highstand slope ke arah laut, menghasilkan jejak kepunahan semu dan pada
gilirannya akan menyebabkan korelasi diakron (Armentrout, 1987). Dalam cekungan yang
dalam, sedimentasi yang berlangsung lambat pada highstand toesets yang mengarah ke pusat
cekungan menghasilkan condensed section yang mungkin mengandung banyak kumpulan fosil
laut-dalam yang mirip dengan condensed section pada transgressive systems tract dan maximum
flooding surface (Armentrout & Clement, 1991). Sedimentasi yang berlangsung lebih cepat
dalam cekungan-dalam mengindikasikan erosi lereng melalui persitiwa nendatan, aliran rombak-
an, dan arus turbid atau mungkin melalui peristiwa bypassing. Peristiwa-peristiwa itu pada
gilirannya menyebabkan masuknya komponen-komponen fosil laut terbuka, lereng, atau paparan
ke dalam endapan laut-dalam dan kemudian bercampur dengan fosil laut-dalam. Turbidit
umumnya tidak mengandung fosil selingkungan (McNeil dkk, 1990) dan sering mengandung
reworked fossils yang berasal dari bagian atas lereng.

6.5 KESIMPULAN

Karakter biostratigrafi dari paket endapan sedimen dikontrol oleh interaksi antara kondisi
lingkungan, evolusi organisma, dan perubahan proses pengendapan yang berkaitan dengan
perubahan alas kikis. Akibatnya, hanya ada sedikit "hukum" yang dapat disimpulkan mengenai
hubungan antara biostratigrafi dan sekuen stratigrafi. Secara umum, keteraturan yang ada dapat
dinyatakan sbb: 1. Setiap kelompok fosil tidak dapat memberikan data umur yang cukup
akurat untuk endapan Fanerozoikum. Demikian pula, setiap kelompok fosil tidak dapat
memberikan tafsiran lingkungan purba yang cukup mendetil untuk semua lingkungan
pengendapan. Penggabungan dua atau lebih kelompok fosil akan memberikan data umur yang
lebih akurat dan, oleh karena itu, dapat meningkatkan resolusi biostratigrafi. Setiap individu fosil
dapat menyebabkan timbulnya kesimpulan umur dan lingkungan pengendapan yang tidak benar
dan, pada gilirannya, dapat menyebabkan timbulnya model-model geologi yang tidak sahih. 2.
Pemunculan terakhir atau ketidakhadiran prematur (premature disappearance) suatu fosil dari
penampang stratigrafi dapat terjadi akibat hambatan lingkungan lokal. Karena itu, kedua hal itu
mungkin lebih mengindikasikan biofasies daripada peristiwa kepunahan (gambar 6-14a).
Korelasi yang didasarkan pada biofasies umumnya bersifat diakron dan mencermin-kan
peristiwa progradasi atau retrogradasi. 3. Resolusi fosil dapat terhambat oleh sedimentasi yang
berlangsung cepat dan oleh derajat diagenesis (gambar 6-14b). Resolusi tertinggi, mungkin oleh
fossil event (satuan stratigrafi terkecil yang dapat dikenali keberadaannya berdasarkan data
fosil), mungkin tidak dapat diterapkan pada semua keadaan. 4. Kemampuan untuk mengenal
dan menentukan umur batas sekuen, bidang transgresi, atau maximum flooding surface dengan
memakai metoda biostratigrafi tergantung pada resolusi fosil secara aktual dan pada resolusi fosil
secara semu yang ditentukan oleh pola pengambilan sampel. Jarak antar titik pengambilan
sampel hendaknya dirancang sedemikian rupa sehingga dapat memecahkan masalah geologi dan,
idealnya, cukup dekat apabila dilakukan di sekitar tempat dimana bidang-bidang pembatas
penting diperkirakan berada. Gambar 6-15 menyajikan ringkasan yang memperlihatkan
kelebihan dan kekurangan dari berbagai tipe sampel. Secara khusus, perhatikan keterbatasan
resolusi keratan pengeboran dibanding inti bor. 5. Kita harus selalu berhati-hati apabila
mencoba mengikatkan fosil dengan seismic event karena kedua-duanya dapat memiliki galat
yang berasosiasi dengan konversi kedalaman. Hal ini terutama penting artinya untuk mengenal
bahwa ikatan fosil dan seismic event dalam condensed section dapat berbeda cukup jauh apabila
dikorelasikan dengan paket sedimen yang lebih besar, misalnya ketika mengkorelasikan
condensed section dengan prograding highstand systems tract. 6. Biostratigrafi dan isotop
stratigrafi khususnya sangat berguna untuk mengkalibrasi dan mengkorelasikan batas-batas
sekuen dan maximum flooding surface ketika data seismik kurang mendukung akibat
kompleksnya tatanan struktur. 7. Trend biofasies dapat digunakan untuk mengenal trend
progradasi, agradasi, dan retrogradasi serta dapat dipakai untuk memperkirakan waktu akumulasi
endapan klastika pada paparan atau waktu bypassing menuju laut-dalam. Biofasies akan
memperlihatkan gejala pendangkalan ke atas pada lowstand dan highstand systems tract. Pada
transgressive systems tract, biofasies akan memperlihatkan gejala pendalaman ke atas. 8.
Maximum flooding surface dicirikan oleh kumpulan fosil yang beragam dan memiliki
penyebaran yang luas. 9. Batas sekuen berasosiasi dengan erosi, hiatus biostratigrafi, dan
perombakan. 10. Luasnya penyebaran planktonic markers dalam maximum flooding surface
yang ada dalam condensed section menyebab-kan maximum flooding surface merupakan bidang
yang penting artinya untuk tujuan korelasi biokronostratigrafi. 11. Pengenalan lingkungan purba
dalam systems tract dengan menggunakan kumpulan fosil dapat memberikan indikasi umum
mengenai tipe, penyebaran, dan kandungan pasir dalam setiap fasies.

Anda mungkin juga menyukai