Anda di halaman 1dari 7

1

CLIENT CENTER THERAPY

Client Center Therapy (CCT) merupakan bentuk terapi humanistik yang


dikembangkan oleh Carl Ransom Rogers (1902-1987) dengan sebutan nondirective counseling.
Rogers (sebagai terapis) meminimalkan pengarahannya dan membantu kliennya memperjelas persepsi
mereka mengenai diri sendiri. Rogers meneliti tentang persepsi klien terhadap self-aktual dan self-idealnya.
Reflection of feelings adalah teknik yang dilakukan terapis dalam memposisikan dirinya sebagai cermin bagi
klien, agar klien dapat lebih mengenal dirinya, menerima diri sendiri, dan kemudian dapat mempersepsikan
keadaannya sekarang (Sundberg et al, 2002).

Makna Client Center hampir sama dengan makna konseling secara umum bahwa
pemecahan masalah berpusat pada klien, berarti individu sendiri yang harus menyelesaikan
masalahnya. Istilah Client centered sangat sukar diganti dengan bahasa Indonesia yang singkat
dan mengena, client centered dapat dideskripsikan dengan konseling yang menekakan peran
konseli sendiri dalam proses konseling.

Model client-centered menolak konsep yang memandang bahwa konselor merupakan orang
yang tahu segalanya dan yang menetukan pemecahan masalah dari konseli, serta memandang
bahwa konseli merupakan manusia pasif yang hanya mengikuti perintah-perintah dan nasehat dari
konselor.Oleh karena itu, terapi client-centered berakar pada kesanggupan klien untuk sadar dan
membuat keputusan-keputusan dalam pemecahan masalahnya

1. Sejarah
Client-centered therapy “lahir” tanggal 11 Desember 1940 saat psikolog humanis
Carl Ransom Rogers, dalam pertemuan kelompok Psi Chi di Universitas Minnesota,
menyampaikan pemikirannya tentang psikoterapi. Selanjutnya, dalam kurun waktu
1940an hingga 1950an Rogers mengembangkan pendekatan terapi yang kini lebih
dikenal sebagai person-centered therapy (PCT) atau psikoterapi Rogerian
(Wedding dan Corsini, 2013).
Dari latar belakang pekerjaannya yang berfokus pada klinis anak, Rogers
mengembangkan sebuah pendekatan bernama nondirective counseling, merupakan
upaya bantuan penyelesaian masalah yang berpusat pada klien, klien diberi kesempatan
untuk mengemukakan persoalan, perasaan dan pikiran-pikirannya secara bebas.Pendekatan
ini berasumsi dasar bahwa seseorang yang mempunyai masalah sendiri.Tetapi oleh karena
suatu hambatan, potensi dan kemampuannya itu tidak dapat berkembang atau berfungsi
sebagaimana mestinya
Pada masa itu aliran psikoanalisis sangat dominan, dengan tujuan membuat sadar hal-
hal yang tidak disadari dan menekankan pada masa lalu. Rogers mencoba
menekankan pada masa kini dan membantu klien memperjelas persepsi mereka

Promkes—CCT--WahyuDA
2

mengenai diri sendiri dengan interpretasi dari terapis. Pada tahun 1950 ia mengubah
nama pendekatannya menjadi terapi client-centered dan kemudian mengubahnya lagi
menjadi person-centered. Sebagai seorang terapis ia ingin bertindak seperi cermin
bagi kliennya dengan mengatakan bagaimana gambaran permasalahannya. Dengan
demikian, klien secara sedikit demi sedikit mengenal dirinya dan pada akhirnya ia mulai
menerima dirinya sendiri.
2. Konsep dasar CCT dan Teknik
Konsep dasar dari client-centered therapy adalah bahwa inidividu memiliki
kecenderungan untuk mengakutalisasikan diri (actualizing tendencies) yang berfungsi
satu sama lain dalam sebuah organisme. Para terapis lebih terfokus pada “potensi apa
yang dapat dimanfaatkan”
Hakikat manusia menurut Roger
a. Hakikat manusia pada dasarnya baik dan penuh dengan kepositifan.
b. Manusia mempunyai kemampuan untuk membimbing, mengatur dan mengontrol
dirinya sendiri.
c. Setiap individu pada dirinya terkandung motor penggerak yakni terbuka
terhadap pengalaman sendiri, hidup berdasarkan pada kenyataan serta
percaya pada diri sendiri.
d. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dan menyesuaikan
diri, serta mempunyai dorongan yang kuat kearah kedewasaan dan
kemerdekaan
Dua kondisi inti dalam terapi
a. Congruence
merujuk pada bagaimana terapis dapat mengasimilasikan dan menggiring pengalaman agar
klien sadar dan memaknai pengalaman tersebut.
b. Unconditional positive regard
adalah bagaimana terapis dapat menerima klien apa adanya, di mana terapis membiarkan dan
menerima apa yang klien ucapkan, pikirkan, dan lakukan.
Konsep dasar dari sisi klien
a. Self concept
merujuk pada bagaimana klien memandang-memikirkan-menghargai diri sendiri.
b. Locus of evaluation
merujuk dari sudut pandang mana klien menilai diri. Orang yang bermasalah akan terlalu
menilai diri mereka berdasar persepsi orang lain (eksternal).
c. Experiencing,
adalah proses di mana klien mengubah pola pandangnya, dari yang kaku dan terbatas menjadi
lebih terbuka

Promkes—CCT--WahyuDA
3

Teknik
Tidak ada metode atau teknik yang spesifik. Karena CCT menitikberatkan
pada sikap-sikap terapis. Namun ada beberapa teknik dasar yang harus dimiliki
terapis yaitu mendengarkan klien secara aktif, merefleksikan perasaan klien, dan
kemudian menjelaskannya (Corsini & Wedding, 2013).
Teknik tersebut dapat diringkas sebaai berikut:
a. Aceptance (penerimaan)
b. Respect (rasa hormat)
c. Understanding (mengerti, memahami)
d. Reassurance (menentramkan hati, meyakini)
e. Encouragement (dorongan)
f. Limited Questioning (pertanyaan terbatas)
g. Reflection (memantulkan pertanyaan dan perasaan)
3. Ciri-ciri client centered therapy
a. Rogers tidak mengemukakan teori client-centered sebagai suatu pendekatan
terapi yang tetap dan tuntas. Ia mengharapkan orang lain akan memandang
teorinya sebagai sekumpulan prinsip percobaan yang berkaitan dengan
perkembangan proses terapi, dan bukan sebagai suatu dogma.
b. Pendekatan client-centered difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan
klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan secara lebih penuh.
Klien, sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah orang yang
harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya.
c. Pendekatan client-centered menekankan dunia fenomenal klien. Dengan empati
yang cermat dan dengan usaha untuk memahami klien. Dengan empati yang
cermat dan dengan usaha untuk memahami kerangka acuan internal klien, terapis
memberikan perhatian terutama pada persepsidiri klien dan persepsinya terhadap
dunia.
d. Rogers mengajukan hipotesis bahwa ada sikap-sikap tertentu pada pihak terapis
(ketulusan, kehangatan, penerimaan yang nonposesif, dan empati yang akurat)
yang membentuk kondisikondisi yang diperlukan dan memadai bagi keefektifan
terapeutik pada klien. Terapi client centered memasukkan konsep bahwa fungsi
terapi adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh klien serta memusatkan
perhatian pada pengalaman disini-dan-sekarang yang tercipta melalui hubungan
antara klien dan terapis.
e. Teori client-centered dikembangkan melalui penelitian tentang proses dan hasil
terapi. Teori client-centered bukanlah suatu teori yang tertutup, melainkan suatu

Promkes—CCT--WahyuDA
4

teori yang tumbuh melalui observasi-observasi konseling bertahun-tahun dan


yang secara sinambung berubah sejalan dengan peningkatan pemahaman
terhadap manusia dan terhadap proses terapeutik yang dihasilkan oleh
penelitian-penelitian baru.
4. Terapis
Dalam tipe Rogerian terapis bersifat pasif. Ada 3 formulasi penting yang harus
dilakukan terapis, yaitu
a. kongruensi (keselarasan antara pikiran dan perilaku terapis, terapis terbuka dan
natural),
b. empati (persepsi akurat tentang perasaan orang lain, terapis benar-benar ikut
merasakan hal yang dirasa klien),
c. anggapan positif tanpa syarat (tidak menghakimi, terapis menerima klien apa
adanya tanpa membedakan baik dan buruk) (Sundberg et al, 2002).
Tugas terapis adalah sebagai fasilitator pasif yang mendorong klien untuk
bertanggung jawab dalam menentukan arah atau tindakannya sendiri dengan
menciptakan iklim terapeutik, terapis menggunakan perasaannya dalam menghadapi
klien (Corsini & Wedding, 2013), terapis menjadi observer menggunakan seluruh
inderanya (Capuzzi & Gross, 1991)
5. Hubungan antara terapi dan client
Client-centered therapy (CCT) menekankan pada sikap dan kepercayaan
dalam proses terapi antara terapis dengan klien. Efektifitas dari pendekatan terapi
ini adalah pada sifat kehangatan, ketulusan, penerimaan nonposesif dan empati yang
akurat. CCT beranggapan bahwa klien sanggup menentukan dan menjernihkan
tujuan-tujuannya sendiri. Perlu adanya respek terhadap klien dan keberanian pada
seorang terapis untuk mendorong klien agar bersedia mendengarkan dirinya sendiri
dan mengikuti arah-arahannya sendiri terutama pada saat klien membuat pilihan-
pilihan yang bukan merupakan pilihan yang diharapkan terapis. CCT membangun
hubungan yang membantu, dimana klien akan mengalami kebebasan untuk
mengeksplorasi area-area kehidupannya yang sekarang diingkari atau didistorsinya.
Dalam Suasana ini klien merupakan narator aktif yang membangun terapi secara
interaktif dan sinergis untuk perubahan yang positif. CCT cenderung spontan dan
responsif terhadap permintaan klien bila memungkinkan. Seperti permintaan untuk
mengubah jadwal terapi dan membuat panggilan telepon pada terapis.

Promkes—CCT--WahyuDA
5

Contoh-contoh dalam 3 macam formulasi kualitas terapis Rogers; yaitu


a. congruence,
ketika seorang klien mengatakan keengganannya mengunjungi terapi karena
baginya membuang-buang waktu sang terapis. Maka sikap terapis yang
ditunjukkan bahwa bagi sang terapis hal ini tidak akan mebuang-buang waktunya
dan mengungkapkan bahwa terapi ingin bertemu dengan klien dilain waktu lagi jika
terapis bersedia;
b. unconditional positive regard,
ketika terapis mengatakan bahwa masalahnya tidak akan berhasil diselesaikan
maka terapis dapat bersikap dengan memberikan percayaan pada klien bahwa ia
dapat menyelesaikan masalahnya dan terapis akan menerima klien apabila ia
bersedia dating kembali; dan
c. empathic understanding of the client’s internal frame of reference,
saat klien menceritakan suatu kejadian, maka terapis mencoba memahami situasi
saat itu yang terjadi pada klien dan mencoba mendapatkan tanggapan kembali
dari klien dengan lebih banyak informasi.
6. Langkah-langkah konseling
Langkah-langkah melakukan CCT menurut Rogers adalah sebagai berikut:
a. Klien datang untuk meminta bantuan kepada konselor secara sukarela. Bila klien
datang atas petunjuk seseorang, maka konselor harus mampu menciptakan
suasana permisif, santai, penuh keakraban dan kehangatan, serta terbuka,
sehingga klien dapat menetukan sikap dalam pemecahan masalahnya.
b. Merumuskan situasi bantuan. Dalam merumuskan konseling sebagai bantuan
untuk klien , klien didorong untuk menerima tanggung jawab untuk melaksanakan
pemecahan masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini hanya bisa dilakukan
apabila konselor yakin pada kemampuan klien untuk mampu membantu dirinya
sendiri.
c. Konselor mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya secara bebas,
berkaitan dengan masalahnya.Dengan menunjukkan sikap permisif, santai, penuh
keakraban, kehangatan, terbuka, serta terhindar dari ketegangan-ketegangan,
memungkinkan klien untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga dirasakan
meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
d. Konselor secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan klien yang sifatnya
negative dengan memberikan respons yang tulus dan menjernihkan kembali
perasaan negative dari klien.

Promkes—CCT--WahyuDA
6

e. Setelah perasaan negative dari klien terungkapkan,maka secara psikologis


bebannya mulai berkurang. Sehingga ekspresi-ekspresi positif akan muncul, dan
memungkinkan klien untuk bertumbuh dan berkembang.
f. Konselor menerima perasaan positif yang diungkapkan klien.
g. Saat klien mencurahkan perasaannya secara berangsur muncul perkembangan
terhadap wawasan (insight) klien mengenal dirinya, dan pemahaman
(understanding) serta penerimaan diri tersebut.
h. Apabila klien telah memiliki pemahaman terhadap masalahnya dan menerimanya,
maka klien mulai membuat keputusan untuk melangkah memikirkan tindakan
selanjutnya. Artinya bersamaan dengan timbulnya pemahaman, muncul proses
verfikasi untuk mengambil keputusan dan tindakan memungkinkan yang akan
diambil.
7. Kelebihan dan kekurangan CCT
a. Kelebihan
Pemusatan pada klien dan bukan pada konselor dalam konseling.
Identifikasi dan penekanan hubungan konseling sebagai wahana.
Lebih menekankan pada sikap konselor dari pada teknik.
Penekanan emosi, perasaan dan afektif dalam konseling
b. Kekurangan
Terlalu menekankan pada aspek afektif, emosional,, perasaan sebagai penentu
prilaku, tetapi melupakan factor intelektif, kognitif, dan rasional.
Penggunaan informasi untuk membantu klien, tidak sesuai dengan teori.
Tujuan di tetapkan oleh klien, tetapi tujuan konseling kadanng-kadang di buat
tergantung lokasi
8. Conclution
Di dalam CCT, klien merupakan pusat dari terapi dan terapis tidak mengunakan intervensi secara
dominan. Tugas terapis adalah memfasilitasi klien, dengan mendukung klien menggali potensi-potensi
dirinya (aktualisasi diri, positif). Dalam hubungan antara terapis dan klien, karakter atau pembawaan
terapis sangat penting dalam menentukan proses terapi selanjutnya. Walaupun terapi ini berpusat
pada klien, namun keberadaan dan tugas terapis juga menjadi penting. Terapis harus dapat membuat
klien merasa nyaman, menghormati klien, dan menghargai klien apa adanya, karena CCT yang
merupakan bagian dari terapi humanistik ini melihat klien sebagai pribadi yang unik.

Promkes—CCT--WahyuDA
7

Sources:

Corsini, RJ and Wedding, D. 2013 Current Psychotherapies, 9th Edition

Capuzzi, D and Gross, DR. 1991. Introduction to Counseling: Perspectives for the 1990s. Allyn and
Bacon

A. King, Laura (2010). Brian Marwensdy, ed. Psikologi Umum : Sebuah Pandangan
Apresiatif. Jakarta: Salemba Humanika.

L. Atkinson, Rita; Richard C. Atkinson, Edward E. Smith, Daryl J. Beam (2010).


Lyndon Saputra, ed. Pengantar Psikologi, Jilid 2. Tangerang: Interaksara..

D. Sundberg, Norman; Allen A. Winebarger, Julian R. Taplin (2007). Psikologi Klinis :


Perkembangan Teori, Praktik, Dan Penelitian. Yogyalarta: Pustaka Pelajar.

Pomerantz, Andrew M. (2011). Clinical psychology: Science, practice and culture 2nd
ed. London: Sage Publication.

Feldman, Robert S. (2011). Pengantar Psikologi. Salemba Humanika

Correy, Gerald. 1995. Teori dan praktek dari konseling dan psikoterapi. Edisi ke 4. Diterjemahkan
oleh : Drs. Mulyarto. Semarang : IKIP Semarang Press.

Promkes—CCT--WahyuDA

Anda mungkin juga menyukai