Anda di halaman 1dari 4

HUBUNGAN AL QUR’AN DENGAN LINGKUNGAN

Berapa banyak dalam sehari ini kita melanggar peraturan lalu


lintas, melampaui marka garis tengah jalan, atau melewati lampu
merah? Berapa banyak hari ini kita menghamburkan bensin dengan
memain-mainkan pedal atau handle gas secara berlebihan? Berapa
lama kita membiarkan lampu-lampu rumah kita menyala tatkala hari
telah terang? Berapa kali kita membiarkan air mengucur di kran-kran
atau AC menyala tanpa ada orang di dalamnya? Berapa kali dalam
sebulan ini kita sudah membakar sampah? Sadarkah kita bahwa asap
yang kita timbulkan mengganggu tetangga? Atau suara knalpot yang
memekakkan telinga banyak orang? Seberapa banyak batang pohon
yang pernah kita tanam selama kita hidup? Berapa kali kita berwudlu
sambil berpikir untuk berhemat dalam pemakaian air? Berapa kali kita
mempersilakan pemulung mengambil sampah yang masih bisa digunakan
atau didayagunakan? Atau justru menghardiknya dengan menempeli
rumah dan lingkungan kita dengan “Pemulung dilarang Masuk!”

Manusia adalah penyebab kerusakan bumi. Asap hasil bakaran


sampah rumah tangga yang biasa kita dapati di permukiman-
permukiman, terutama bahan-bahan non organik yang ikut terbakar,
ternyata ribuan kali lebih beracun dari asap rokok. Terlebih lagi, asap
yang tidak bisa dikontrol akan mengakibatkan terganggunya lingkungan
sosial. Belum lagi kenyataan bahwa asap secara umum menghasilkan
CO2 yang menjadi salah satu penyebab timbulnya pemanasan global.
Bangunan-bangunan gedung yang dipakai dengan tidak bijaksana
ternyata menghamburkan energi yang juga berkontribusi terhadap
pemanasan global sebesar lebih dari 30%. Air yang kita pakai,
tidaklah gratis, karena ia harus didukung oleh lingkungan alami berupa
ruang hijau, dan hutan yang terjaga kelestariannya. Tanpa hutan dan
ruang hijau - yang terus dibabati itu - air tanah yang seharusnya
terserap segera akan berubah menjadi air bah. Hasilnya adalah
sebuah paradoks dimana di satu sisi kita kebanjiran, di sisi lain air
menjadi langka. Bahkan di kota-kota besar di dunia, air sudah lebih
mahal daripada bensin. Dan pemulung - yang sering kita lihat dengan
sebelah mata - dari sisi pengelolaan sampah (waste management)
adalah pahlawan lingkungan karena mampu menerapkan strategi 3R
(reuse, reduce, dan recycle atau penggunaan kembali, pengurangan
volume, dan daur ulang sampah).
Manusia modern - kita semua - adalah penyebab kerusakan
bumi yang paling ganas dibandingkan dengan peradaban-peradaban
masa lalu. Modernisasi di segala bidang serta pertambahan penduduk
yang sangat pesat telah membuat kerusakan bumi jauh lebih cepat dan
lebih destruktif. Tak mengherankan, manusia modern pulalah yang
menuai bencana-bencana global. Perubahan iklim global adalah
akumulasi akibat dari akselerasi proses industri dan cara hidup yang
tidak selaras dengan siklus alami. Penyakit-penyakit seperti Flu
Burung, SARS dan HIV-AIDS menjadi penyakit global karena
akumulasi perubahan cara hidup manusia yang cenderung berlebihan,
merusak daur kehidupan alami, dan kecenderungan pola hidup yang
menyimpang. Modernisasi di satu sisi adalah karunia, buah dari akal
budi manusia dalam mengelola bumi, sebagai khalifah di bumi. Namun
di sisi lain, modernisasi juga menyimpan potensi merusak yang lebih
besar. Manusia modern, apapun agama dan kepercayaannya, tak kebal
terhadap kenyataan paradoksal ini. Dalam konteks ini peringatan Allah
yang telah mewanti-wanti manusia untuk tidak berbuat kerusakan
menjadi sangat relevan dan bersifat universal. Dalam Alqur’an Surat
Al-Qashash [28] ayat 77 dinyatakan bahwa Allah tidak menyukai
orang-orang yang membuat kerusakan:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu


(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
kebahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (QS. Al-Qashash
[28]: 77).

Bukan kebetulan pula ayat ini berada di tengah-tengah cerita


tentang Qarun, orang kaya yang berlebih-lebihan lagi menyombongkan
ilmunya dan kemudian dibenamkan oleh Allah ke dalam bumi.
Kebinasaan Qarun adalah sebuah potret datangnya bencana dahsyat
karena tabiat manusia yang ‘berbuat kerusakan di muka bumi.’ Di sini
kita dapat mengambil pelajaran berharga bahwa kekayaan dan ilmu -
yang dalam makna yang luas sering dianggap ‘tujuan’ dari kehidupan
modern ini - juga mengandung resiko bila tanpa didasari oleh keimanan
dan keshalihan.

Lantas bagaimana kita sebagai muslim harus bersikap dalam


kehidupan modern yang sangat tidak ramah lingkungan ini? Islam
mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap lingkungan. Tidak
hanya sumpah Allah dalam Alqur’an yang sering memakai elemen
lingkungan yang berguna secara simbolis sebagai pengingat kita, tetapi
juga secara praktis memberi pesan-pesan yang menyeru pada
timbulnya sikap yang shalih terhadap lingkungan. Khalifah fil Ardh
dalam konteks ini seharusnya diterjemahkan sebagai manusia yang
mampu mengelola bumi dan seluruh isinya dengan penuh kebijaksanaan:
sebuah keshalihan lingkungan.

Dalam cara pandang ini, kita tidak menolak modernisasi, tetapi


kita seharusnya juga menolak kedzaliman perilaku terhadap lingkungan
hidup yang pada akhirnya akan menenggelamkan kita ke dalam
bencana-bencana. Perilaku sosial yang dicontohkan oleh Nabi dan para
sahabat pun mencerminkan hal itu. Sebidang tanah kosong yang
ditelantarkan, secara hukum (syariat), diperbolehkan untuk ‘diambil
alih’ dan dikelola oleh masyarakat. Secara umum Islam menghendaki
setiap jengkal lahan di muka bumi ini mempunyai peran bagi
kesejahteraan manusia di mana sebagai timbal baliknya, manusia juga
harus menjadi khalifah - pengelola - yang bijaksana.

Peran tersebut di atas tentu saja tidak hanya dimaknai sebagai


‘lahan budi daya’ dari sisi ekonomi, tetapi juga lahan yang berperan
sebagai penyangga kelangsungan hidup semua makhluk di dalamnya -
peran sebagai bagian dari ekosistem. Tak mengherankan, tradisi Islam
dalam konteks pengelolaan lahan ini sangat didominasi dengan citra
keindahan Taman Islam. Taj Mahal di India, taman-taman di Isfahan
Iran, Spanyol, Maroko hingga Taman Sari di Yogyakarta diciptakan
dengan cita rasa keindahan sangat tinggi, teknik pengairan yang
canggih, pemilihan jenis tanaman yang teliti dan konfigurasi ruang
terbuka - tertutup yang sempurna, yang semuanya mencerminkan
ekspresi keindahan dan kecintaan terhadap Tuhan. Tentu saja
ekspresi simbolis ini juga bermanfaat secara praktis, yaitu taman-
taman dan ruang terbuka hijau yang bermanfaat secara luas sebagai
penyangga ekosistem lingkungan hidup kita. Gambaran surga di dalam Al Quran,
kecintaan terhadap Allah, sangat memengaruhi perilaku umat kala itu yang kemudian
diekspresikan dengan menciptakan lingkungan yang indah secara visual dan sangat
ramah dari sisi keberlanjutan lingkungan.

Di masa kini, sesungguhnya peluang untuk menjadi shalih lingkungan ini


sangat luas. Menciptakan taman hijau di rumah dan lingkungan kita, misalnya dengan
memanfaatkan lahan-lahan ‘tidur’, atau menanami lahan pinggir jalan dengan
tanaman peneduh adalah contoh kecil saja. Lebih jauh lagi adalah perlunya
kepedulian pada persoalan-persoalan global dan mampu memberi tanggapan dengan
perilaku yang shalih. Pemanasan global, membesarnya lobang ozon, berkurangnya air
tanah, krisis energi, banjir dan polusi adalah daftar persoalan yang kompleks yang
perlu dipelajari dengan seksama. Perilaku apa yang akan memperparah keadaan dan
kegiatan apa yang dapat mengurangi risiko kerusakan adalah perkara yang harus
dipelajari dan diajarkan karena tidak semua orang memahami implikasi-implikasi
tindakannya dilihat dari sudut pandang lingkungan hidup. Paparan di awal tulisan ini
hanyalah sekelumit daftar perilaku kita sehari-hari yang sangat jarang kita perhatikan
– atau kita pedulikan – bahwa ia berimplikasi negatif pada lingkungan, yang ternyata
juga berimplikasi pada lingkungan global.

Di sinilah perlunya penyadaran akan pentingnya perilaku yang shalih terhadap


lingkungan sebagai sebuah pengejawantahan Islam, umat Islam sebagai sebaik-baik
umat, dan muslim sebagi khalifah di muka bumi. Keshalihan pada lingkungan ini juga
harus dipelajari, dikaji dan diajarkan sejalan dengan pembelajaran kita terhadap
tauhid, ibadah, ataupun ‘ilmu agama’ yang lain. Tanpa adanya pembelajaran ini, maka
umat Islam akan senantiasa berada dalam ‘kegelapan’ dengan tetap mempraktikkan
perilaku yang pada hakikatnya ‘membuat kerusakan di muka bumi.’ Secara ilahiah,
perilaku kita telah melanggar larangan Allah. Dalam konteks duniawi, umat Islam
akan dengan mudah dituduh sebagai umat yang tidak punya kepedulian lingkungan
yang kuat. Di sini perlu sebuah gerakan penyadaran akan pentingnya kajian
keshalihan lingkungan ini. Para ilmuwan Muslim harus turut mendidik masyarakat
luas dengan dakwah lingkungannya. Para dai harus turut memelajari wacana
lingkungan agar kajian-kajian mereka memuat pesan-pesan yang gayut dengan
problem lingkungan saat ini.

Anda mungkin juga menyukai