Anda di halaman 1dari 5

Sejarah singkat kerajaan majapahit

04.36
hindu-buddha kerajaan majapahit sejarah

Majapahit adalah kerajaan besar di pulau Jawa berpusat di Jawa Timur, Indonesia, dan
berdiri sekitar tahun 1293 hingga 1500 M dan menguasai sebagian besar wilayah
nusantara,Letak dan Lokasi kerajaan majapahit berawal dari sebuah desa kecil di kawasan
hutan tarik ini. Pendiri pendiri kerajaan majapahit ialah Raden Wijaya yang di nobatkan
dengan nama Kertarajasa Jaya Wardana. Berdasarkan kitab negara Kartagama di masa
keemasannya, Majapahit adalah kerajaan dengan budaya keraton yang Adiluhur, anggun dan
canggih. Cita rasa seni dan sastranya tinggi dengan sistem ritual keagamaannya yang rumit
dua agama besar Hindu-Budha yang di anut masyarakatnya hidup berdampingan dalam
harmoni tidak mengherankan jika Majapahit di gambarkan sebagai Mandala Raksasa yang
membentang dari Sumatera hingga ke Papua. kejayaan kerajaan
majapahit mencapai puncaknya di masa Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada pada
abad ke-14. Sayang setelah Hayam Wuruk wafat kejayaan kerajaan Majapahit lambat laun
meredup dan mengalami kemunduran akibat konflik kekuasaan dan perang saudara.

Surya Majapahit (Matahari Majapahit) -Wikipedia

sumpah palapa dan wilayah kekuasaan kerajaan majapahit

kerajaan majapahit adalah salah satu kerajaan besar terakhir di nusantara ini yang
mewariskan banyak peninggalan yang dapat memaparkan kebesarannya NagaraKertagama
dan para raton mencatat berbagai citra peradaban Wilwatikta tatakota trowulan yang di
bangun dari terakota pelabuhan tuban dan penggalangan pembuatan kapal kanal-kanal
pengairan dan sistem pertanian candi-candi dan tata perilaku masyarakat gajah mada
mengumandangkan sumpah palapa yang merupakan konsep bhineka tunggal ika dari
sumpah itulah Majapahit menenamkan pengaruh kekuasaan yang meliputi ujung
Semenanjung malaya hingga bagian barat papua meskipun di warnai pemberontakan dan
perpecahan pada setiap pemerintahan sejarah tidak akan melupakan kerajaan majapahit
sebagai bagian dari peradaban nusantara yang gemilang.

Patih Gajah Mada Dan sumpah palapa

candi peninggalan kerajaan majapahit

Salah satu bukti peninggalan prasasti kerajaan majapahit yang mungkin bisa menjadi
gambaran tentang tingginya peradaban di era akhir Majapahit ada di Candi Ceto. Konon
Candi Ceto di yakini sebagai lokasi pelarian dan muksanya Raja Majapahit terakhir Brawijaya
V. Nama Ceto sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti jelas, ada yang mengartikan jelas
karena dari posisi Candi yang tinggi karena bisa melihat pemandangan tanpa terhalang. Jelas
bisa juga di artikan sebagai pencapaian pencerahan dalam hidup berspiritual. Candi Ceto
berlokasi di dusun Ceto Desa Gumeng Kecamatan Jendawi karang Anyar Jawa Tengah, Ceto
memiliki kesamaan bentuk dengan Candi Suku jaraknya pun berdekatan kurang lebih 11
kilometer saja bedanya Ceto posisinya lebih tinggi kira-kira 1.496 meter di atas permukaan
laut. Berdasarkan simbol-simbol tahun yang di ketemukan Candi Ceto di bangun pada 1475
Masehi beda 40 tahun dengan Candi Suku yang didirikan pada 1437 Masehi. Hal ini
memperkuat dugaan bahwa masyarakat membangunnya adalah masyarakat yang sama dari
Majapahit.

Candi Ceto
Candi Ceto di temukan pertama kali oleh van de Vlies pada tahun 1842 kondisi candi pada
masa itu hanya berupa reruntuhan batu pada 14 endapan bertingkat memanjang dari barat
ke timur. Strukturnya berteras teras memunculkan dugaan adanya sinkretisme keyakinan asli
nusantara dengan Hinduisme, pemugaran yang di lakukan oleh Sujono Humardani salah
seorang kepercayaan Presiden Soeharto pada tahun 70an di duga banyak mengubah struktur
asli candi.

Bangunan baru hasil pemugaran di antaranya adalah Gapura megah di depan candi
bangunan pendopo dari kayu beberapa patung yang di sakralkan dan bangunan inti
berbentuk kubus pada puncak punden.

Bangunan induk Candi Ceto nampak berbeda dari candi pada umumnya, Strukturnya
mengadopsi punden berundak menepatkan bangunan suci utama di tempat tertinggi. Kesan
adanya pemujaan terhadap roh nenek moyang pun semakin kuat, Candi candi di kawasan
sekitar Gunung Lawu seperti Ceto dan Suku memang terkesan unik. Bentuknya yang nyaris
sama dengan bangunan suci bangsa maya memunculkan banyak misteri yang tak
terpecahkan.

Dahulu pada masa Orde Baru kompleks Candi Ceto hanya di manfaatkan oleh orang-orang
tertentu saja. Sekarang para peziarah beragama Hindu dari Bali banyak berdatangan untuk
melakukan pemujaan begitu pun juga bagi para penganut kepercayaan asli Jawa atau
kejawen. Para pejiarah meyakini Candi Ceto adalah bangunan suci yang di wariskan para
leluhurnya dari Majapahit.
Candi Ceto terdiri dari 9 teras, Teras pertama adalah halaman candi di posisi paling luar
tempat di mana kita bisa menyaksikan indahnya pemandangan ke arah matahari terbenam.
Beberapa arca penjaga dari batu diletakkan di depan gerbang bentuknya yang unik dan
sosoknya yang tidak seperti dari Jawa menimbulkan beragam polemik di masyarakat. Di
depan gerbang utama Candi Ceto terdapat arca yang tidak lazim pada umumnya seperti pada
arca yang menggunakan penutup kepala hiasan telinga hingga hiasan tangan

Teras pertama terletak di sisi timur candi semakin ke barat posisinya semakin tinggi setiap
teras di hubungkan oleh gerbang dan jalan setapak yang semakin kecil dan curam Filosofinya
adalah untuk mencapai sebuah kesempurnaan spiritual di butuhkan perjuangan yang tidak
mudah. Teras Kedua di percaya warga sebagai tempat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi
leluhur masyarakat dusun Ceto. Lokasi ini biasanya di gunakan untuk persembahyangan awal
pada saat memasuki kawasan Candi Ceto.

"Umumnya Candi-candi itu menghadap ke timur tetapi ini ada perbedaan sedikit dia
menghadapnya ke barat dan di sini di sebabkan karena tempat pemujaannya itu menghadap
ke atas ke num di mana orang-orang yang memuja candi ini berpendapat bahwa pada dewa
itu bersemayam di atas gunung", ujar Dr. Agi Ginanjar Arkeolog.

Selanjutnya di teras ketiga, ada susunan relief batuan di atas tanah yang membentuk
lambang-lambang tertentu jika di lihat dari teras di bagian atasnya hamparan batuan yang
tersusun membentuk burung garuda yang membentangkan sayapnya. Dalam mitologi agama
Hindu burung garuda di percaya sebagai kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia
atas. Sementara susunan batu yang membentuk Kura-Kura adalah simbolisasi Dewa Wisnu
yang melambangkan dunia bawah. Di bagian ujung kedua sayap garuda terdapat sebentuk
simbol berbentuk matahari begitu pun di bagian kepala garudanya tanda-tanda ini jelas
menujukan lambang Surya Majapahit. Penampakan simbol kesuburan dan proses penciptaan
jiwa terlihat pada relief pertemuan Lingga dan Yomi yang cukup besar inilah yang membuat
Candi Ceto sering kali dijuluki sebagai Candi Lanang atau Candi Laki-laki. Keberadaan Lingga
dan Yoni dalam bangunan suci adalah simbolisasi dari sosok Dewa Siwa dan istrinya Dewi
Uma, Lingga dan Yoni di sakralkan karena di anggap juga sebagai lambang kemakmuran.

Lokasi Candi Ceto memang jauh dari pusat kerajaan Majapahit Jawa Timur posisinya pun
berada di ketinggian lereng Gunung Lawu Jawa Tengah sehingga sulit untuk di jangkau. Bisa
jadi keberadaan Candi Ceto menjadi petunjuk adanya perpindahan sekelompok masyarakat
ke lokasi yang lebih kondusif akibat perubahan politik yang terjadi di masa akhir kebesaran
Majapahit.

Periode masyarakat membangun Candi Ceto di duga merupakan masa di mana pengaruh
Hindu Siwa dan kepercayaan terhadap leluhur begitu kuat. Mereka membangun candi
sebagai tempat peruatan dengan menampilkan cerita pewayangan seperti yang terdapat di
teras keempat.

Salah satu relief peruatan pada Candi Ceto berupa kisah Sudamala, bercerita tentang Dewi
Uma yang berubah menjadi sosok menyeramkan bernama Batarin Durga karena melanggar
peraturan Dewa Siwa. Batarin Durga pun terpaksa harus menjalani hukumannya selama 12
tahun dan akhirnya terbebas kembali lewat bantuan Sadewa adik bungsu dari keluarga
Pandawa.

"Dari relief yang ada baik di Suku maupun Ceto menujukan bahwa ada lengga tiga cerita
Sudamala kemudian Narawuji dan ada juga cerita tentang kalau tidak salah itu lahirnya Bima
jadi yang di ambil dari Mahabarata semuanya bersumber dari sana dari situ menujukan
bahwa tradisi wayang atau cerita Mahabarata semakin populer pada pendidik sehingga
simbol-simbol yang ada pada semua cerita wayang itu di reliefkan di candi-candi", ujar Dr. Sri
Margana Sejarawan.

Relief Sudamala memberi petunjuk pasti tentang fungsi dari bangunan suci di Ceto tempat di
mana di langsungkan upacara pemujaan yang ditujukan untuk membersihkan diri dari karma
buruk untuk mencapai kesadaran.

Pada teras kelima dan enam Candi Ceto terdapat pendopo yang digunakan untuk beristirahat
atau mempersiapkan upacara keagamaan. Nampak jelas bahwa pendopo ini adalah
bangunan baru hasil renovasi. Naik ke teras ketujuh ada dua buah arca yang di percaya
sebagai perwujudan dari tokoh Sapdo Palon dan Nayah genggong Keduanya adalah api
dalem sekaligus penasihat spiritual Raja Brawijaya ke-v terdapat juga 2 bangunan tertutup
yang biasanya di gunakan sebagai tempat melakukan semedi

Anda mungkin juga menyukai